Oleh: Abdurrahman Misn BP
Teori ‘Urf sebagaimana
disebutkan para ahli hukum Islam sejatinya telah dilaksanakan sejak zaman Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, beberapa hukum yang ditetapkan oleh
beliau, sebelumnya telah ada pada masyarakat Arab waktu itu. Demikian pula para
shahabat nabi telah menetapkan berbagai hukum Islam dengan pertimbangan ‘urf
yang berlaku di suatu masyarakat. Umar bin al-Khattab telah menetapkan
beberapa hukum dengan memperhatikan ‘urf di masyarakat waktu itu.
Abdullah bin Mas’ud menjadi pencetus bagi madzhab ahlu ra’yi di Kuffah
yang sebagian hukum-hukum yang ditetapkannya berdasarkan ‘urf di zamannya.
Ahli hukum Islam (fuqaha)
yang menggunakan ‘urf sebagai dasar pertimbangan hukum adalah Imam Malik
bin Anas yang menjadikan a’mal ahlu Madinah sebagai salah satu dasar
penetapan hukum dalam madzhabnya.[1]
Selain itu Abu Hanifah adalah fuqaha yang banyak menetapkan hukum dengan
dasar ‘urf di masyarakat. Sementara Imam Syafi’i telah banyak merubah
fatwa-fatwanya setelah berhijrah dari Baghdad ke Mesir dengan pertimbangan ‘urf
yang berlaku di tempat baru tersebut.[2] Sementara
Imam Ahmad bin Hambal menggunakan metode istihsan di mana salah satunya
menggunakan ‘urf sebagai pertimbangan hukumnya.
Para fuqaha generasi berikutnya mengkaji
lebih mendalam mengenai teori ‘urf, diantaranya adalah Ibnu Nujaim yang
menyatakan:
وَاعْلَمْ أَنَّ اعْتِبَارَ الْعَادَةِ وَالْعُرْفِ
يُرْجَعُ إلَيْهِ فِي مَسَائِلَ كَثِيرَةٍ حَتَّى جَعَلُوا ذَلِكَ أَصْلًا
Ketahuilah
sesungguhnya adat dan ‘urf menjadi salah satu referensi dalam fiqih
Islam untuk memecahkan berbagai macam persoalan sehingga menjadi salah satu
sumber hukum.[3]
Menguatkan pendapat
sebelumnya Imam al-Sarakhsi berpendapat:
الثَّابِتُ بالعرفِ كالثابت
بالنصِّ
Hal-hal yang ditetapkan ‘urf sama
kedudukannya dengan hal-hal yang ditetapkan oleh nash.
Demikian
pula Imam al-Suyuti dari Madzhab Syafi’i mencatat dalam kitabnya:
أن اعتبار العادة والعرف رُجِعَ إليه في الفقه
في مسائل لا تُعَدُّ كثرة
Bahwa adat dan
urf merupakan sumber hukum yang bisa memecahkan dalam berbagai persoalan, diantaranya
masalah Haidh masalah batas dewasa dll.[4]
Lebih
tegas lagi perkataan Imam al-Qarafi dalam pandangannya terhadap sikap yang
diambil oleh mujtahid ketika menerbitkan hukum, ”Sesungguhnya tindakan
memberlakukan hukum berdasarkan adat yang berubah-ubah adalah bertentangan
dengan ijmak dan dianggap berlaku bodoh terhadap agama -bukannya demikian-,
melainkan ketentuan hukum syariah harus disesuaikan dengan adat/ urf yang
berubah-ubah tersebut. Syihabuddin
al-Qarafi berpendapat:
بالنظر الدقيق
فى العرف و أمثلته و ما قال الأصولييون و الفقهاء فيه يتبين أنه ليس دليلا مستقلا
بشرع الحكم فى الواقعة بناء عليه و إنما هو دليل يتوصل به إلى الفهم المراد من
عبارات النصوص و من ألفاظ المتعاملين و إلى تخصيص العام و تقييد المطلق
Dengan
mempelajari dengan seksama dalam maslah ‘urf, contoh-contohnya, apa yang
dikatakan oleh para ahli Ushul Fikih dan Fikih, akan menjadi jelas bahwa dalam
suatu perkara, ‘urf itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri dari syari’at,
hukumnya tidaklah berdasarkan ‘urf itu sendiri akan tetapi hanya dalil yang akan
mengantarkan kita untuk bisa memahami maksud yang diingini oleh redaksi-redaksi
nash dan maksud dari perkataan orang-orang yang terlibat di dalamnya, juga
menjadi pengkusus bagi dalil yang umum dan pengikat bagi dalil yang mutlaq.
Senada
dengan ini apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitabnya I`lamul
Muwaqqi’in:
وَمَنْ
أَفْتَى النَّاسَ بِمُجَرَّدِ الْمَنْقُولِ فِي الْكُتُبِ عَلَى اخْتِلَافِ عُرْفِهِمْ
وَعَوَائِدِهِمْ وَأَزْمِنَتِهِمْ وَأَمْكِنَتِهِمْ وَأَحْوَالِهِمْ وَقَرَائِنِ أَحْوَالِهِمْ
فَقَدْ ضَلَّ وَأَضَلَّ
Sesungguhnya
orang yang berfatwa hanya berdasarkan dalil naqli dan bertentangan dengan
tradisi, urf, situasi, dan kondisi masyarakat maka berarti dia telah berlaku
sesat dan menyesatkan.[5] Ia
juga mengatakan bahwa Madzab Hambali dalam berbagai fatwa fiqihnya tidak kurang
100 masalah khususnya dalam bidang muamalat merujuk kepada ‘urf.
Sebagaimana madzab Syafi’i juga cukup memiliki perhatian besar dalam
menggunakan urf sebagai sumber hukum.
Berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas fuqaha
sepakat tentang kedudukan ‘urf sebagai sumber hukum. Pada konteks ini
Madzab Maliki dianggap sebagai madzab yang paling dominan menggunakannya dalam
ijtihad hukum fikihnya, dibanding dengan madzab-madzab yang lain, hal itu
dikarenakan pertama madzab Maliki meletakkan kemaslahatan sebagai pilar
terbesar dalam ijtihadnya, kedua ‘urf yang shahih merupakan amalan yang
berpangkal pada kemaslahatan oleh sebab itu madzhab Maliki lebih mendahulukan
urf atas analogi (qiyas).
[1] Ahmad Fahmi
Abu Sinnah, Al-‘Urf Wal ‘Adah fi Ra’yil Fuqaha, (Mesir: Mathba’ah
Al-Azhar, tahun 1947), hlm. 28.
[2] Jaih Mubarak, Modifikasi
Hukum Islam: Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta : Rajagrafindo
Persada, 2002), hlm. 10.
[3] Zainudin bin
Ibrahim Ibnu Nujaim, al-Asybah Wa Nadzair, hlm. 101.
[4] Imam
As-Suyuti, al-Asybah wa Nadzair, hlm. 90.
[5] Ibnu al-Qayyim
Al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqi’in,hlm. 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...