KEMUNCULAN
DINASTI FATIMIYAH DAN SYIAH ABAD X
A. PENDAHULUAN
Perjalanan
sejarah peradaban Islam telah menuliskan bahwa dinasti Fatimiyah sebagai salah
satu dinasti Islam pada abad X telah membuat prestasi yang gemilang dalam
sejarah peradaban di dunia Islam. Dinasti Fathimiyah yang didirikan oleh
Ubaidillah al-Mahdi, cucu Ismail bin Ja’far al-Shidiq ini tergolong ke dalam
pengikut Syi’ah Ismailiyah. Ismailiyah adalah salah satu sekte Syi’ah yang
mempercayai bahwa Ismail merupakan imam ketujuh, setelah Imam Ja’far al-Shadiq.
Pusat pemerintahan semula
berada di Tunisia dengan ibukota Qairuwan (909-971 M.), kemudian pindah ke
Kairo, Mesir (972-1171 M.). Dinasti ini merupakan dinasti Syi’ah Isma’iliyah
yang pertama kali lahir, diiringi lahirnya Dinasti Bani Buwaih (932 M.) di
Baghdad, dan belakangan Kerajaan Safawi (1501 M.) di Persia.
Meskipun pada saat
munculnya dinasti Fatimiyah menjadi rival Dinasti Bani Abbas di Baghdad maupun
Dinasti Bani Umayyah di Spanyol, Dinasti Fathimiyah membuktikan prestasinya
yang luar biasa kepada sejarah Islam di masa klasik. Hal ini juga menunjukkan
bahwa pusat peradaban Islam klasik, bukan saja di Baghdad, Spanyol, dan
Samarkand, tetapi juga di Mesir di bawah kepemimpinan Syi’ah.
Berangkat dari pemikiran
itulah, makalah sederhana ini mencoba mengkaji lebih detail tentang
keberhasilan kelompok syi’ah dalam membentuk kepemerintahan dinasti Fatimiyah,
pola kebijakan politik yang dianutnya dan dampaknyan bagi pengembangan
peradaban Muslim, dan kajian akhir adalah kemunduran dan berakhirnya dinasti
Fatimiyah ini.
B. PEMBAHASAN
1. 1. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah.
Fatimiyah
adalah dinasti Syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khilafah atau Imam di Afrika Utara
(909 – 1171). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syi’ah keturunan Ali bin
Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad saw). Kata fatimiyah dinisbatkan
kepada Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah Az
Zahra binti Rasulullah. Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Daulah Ubaidiyah
yang dinisbatkan kepada pendiri dinasti yaitu Abu Muhammad Ubaidillah al Mahdi
(297-322). Orang-orang Fatimy juga disebut juga kaum Alawy, yang dihubungkan
dengan keturunan Ali bin Abi Talib.
Dinasti ini mengklaim
sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali Ibn Abu Thalib dan Fathimah
binti Rasulillah.Menurut mereka, Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini
merupakan cucu Isma’il Ibn Ja’far al Shadiq.Sedangkan Ismail merupakan Imam
Syi’ah yang ketujuh.
Setelah
kematian Imam Ja’fah al-Shadiq, Syi’ah terpecah menjadi dua buah
kelompok.Kelompok pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti
Imam Ja’far, sedang satu kelompok lainnya mempercayai Ismail Ibn Muhammad
al-Maktum sebagai Imam Syi’ah ketujuh.Kelompok Syi’ah kedua ini dinamakan
Syi’ah Isma’iliyyah. Syi’ah Ismailiyyah tidak menampakkan gerakannya secara
jelas[3] hingga muncullah Abdullah Ibn Maymun yang membentuk Syi’ah
Isma’iliyyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Hal ini merupakan
ekses dari dari kekecewaan golongan Isma’iliyah terhadap Bani Abbas atas
kerjasamanya merebut kekuasaan Bani Umayah. Seteleh perjuangan berhasil, dan
Bani Abbas berkuasa, sedikit demi sedikit mereka disingkirkan
Melihat kenyataan politik yang tidak pernah
menguntungkan, kelompok Syi’ah yang dipimpin oleh abdullaah ibn Maymun merubah
gerakannya sebagai sebuah system gerakan politik keagamaan, dimana semula
Ismai’liyah tidak pernah menampakkan sebagai gerakan yang jelas. Ia
berjuang mengorganisir propaganda Syiah Isma’iliyyah dengan tujuan menegakkan
kekuasaan Fatimiyyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru
wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Isma’iliyyah. Kegiatan ini
menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fathimiyah di Afrika dan kemudian
berpindah ke Mesir.
