Oleh:
AM. Bambang Prawiro
Deburan ombak di laut Alur menyisakan riak-riak kecil di sepanjang
pantainya, beberapa anak dengan kulit gelap berlarian di antara pasir putih
yang meliuk hingga ke ujung pandangan. Burung-burung camar tampak beterbangan
kian kemari di antara deburan ombak yang tak lelah menghempas pantai yang
menerima dengan penuh keikhlasan. Angin semilir berhembus membawa aroma laut
yang khas, beberapa nelayan masih terapung-apung di tengah lautan. Tampak kecil
seperti titik-titik hitam yang terombang-ambing ombak di laut Alor. Aku masih
sibuk dengan pekerjaanku, membersihkan perahu dan merapihkan alat-alat
menangkap ikan. Cuaca tadi malam kurang bersahabat sehingga hasil tangkapan
ikan kami hanya sedikit. Paman yang telah bertahun-tahun menjadi penangkap ikan
pun hanya mendapatkan ikan tidak lebih dari 3 kg. apalagi aku yang baru belajar
tidak lebih dari enam bulan.
Aku memutuskan untuk mengikuti jejak almarhum ayah menjadi nelayan
penangkap ikan. Setelah lulus SD tahun lalu, aku tidak melanjutkan sekolah. Tiga
bulan sebelum kelulusan kelas ayah hilang tanpa jejak, hanya perahu dan
peralatan menangkap ikan yang ditemukan terdampar di tepi pantai pada pagi hari
ketika malamnya ayah berangkat menangkap ikan. Seperti hari-hari biasanya ayah
menangkap ikan dengan beberapa tetangga. Cuaca buruk malam itu memunculkan
badai lautan yang sangat dahsyat hingga menenggelamkan para nelayan yang sedang
menangkan ikan termasuk ayah. Lima orang tetangga yang bersama-sama menangkap
ikan berhasil selamat setelah berenang melawan ombak laut yang menggulung
perahu dan peralatan mereka. sementara ayah tidak ada kabar beritanya. “Ayahmu
waktu itu berada paling depan ketika kami menangkap ikan” begitu kata Pak
Surangkai tetangga belakang rumah.
Kepergian ayah meninggalkan luka yang begitu mendalam pada keluarga kami,
sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga ayah adalah kepala keluarga yang
sangat bertanggungjawab hingga semua kebutuhan kaluarga kami dipenuhinya dengan
baik. Hasil tangkapan ikan yang kian hari kian menurun memaksa ayah dan para
nelayan di desa kami untuk lebih bersemangat dalam menangkap ikan hingga mereka
memaksanakan diri menangkap ikan di perairan yang berbahaya. Kepergian ayah
juga telah memupuskan harapanku untuk meraih hidup yang lebih baik. Harapan untuk
bisa melanjutkan sekolah sirna sudah hilang bersama jasad ayah yang entah di
mana. Setelah berjalan kurang lebih enam bulan tak ada lagi dalam pikiran untuk
bisa melanjutkan sekolah lagi. Biarlah hanya mereka yang masih punya ayah dan
memiliki uang yang bisa melanjutkan sekolah, biarlah aku di sini belajar dengan
laut dengan ombaknya.
“Hai kawan sedang apa melamun” Hasan temanku satu kelas yang kini
melanjutkan sekolah di kota menepuk pundakku. “Siapa yang melamun, orang sedang
merapihkan alat menangka ikan” kataku pelan. Hasan, anak kepala desa yang dulu
menjadi teman sebangku di sekolah dasar negeri Alor. Ia barnasib mujur karena
orang tuanya berada hingga bisa melanjutkan sekolah di tingkat yang lebih
tinggi. Padahal nilainya selalu berada di bawahku. Pada hari terakhir kelulusan
ia sempat bilang kepadaku bahwa ia akan melanjutkan kuliah di kota, “Kamu harus
lanjutkan sekolah karena nilai kamu selalu lebih bagus dariku” begitu katanya. Kata-kata
nasehat yang menyayat-nyayat jantungku, seperti tamparan yang membuat pusing
kepalaku hingga membuatku pingsan.
“Hai, kok melamunnya dilanjutkan” kembali Hasan memecahkan lamunanku. “Kamu
tidak melanjutkan sekolah khan” katanya serius. “Seperti kamu tahu, sekarang
aku jadi nelayan menggantikan ayah” kataku pelan. “Aku ada informasi kalau kamu
mau melanjutkan sekolah gratis dan dikasih uang, mau? Hasan memandaku serius. Sekolah,
sebuah kata yang telah hilang dari ingatanku. Kata-kata yang begitu indah namun
terasa menyakitkan bila mengucapkannya. Kata-kata itu memang telah hilang
darimemori di kepalaku. Ikan, ikan dan ikan itulah yang kini ada dalam otakku,
bagaimana cara agar bisa mendapatkan ikan yang banyak agar bisa membeli
beberapa kg beras dan sisanya membayar sekolah adik-adiku. Namun kini Hasan
mengucapkan kata-kata itu lagi, “Benar kau Hasan, di mana?” aku mulai tertarik
dengan pembicaraannya. “Di Bogor Jawa barat Ma’had Ibnu Taimiyah, kalau mau
nanti saya antarkan ke ust. Rodi yang membawa anak-anak untuk sekolah di sana.
