A. Pendahuluan
Dalam kajian
sosiologi, perubahan sosial dalam masyarakat merupakan wacana utama dimana
penelitian dan perbedaan pendapat terjadi diantara para ahli sosiologi. Selama
manusia sebagai pendukung dan pelaku kehidupan sosial dan budaya masih hidup,
selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan budaya lain yang
melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru, perluasan yang cepat pada mekanisme
pendidikan formal, intensitas konflik terhadap nilai-nilai yang ada akibat
sistem sosial yang terbuka dan terbukanya antisipasi masa depan merupakan daya
dorong utama terjadinya perubahan.
Perkembangan
dunia dalam berbagai bidang pengetahuan yang semakin maju seperti medis, hukum,
sosial dan ekonomi dan disertai dengan era globalisasi telah membawa pengaruh
yang besar, termasuk dalam persoalan-persoalan hukum. Islam dan masyarakat
Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat
melepaskan dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu
persoalan.
Kasus-kasus baru
yang status hukumnya secara jelas dan tegas dinyatakan dalam al-Qur’an dan
al-Sunah, tidak akan menimbulkan kontra dikalangan umat Islam. Akan tetapi,
terhadap persoalan-persoalan baru yang kedua sumber tersebut tidak secara jelas
dan tegas menyebutkan hukumnya, menuntut umat Islam yang telah mempunyai
kapasitas berijtihad untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar
hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Maka dari itu, banyak kita jumpai
perbedaan pendapat diantara ulama’ mengenai satu kasus dikarenakan perbedaan
kondisi dan kultur tempat mereka tinggal. Dan disinilah letak strategisnya
posisi ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan “social engineering”. Hukum
Islam akan berperan secara nyata dan fungsional kalau ijtihad ditempatkan
secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai
kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.
B. Islam dan
Perubahan Sosial
Masyarakat
dengan berbagai aktifitas yang dilakukan menuntut adanya perubahan sosial, dan
setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai
dan hukum. Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa “hukum merupakan
refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat”.[1] Senada dengan Marx
Weber dan Durkheim, Soerjono Soekanto dengan menyetir pendapat Arnold M. Rose
mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial yang berhubungan dengan
perubahan hukum. Menurut Arnold, perubahan hukum itu akan dipengaruhi oleh tiga
faktor:[2]
Adanya komulasi
progresif dari penemuan-penemuan dibidang teknologi.
Adanya kontak
atau konflik antar kehidupan masyarakat.
Adanya gerakan
sosial (social movement).
Berdasarkan
teori-teori yang kami kutip diatas, maka jelas bahwa hukum ada sebagian besar
karena merupakan akibat dari pada faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan
sosial.
Pengaruh-pengaruh
unsur perubahan diatas dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam
sistem pemikiran Islam, termasuk didalamnya pembaruan hukum Islam. Pada
dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan
temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian
hukum Islam itu sendiri. Tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam akan
menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan
ajaran Islam pada umumnya.[3] Untuk menumbuhkan dan menghidupkan ruh Islam agar
tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan
perubahan dalam masyarakat, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan
kembali semangat berijtihad dikalangan umat Islam.[4] Pada posisi ini ijtihad
merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita
universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wal
makan.[5]
Sebagaimana kita
ketahui bahwa sumber-sumber hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas
jumlahnya, sementara kasus-kasus baru dibidang hukum banyak bermunculan
ditengah-tengah masyarakat dan tidak terbatas jumlahnya. Kaitannya dengan hal
ini, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid menyatakan bahwa
persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara
jumlah nash (baik al-Qur’an dan al-Sunah), jumlahnya terbatas. Oleh karena itu,
mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak
terbatas.[6]
Dari staemen
Ibnu Rusyd diatas, semangat atau pesan moral dapat kita ambil adalah anjuran
untuk melakukan ijtihad terhadap kasus-kasus hukum baru yang tidak dijelaskan
sumber hukumnya dalam nash baik al-Qur’an maupun al-Sunah secara eksplisit .
Dengan demikian, aktivitas Ijtihad dalam Islam merupakan satu-satunya jalan
untuk mendinamisir ajaran yang rahmah li al-‘alamin ini sesuai dengan tuntutan
perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang memasuki seluruh
dimensi kehidupan manusia.