Sebelum kematian Abdullah
Ibn Maymun pada tahun 874 M., ia menunjuk pengikutnya yang paling bersemangat
yakni Abu Abdullah al-Husayn sebagai pimpinan gerakan Syi’ah Ismailiyah. la
adalah orang Yaman dan sampai dengan abad kesembilan ia mengklaim sebagai
gerakan wakil al Mahdi. Ia menyebrang ke Afrika Utara, dan berkat propagandanya,
ia berhasil menarik simpatisan suku Barbar, khususnya dari kalangan suku
Khitamah. Pada saat itu penguasa Afrika Utara, Ibrahim ibn Muhammad, berusaha
menekan gerakan Isma’iliyah ini, namun usahanya sia-sia.Ziyadatullah, putra dan
sekaligus pengganti Ibrahim ibn Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.
Setelah
berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah al-Husayn menulis
surat kepada Imam Isma’iliyyah, Said Ibn Husayn al Salamah agar menggantikan
kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi gerakan Isma’iliyah. Said mengabulkan
undangan tersebut, dan ia memproklamirkan dirinya sebagai putra Muhammad
al-Habib, seorang cucu Imam Isma’il. Setelah berhasil merebut kekuatan
Ziyadatullah, ia memproklamirkan dirinya sebagai pimpinan tertinggi gerakan
Isma’iliyyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunis, pusat
pemerintahan dinasti Aghlabi, pada tahun 909 M., dan sekaligus mengusir
penguasa Aghlabi yang terakhir, yakni Ziyadatullah. Sa’id kemudian
memproklamirkandiri sebagai imam dengan gelar “Ubaydullah al-Mahdi”.
Dengan demikian
terbentuklah pemerintahan dinasti Fathimiyah di Afrika Utara dengan al-Mahdi
sebagai khalifah pertamanya.
1. 2. Khalifah-khalifah Dinasti Fatimiyah;
Perkembangan Politik Dan Pemerintah.
Wilayah
kekuasaan Fathimiyah meliputi Afrika Utara, Sicilia, dan Syria.Wilayah ini
sebelumnya merupakan wilayah dari Dinasti Bani Abbas, Dinasti Bani Umayyah di
Spanyol, dan Dinasti Aghlabiyah di Maroko.Dengan demikian, wilayah ini sangat
luas, dari Yaman sampai laut Atlantik, Asia Kecil dan Mosul.Untuk mengetahui
upaya-upaya yang ditempuh para khalifah dalam memperluas wilayah politik dan
pemerintahanya.Berikut para khalifah dinasti Fatimiyah disarikan dari tulisanya
Moh. Nurhakim (Sejarah dan Peradaban Islam; 2003)
Al-Mahdi (909-934 M.) memperluas wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika yang terbentang
dari perbatasan Mesir ke wilayah Fes di Maroko. Pada 910 M. ia menguasai
Alexandria, kemudian juga kota-kota lainnva seperti Malta, Syria, Sardina,
Corsica, dll. Ia juga ingin menaklukkan Spanyol dari kekuasaan Bani Umayyah.
Karenanya, ia bekerjasama dengan Muhammad ibn Hafsun, pimpinan oposisi di
Spanyol. Namun, ambisi itu belum tercapai sampai ia meninggal pada 934 M.