Si Dzul dan Ramli juga sudah pergi ke sana, kemarin mereka kirim surat katanya
di sana enak sekolah gratis dikasih uang setiap hari, makananya ayam dan
tidurnya di kasur yang tebaal sekali” Hasan menjelaskan secara detail tentang
keadaan di Bogor, nun jauh di ujung barat pulau Jawa.
Sekolah, kata-kata itu muncul lagi dalam benakku. Mungkin terlalu indah
jika terus dipikirkan dan bisa menjadi kenyataan, aku bisa belajar lagi
memiliki teman-teman yang bersemangat untuk menuntutut ilmu, mendapatkan
motivasi dari para guru dan yang paling penting adalah bisa meraih cita-citaku.
Benar, cita-cita yang telah lama hilang dalam hidupku menjadi Dosen yang
bermanfaat bagi agama, bangsa dan negara. Namun, apakah aku harus menerima
tawaran Hasan, bersekolah di Bogor, sementara ibu dan adik-adiku di sini? Siapa
yang akan memenuhi kebutuhan hidup mereka. penghasilan Ibu yang menjadi buruh
di pasar ikan tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan semua keluargaku, untuk
makan, membayar sekolah adik-adiku dan membayar hutang yang hingga kini belum
lunas. Haruskah aku mengorbankan mereka hanya untuk meraih cita-citaku? Ah…
sepertinya terlalu berat untuk meninggalkan mereka. “Kamu berangkat saja nak,
biarkan ibu di sini dengan adik-adikmu. Ibu akan bekerja lebih keras lagi agar
bisa memenuhi kebutuhan adik-adikmu. Kamu harus sekolah dan bisa meraih
cita-citamu” begitu kata ibu. “Tapi bu, bagaimana dengan hutang kepada Pak Dani”
kataku pelan. “Nanti ibu yang urus, mudah-mudahan tanah peninggalan ayahmu
segera ada yang beli sehingga bisa membayar hutang kita, pokoknya kamu haru
sekolah ingat pesan ayahmu”
Kembali aku teringat dengan pesan ayah yang telah lama hilang dalam
pikiranku “Kamu harus melanjutkan sekolah, agar tidak seperti ayah yang bodoh
ini” itulah pesan terakhir ayah. Aku tahu, ayah bukanlah orang yang bodoh,
walaupun ia tidak bisa membaca dan menulis namun otaknya cukup cerdas hingga
dipercaya oleh teman-temannya ketika menangkap ikan menjadi ketua rombongan. Ayah
tahu persis bagaimana keadaan laut dan waktu-waktu menangkap ikan yang baik. Tekhnik-tekhnik
dalam menangkap ikan ayah pelajari sendiri dari alam, hingga hasil tangkapan
ikan ayah selalu lebih banyak dibandingkan teman-temannya. Peristiwa badai
lautan sejatinya telah diprediksi oleh ayah, namun karena kebutuhan keluarga
khususnya aku yang akan melanjutkan sekolah memaksan ayah untuk tetap melaut
agar bisa mendapatkan uang untukku.
Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya akhirnya aku memutuskan untuk
berangkat ke Bogor, melanjutkan sekolahku yang beberapa bulan terputus. Dengan diantar
oleh ibu, adik-adik dan beberapa tetangga aku berangkat menuju rumah Ust. Rodi
untuk berkumpul dengan beberapa teman yang akan berangkat bersama-sama. Setelah
semuanya berkumpul kami segera naik mobil ke pelabuhan. Rupanya kapal yang akan
menuju ke Jakarta datang lebih cepat sehingga kami segera naik ke atas kapal. Sebelum
kaki ini melangkah ke tangga kapal kucium tangan ibu dan memeluknya erat-erat,
tak ingin aku melepaskannya. “Lanjutkan sekolahmu, ingat pesan ayah” bisik ibu
kepadaku. Tak terasa air mata ini mengalir, dan pelukan kami semakin erat. Ibu adalah
wanita luar biasa bagiku, sama seperti ayah, ia adalah wanita cerdas yang luar
biasa. Walaupun ia hanya wanita desa namun ia sangat menyadari bahwa pendidikan
itu sangat penting. Beliau selalu mengajari kami setelah maghrib, rumus-rumus
matematika yang terasa sulit dengan mudah dijelaskannya secara rinci. Demikian pula
pelajaran IPA yang membutuhkan pemahaman lebih, beliau menjelaskannya dengan
runtut seperti seorang guru professional yang telah berpengalaman mengajarkan
murid-muridnya. Lebih dari itu, beliau adalah pekerja keras yang tidak pernah
mengeluh. Walaupun pendapatan kelauarga kami kurang namun beliau tidak pernah
sedikitpun mempermasalahkannya. Sebaliknya beliau membantu ayak dengan bekerja
di pasar ikan.