Mengingat hukum
Islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang penting, maka perlu
ditegaskan aspek mana yang bisa mengalami perubahan (wilayah ijtihadiyah).
Menurut hasil seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada awal Desember 1994 disebutkan “Agama dalam pengertiannya sebagai
wahyu Tuhan tidak berubah, tetapi pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama
dalam hubungannya dengan penerapan di dalam dan ditengah-tengah masyarakat,
mungkin berubah”.[7] Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perubahan dimaksud
bukanlah perubahan secara tekstual, tetapi secara kontekstual.[8] Al-Ghazali,
sebagaimana yang dikutip oleh FKI 2004 menggariskan bahwa
permasalahan-permasalahan yang boleh dijadikan objek ijtihad adalah setiap
hukum syara’ yang tidak terdapat dalil qath’iy[9] yang menjelaskannya.[10]
C. Dinamisasi
Ajaran Islam Melalui Ijtihad
Ijtihad
merupakan pilar pokok tegaknya syari'at islam, tentunya harus mempunyai
landasan normatif sebagai sumber hukum sekaligus sebagai metodologi istinbath
hukum dalam rangka dinamisasi ajaran agama.
Terdapat banyak
dalil yang menganjurkan untuk melaksanakannya, diantaranya adalah firman Allah:
!$¯RÎ)
!$uZø9t“Rr& y7ø‹s9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$#
!$oÿÏ3 y71u‘r& ª!$# 4 Ÿwur `ä3s? tûüÏZͬ!$y‚ù=Ïj9 $VJ‹ÅÁyz ÇÊÉÎÈ
Artinya:
Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah),
Karena (membela) orang-orang yang khianat.QS. al-Nisa’(4):105.
Pada ayat ini
mengandung ketetapan ijtihad dengan menggunakan metode Qiyas.[11] Allah ‘azza
wa jalla juga berfirman:
ô`ÏBur
ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r&
(#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷�t/
Zo¨Šuq¨B ºpyJômu‘ur 4 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã�©3xÿtGtƒ ÇËÊÈ
Artinya: Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-nya diantaramu rasa kasih dan sayang. sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. QS. Al-rūm (30):
21
Dan dari
al-Sunah ialah hadits yang diriwayatkan Muazd bin Jabal ketika beliau mendapat
pembekalan oleh nabi sebelum hijrah ke Yaman untuk menjadi qodhi (hakim) di
daerah Yaman. Ketika Nabi bertanya, dengan apa kamu memberi keputusan? Muazd
menjawab, dengan kitabullah (Al-qur’an). Kemudian Nabi berkata, kalau kamu
tidak menemukan didalam al-quran? Aku akan menghukumi dengan sunah Rasul-Nya.
Nabi berkata lagi, kalau dalam sunah tidak kamu temukan? Aku akan berijtihad
dengan ro'yu.[12] Selain hadits Mu’azd terdapat hadits dari Amr ibn al-'Ash, ia
mendengar utusan Allah bersabda:
اذا حَكمَ
الحاكمُ فاجتهدَ فاصاب فله اَجْرانِ اذا حَكمَ فاجتهدَ فَاخْطأ فله اجرٌ واحدٌ
"رواه البخارى و مسلم"
Artinya: jika
seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad kemudian benar,
maka bginya dua pahala, jika menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah,
maka baginya satu pahala. "HR. Bukhari dan Muslim".
Hadits yang kami
sebut terakhir ini secara implisit menunjukkan bahwa hasil ijtihad bisa benar
dan bisa salah, tapi baik yang benar maupun yang salah tetap mendapatkan
pahala, dalam artian keduanya mendapat legitimasi hukum dari syâri' (yang
mempunyai syari'at). Oleh karena itu perbedaan pendapat dari masing-masing imam
yang telah mencapai kapasitas untuk berijtihad harus disikapi dengan benar,
jangan dijadikan perpecahan. Karena itu adalah rahmat bagi kita. Nabi SAW
bersabda "perbedaan pendapat umatku adalah suatu rahmat".
Tidak
terdapatnya penjelasan hukum dalam al-Qur’an dan al-Sunah, menurut Amir
Syarifudin dapat dilihat dari dua segi sebagai berikut:[13]
1. Kedua sumber
hukum Islam tersebut secara jelas dan langsung memang tidak menetapkannya,
tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya.