Al-Qaim (934-949 M), putra AI-Mahdi, mengadakan perluasan ke selatan Pantai Perancis
pada 934 M. Di sana ia berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai
Calabria. Saat itu pula ia mengirim pasukan ke Mesir, tetapi gagal dan diusir
oleh Dinasti Ikhsidiyah dari Alexandaria. Ia dapat menghalau berbagai serangan
dari `pemberontak Khawarij yang dipimpin Abu Yazid, meskipun pada 946 M.
meninggal dunia bertepatan dengan terjadinya pemberontakan Abu Yazid di Susa’.
Anaknya, Al-Mansur menggantikanya dan mendirikan kota Al-Mansuriyah yang megah
di wilayah perbatasan Susa’. Ia mampu mempertahankan prestasi ayahnya dalam
mengamankan seluruh wilayah Afrika di bawah kekuasaan Fatamiyyah, meskipun
berbagai serangan dari Khawarij terus dilancarkan.
Mu’iz (965-975 M.), putra Al-Mansur, adalah khalifah Fathimiyah yang paling besar.Ia
berhasil membawa rakyat damai dan makmur, di samping wilayahnya yang semakin
dapat diperluas. Setelah melakukan konsolidasi ke dalam, hingga mendapatkan
pengakuan sukses dari rakyat, ia baru melakukan perluasan wilayah. Tidak lama
ia dapat menguasai Maroko dari Bani Umayyah di Spanyol dengan pimpinan panglima
Jauhar al-Shaqilli, selanjutnya ia mengutus Hasan ibn Ali merebut wilayah
pantai Spanyol, tetapi justru Abdurrahman III dari Spanyol menyerbu wilayah
Susa’. Sementara Romawi memanfaatkan situasi dengan menyerbu Crete pada 967 M.
yang semula dikuasai oleh Islam sejak AI-Makmun. Namun, Fathimiyah berhasil
nengambil Sicilia dari kekuasaan Bizantine, kemudian membangun Universitas
kedokteran yang sama besarnya dengan universitas-universitas di maupun Cardova.
Prestasi
politik muiz yang paling besar adalah penaklukkan Mesir. Penaklukkan kota
Fusthat tanpa perlawanan berarti pada 969 M. oleh panglima Jauhar al-Shaqili.
Jauhar segera membangun kota ini menjadi kota baru dengan nama Qahirah (Kairo).
Sejak 973 kota ini dijadikan ibukota Fathimiyah. Selanjutnya, Mu’iz mendirikan
masjid Al-Azhar yang kemudian beralih menjadi Universitas Al-Azhar yang
berkembang hingga sekarang. Universitas
ini dinilai sebagai universitas tertua di dunia dan paling berpengaruh di dunia
Islam.
Al-Aziz (975-996 M.), putra Mu’iz, adalah khalifah yang paling bijaksana dan pemurah,
sehingga mampu membawa rakyat lebih makmur.la menekankan adanya perdamaian
antara pengikut agama, baik Islam maupun Kristen, sehingga salah satu wazirnya
beragama Kristen, yaitu Isa bin Nastur. Ia sberhasil membawa Fathimiyah pada
puncak kemajuan yang mengungguli Bani Abbas di Baghdad saat itu. Bangunan megah
ia dirikan di Kairo seperti The
Golden Palace, The Pearl Pavillion, dan
Masjid Karafa, serta Masjid Akademik Al-Azhar diresmikan.
Salah-satu kebijakan
al-Aziz yang membawa akibat yang cukup fatal adalah penarikan orang Turki dan
Negro sebagai basis pasukan militer.Hal ini dimaksudkan untuk menandingi
kekuatan Barbar.Ketika kelompok Barbar mulai menguasai jajaran militer,
terjadilah persaingan antar ras di tubuh militer Fatimiyyah yang pada
gilirannya jadi salah salah satu factor kemunduran Fatimiyyah.Pada masa-masa
belakangan militer Turki semakin besar kekuatannya dan ketika kekuatan
Fatimiyyah mulai melemah, unsur-unsur militer mendirikan dinasti-dinasti yang
merdeka.
