Oleh: Muhammadong
Sebenarnya Ibnu Qayyim rahimahullah
tidak pernah menyampaikan ide perubahan hukum Islam. Beliau, juga para ulama
dan para imam terpandang lainnya, tidak pernah membolehkan upaya menanggalkan
nash dan hukum Islam dengan dalih apapun. Semua yang dikatakan tentang adanya
perubahan tersebut sebenarnya termasuk ke dalam kategori: mengambil dalalah
(pengertian) nash ketika terjadi perubahan situasi dan kondisi. Hal ini
sebenarnya termasuk bagian dari aktif-itas yang menjadi obyek hukum. Pendapat
Ibnu Qayyim yang suka dijadikan rujukan adalah: Pertama, pernyataan Ibnu Qayyim
di bawah judul, Pasal Tentang Perubahan dan Perbedaan Fatwa Sesuai dengan
Perubahan Waktu, Tempat, Situasi, Mat dan Kebiasaan. Beliau berkata: Pondasi
dan asas syariat adalah kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat Syariat, semuanya merupakan keadilan, rahmat, kemaslahatan dan kebijaksanaan.
Karena itu, setiap masalah yang keluar dari prinsip keadilan menjadi kejahatan;
yang keluar dari rahmat menjadi kebalikannya; yang keluar dari maslahat menjadi
mafsadat; dan yang keluar dari hikmah menjadi sia-sia. Semua itu tidak termasuk
syariat, meski dimasukkan ke dalam syariat dengan cara takwil. Kedua,
pernyataan beliau: Imam Syafii berkata, Tidak ada politik, kecuali yang sesuai
dengan syariat. Karena itu, Ibu Aqil berkata, olitik adalah aktivitas yang akan
mendekatkan manusia pada kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kerusakan,
meski tidak digagas oleh Rasulullah saw. dan tidak ada wahyu yang menjelaskannya.
Selanjutnya Ibnu Qayyim berkata: Jika ungkapan, kecuali yang
sesuai dengan syariat dimaksudkan tidak
bertentangan dengan apa yang ditunjukkan oleh syariat maka itu adalah benar,
tetapi jika dimaksudkan, tidak ada politik kecuali yang telah ditunjuk oleh
syariat maka itu adalah suatu kesalahan dan menyalahkan para sahabat. Sebab,
faktanya telah terjadi pembunuhan dan tamtsil dari Khulafaur Rasyidin yang
tidak diingkari oleh siapapun yang mengetahui sunnah. Mengenai ungkapan Ibnu
Qayyim yang pertama, sebenarnya maksud beliau sangat jelas, yaitu syariat itu
adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah. Karena itulah syariat memberikan
hukum yang ber-beda untuk situasi kondisi dan aktifitas yang berbeda.
Maksudnya, syariat itu sendiri mengatur
perkara tersebut sehingga syariat wajib senantiasa dipatuhi. Seorang mufti,
ketika akan berfatwa, harus memahami situasi kondisi yang berbeda-beda itu,
baru kemudian mencari hukum syariat untuk setiap kondisi. Hukum syariatlah yang
sebenarnya menjamin terwujudnya keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah.
Dalam nash syariat, tidak terdapat satu keterangan pun
yang membolehkan mengikuti hikmah dan
kemaslahatan, atau menghukumi berdasarkan pandangan ahli hikmak, dan fukaha,
yang sesuai dengan kemaslahatan meski bertentangan dengan nash. Begitu juga
dalam pernyataan Ibnu Qayyim yang kedua, tidak terdapat dalil/hujah bagi orang
yang berusaha menjadikan kemaslahatan sebagai hakim (penentu hukum), berusaha
mengubah hukum, dan menyalahi nash. Dalam pernyataan beliau hanyalah terdapat
suatu kesimpulan, bahwa wahyu tidak menyatakan hukum secara langsung untuk
setiap kasus atau bagian tertentu. Wahyu hanya datang dengan membawa ungkapan
yang umum dan berbagai analog. Jadi, setiap perkara yang masuk dalam keumuman
syariat dan analog-analognya adalah benar, sesuai dengan syariat, meski tidak
dinyatakan oleh nash secara langsung. Dalam pernyataan tersebut tidak ada
indikasi yang menunjukkan bahwa Ibnu Qayyim menyatakan bolehnya terjadi
perubahan hukum bukan karena nash syariat, yakni dengan berpegang pada
kemaslahatan menurut para pemikir, para ahli hikmah, atau orang-orang yang
diperbudak hawa nafsu. Hal ini di-perkuat oleh pernyataan beliau, Apabila
ungkapan kecuali yang sesuai dengan syariat dimaksudkan tidak bertentangan
dengan apa yang ditunjukan oleh syariat maka itu adalah benar. Dalam pernyataannya
itu juga tidak terdapat satu keterangan pun yang memberikan pengertian, bahwa
ada fakta yang tidak ada hukumnya dalam syariat, dan bahwa fakta seperti ini
harus dihukumi oleh kemaslahatan menurut orang-orang yang memahami kemaslahatan.
Jika masalahnya harus seperti itu maka pasti tidak akan terjadi
kesesuaian dengan syariat. Karena itu,
yang di-maksud dengan kesesuaian dalam pernyataan Ibnu Qayyim adalah kesesuaian
hukum dalam perkara-perkara juz'iyyat dengan hukum-hukum kulli dan kesesuaian
afrad (bagian) suatu hukum dengan hukum-hukum yang umum. Banyak sekali
pernyataan Ibnu Qayyim yang memperkuat hal ini, di antaranya, Sesungguhnya
nash-nash itu meliputi berbagai peristiwa. Allah dan Rasul-Nya tidak
membolehkan kita menjadikan pendapat dan analog sebagai rujukan. Akan tetapi,
Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan semua hukum. Semua nash cukup dan bias
memenuhinya. Qiyas yang benar adalah kebenaran yang sesuai dengan nash. Jadi,
kedua-nya qiyas dan nash adalah petunjuk bagi al-Kitab dan sekaligus merupakan
neraca (al-mizan). Karena itulah, ketika hukum Islam yang telah digali
kelihatannnya seperti bertentangan dengan hikmah atau kemaslahatan, kita akan
menemukan Ibnu Qayyim Dalam puluhan contohnya senantiasa bermaksud menjauhkan
kemaslahatan dan hikmah tersebut. Beliaupun melakukan takwil agar hikmah dan
kemaslahatan tersebut sesui dengan dalalah (maksud) nash, bukan sebaliknya,
yaitu menakwil nash agar sesuai dengan hikmah dan kemaslahatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...