“Anak-anak ayo siap-siap, kapal sudah mau berangkat” ucapan Ust. Rodi
menyadarkaku, segera aku melepas ibu dan mencium adik-adiku. Terbersit dalam
hati bahwa aku harus bisa membahagiakan mereka. Aku segera melangkah me tangga
kapal, dengan tas di punggung dan kardus di tangan aku melangkah pasti. Langkah
yang akan merubah kehidupanku dan kehidupan keluargaku. Kembali aku menengok ke
belakang, ibu dan adik-adikku melambaikan tangannya, memberikan semangat
kepadaku bahwa hidup adalah pilihan, dan aku memilih untuk merubah nasib. Perlahan
kapal bergerak menjauhi pelabuhan, pandanganku masih tertuju ke pantai yang
terasa kian menjauh ibu dan adik-adikku seolah mengecil hingga menjadi sebuah
titik di tepi pantai Alor. Bismillah, itulah ucapan awal untuk meraih mimpi
ini.
Bogor, sebuah kota kecil di sebelah selatan Jakarta kota ini pernah aku
baca dari pelajaran IPS yang diajarkan oleh Pak Abdu. Kota ini terkenal karena
dahulunya adalah bekas ibukota kerajaan Pajajaran, salah satu buktinya adalah
adanya Batu Tulis yang hingga kini masih berdiri tegak di kota ini. Menurut penjelasan
Ust. Rodi, lokasi yang akan kami tuju adalah Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah yang
berada di bagian selatan kota Bogor. Setelah sampai di pelabuhan Tanjung Priuk
kami dijemput dengan mobil milik pesantren, sehingga tanpa menunggu lebih lama
kami segera meluncur meninggalkan pelabuhan membelah kota Jakarta. Teman-teman
yang baru pertama kali ke Jakarta dapat menikmati indahnya kota ini dari dalam
mobil yang melewati jalan layang Tanjung Priuk-Bogor. Aku juga terkagum-kagum
dengan gedung-gedung tinggi yang ada di Jakarta, sungguh sangat luar bisa,
suara klakson mobil yang seolah tidak henti bercampur dengan kegembiraan kami
bisa menikmati kota Jakarta.
Perjalanan dari Tanjung Priuk ke Bogor ditempuh dalam waktu kurang lebih
2 jam, kami segera turun dan masing-masing membawa barangnya. Udara di Bogor
sangat dingin sekali, berbeda jauh dengan di Alor. Kami diarahkan oleh salah
seorang satpam menuju ruang tamu. Sebelum masuk pesantren tadi saya melihat
dengan jelas sebuah tulisan tergantung besar di pintu gerbang “Selamat Datang
Para Penuntut Ilmu”, seperti cambuk yang memberikan semangat padaku untuk bisa
belajar dengan sungguh-sungguh di pesantren ini.
Sampai di ruang tamu kami disuguhi makan dengan lauk ayam, “Sungguh
makanan yang sangat lezat” pikirku dalam hati. Kami di kampung makan dengan
ayam paling satu tahun sekali kalau lebaran, selain itu paling makan ikan atau
nasi dengan sayuran. Setelah selesai makan kami di ajak berkeliling pesantren.
Sungguh besar pesantren ini, “Di sini kalian bisa belajar pelajaran umum dan
juga pelajaran agam, semuanya gratisbahkan kalian akan dikasih uang jajan
setiapbulan” kata ust. Rodi kepada kami yang terkagum-kagum dengan bangunan
pesantren dan segala fasilitasnya. Semoga saja kami bisa memanfaatkan pesantren
ini dengan baik sehingga ia menjadi jalan untuk meraih cita-citaku, ya
cita-citaku adalah menjadi dosen.
Nun jauh di bagian selatan pesantren berdiri kokoh Gunung Salak yang
terlihat jelas dengan peohonan yang rindang. Seolah-olah ia memberikan semangat
kepadaku, “Ayo, inilah tempat untuk belajar, buktikan bahwa kamu cerdas dan
reguklah semua ilmu yang ada di pesantren ini” Ya… aku berjanji dalam hati akan
bersungguh-sungguh untuk belajar, baying-bayang ayah, ibu dan adik-adikku
menjadi penyemangat untukku. Semoga ini adalah jalan terbaik meraih
cita-citaku.
Dua puluh tahun kemudian…. “Hari ini mata kuliah kita adalah Metodologi
penelitian, silahkan buka Note book, I Pad dan Smartphone-nya, kita akan
berdiskusi tentang Penelitian Kualitatif” Aku berdiri di depan kelas M program
Studi Ekonomi Islam Jurusan Hukum Islam Universitas Tazkia Jakarta. Setelah
meraih gelar Doktor saya diterima mengajar di universitas ini. Mimpi itu telah menjadi kenyataan, seperti
kejadian tadi sore yang belum lama terjadi… Siapa bersungguh-sungguh akan
Berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...