Al-Aziz meninggal pada
tahun 386 H/996 M. dan bersamaan dengan ini berakhirlah kejayaan dinasti
Fatimiyyah.
Al-Hakim (996-1021 M.), putra Al-Aziz, diangkat menjadi khalifah ketika berusia sebelas
tahun.Oleh karenanya, pemerintahan sangat dipengaruhi oleh gubernur
Barjawan.Akhirnya, pemerintahan tidak stabil, kekerasan berlangsung, dan tak
dapat dihindarkan konflik dengan umat Kristen dan Yahudi yang merasa hak-haknya
dipersempit.Ia menyelesaikan pembangunan Dar
Al-Hikmah, sebagai
pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai sarana
penyebaran teologi Syi’ah.
Al-Zahir (1021-1036 M.), putra Al-Hakim, ia diangkat menjadi khalifah pada usia enam
belas tahun, sehingga pemerintahan disetir oleh bibinya, Sitt al-Mulk. Setelah
sang bibi meninggal, ia dijadikan boneka oleh para menterinya. Karena musibah
banjir, rakyat menderita kekurangan pangan, sedang harga barang tidak lagi
terjangkau.Ia pernah mengusir sekelompok tokoh mazhab Maliki dari Mesir karena
persengketaan keagamaan di tahun 1025 M. Tetapi, pada dasarnya Al-Zahir
mempunyai toleransi terhadap Sunni dan Kristen.
Al-Mustanshir (1036-1095
M.), putra
Al-Zahir, ia memerintah paling lama, 61 tahun. Masa pemerintahannya yang
pertama sepenuhnya di tangan ibunya, sebab sewaktu dinobatkan ia masih berumur
tujuh tahun. Padamasanya, pemerintahan Fathimiyah mengalami kemunduran yang
drastis. Demikian pula para khalifah setelahnya, Al-Musta’li, Al-Amir,
Al-Hafiz, Al-Zafl, Al-Fa’iz dan Al Azid, tidak mampu lagi membawa
pemerintahannya untuk kembali seperti semula. Rata-rata mereka dinobatkan masih
berusia sangat muda, sehingga pemerintahan disetir oleh pihak lain. Khalifah
terakhir Al-Azid berhasil diturunkan dari tahtanya oleh Shalahuddin al-Ayyubi
pada 1171 M. Maka, berdirilah kemudian Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
Urutan
Nasab Khalifah Dinasti Fatimiyah
1.3. Prestasi Dinasti Fatimiyah dalam Pengembangan
Peradaban Islam.
1. Prestasi di bidang sains dan kebudayaan.
Dinasti Fatimiyyah di
Mesir dapat dikatakan mengungguli prestasi Bani’Abbas di Baghdad dan Bani
Umayyah di Spanyol pada saat yang sama, terutama prestasi dalam bidang ilmu
pengetahuan (sains). Pengembangan sains di sana bermula dari tradisi yang
berhasil dirintis oleh khalifah Al-Aziz. Ia adalah seorang sastrawan yang
mempunyai perhatian besar dalam bidang sains, seperti Al-Makmun di Bani Abbas.
Tidak heran jika istana dijadikan sebagai pusat kegiatan keilmuwan, tempat
diskusi para ulama, fuqaha, qurra, nuhat, ahli hadis dan para pejabat yang ikut
juga terlibat di dalamnya.Sebagian para pejabat dan pegawai terdiri dari para
ilmuwan dalam berbagai disiplin i1mu.
Al-Aziz memberi gaji yang
besar kepada para pengajar, sehingga banyak para ulama besar pindah dari
Baghdad ke Kairo.Al-Azhar dijadikan pusat studi ilmu-ilmu dari berbagai
disiplin ilmu. Di samping Al-Azhar, pada 1005 M. Al-Hakim mendirikan Dar al-Hikmah, sebagai
pusat studi pada tingkat tinggi, di dalamnya dilakukan diskusi, penelitian,
penulisan dan penerjemahan, serta pendidikan.
