Sebagai
agama samawi terakhir yang hadir di muka bumi ini, Islam mempunyai misi rahmatan
lil'alamin, yakni menebar rahmat bagi sekalian alam. Kehadiran Islam bukan
untuk suku maupun komunitas tertentu, melainkan untuk segenap alam dan isinya.
Sebagai agama universal, muatan Islam didesain oleh Tuhan untuk mencakup
beragam lini dan sektor kehidupan ummat manusia. Sekurang-kurangnya ada tiga
cakupan dimensi ajaran Islam yang mempunyai pretensi mengatur kehidupan ummat
manusia di muka bumi ini.
Pertama,
dimensi aqidah yang memuat aturan paling dasar menyangkut sistem keimanan dan
kepercayaan terhadap entitas Allah SWT sebagai pencipta alam semesta. Pemaknaan
iman secara benar dan tulus dalam Islam dimaksudkan untuk dapat menstimulasi
rasa spritualisme keagamaan paling asasi dalam wujud penghambaan dan pengabdian
secara total kepada Allah SWT.
Kedua, dimensi syari'at yang
mempunyai konsentrasi pada pengaturan pergumulan ummat manusia sehari-hari.
Bilamana aqidah dapat ditangkap sebagai sistem keimanan dan kepercayaan yang
sifatnya esoteris, maka syari'at dapat dianggap sebagai sisi esoterisnya yang
berkompeten mengatur aneka hubungan kemasyarakatan selain juga hubungan
vertikal dengan yang maha kuasa. Hubungan vertikal ummat manusia dengan
Tuhannya lazim disebut denagan ibadah,
sedangkan hubungan komunal menyangkut interaksi sosial sehari-hari biasa
disebut mu'amalah.
Dimensi ketiga dalam Islam adalah
akhlaq atau tashawwuf, yakni nilai-nilai etika dan estetika yang mesti
ditegakkan dalam pergumulan hidup sehari-hari. Tentu saja tashawwuf di sini bukan dalam
pengertiannya yang pernah disalahgunakan, yakni
eskapisme yang cenderung mengabaikan dimensi alam nyata atau menjauhi segala bentuk rupa yang berbau
materi. Sebaliknya, tashawwuf adalah upaya pembersihan jiwa dari aneka perangai
dan tingkah laku yang tercela sehingga seorang hamba bisa semakin dekat dengan
Sang Khaliq-nya dalam pergaulan bermasyarakat sehari-hari.
Hubungan Aqidah dan Syari'at
Pendapat
umum menyatakan bahwa aqidah dan syari'at merupakan dua elemen dasar Islam yang
mempunyai hubungan kompelementer, yakni berdiri sendiri serta saling melengkapi
satu sama lainnya. Bila aqidah diproyksikan sebagai totalitas keyakinan seorang
hamba terhadap ajaran agamanya, maka syari'ah dapat ditangkap sebagai wujud
nyata dalam tataran implementasinya. Dalam kaitan ini Imam Mahmud Syaltut,
mantan Syaikh Al-Azhar Mesir, mencerminkan hubungan komplementer aqidah dan
syari'ah ini dalam sebuah judul bukunya, الاسلا
م عقيدة وشر يعة(Islam
adalah aqidah dan syari'at)[1].
Namun demikian, Sebagian pakar
memandang aqidah dan syari'ah sebagai dua hal yang mempunyai hubungan
subordinat, yakni aqidah dianggap sebagai bagian dari syari'ah. Menurut
pandangan kedua ini, wacana syari'ah merupakan satu kesatuan integral ajaran
agama yang dapat menjangkau bagian-bagian terpenting lainnya, seperti aqidah,
ibadah, mu'amalah, dan lain-lain.[2] Dalam al-Qur’an sendiri kata syari’at dalam
bentuk kata benda pernah disebut sebanyak dua kali, yaitu:
·
ثم جعلناك على شريعة من الأمر فاتبعها ولا تتبع أهواء ا لذ
ين لا يعلمون
Artinya:
kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at dari urusan (agama
itu), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui. QS al-Jathiyyah (45): 18.
·
لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا
Artinya: Untuk tiap-tiap ummat di
antara kamu kami buatkan aturan (syari’at) dan jalan (metode). QS
al-Ma’idah (5): 48.
Sedangkan dalam bentuk kata kerja,
kata syari’at juga pernah disebut dalam al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu:
·
شرع لكم من الد ين ما وصى به نوحا والذي أوحينا إليك
وما وصينا به إبراهيم وموسى
وعيسى
Artinya:
Dia telah mensyari’atkan bagi kamu berupa agama, apa yang telah
diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa. QS al-Syura (42):
13.
·
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الد ين ما لم يأذ ن به
الله
Artinya:
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (selain Allah) yang mensyari’atkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan allah. QS al-Syura (42): 21.
Dari berbagai
ungkapan al-Qur’an di atas dapat disimpulkan bahawa syari’at adalah metode
agama atau perangkat aturan agama yang digariskan oleh Allah SWT untuk
dilaksanakan oleh hamba. Pada prinsipnya, syari’at merupakan metode untuk mengapresiasi ajaran agama
secara keseluruhan.
