Oleh:
AM Bambang Prawiro
Hingga saat ini saya terus berfikir tentang keajaiban
manusia, ia sangat luar biasa hingga memiliki sifat yang berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya. Ada jiwa yang berjalan pada kelurusan iman, ia tumbuh
di bawah naungannya hingga dewasa matang dengan keimanan yang mantap. Namun ada
juga yang mereka besar di bawah didikan yang tidak didasarkan agama atau hanya
sekadarnya saja dalam pendidikan agamanya, hingga ia tumbuh apa adanya. Adalagi
jiwa yang tumbuh dan dewasa di bawah naungan pendidikan yang tidak mengenal
agama atau tidak mempedulikan agama hingga ia dewasa dalam keadaan tidak peduli
dengan agamanya. Jiwa jenis pertama dan kedua berada di sisi terjauh umumnya
manusia, sementara yang kedua adalah jiwa kebanyakan manusia. Ia tubuh hanya
kurang mendapatkan pendidikan agama yang layak sehingga ia akan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan ketika ia dewasa.
Pengaruh lingkungan memang sangat berperan dalam
pembentukan jiwa manusia, ia bisa beringas dan tidak berperadaban ketika
lingkungannya bersikap demikian. Ia juga bisa memiliki sifat yang taat dengan
agama ketika lingkungannya menanamkan pendidikan agama dengan benar. Berdasarkan pengalaman, bagaimanapun kondisi
jiwa seseorang ia memiliki tantangan dan penghalang dalam menapaki keridhaan
Ar-Rahman. Godaannya akan semakin meningkat ketika keimanannya juga meningkat,
seorang ustadz tentu akan beda godaan dari syaithan dibandingkan dengan seorang
awam. Bisa jadi orang awam tidak akan melihat bagaimana godaan itu muncul pada
diri seorang agamawan, padahal semakin ia menjadi ahli agama semakin besar
godaan yang diterimanya.
Inilah yang terjadi pada seorang yang bernama (Abdullah:
bukan nama sebenarnya), ia merasakan betapa ia dihampiri rasa gundah karena
memendam rasa kepada seseorang yang seharusnya tidak dikaguminya. Ia merasa
gelisah ketika jauh dari orang tersebut inginnya ia selalu bersama dengannya
dan bisa bersama-sama menjalani kehidupan ini. Namun ia sadar, semua itu tak
mungkin terjadi, jarak yang jauh dan keadaan keluarga sangat tidak memungkinkan
ia untuk selalu bisa bersama-sama dengannya. Rasa suka itu muncul ketika
pertama kali melihatnya, ada semacam aura yang membuatnya terkagum-kagum dengan
orang tersebut. Canda-tawanya, senyum khas-nya, cara berbicaranya, tubuhnya dan
raut mukanya benar-benar membuat Abdullah terpesona. Ia juga sadar bahwa rasa
sukanya itu terlarang oleh agama, namun ia tidak bisa membohongi jiwanya bahwa
ia suka sejak pertama berjumpa. Rasa sukanya membawa pada perasaan tidak tenang,
galau dan ketidaknyamanan ketika berjauhan dengannya. Ada apa ini sebenarnya?
Apakah ia suka dengannya? Atau memang ada kebutuhan yang harus diselesaikan
masalah pekarjaan dan sekolahnya?
Lama ia merenung, akhirnya ia menemukan bahwa ternyata
rasa suka itu benar-benar ada karena kekagumannya kepada orang tersebut. ia
coba mengalihkan rasa suka itu dengan dalih keperluan sekolah, pekerjaan,
professional dan sebagainya. Namun, hatinya tidak bisa dibohongi bahwa ia
memang suka dengan orang tersebut. Entahla apakah orang tersebut mengetahuinya
atau tidak, yang pasti ia juga menyambut gembira dan bersikap menerima ketika
berjumpa. Rasa itu terus tumbuh hingga setahun lamanya, lebih dari itu ternyata
ia semakin gamang dengan perasaannya. Ia suka, tapi itu tidak boleh dalam
agama.
Jiwanya luka karena terjadi perang batin antara rasa suka
kepada orang tersebut dengan alrangan agama. Ia sendiri sadar, rasa suka itu
memang bukan rasa suka biasa, tapi lebih dari segalanya hingga ia rela
mengorbankan apa yang ia miliki untuk orang itu. Jiwanya memang sakit, dan
harus diobati. Tetapi dia sendiri tidak bisa berbohong dengan dirinya sendiri
hingga ia tersiksa dengan rasa sukanya. Entah sampai kapan ia akan tersiksa
dengan rasa sukanya, ia mencoba untuk menepis namun baying-bayang itu selalu
menghantuinya. Ia ingin selalu dekat dengannya, mendekapnya, memeluknya dan
lebih dari itu. Namun ia juga sadar tidak mungkin bisa melakukannya karena hal
itu jelas dilarang agama.
Jiwanya menjerit, luka yang dulu dideritanya kini kambuh
kembali. Rasa suka dengan sesama membawanya pada derita luka jiwa yang
menganga. Ia sadar bahwa itu adalah kesalahannya, namun ia juga tidak bisa
membohongi rasa sukanya. Betul-betul derita jiwa yang sulit dicarikan obatnya.
Hanya pada Allah ta’ala ia mengadukan semua lukanya, mudah-mudahan di sana ada
jalan terang yang membawanya menuju kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat
sana. Semoga…………… (Bogor 10/01/2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...