Pada
masa ini muncul sejumlah ulama besar, diantaranya; Muhammad al-Tamimi (ahli
fisika dan kedokteran), Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat), al-Nu’man (ahli
hokum dan menjabat sebagai hakim), Ali Ibn Yunus (Ahli Astronomi), Ali
al-hassan Ibn al-Khaitami (Ahli fisika dan optik).
Sektor pertanian sangat
digalakkan, karena tanah negeri Mesir sangat subur berkat aliran sungai Nil
yang sangat melimpah. Karenanya, sistem pengairan melalui perbaikan irigasi dan
kanal-kanal dapat meningkatkan produktivitas pertanian: gandum, kurma, kapas,
bawang putih dan merah, serta kayu-kayu hutan untuk industri kapal-kapal dagang
dan perang.
Dari sektor industri dan
perdagangan, Mesir tekenal dengan hasil tenunan, kain sutra, wol dan sebagainya
yang diekspor ke Eropa. Selain textil, dibangun pula industri kristal, keramik,
kerajinan tangan, serta tambang besi, baja dan tembaga. Dengan dibangunnya
armada laut yang tangguh serta kapal-kapal dagang, maka sektor perdagangan pun
sangat maju.Kota Fusthat, Kairo, Qaus, dan Dimyati menjadi pusat perdagangan di
Mesir. Iskandariyah adalah kota pelabuhan internasional yang menjadi tulang punggung
dan pusat pertemuan kapal-kapal dagang Barat dan Timur. Pajak dari sektor
perdagangan ini menjadi andalan utama bagi pemasukan dan penunjang ekonomi
negara.
Tradisi
yang terbangun dalam dinasti Fatimiyah ini, doktrin Syi’ah begitu kental.Mereka
mengadakan hari-hari perayaan, termasuk hari perayaan kaum syi’ah seperti
Maulud Nabi, hari jadi sayyidina Hassan dan Husein serta hari jadi Siti
Fatimah.Pada malam hari perayaan ini semua masjid dinyalakan lampu dan tilawah
turut diadakan di masjid-massjid.
1. Kebijakan Politik dan Doktrin Keagamaan.
Ketika al-Muiz berhasil
menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat madzhab fikih; Maliki, Hanafi,
Syafi’I, dan Hanbali.Sedangkan al-Muiz mmenganut faham Syi’ah. Oleh karena itu,
al-Muiz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengangkat hakim dari kalangan sunni
dan syi’ah. Akan tetapi, jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama’
syi’ah; dan sunni hanya menduduki jabatan-jabatan penting rendah.
Pada
tahun 379 M, semua jabatan diberbagai bidang – politik, agama dan militer –
dipegang oleh Syi’ah. Oleh karena itu, sebagian pejabat Fatimiyah yang sunni
beralih ke Syi’ah supaya jabatannya meningkat.
Doktrin Imamah bagi
Syi’ah yang dikembangkan oleh pemerintahan syi’ah tidak hanya berkonotasi
theologi, tetapi juga berdimensi politis. Para pengikut Syi’ah berpendirian
bahwa jabatan Imamah (Khilafah di kalangan Sunni) merupakan hanya Ahl al-Bait,
yakni keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Oleh karenanya, mereka tidak
mau tunduk pada pemerintahan para khalifah tersebut. Selain itu, mereka tidak
pernah berhenti memperjuangkan apa yang mereka anggap sebagai haknya itu
melalui berbagai jalan termasuk pemberontakan dan peperangan. Berdirinya
Dinasti Bani Fathimiyah di Mesir ini juga antara lain dilatarbelakangi oleh doktrin
di atas.