Hubungan Syari'at dan Fiqh
Pertanyaan yang muncul kemudian, apa bedanya antara syari'at dan fiqh?.
Selain ada pandangan yang mengidentikkan keduanya, terdapat pula sebagian pakar
yang menganggap keduanya berbeda. Jika syari’at ditunjukkan oleh dalil-dalil qath’i dalam al-Qur’an dan al-Hadith maka fiqh lebih
mengacu pada dalil-dalil dhanni dalam kedua sumber ajaran asasi
tersebut. Terlepas dari perbedaan pandangan ini, fiqh merupakan bagian terpenting dalam
komposisi syari'at. Sebagai produk istinbath yang dilakukan para
mujtahid, fiqh tak lain merupakan pilar syari'ah paling konkret dalam upaya
merespon masalah-masalah praktis keseharian dalam kehidupan beragama. Fiqh
bukan saja mengandung implikasi konkret dari perilaku individu maupun
masyarakat, tetapi lebih dari itu ia menempati garda depan dari sejumlah
disiplin ilmu agama karena kaya dengan diktum-diktum hukum operasional.
Pada awal mula perkembangannya,
kajian fiqh mencakup persoalan-persoalan ibaadaat, mu'aamalaat, munakahaat,
dan jinaayaat. Akan tetapi demi menjawab tantangan perubahan sosial yang
terus terjadi, maka perwajahan fiqh sampai saat ini terfragmentasi dalam
beberapa bentuk takhasshushaat (spesialisasi) sesuai perkembangan jaman.
Ini tanpa mengenyampingkan sama sekali peran ulama terdahulu sebagai peletak
batu pertama rumusan fiqh. Pada kenyataannya, pengembangan fiqh kontemporer
saat ini memang tidak bisa lepas sama sekali dari formula dasar yang telah
mereka bangun pada era kemunculan lembaga fiqh metodologis di abad ke-7 M.
Elemen dasar fiqh sebenarnya bisa
disimplifikasi secara lebih sederhana lagi menjadi dua bagian: ibadah
dan mu'amalah. Elemen pertama berkaitan dengan tata cara bagaimana
seorang hamba berkontemplasi atau bermunajah dengan sang pencipta. Ini
bisa dilihat, misalnya, dalam praktik amalan ritual keagamaan sehari-hari.
Seperti shalat wajib, shalat sunnah, puasa Ramadhan, puasa sunnah, membayar
zakat wajib, zakat sunnah dalam bentuk shadaqah tathawwu', membaca Al-qur'an
dan masih banyak jenis-jenis amalan yang lain.
Pada kenyataannya fiqh ibadah ini
memiliki watak statis, tidak mengalami format perubahan karena terjadinya
perubahan apapun di luar. Percikan perbedaan Fuqaha' (para pakar fiqh) pada
elemen yang ini hanya sebatas pada masalah-masalah furu'iyyah (cabang)
yang bersifat teknis. Seperti membaca kalimat "ushalli" setiap mau
memulai shalat, membaca qunut dalam shalat subuh, mengeraskan bacaan
"basmalah" dalam surah Al-Fatihah, dan masih sangat banyak
contoh-contoh yang lain.
Indikasi terjadinya pengembangan
--kalau bukan perubahan-- dalam syariah terjadi pada elemen fiqh kedua, mu'amalah.
Wujud dinamisme dalam segmen mu'amalah ini bukannya bersifat kebetulan
tanpa antisipasi syara'. Sebaliknya Syari' (pembuat syari'ah) melalui
wahyunya memang sengaja memberikan aturan-aturan umum berupa nash-nash
Al-Qur'an maupun Al-Hadits yang kebanyakan bersifat mujmal (global).
Pada tataran aplikasinya, nash-nash ajaran macam itu membutuhkan perangkat
pisau analisa yang tajam serta pengamatan yang jernih dalam mengkalkulasi
setiap kaitan peristiwa hukum dengan substansi teks ajaran itu sendiri. Dengan
demikian diharapkan ajaran agama betul-betul membumi setiap waktu tanpa harus
bergeser dari nilai-nilai universal yang diembannya.
Acuan
moral bagi penerapan fiqh mu'amalah berupa kaedah-kaedah umum dan
universal. Seperti bagaimana menegakkan sendi-sendi keadilan di tengah
masyarakat, asas persamaan di depan hukum, menjauhi kedhaliman, pemaksaan,
spekulasi dan lain-lain. Dalam aplikasinya, acuan umum tersebut mesti
dielaborasi dalam wujud pemetaan implementasi lebih riil demi mengantisipasi
terwujudnya tatanan masyarakat madani yang paripurna dan berkeadilan di tengah
perubahan yang terus terjadi. Karenanya dalam terminologi fiqh kita kenal idiom
kaedah-kaedah kulliah seperti: الضرر يزال (kemudlaratan mesti dihilangkan), العادة
محكمة (adat
kebiasaan dapat dijadikan standar hukum), المصلحة العامة مقد مة على المصلحة الفردية (kepentingan publik diprioritaskan atas kepentingan privat),
dan lain-lain.