2. Al-Qur’an dan
al-Sunah memang tidak menyinggung hukum suatu kasus, namun secara tidak
langsung atau bagiannya ada penjelasannya. Contoh hukum memukul kepala orang
tua tidak ada aturan secara eksplisit dalam al-Qur’an, tetapi ada larangan
mengucapkan kata-kata kasar (uff) terhadap orang tua. Hukum memindahkan organ
tubuh orang mati kepada orang yang masih hidup (tranplantasi) tidak ada
ketentuan nashnya yang secara spesifik merujuk pada hal itu, namun ada larangan
merusak jasad orang mati. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya penjelasan
al-Qur’an dan al-Hadits, maka diperlukan upaya ijtihad.
Sementara itu,
menurut Muhammad Musa al-Tiwana, objek ijtihad itu dapat dibagi menjadi tiga
bagian:[14]
1. Ijtihad dalam
rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap nash.
2. Ijtihad dalam
melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan telah disepakati.
3. Ijtihad dalam
arti penggunaan ra’yu.
Pandangan
al-Tiwana tersebut mengacu pada dua pemeliharaan objek ijtihad yang luas.
Pertama, adalah persoalan-persoalan yang sudah ada ketentuan nashnya, namun
masih bersifat dzanny (dugaan). Terhadap objek yang seperti ini, cara yang
ditempuh adalah penelitian dalam menentukan makna al-‘aam[15] atau
al-khash,[16] al-mutlaq[17] dan al-muqayyad.[18] Kedua, persoalan-persoalan yang
sama sekali belum ada nashnya. Pada hal yang semacam ini, maka pemecahannya
dilakukan melalui ijtihad dengan menggunakan qiyas,[19] istihsan[20] dan
dalil-dalil hukum lainnya.[21]
D. Pendekatan
Studi Keislaman
Bertitik tolak
dari objek ijtihad di atas, ada dua corak penalaran yang perlu dikemukakan
dalam upaya menggali maqashid al-syari’ah. Dua corak penalaran dalam berijtihad
tersebut adalah penalaran ta’lili, dan penalaran istislahi.
1. Penalaran
ta’lili, adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan illat-illat
hukum yang terdapat dalam suatu nash. Asumsi dasar dari penalaran ini bahwa
nash-nash dalam masalah hukum sebagian diiringi dengan penyebutan illat-nya.
Dalam kajian ushul fiqh, corak ta’lili ini mewujud dalam bentuk qiyas dan istihsan.
2. Penalaran
Ishtilahi, adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip
kemaslahatan yang disimpulkan diri nash.[22]
Kedua model
penalaran diatas bertumpu pada penggunaan rasio. Oleh karena itu, terdapat tiga
karakter yang melekat dalam dua pendekatan di atas.
1. Pendekatan
dengan mencoba memahami ketentuan nash tanpa terikat secara kaku dengan bunyi
teks dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mencari semangat moral yang
terkandung dalam nash.
2. Pendekatan
kedua yaitu upaya mengganti pendekatan ta’abudi kepada pendekatan ta’aquli.
3. Pendekatan
ketiga berupa upaya merumuskan ‘illat hukum dan pesan moral nash dengan melihat
setting sosial dan konteks zamannya. Dalam kaitan dengan dinamika masyarakat
yang selalu berubah diiringi dengan munculnya masalah yang kompleks, maka dua
corak pendekatan penalaran di atas tampak lebih responsif dan solutif dalam
menjawab masalah hukum. Tawaran teoritik dua pendekatan ini adalah kerja ilmiah
melalui deduksi analogis dengan dasar pijakannya kemaslahatan.[23]
Islam meyakini
perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari. Islam juga memberi
posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara shahih
dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan. Tugas
agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia.