Pemerintahan
Fathimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat
keagamaan.Dalam arti bahwa hubungan-hubungan dengan agama sangatlah kuat,
simbol-simbol keagamaan, khususnya.Dalam hubunganya dengan keluarga Ali, sangat
ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan. Seperti dinyatakan oleh Moh Nurhakim
(2003;106-107)[12]bahwa
Fatimiyah membangun masjid-masjid., seperti Al Azhar dan Al Hakim, dengan
menara serta kubahnya vang menjulang bagaikan ketinggian para Imam, dan
mengingatkan terhadap kota suci Makkah dan Madinah Sebagai suatu cara
memuliakan terhadap khalifah karena kesungguhannya dalam berbakti kepada Tuhan.
Selain itu, menurut Nur
Hakim, memuliakan terhadap Imam yang hidup disejajarkan dengan memuliakan
terhadap kalangan Svuhada’ dari keluarga Nabi. Fatimiyah membangun sejumlah
makam keluarga Ali, seperti makam Husein di Mesir, dalam rangka meningkatkan
peziarah serta memberi kesan mendalam kepada masyarakat atas tempat-tempat suci
dan keramat. Maka, pada 1153 M. kepala Husein, yang dipenggal dalam peperangan
melawan Yazid bin Muawivah, dipindahkan dari Ascalon ke Kairo, lalu di
bangunlah makam Sayyaidina Husein yang sekarang disebut perkampungan Husein.
Salah satu doktrin
keimaman yang lain adalah bahwa Imam mesti dijaga oleh Allah dari
kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh manusia biasa. Selanjutnya,
doktrin ini bisa dimanfaatkan oleh para khalifah untuk membuat legitimasi
keagamaan pada dirinva. MisaInva, Ubaidillah Al Mahdi, pendiri Fatimiyah,
adalah gelar dari Said bin Husain al-Salamiyah, sekaligus dengan gelar ini dia
menyatakan diri sebagai Imam dari Syi’ah Isma’iliyah. Dengan gelar ini, maka
setidaknya akan menimbulkan kesan umum bahwa sang kholifah adalah seorang imam
yang terjaga dari kesalahan-kesalahan fatal.
Imam dalam doktrin Syiah
juga bersifat messianistik (Mahdiisme), yakni, ia dipahami sebagai figur
penyelamat di kala suatu bangsa yang mengalami keadaan konflik yang
berkepanjangan yang tak terselesaikan.
Sebagai akibat dari
doktrin-doktrin Syi’ah, maka pemerintahan Fathimiyah mempunyai corak yang
militan, khususnya di masa awal kemunculannya.Usaha para pemimpin Syi’ah yang
kemudian diwakili oleh Ubaidillah untuk mewujudkan dinasti Fathimiyah dilakukan
di bawah tanah dalam waktu yang panjang dengan penuh militansi.Selanjutnya,
pemerintahannya bercorak keagamaan, dalam arti penggunaan simbol-simbol ritus
maupun mitos dalam agama sangatlah kental.Untuk memperoleh dukungan rakyat,
make khalifah sering menggunakan simbol-simbol keagamaan.Hal yang terakhir ini
juga membawa pengaruh kepada corak kebuday’aannya yang religius.
1. Kemunduran dan akhir Dinasti Fatimiyah.
Melihat
perjalanan dinasti Fatimiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran dinasti
Fathimiyah merupakan akumulasi dari masalah-masalah yang bermunculan khususnya
di masa paruh kedua, di mana suatu faktor dapat menyebabkan faktor-faktor yang
lain. Secara ringkas, di antara faktor-faktor yang paling menonjol adalah
sebagai berikut[13]:
Pertama, melemahnya para khalifah, khususnya sejak Al Mustansir, ia
adalah urutan khalifah yang ketujuh. jika seluruh khalifah Fathimiyah berjumlah
14 orang, maka, dapatlah dikatakan bahwa tujuh khalifah yang pertama kuat-kuat,
sedang tujuh berikutnya rata-rata lemah. Kelemahan ini disebabkan karena
sewaktu dinobatkan menjadi khalifah usia mereka masih sangat muda, seperti;
Al-Hakim berusia sebelas tahun, Al Zahir berusia enam belas tahun, Al-Amir
disebut masih “berusia
hijau “, Al-Zafir
berusia tujuh belas tahun, AI-Faiz dikatakan“berusia balita”, dan Al-Azid, khalifah terakhir, dinobatkan dalam usia Sembilan
tahun.
