Oleh: Ummuza Shaliha
Apresiasi positif dan acungan jempol layak untuk mereka yang telah
menjatuhkan pilihannya pada kampus islami sebagai sarana menimba ilmu.Satu nilai plustelah
mereka genggam. Bagaimana tidak? Di tengah menjamurnya perguruan tinggi di
Indonesia dengan beragam keunggulan prestasi, fasilitas, dan teknologi yang
menggiurkan baik negeri maupun swasta, mengapa lebih memilih “Kampus Bersyari’ah”? Padahal secara
logika, semua adab perilaku dan cara berpikir para penghuni kampus tersebut
akan sangat dibatasi oleh aturan yang tidak dapat diganggu gugat sebab
berlandaskan dalil syar’i yang bersumber dari sang Maha Pencipta yakni
al-Qur’an dan as-Sunnah. Tidak lain, hanya mereka yang memang memiliki
kecenderungan akan sifat taat dan peduli akan syari’at sajalah, yang rela
menceburkan dirinya di lingkungan kampus yang siap mengaturnya dengan beragam
nilai keislaman. Sesuatu yang patut disyukuri, di tengah kemerosotan nilai
moral negeri ini, ternyata masih ada golongan pembelajar yang memikirkan
perbaikan diri dan umat dengan menghabiskan masa yang tidak singkat untuk
berkutat di dunia kampus berlandaskan syari’ah.
Fakta empiris yang terlihat di lapangan, bahwa ternyata
mahasiswa yang memasuki dunia kampus bersyari’ah berasal dari latar belakang
kehidupan yang sangat beragam. Mulai dari “anak gaul”, santri pondok pesantren,
karyawan swasta, guru, pedagang, orang kampung, orang kota, bujangan, sudah
menikah, dan lain sebagainya. Mereka akan digodok dengan siraman ilmu-ilmu syar’i sesuai dengan program studi yang telah
dipilih. Sebagian mahasiswa ada yangmemang telah mengantongi pemahaman dasar
tentang kaidah islamsejak sebelum memasuki dunia kampus atau bahkan sudah
istiqomah mengamalkannya, sedangkan sebagian yang lain mungkin akan menemui
banyak hal baru yang belum pernah diketahui sebelumnya. Apapun keadaan mereka,
“menelan” setiap wejangan syar’i adalah keharusan. Menjadikonsekuensi logis,
bila mahasiswa akanbersiap menuruti dan mengamalkan apa yang telah dikajinya, termasuk atas hal-hal yang
terasa berat sekalipun. Sebab kampus bersyari’ah berjalan sesuai dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah, tak ada alasan sedikitpun bagi penimba ilmunya untuk
membantah. Bukankah memilih kampus bersyari’ah bertujuan untuk
mendalami ilmu keislaman, mengamalkan, dan mendakwahkannya? Subhaanallah, sebuah program hidup yang
luar biasa.
Dilihat sebagai sebuah proses, sistem pendidikan tinggi
memiliki empat tahapan pokok, yakni: Input(masukan), Process (proses), Output(keluaran), danOutcome (hasil ikutan). Keempat hal
tersebut dapat menjadi tolok ukur kualitas dari sebuah kampus atau perguruan
tinggi. Lalu di manakah letak dan peran mahasiswa dalam keempat tahapan pokok
tersebut? Rupanya, mahasiswa berperan sebagai input atau masukan. Lalu mahasiswa pula yang akan menjalankan
proses, kemudian menjadioutput, dan berbuah
income. Dengan kata lain, mahasiswa
memiliki peran di setiap tahapan. Tentu semuanya harus bersinergi dengan
komponen lainnya, yakni: dosen, staf adminstrasi, teknisi, sarana-prasarana, anggaran
dana, kurikulum, manajemen, dan lingkungan. Di sinilah tantangan bagi para
mahasiswa untuk memberikan sumbangsih bagi proyek besar perbaikan generasi dan
penataan kehidupan masyarakat madani yang menjunjung nilai-nilai syar’i. Sebuah
tantangan luar biasa yang tidak ringan, namun harus tetap disambut dengan
semangat pembelajar yang haus akan ilmu, mengamalkan, dan menyebarkannya.