Disinilah sesungguhnya tugas seorang cendekiawan muslim untuk merumuskan
pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan konteks yang melingkupinya
agar agama menjadi fungsional dan bisa membumi. Dalam hukum Islam, perubahan
sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel penting yang ikut
mempengaruhi adanya perubahan hukum. [24] Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan
bahwa:
تغير الاحكام
بتغير الازمنة والامكنة والاحوال والعواعد والنيات
"Berubahnya
hukum dikarenakan berubahnya zaman, tempat, kebiasaan dan niat."[25]
Dalam kaidah
fiqh lainnya disebutkan:
الحكم يدور مع
العلة وجودا وعدما
“Hukum itu
berputar bersama ‘illatnya (alasan hukum), baik dari sisi wujudnya maupun
ketiadaan ‘illatnya.”[26]
Salah satu bukti
konkret betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap hukum Islam
adalah munculnya dua pendapat Imam Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim dan
qaul jadid. Pendapat lama (qaul qadim) adalah pendapat hukum Imam Syafi’i
ketika beliau berada di Baghdad.[27] Untuk lebih jelas, berikut kami paparkan
hal-hal yang melatarbelakangi timbulnya qaul qadim dan qaul jadid imam
Syafi’i.[28]
1. Faktor
geografis. Faktor geografi sangat menentukan terhadap perkembangan dan pembentukan
hukum Islam. Faktor geografis yang sangat menentukan tersebut adalah iklim dan
perkembangan daerah itu sendiri. Seperti telah diketahui iklim di Hijaz berbeda
dengan iklim di Iraq dan berbeda pula dengan iklim yang ada di Mesir, sehingga
melahirkan fatwa Imam Syafi’i yang berbeda. Adanya qaul qadim dengan qaul
jadid, membuktikan adanya berbedanya iklim dan geografi.
2. Faktor
Kebudayaan dan Adat Istiadat. Faktor kebudayaan dan adat istiadat sangat
mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan perubahan hukum Islam. Setelah banyaknya
negara-negara yang dikuasai oleh Islam, padahal negara-negara yang dikuasai
tersebut telah memiliki kebudayaan-kebudayaan dan adat-istiadat masing-masing
yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, kebudayaan dan adat-istiadat mereka
telah menyatu. Oleh karena itu asimilasi (percampuran) antara kebudayaan (adat
istiadat) setempat dengan kebudayaan Islam sering terjadi, sehingga menimbulkan
akibat lain dari hukum Islam itu sendiri. Walaupun masyarakat telah mempunyai
kebudayaan-kebudayaan lain yang mempengaruhinya, namun para fuqoha dapat pula
menimbulkan pengaruh baru, karena adanya dua faktor yang mempengaruhi
perkembangan fiqh di daerah-daerah itu, pertama milieu (lingkungan), ke dua
system yang ditempuh oleh fuqoha dalam memberikan hukum. Penafsiran-penafsiran
itu lahir sesuai dengan susunan masyarakat yang ada ditempat dan jaman itu
muncul. Jaman terus menerus membawa perubahan pada suasana masyarakat. Oleh
karena itu ajaran bukan dasar yang timbul sebagai pemikiran dijaman tertentu
belum tentu sesuai untuk jaman lain.
3. Faktor Ilmu
Pengetahuan. Faktor Ilmu Pengetahuan bisa mempengaruhi hasil ijtihad para imam
mujtahid dalam menggali hukum dan menentukan hukum. Imam Syafi’i seorang yang
ahli hadits, beliau belajar hadits kepada ImamMalik bin Anas di Madinah, Imam
Syafi’i juga seorang ahli ra’yu, karena beliau belajar kepada Imam Abu Yusuf
dan Imam Muhamamd bin Hasan murid Imam Abu Hanifahdi Iraq. Dengan faktor ilmu
pengetahuan Imam Syafi’i tersebut, maka hasil ijtihad Imam Syafi’i tidak sama
dengan gurunya yang ahli hadits maupun dengan ahli ra’yu.
Ringkasnya
Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama dari seorang Mujtahid Imam
Syafi’i jelas disebabkan faktor keilmuan yang dimiliki, struktur sosial, budaya
dan letak geografis yang berada antara daerah Iraq (Baghdad) dan Mesir.