Lemahny para khalifah ini
menyebabkan tampilnya “orang-orang
kuat” dan
berpengaruh sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya, dan khalifah hanya
sebagai boneka “orang-orang kuat” misalnya, Barjawan, seorang gubernur Al
Hakim, Sitt al-Mulk, bibi Al-Zahir, dan Al-Azfal, perdana menteri Al-Amr.
Tampilnya “orang-orang kuat” ini mengakibatkan
kecemburuan di pihak saudara-saudara para khalifah, dan membuat keadaan
pemerintahan diktator dan tidak stabil.
Di samping itu, lemahnya
para khalifah disebabkan oleh intrik di sekitar istana sendiri yang bersumber
pada perasaan tidak adil jika terjadi pengangkatan khalifah berdasarkan
“kelompok kepentingan” yang kuat, dan bukan berdasarkan suatu sistem atau
melalui wasiat. Sebagai contoh, Nizar, kakak Al-Musta’li, merasa kecewa berat
karena al-Musta’li, adiknya itu, diangkat menjadi khalifah pengganti bapaknya
Al-Mustanshir yang wafat.la merasa bahwa dia adalah yang lebih berhak untuk
jabatan itu dari pada adiknya. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadi gerakan
oposisi terhadap adiknya yang dikenal dengan gerakan Assasin yang dipimpin oleh
Al-Hasan bin Al-Sabah. Gerakan ini belakangan berhasil membunuh dua orang
khalifah, Al-Musta’li dan Al-Amir.
Kedua, perpecahan dalam tubuh militer. Dalam tubuh militer terdapat
tiga unsur kekuatan.Pertama, unsur bangsa Barbar yang
sejak awal ikut berjuang mendirikan Dinasti Fathimiyah.Kedua, unsur bangsa Turki yang berhasil masuk karena
didatangkan oleh khalifah Al-Aziz.Ketiga, unsur
kekuatan bangsa Sudan yang didatangkan oleh khalifah Al-Mustanshir. Tiga faksi
ini selalu.bersaing dan sesekali terlibat dalam peperangan antar mereka.
Peperangan terbuka yang paling dahsyat adalah peperangan antara unsur Turki dan
unsur Barbar.Sedang khalifah yang lemah tidak mampu berbuat apa-apa.Hal ini
menyebabkan kontrol milter terhadap wilyah-wilayah menjadi lemah. Akhirnya,
wilayah-wilayah dinasti yang demikian luas menjadi berkurang secara
berangsur-angsur karena melepaskan diri atau dikuasahi oleh dinasti yang lain.
Ketiga, bencana alam. Kekeringan yang melanda Mesir di samping
menimbulkan penderitaan rakyat karena kelaparan, wabah penyakit, perampokan dan
lainnya, juga, bagi negara, menyebabkan lumpuhnya perekonomian agraris yang
hasilnya justru merupakan sumber devisa utama Mesir. Kekurangan pangan yang
melanda Mesir memaksa khalifah meminta bantuan kepada Konstantin Monomachus
untuk mengirim bahan-bahan makanan ke Mesir.
Kelemahan yang
menyebabkan terjadinya kemunduran dalam dinasti Fathimiyah, pada gilirannya
memancing datangnya serangan dari pihak luar, yakni panglima Shalahuddin dari
dinasti Ayyubiyah. Karena prestasinya dalam Perang Salib, maka ia mudah
mendapatkan simpati masyarakat luas yang akhirnya dapat menaklukkan dinasti
Fathimiyah dengan mudah pula.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pemaparan si atas
dapat kami simpulkan bahwa Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Dinasti
Ubaidillah, dengan pendirinya yaitu Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syria
ke Afrika Utara.Dinasti ini beraliran Syi’ah Islami’ilah, pusat pemerintahannya
di Cairo.Dinasti ini mengalami kejayaannya pada masa khalifah Abu Mansur Nizar
Al-Aziz (975 M – 996 M). Dan pada masa itulah, dengan prestasi gemilangnya
dalam bidang pemerintahan, ekonomi sosial, di bidang ilmu dan perkembangan
intelektual islam, syiah Ismailiyah sebagai doktrin teologi dan madzhab tata
Negara Negara Fatimiyah mengalami masa keemasan.
