1. LGBT dalam Pandangan Agama Lain
a. LGBT Dalam Pandangan Agama Hindu
Agama Hindu
sebagaimana agama-agama yang lainnya di Indonesia, Hindu juga merupakan
sruti atau wahyu tuhan dan juga smerti yang merupakan tafsir yang
mana hindu akan merealisasi sruti dengan saat atau era dimana hindu itu
dianut oleh umatnya, agama hindu bersifat universal dalam artian masih mampu
mengatur sesuai dengan dijaman dulu hingga sekarang. Hindu dikenal memiliki
pondamen dasar yaitu Tri Kerangka Agama Hindu: Tatwa (Filsafat), Etika
(Susila/Hukum), Upacara (Ritual) tentunya akan mengacu ke kerangka agama
tersebut dalam menyikapi masalah yang muncul didalam kehidupan manusia.
Kehidupan
manusia didalam agama Hindu tentunya harus mengacu pada setiap firman Tuhan
Sang Hyang Widi Wasa/Ranying Hatalla Langit, ada ayat dalam Kitab Suci
Sarasamuccaya sebagai berikut: “manusah sarvabhutesu, varttate vai cubhacubhe,
acubhesu samavistam cubhesvevavakarayet.” Artinya: Diantara semua makhluk
hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan
perbuatan baik ataupun buruk: leburlah ke dalam perbuatan baik, segala
perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.”[1]
“upabhogaih parityaktam, natmanamavasadayet, Candalatvepi manusyam,
sarvvatha tatadurlabham” Artinya: “ Oleh karena itu, jangan sekali-kali
bersedih hati sekalipun hidupmu tidak makmur; dilahirkan menjadi manusia itu,
hendaklah menjadikan kamu berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat
dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran yang hina.”
“Yo durlabhataram prapya, Manusyamlobhatonarah, Dharmavamanta,
kamatma. Bhavetsakalavancitah”
(Sarasamuccaya Sloka9 ) Artinya: “ Bila ada yang beroleh kesempatan
menjadi orang (manusia), ingkar akan pelaksanaan dharma; sebaliknya amat suka
ia mengejar harta dan kepuasan napsu serta berhati tamak; orang itu disebut
kesasar, tersesat dari jalan yang benar.“[2]
Menyimak sloka
tersebut diatas umat hindu dihadapkan pada jatidiri dan tujuan hidup didunia
ini yaitu Moksartham jagadhita ya ca iti dharma adalah tujuan hidup untuk
mencapai kesejahteraan di dunia ini maupun mencapai moksa yaitu kebahagiaan di
akhirat kelak, Moksa yang juga disebut mukti dengan tercapainya kebebasan
jiwatman atau juga disebut mencapai kebahagiaan rohani yang langgeng di akhirat
atau manunggaling kawulo gusti. Jagadhita juga disebut bhukti yaitu kemakmuran
dan kebahagiaan setiap orang, masyarakat, maupun negara. Dengan melaksanakan
swadharma masing - masing secara tekun dan penuh rasa tanggung jawab yang dalam
pelaksanaan catur dharma sebagai tugas yang patut kita dharma baktikan baik
untuk kepentingan pribadi maupun untuk umum. [3]
Sehingga
manusia yang dimaksud dalam sloka 2-3 dan 9 kitab suci sarassamusca seharusnya
manusia dapat mensyukuri kelahiran menjadi manusia dan memanfaatkan kelahiran
menjadi manusia itu sehingga manusia hindu akan berpegang teguh dengan agamanya
atau dharma sebagai dasar dan penuntun manusia di dalam menuju kesempurnaan
hidup, ketenangan dan keharmonisan hidup lahir bathin. Orang yang tidak mau
menjadikan dharma sebagai jalan hidupnya, maka tidak akan mendapatkan
kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan dialaminya. Hanya atas dasar
dharmalah manusia akan dapat mencapai kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari
ikatan duniawi ini dan mencapai moksa yang merupakan tujuan tertinggi.[4]
Sangat jelas
disini umat hindu memiliki tujuan tertinggi adalah moksa dan kehidupan didunia
yang sementara ini adalah media untuk umat hindu meningkatkan kehidupan yang
lebih baik sehingga akan menghantarkan kea lam kelanggengan yaitu manunggal
dengan Tuhan (Manunggaling Kalulo Gusti).
