Oleh: Abdurrahman MBP
Application theory yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Teori ‘Urf. Teori ini menyebutkan bahwa
adat kebiasaan yang dilakukan oleh manusia secara berulang-ulang dan dipandang
baik oleh mereka maka ia bisa diterima oleh hukum Islam. Dasar dari teori ini
adalah firman Allah ta’ala:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah
engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh” (QS. al-A'raf [7]: 199).
Ayat
ini menggunakan lafadz الْعُرْفِ (al-‘urf) yang merupakan bentuk masdar dari kata عرف (‘arofa).
Walaupun dalam bentuk masdar namun ia juga bermakna مَعْرُوفٍ (ma’ruf)
yang berarti telah diketahui dan dikenal. Maka perintah untuk melakukan
yang ma’ruf dalam ayat tersebut adalah hal-hal yang telah diketahui dan diakui
sebagai sesuatu yang baik. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menafsirkan kata al-‘urf
dengan:
بكل قول حسن وفعل
جميل، وخلق كامل للقريب والبعيد
Seluruh perkataan yang baik dan perbuatan yang
mulia serta akhlak yang sempurna kepada orang-orang yang dekat dan orang-orang
yang jauh.[1]
Dasar
dari hadits adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam kepada
Hindun binti ‘Uqbah sebagai istri Abu Sufyan:
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ
هِنْدُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ
أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ مَا يَكْفِينِي وَبَنِيَّ قَالَ خُذِي بِالْمَعْرُوفِ
Dari Aisyah radhiallahu
‘anhuma, Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, datang menemui Rasulullah
saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang
lelaki yang kikir, dia tidak pernah memberikan nafkah kepadaku yang dapat
mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali apa yang aku ambil dari hartanya
tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena itu? Rasulullah saw.
bersabda: Ambillah dari hartanya dengan cara yang baik yang dapat mencukupimu
dan mencukupi anak-anakmu. HR. Bukhari dan Muslim.
Maksud
dari hadits ini adalah bahwa Hindun diperbolehkan untuk mengambil harta Abu
Sufyan dengan syarat بِالْمَعْرُوفِ (tata
cara yang baik) yaitu boleh mengambil secara wajar untuk kebutuhannya dan
keluarganya. Pengambilan secara wajar tidak disebutkan nominalnya oleh Nabi
karena kebutuhan hidup tentu berbeda-beda antara satu orang dengan yang
lainnya. Hanya saja beliau juga sudah mengetahui bahwa Hindun akan mengambil
sesuai dengan kebutuhannya. Imam al-Qurtubi berpendapat bahwa hadits ini
sebagai dalil tindakan Nabi yang membolehkan menggunakan ‘urf sebagai
pertimbangan hukum.
Selanjutnya sebuah riwayat mauquf dari
Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda:
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ
حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
Apa saja yang dipandang baik oleh ummat
Islam, maka hal itu juga baik menurut Allah. HR. Ahmad.
Rasulullah dalam
riwayat ini menjelaskan bahwa Allah akan melegalisir apa saja yang dianggap
baik oleh manusia. Ini mengindikasikan bahwa jika ‘urf dipandang baik oleh
ummat Islam, berarti akan dianggap sebagai hukum di sisi Allah ta’ala. Di
samping itu mustahil hal-hal yang tidak baik dan keji akan dianggap sebagai
sesuatu yang baik dalam pandangan manusia khususnya ummat Islam. Sehingga umat
Islam akan senantiasa memilih sesuatu yang baik bagi dirinya dan bagi umatnya.
Kaidah Fiqhiyyah yang
dirumuskan oleh para fuqaha diantaranya adalah:
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan
sebagai hukum
اِسْتِعْمَالُ
النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ الْعَمَلُ بِهَا
Perbuatan manusia yang telah tetap
dikerjakannya wajib beramal dengannya
التَّعْيِيْنُ بِالْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّاصِ
Menentukan dengan dasar
'urf, seperti menentukan dengan berdasarkan nash.
Kaidah-kaidah ini
menjadi dalil bahwa ‘urf atau adat dijadikan pertimbangan dalam
penetapan hukum Islam. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara adat dan urf
dalam kaidah ini.
[1] Abdurrahman
bin Nashir As-Sa’di, Taisir Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan (Kuwaiat:
Jam’iyyah Ihya At-Turats Al-Islami, tahun 2008), hlm. 313.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...