Dinasti Fatimiyah dengan
segala prestasi dan kemundduranya dalam tinta sejarah peradaban dunia Islam
telah menjadi perjalanan dinamika umat Islam di Mesir. Dalam rentang beberapa
periode dinasti ini telah mengukirkan nama harumnya bagi kemajuan dan kebesaran
serta kejayaan Islam.
2. Penutup
Demikian makal ini kami
sampaikan, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan
keterbatasan kami.Oleh karena itu, saran da kritik sangat kami harapkan agar
makalah ini menjadi lebih baik, sempurna dan komprehensif.
[1] Dalam buku Sejarah
Dan Peradaban Islam, A. Syalabi menjelaskan bahwa kaum Syi’ah adalah orang-orang
yang mendukung kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib r.a. mereka adalah Jabir ibn
Abdillah, Huzail ibn yaman, Salman Al Farisi, Abu Dzar al Ghifari, dll. Dalam
perrjalanan sejarahnya, syi’ah terpecah menjadi beberapa kelompok, yaitu;
Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, dan Syi’ah Ismailiyah.
[3] Imam-imam golongan Ismailiyah sesudah Isma’il tidak pernah
muncul. Yang muncul hanyalah juru-juru dakwah mereka.Sebab itu, Imam-imam yang
tak pernah muncul itu disebut “al Aimmah al-masturun”. Imam-imam Ismailiyah
barulah muncul kembali setelah keadaan mereka bertambah kuat di Afrika Utara
pada tahun 297 H (909 M), kemudian mereka pindah ke Mesir.(A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Terj. M. Sanusi Latief
(Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003), 186).
[5] K. Ali, Sejarah
Islam; Tarikh Pramodern, Terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), 326.
[7] Seperti nama kedinastiannya, nama Jami’ Al-Azhar dinisbahkan
kepada nama julukan dari Fatimah, putri Rasulullah saw, yaitu “Az-Zahra”. Ada
juga yang berpendapat bahwa nama Al-Azhar mempunyai makna “cemerlang” yang diambil dari kata “zuhra” atau “zahrah” (planet
Venus). Selanjutnya, dengan nama tersebut diharapkan Jami’ Al-Azhar dapat
bersinar cemerlang dan menyinari kehidupan umat Islam.Paling tidak ada empat
fungsi yang diharapkan dari pembangunan Jami’ Al-Azhar saat itu. Antara lain:
pertama, sebagai pusat peribadatan umat Islam; kedua, sebagai pusat
pengembangan sosial religius; ketiga, sebagai sentral pendidikan; keempat,
sebagai pusat kegiatan (politik) pemerintahan Dinasti Fatimiyah(www.
warungbaca.blogspot.com/2008/09/dinasti-fatimiyah.html+dinasti+fatimiyah&cd)
[9] Muhammad Jamal al-Din, Al
Dawlat Al-Fatimiyah Fi Mishr, (Kairo: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, 1979), 68.
[13] Untuk lebh detailnya faktor-faktor kemunduran dinasti Fatimiyah
bisa dilihat di: Moh. Nurhakim; Sejarah
Dan Peradaban Islam, hal; 107-109, dan Yusuf Isy, Dinassti Abbasiyah,terj. Arif Munandar,
(Jakarta: al Kautsar, 2007), 236-243.
http://aliahmadzainuri.wordpress.com/2013/03/24/dinasti-fatimiyyah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...