Tantangan apa sajakah yang dimaksud? Tentu saja lagi-lagi tantangan
yang berkaitan dengan implementasi ilmu-ilmu syar’i yang telah dikaji. Mulai
dari cara berpikir, penampilan, tutur kata, dan perilaku, sehingga terbentuklah
profil mahasiswa penegak syari’at, sebagai efek utama bahwa dirinya telah
“dibesarkan” di kampus bersyariah. Lalu profil tersebut akan menjadi suri
teladan bagi masyarakat sekelilingnya. Cara berpikir yang bukan hanya
mengedepankan logika, tetapi berdasarkan pada paparan ayat-ayat al-Qur’an dan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Pola pikir yang benar haruslah berpangkal pada aqidah yang
shohih. Artinya, di kampus berlandaskan syari’ah inilah para mahasiswa akan
memantapkan kekuatan aqidah. Aqidah yang lurus, dan tidak menyimpang, yakni aqidah
yang berprinsip pada 3 (tiga) hal: berserah diri pada Allah dengan bertauhid,
taat kepada Allah, dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik. Aqidah yang
lurus ini selanjutnya akan membuahkan ibadah yang benar, akhlakul karimah, dan
semangat berdakwah dengan bekal keilmuan yang dimiliki.
Selanjutnya, mari sejenak kita menilik fenomena yang nampak
di kehidupan para mahasiswa kampus bersyari’ah saat ini. Kampus yang menyatakan
dirinya sebagai pejuang nilai-nilai islami, yang tersebar di seantero negeri.
Sudahkah para mahasiswa-nya konsisten terhadap apa yang telah menjadi pilihan
mereka? Sudahkah mereka mengamalkan atau setidaknya menerima setiap nasehat
yang didapat melalui jam kuliah yang disampaikan dosen, lalu
mengimplementasikannya dalam keseharian? Sudahkah nilai mata kuliah menjadi cerminan atas perilaku
sehari-hari? Ada yang memang
tersentuh hatinya, lalu serta merta menerapkannya dalam kehidupan. Tidak
usahlah masalah yang terlalu sulit dulu, perkara berbicara yang santun, menjaga
hijab, tidak ikhtilat, tunduk pandangan, dan semisalnya saja, sudahkah
sungguh-sungguh ditanggapi dengan baik dan efektif.
Mengapa perihal interaksi ini perlu disoroti dan dikupas?
Sebab intensitas pertemuan antar mahasiswa maupun dosen yang di dalamnya
terdapat laki-laki dan juga perempuan, sangat rentan menimbulkan fitnah apabila
tidak dijaga. Sudahkah para mahasiswa muslimah membenahi jilbabnya, apabila
memang belum sesuai syari’at? Sangat miris bukan, apabila mahasiswi kampus
bersyari’ah belum menata kembali penampilannya? Bukankah hal ini akan dilihat
langsung oleh mata masyarakat. Ya,
memang semua perlu proses. Tidak serta merta perubahan itu terjadi dalam waktu
singkat. Pemikiran semacam ini memang layak ditanamkan, ketika kita sedang
berusaha husnudzon terhadap orang lain, namun menjadi kurang tepat bila
diberlakukan untuk diri sendiri. Sebab, berpikir bahwa “semua perlu proses” dalam
konteks ini hanya akan menjadi alasan untuk menunda perubahan ke arah lebih baik. Sedang di waktu bersamaan, kita tidak tahu kapan
batas waktu dari setiap nafas kita. Memang perubahan ke arah lebih baik itu tidak semudah
membalikkan telapak tangan, banyak godaan, banyak ujian, dari dalam maupun dari
luar. Akan tetapi, dengan mujahadah dan pertolongan Allaah, insyaa Allaah semua dapat terlalui.
Untuk para ikhwan, sudahkah celana panjangnya berada di atas mata kaki? Sudahkah engkau panjangkan jenggot? Perlukah pertanyaan semacam ini? Bukankah ini perkara
“kecil”? Silakan, bagi yang menganggap contoh Rasulullaah adalah perkara kecil,
maka sebaiknya sempatkan waktu untuk membuka kembali diktat kuliahnya, atau
tambah lagi intensitas kehadirannya di majelis ilmu. Agar tidak ada lagi
perasaan meremehkan syari’at. Ingatlah, bahwa mahasiswa kampus bersyariah
adalah benih teladan bagi keluarga dan masyarakat. Mulai dari perkara ringan
hingga masalah yang berat. Mulai dari masalah jenggot hingga masalah peradaban
dunia. Adakah yang remeh berkaitan dengan ini semua?