Dalam konteks
historis, pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya memperlihatkan kekuatan
yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan
persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab
hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang
sisio-kultural dan politik dimana madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan
monumental yang sampai sekarang masih memperlihatkan akurasi dan relevansinya
adalah kerangka metodologi penggalian hukum yang mereka ciptakan. Dengan
perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari
legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan,
istishab, dan ‘urf. Dalam posisi demikian, hukum Islam akan berfungsi sebagai
rekayasa sosial (social engineering) untuk melakukan perubahan dalam
masyarakat.[29]
Untuk
menempatkan hukum pada posisi yang betul-betul fungsional dalam menghadapi
setiap perubahan sosial, diperlukan terobosan metodologis disertai kemampuan
membaca fenomena zaman. Banyak perangkat ilmu bantu yang bisa menopang
perumusan hukum menjadi aplikatif, seperti ilmu-ilmu tafsir, tarikh, dan ilmu
tata bahasa Arab. Diharapkan melalui pendekatan konvergensi antara ilmu ushul
fiqh dan ilmu-ilmu lainnya akan dapat mengurangi formalisme hukum Islam. Dalam
konteks ini, pemaknaan hukum Islam tidak harus dilihat dari perspektif nilai
saja, tetapi perlu dicari keterkaitan secara organik dan struktural dalam
kehidupan sosial. Disinilah letak pentingnya fenomena transformasi pemikiran
hukum Islam, tidak hanya dilihat sebagai fenomena keagamaan saja. Transformasi
pemikiran hukum Islam di Indonesia merupakan suatu pergumulan kreatif antara
Islam dengan masyarakat Indonesia, antara nilai-nilai Islam dengan kenyataan
struktural masyarakat. Oleh karena itu, maka program pembaruan pemikiran hukum
Islam adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari proses kehidupan
masyarakat yang selalu berubah. Akan tetapi, untuk melakukan upaya pembaruan
pemikiran hukum Islam (fiqh) diperlukan beberapa syarat, yaitu; pertama, adanya
tingkat pendidikan yang tinggi dan keterbukaan dari masyarakat muslim; kedua,
hukum Islam (fiqh) harus dipandang sebagai variasi suatu keragaman yang
bersifat partikular yang selalu dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu; ketiga,
memahami faktor sosio–kultural dan setting politik yang melatar belakangi
lahirnya suatu produk hukum agar dapat memahami partikularisme dari pemikiran
hukum tersebut; keempat, mengorientasikan istinbat hukum dari aspek qaulan
(materi hukum) kepada aspek manhaj (kerangka metodologis). Disamping itu, perlu
juga memahami pemikiran hukum yang tidak dibatasi sekat-sekat madzhab.
Keterbatasan alternatif yang dibingkai dengan sekat madzhab akan menghasilkan
produk pemikiran yang rigid (kaku) dan akan mempersulit upaya pembaruan hukum
Islam itu sendiri.[30]
E. Simpulan
Islam adalah
agama yang hanafiah, mudah dan tidak memberatkan pada umatnya. Dalam
perjalanannya, hukum Islam selalu sesuai dan disesuaikan dengan kondisi
struktur sosial, budaya dan letak geografis masyarakat tertentu. Meminjam
kaidah:
تغير الاحكام
بتغير الازمنة والامكنة والاحوال والعواعد والنيات
"Berubahnya
hukum dikarenakan berubahnya zaman, tempat, kebiasaan dan niat."
Kami mencoba
untuk membuat konklusi bahwa dari kaidah tersebut, hukum-hukum yang diterapkan
dapat sesuai dan relevan dimanapun dan kapanpun.
BIBLIOGRAFI
Al-Jauziyah, Ibn
Qayyim, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin, Bairut: Daar al-Fikr, tt.
Al-Zuhaili,
Wahbah bin Musthofa, Usul al-Fiqh al-Islamiy, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir,
1986
ash-Shiddiqie,
Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Azhar, Muhammad,
Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996
Bakri, Asafri
Jaya, Konsep Maqhashid Syari’ah Menurut as-Syatibi, Jakarta: Rajawali Press,
1996
Forum Karya
Ilmiah (FKI), Kilas balik Teoritis Fikih Islam, Lirboyo: PP. Liboyo, Kediri,
2006
Hakim, Abdul
Hamid, Al-sulam, Jakarta: Al-maktabah al-sa'adiyah putra, tt. Mabâdi' Awwaliyah
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial.
Jazuli. A., Fiqh
Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari'ah, Jakarta
Timur: Prenada Media, 2003
Rusyd, Ibn,
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Indonesia: Daar al-Kutub
al-Arabiyyah, tt.