Pada dasarnya
manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga
mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan
telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita
yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing. Telah menjadi
kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri
untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai
tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan
merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah
bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
“Prnja nartha
striyah srstah samtarnartham ca manavah Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya
sahaditah”[5] Artinya:
Untuk menjadi Ibu wanita diciptakan, dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu
diciptakan.
Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender (LGBT) merujuk pada sloka ini cenderung tidak sesuai
dengan tujuan umat hindu yaitu agar umat Hindu selalu berbuat dharma, dharmanya
yaitu mensyukuri keadaannya terlahir sebagai manusia itu adalah utama, secara
biologi merujuk pada jenis kelamin apa yang dimilikinya, dan mengetahui tugas
fungsinya terlahir menjadi manusia dengan jati dirinya laki-laki atau wanita,
dimana kaum LGBT akan merasakan ketidak tepatan menerima kondisi/tidak
mensyukuri yang mereka alami suatu contoh terlahir menjadi laki-laki tapi tidak
melakukan dharmanya sebagai laki-laki begitu sebaliknya seorang wanita harus
tahu dharmanya sebagai wanita, disinilah kalau ditelaah kaum LGBT cenderung
menuruti nafsu birahi atau kepuasan seks saja sebagai penentu keberadaannya
(eksistensi) dirinya terlahir di dunia ini, sedangkan didalam agama hindu lebih
ditekankan kepada pengendalian diri terutama panca indrianya atau kama.[6]
Sebagaimana sloka Bhagavadgita III.7 berikut: “Yas tv indriyani manasa niyamya
rabhate ‘rjuna, Karmendriyaih karma-yogam asaktah sa visisyate.
Artinya: Sesungguhnya
orang yang dapat mengendalikan Panca Indranya, dengan pikiran, dengan panca
indranya bekerja tanpa keterikatan, ia adalah orang yang sangat dihormati.
Secara alami, pasti ada saja suara yang masuk ketelinga kita, yang mungkin
tidak mengenakkan hati.
Pengakuan
gender dan jati diri LGBT suatu hal yang tidak mengenakkan akan mendapatkan
tudingan sebagai manusia yang tidak normal terdiskriminasi, dibuli dan tidak
diterima oleh lingkungan sosialnya, tetapi saat kita bisa mengendalikan napsu
dalam panca indria kita maka akan ada kebahagiaan dan bisa kita arahkan kepada
kegiatan-kegiatan yang positip tentunya dunia terbuka dengan kegiatan positip
tersebut, tapi bila kaum LGBT memaksakan eksistensinya agar diterima dan
memaksakan akan membuat kekacauan dalam hal tujuan perkawinan, bila LGBT juga
menuntut untuk pengakuan perkawinan maka bertentangan dengan tujuan perkawinan
menurut agama hindu, tentunya untuk kaum LGBT yang harus dipahami, seyogyanya
menerima kodratnya bila terlahir menjadi laki-laki maka mengerti tugas dan
fungsi untuk menjadi seorang ayah begitu pula wanita akan menjadi seorang ibu,
disini yang perlu dipahami sebagi Ayah untuk Laki-laki dan Ibu untuk perempuan
agar dapat melestarikan kesinambungan keturunan manusia. kwajiban melaksanakan
Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh
suami dengan istrinya. [7]
Adapun 3 tujuan
pernikahan menurut ajaran Hindu menurut kitab kitab Manava dharma sastra yaitu[8]:
1.
Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang
meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab
di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.
2. Praja, kedua
mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban
kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan
dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna)
dan kepada para guru (Rsi rna).