Secara
faktual, dinamisasi pemikiran fiqh mu'amalah menunjukkan adanya grafik
perkembangan dari waktu ke waktu. Lebih jelasnya, dokumen fiqh mu'amalah saat
ini terfragmentasi ke dalam bidang-bidang lebih spesifik demi merespon
kecenderungan modern yang menyiratkan terjadinya reformulasi pemikiran hukum
Islam dalam tataran yang lebih operasional. Kecenderungan ini berkorelasi pula
secara signifikan dengan datangnya periode legislasi (daur al-taqniin)
di mana materi fiqh dituangkan dalam formula perundang-undangan di
negara-negara islam tertentu, seiring dengan menyeruaknya teori-teori negara
hukum. Tak pelak lagi sebagai ujungnya, para pakar fiqh kontemporer mencoba
memunculkan berbagai karya monografis berupa cabang-cabang fiqh mu'amalah. Sebut saja sebagai contoh
cabang-cabang fiqh tersebut, misalnya:
1.
الأحوال الشخصية (hukum keluarga), yaitu upaya
hukum untuk membentuk perangkat aturan mengenai masyarakat kecil di lingkungan
keluarga. Baik menyangkut hubungan suami isteri maupun hubungan sesama anggota
rumah tangga secara keseluruhan. Ayat Al-Qur'an yang secara langsung
berhubungan dengan masalah ini, menurut Abdul Wahhab Khallaf, tidak kurang dari
70 ayat.[3]
2.
الأحكام المد نية (hukum
perdata), yaitu hukum-kukum private sejenis jual beli, simpan pinjam,
gadai, sewa, dan masih banyak yang lain. Ayat-ayat Al-Qur'an mengenai hukum
perdata ini berjumlah sekitar 70 ayat.[4]
3.
الأحكام الجنائية (hukum
pidana), yaitu hukum-hukum yang berkaitan langsung dengan delik ataupun
pelanggaran pidana berikut sangsi dan hukumannya. Hukum pidana ini bertujuan
mengayomi jiwa, harta benda, kehormatan, serta hak-hak manusia lainnya. Tidak
kurang dari 30 ayat dalam Al-Qur'an berkaitan langsung dengan masalah ini.[5]
4.
أحكام المرافعات (hukum acara), yaitu hukum-hukum
yang mengatur tentang proses perbal di pengadilan demi tegaknya sendi-sedi
keadilan dan asas persamaan sesama manusia di depan hukum. Ayat-ayat Al-Qur'an
yang berkenaan langsung dengan masalah ini ada sekitar 13 ayat.[6]
5. الأحكام الد ستو ر ية (hukum
perundang-undangan/konstitusi), yaitu hukum yang mempunyai korelasi langsung
dengan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Tujuannya
tak lain adalah untuk mengatur hubungan
pihak yang berkuasa dengan rakyat. Atau lebih jelasnya untuk mengayomi hak-hak
individu maupun golongan dari kesewenang-wenangan. Sedangkan ayat Al-Qur'an
yang berkenaan dengan masalah ini ada sekitar 10 ayat.[7]
6.
الأحكام الد و لية (hukum internasional),
yaaitu hukum yang berpretensi mengatur hubungan internasional. Baik menyangkut
lembaga kenegaraan seperti hubungan negara islam dengan non-islam, ataupun
menyangkut hubungan personal seperti hubungan seorang muslim dengan non-muslim
dalam keadaan damai, dalam keadaan perang, dan lain-lain. Terdapat sekitar 25 ayat
Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan masalah ini.[8]
7.
الأحكام الاقتصاد ية والمالية (hukum
ekonomi dan keuangan), yakni hukum-hukum yang mempunyai tujuan penegakan
prosperitas dan pemerataan ekonomi. Termasuk hubungan simbiotik si kaya dengan
si miskin dalam pelataran kehidupan ekonomi serta hubungan negara dengan rakyat
menyangkut pendayagunaan sumber-sumber kekayaan negara (natural resource)
maupun sumber daya manusia (human resource). Adapun ayat yang
berhubungan dengan masalah ini tidak kurang dari 10 ayat dalam al-Qur'an.[9]
[1] Hubungan inhern aqidah dan syari'ah
bisa dilihat di bukunya Mahmud Syaltut tersebut pada hal. 11-12.
[2]
Lihat: Al-Qatthan, Manna’ Khalil, Wujub Tahkim al-Syari'ah al-Islamiyyah,
hal. 9.
[3]
Lihat: Abdul Wahhab Khallaf, 'Ilm Ushuul Al-Fiqh, hal. 32. Lihat
juga: Dr. Abdul ‘Aal Salim Mukrim, Al-Fikr Al-Islami baina al-'Aql wa al-Wahy,
hal 44.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...