Oleh: AM Bambang
Prawiro
Jiwa manusia
memiliki rasa suka dengan sesamanya, ia adalah fitrah yang telah ditetapkan
oleh Sang Pencipta. Rasa itu muncul ketika ia merasa cocok dengan jiwa lainnya,
hingga seolah-olah jiwanya adalah separuh dari jiwa yang disukainya. Rasa suka
dengan sesama telah menjadikannya berusaha semaksimal mungkin untuk bisa selalu
bersama-sama dengannya. Sebagai penggerak dari seluruh anggota badan, maka jiwa
akan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada untuk bisa mendekati raga pemilik
jiwa yang disukainya. Jiwa yang sehat akan memiliki rasa suka dengan jiwa yang
sehat pula, sebaliknya jiwa yang sakit akan suka dengan jiwa sakit lainnya.
Sehingga pasangan dari masing-masing jiwa telah ditentukan keberadaannya.
Membincang rasa
jiwa sangat mengundang hasrat untuk lebih mendalaminya. Sebuah jiwa yang
memiliki rasa suka akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa berdekatan
dengan jiwa yang disukainya. Karena jiwa itu abstrak maka rasa sukanya akan
terjebak pada tampilan tubuh dari jiwa yang disukainya. Di sinilah kekaguman
terhadap tubuh menjadi alasan utama kesukaan jiwa terhadap jiwa lainnya. Jiwa
itu akan merasa tenang ketika berada di dekat raga pemilik jiwa yang
disukainya. Ia ingin selalu dekat dengannya, bercanda ria dengannya,
berbincang-bincang hingga menyentuh raga dan yang lebih dari itu.
Kisah jiwa yang
suka dengan sesamanya telah menginspirasi berjuta umat manusia untuk melakukan
sesuatu yang berada di luar nalar manusia. Pengorbanan yang dilakukannya tidak
lagi difikirkan, yang ada adalah bagaimana agar ia bisa dekat dengan pujaannya
tersebut. Rasa jiwa ini bisa jadi muncul dari panca indra yang melihat raga yang
memiliki jiwa. Kemudian dari panca indra tersebut merasuk ke dalam jiwa
manusia, ia menempel hingga ketika rasa suka itu semakin kuat akan menjadikan
rasa itu terpatri dalam jiwa. Di sinilah puncak rasa suka itu akan menyetir
jiwa hingga jiwa itu akan berusaha secara membabi-buta memperjuangkan rasa suka
jiwa. Perjuangan ini biasanya akan melibatkan raga dan tak jarang memakan
korban dari korban kekayaan hingga korban perasaan.
Maka kita lihat
bagaimana seseorang yang menderita karena rasa suka yang ada pada jiwanya. Di
rela mengorbankan apa saja yang dimiliknya agar jiwanya terpuaskan an terpenuhi
keinginannya. Penderitaan itu akan semakin menjadi ketika jiwa yang disukainya
ternyata tidak peduli dan tidak mau menerima rasa jiwanya. Keinginannya untuk
selalu dekat dengannya menjadikan kehendak jiwanya tidak terpenuhi hingga
muncul perasaan duka mendalam di jiwa. Inilah rasa rasa jiwa, ia lara karena
keinginannya tidak bisa terlaksana, ia luka karena jiwa yang disukainya
ternyata tidak peduli dengannya. Kisah rasa jiwa adalah ketia jiwa itu merasa
sebatangkara dalam derita yang tiada ujungnya. Ia tidak bisa hidupa tanpa
kehadiran jiwa lain yang dikaguminya. Ia merana karena tidak bisa berdekatan
dengan jiwa yang dikaguminya.
Kisah rasa jiwa
telah menjadikan seseorang gelap mata, melakukan apa saja asalkan jiwanya bisa
bahagia. Padahal keinginan jiwa itu belum tentu baik seluruhnya, bahkan kita
tidak bisa membedakan antara jiwa yang hanif di jalanNya dengan jiwa yang
ditaburi hawa dunia. Bagi jiwa yang memiliki rasa, maka hendaklah ia kembali
mempergunakan rasio-nya. Apakah rasa-nya adalah karena Allah ta’ala? Atau
jangan-jangan hanya karena hawa dengan sesama? Maka penawar bagi jiwa yang lara
ada kembali ke jalanNya, menyerahkan sepenuhnya pada takdirNya dan beristighfar
atas semua kesalahan yang dilakukannya. Rasa jiwa itu akan abadi selamanya
ketika didasarkan kepada rasa dengan Rabbnya, bukan karena kekagumannya kepada
tampilan raga belaka, apalagi hanya karean hawa angkara murka.
Semoga jiwa
kita bukan termasuk jiwa yang lara karena suka dengan sesamanya tanpa melihat
penyebab dan asas dalam rasa. (Bogor, 10/01/2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...