Soekanto,
Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada,1994
Syarifudin,
Amir, Ilmu Ushul Fiqh 2 Jakarta: Logos, 1999
www.pta-banten.net/makalah/imam_syafii.pdf
Yahya, Mukhtar
dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: PT
Al-Ma’arif, 1996
[1]
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial.
[2] Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1994),
hal. 96.
[3]
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
[4] Ijtihad
secara harfiah berasal dari kata kerja jahada dapat diartikan dengan kerja
keras, sungguh-sungguh, dan pengetahuan mengenai hukum atau yurisprudensi.
Secara terminologi ijtihad diartikan sebagai mengerahkan segala kemampuan untuk
mendapatkan pengetahuan atas hukum-hukum syara' dengan jalan menggali dari
sumbernya (al-ishtinbath) yang berupa Al-quran Al-sunah. Abdul Hamid hakim,
Al-sulam, ( Jakarta: Al-maktabah al-sa'adiyah putra, tt.), hal. 47 Adapun isim
fa'il (pelaku, orang yang melakukan) dari ijtihad adalah mujtahid.
[5]
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
[6] Ibn Rusyd,
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia, Daar al-Kutub
al-Arabiyyah, T.T.), hal. 2.
[7]
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
[8] Muhammad
Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 1996), hal. 58
[9] Dalil
qath’iy adalah dalil yang tidak memiliki kemungkinan arahan lain selain makna
yang secara sekilas pendengaran dapat difahami oleh akal pikiran.
[10] Forum Karya
Ilmiah (FKI), Kilas balik Teoritis Fikih Islam, ( Lirboyo: PP. Liboyo, Kediri,
2006, ) hal. 322
[11] Wahbah bin
Musthofa al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islamiy, ( Beirut: Dar al-Fikr
al-Mu'ashir, 1986 ), juz II hlm. 1039
[12] Wahbah bin
Musthofa al-Zuhaili, Op. Cit., juz II hlm. 1039. Adapun pengertian ijtihad
dengan ro'yu dikalangan sahabat ialah sama artinya dengan ijtihad dalam istilah
yang dipakai ushuliyin (ulama' ahli usul).
[13] Amir
Syarifudin, Ilmu Ushul Fiqh 2 (Jakarta, Logos, 1999), hal. 287.
[14]
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
[15] Al-'ِِAm (العام) adalah sesuatu yang meliputi dua hal atau
lebih tanpa adanya batasan.
[16] Al-khas (الخاص) adalah sesuatu yang tidak mengandung dua
makna atau lebih tanpa adanya batasan.
[17] Mutlaq (المطلق) adalah lafal yang menunjukkan hakikat
sesuatu hal tanpa adanya batasan.
[18] Sedangkan
muqoyyad (المقيد) adalah lafal yang menunjukkan suatu hal
dengan adanya batasan (taqyid).
[19] Qiyas
secara etimologi adalah hipotesis, Sedangkan qiyas secara terminologi adalah
menyamakan hukum suatu kasus syara' yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu
kasus lain yang sudah ada ketetapan hukumnya dalam nash, dikarenakan adanya
persamaan diantara keduanya dalam 'illat (kausa, latio legis) yang dijadikan
pedoman dalam menetapkan hukum.
[20] istihsan
berarti berpaling dari dalil satu kepada dalil yang lain. Atau dengan kata lain
meninggalkan dalil satu ke dalil lainnya yang lebih kuat
[21] ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial.
Op., Cit., Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqhashid Syari’ah Menurut as-Syatibi
(Jakarta, Rajawali Press, 1996), hal. 100.
[22]Asafri Jaya
Bakri, Ibid.
[23]
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
[24] Ibid.
[25] Ibn Qayyim
al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Bairut, Daar al-Fikr,
TT), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta,
Bulan Bintang, 1993), hal. 444.
[26] A. Jazuli, Fiqh
Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari'ah, (Jakarta
Timur, Prenada Media, 2003) hlm. 57. Mukhtar Yahya dan Fathurrahman,
Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung, PT Al-Ma’arif, 1996), hal.
550. Abdul Hamid Hakim, Mabâdi' Awwaliyah, op., cit., hlm. 46
[27]
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
[28]
www.pta-banten.net/makalah/imam_syafii.pdf
[29]
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
[30] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...