Bersinggungan dengan pola interaksi juga, yaitu tentang hijab
atau penutup yang menghalangi interaksi langsung seorang mahasiswa dengan
mahasiswi atau juga dengan dosen. Hijab yang diperlukan ternyata bukan hanya
satu lapis, namun berlapis-lapis.
Lapis pertama adalah rasa malu. Apabila rasa malu sudah
terkikis, maka tirai setebal apapun tidak akan mampu menghalangi timbulnya
khalwat atau ikhtilat yang pada ujungnya akan mengotori hati, menggerogoti iman.
Rasa malu yang merupakan cabang iman hendaknya dijadikan perisai untuk menepis
setiap hawa nafsu yang diboncengi oleh rayuan syaithan. Rasa malu semestinya
menghalangi seorang ikhwan mencuri pandang atas akhwat, begitu pula sebaliknya.
Rasa malu akan menghalangi para akhwat untuk “narsis” dan merasa bangga
menampilkan sosok dirinya dengan murah dan gratis di depan publik,
baik di dunia nyata maupun dunia maya (internet). Sebab muslimah shalihah adalah
perhiasan, tidak ditampakkan pun sudah indah, mengapa harus dipajang di hadapan
umum yang justru akan mengurangi kehormatannya. Maasyaa Allaah.
Hijab lapis kedua adalah perasaan diawasi oleh Allaah.
Apabila manusia senantiasa dalam keadaan sadar bahwa dirinya selalu dalam Pengawasan
Allaah, maka ia tidak akan berani bercurhat ria,saling berbagi sapa (melalui
sms, telpon, facebook, twitter, dan lain-lain) dengan yang bukan mahramnya.Tidak
akan berani mengunduh foto wanita ajnabi dari internet atau sejenisnya, lalu
dijadikan koleksi pribadi yang sewaktu-waktu dapat dipandangi. Memang, sekilas
tampak tidak ada yang melihat, tapi sungguh Allaah Maha Melihat, dan semua akan
dimintai pertanggungjawaban.
Barulah hijab lapis ketiga adalah tirai/gorden/kain/tembok
atau sejenisnya yang dapat menghalangi pandangan mata tertuju ke mata atau
fisik bukan mahram lainnya. Membagi kelas menjadi dua ruangan bersekat adalah
sesuatu yang pantas ditiru. Sehingga ikhwan-akhwat tidak bercampur baur. Begitu
juga dengan dosen, semestinya turut menjaga yang demikian, sebab ia lebih
memahami perihal syari’at. Sebab dosen adalah teladan bagi mahasiswanya.
Benteng diri berupa kekokohan iman
dan siraman ilmu syar’i yang setiap hari dipelajari,insyaa Allaah akan terus menggiring mahasiswa untuk bermuhasabah
dan meningkatkan kualitas diri. Mewujudkan kampus syar’i berkualitas. Merealisasikan
ilmu yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari. Menularkannya pada masyarakat
awam yang melihat dan mengenalnya. Sehingga apa yang dicita-citakan akan
tercapai sesuai jalur syar’i.
Sekilas cuplikan fenomena ini, semoga
dapat dapat menjadi cambuk bagi kita semua, menjadi sedikit pengingat tentang
pentingnya menjaga interaksi dan izzah sebagai mahasiswa kampus bersyari’ah. Tidak
menunda perubahan positif, tidak meremehkan syari’at. Pandanglah
sebuah nasehat atau kritikan sebagai masukan positif, sebagaimana obat yang
menyehatkan walaupun pahit. Jangan menjadikan nasehat sebagai bentuk penilaian
yang memojokkan, prasangka buruk, dan semisalnya. Jangan beralasan bahwa
“bicara memang gampang”, sehingga kita terbiasa menolak nasehat. Bukankah
menolak nasehat yang berisi kebenaran merupakan bentuk kesombongan. Dan sombong
menjadi penghalang atas surga. Yang menulis ini pun tidaklah sempurna, namun
sedang belajar menyampaikan dan menjadi nasehat bagi diri sendiri pula.
***
Penulis:
Ummuza Shaliha
Seorang ibu rumah tangga dari dua
anak perempuan (usia 4 tahun dan 7 tahun). Lahir pada 29 September 1984 di
Gunungkidul, Yogyakarta. Sempat belajar di Pendidikan Fisika Universitas Negeri
Yogyakarta pada tahun 2003-2009. Aktivitas saat ini adalah menemani anak-anak
sekitar rumah untuk belajar bersama di Takaza
Creative Learning Center, rumah belajar milik sendiri bersama suami di
Kota Bogor.