3. Rati, kedua
mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha
dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.
Sebagaimana perihal diatas memasuki jenjang perkawinan bukan untuk sekedar memenuhi nafsu atau melampiaskan seks saja, tetapi yang lebih diutamakan adalah kewajiban memasuki klas grihasta dimana peran dan fungsi seorang laki-laki dan seorang perempuan benar-benar bisa dibuktikan yang akhirnya akan sangat membantu keberadaan kelestarian generasi penerus manusia yang suputra. Sebagaimana wacana dari 3 hal tersebut diatas tentunya satu yang tidak dapat dilakukan oleh kaum LGBT akan menjadi status Ayah dan Ibu yang sesuai dengan kodratnya yaitu untuk melahirkan keturunan guna lestarinya keberlangsungan hidup manusia.
Sebagaimana perihal diatas memasuki jenjang perkawinan bukan untuk sekedar memenuhi nafsu atau melampiaskan seks saja, tetapi yang lebih diutamakan adalah kewajiban memasuki klas grihasta dimana peran dan fungsi seorang laki-laki dan seorang perempuan benar-benar bisa dibuktikan yang akhirnya akan sangat membantu keberadaan kelestarian generasi penerus manusia yang suputra. Sebagaimana wacana dari 3 hal tersebut diatas tentunya satu yang tidak dapat dilakukan oleh kaum LGBT akan menjadi status Ayah dan Ibu yang sesuai dengan kodratnya yaitu untuk melahirkan keturunan guna lestarinya keberlangsungan hidup manusia.
Perkawinan di dalam
agama hindu adalah salah satu tahapan kehidupan yang disebut dengan Catur
Asrama; Brahmacari (masa menuntut ilmu), Grhasta (masa berumah tangga),
Wanaprasta (masa membatasi diri dari aktifitas duniawi), Bhiksukan (masa
melepaskan diri dari ikatan duniawi) penekanan ini adalah memporsikan bukan
membatasi suatu contoh: masa brahmacari tentunya 100% menuntut ilmu dalam
segala hal tetapi bagi asrama Grhasta tentunya mempraktekakan ilmu yang dulu
telah didapat dan mengembangkannya, tetap menuntut ilmu tetapi porsinya tidak
seperti sewaktu dalam fase brahmacari.[9]
Perkawinan
menurut Hindu adalah tahap masuk dalam jenjang Grhastaasrama yang intinya
adalah mendapatkan keturunan atau anak, “Anak adalah buah akibat dari adanya
proses perkawinan…….” sebagaimana dalam Tim Penyusun Hita Grha (2000:21) karena
itu anak dipandang sebagai tujuan orang melaksanakan perkawinan, menurut agama
Hindu anak merupakan dambaan setiap orang berkeluarga dan yang disebut anak
dalam agama Hindu adalah yang dijadikan tempat berlindung bagi orang yang
memerlukan pertolongan.[10]
Salah satu
masalah bila menuntut pengakuan dalam hal legalitas perkawinan bagi kaum LGBT
adalah banyak hal yang tentunya tidak dapat dilaksanakan sebagaimana tujuan
perkawinan menurut hindu adalah menghasilkan keturunan, yang dimaksud keturunan
atau anak itu adalah generasi penerus yang akan menyelamatkan leluhur dan orang
yang melahirkan juga orang-orang yang memerlukan pertolongan, dalam hal ini
tentunya tidak mungkin kaum LGBT bisa merealisasikannya sebagaimana tujuan perkawinan
menurut agama Hindu.[11]
[1]Kajeng I Nyoman
DKK.1994. Sarasamuccaya. Hanuman Sakti.
[2]Kajeng I Nyoman
DKK.1994. Sarasamuccaya. Hanuman Sakti.
[3]Kajeng I Nyoman
DKK.1994. Sarasamuccaya. Hanuman Sakti.
[4]Pudja G
DKK.2002. Manawa Dharmacastra (Manu Dharma Sastra) atau Weda Smrti
[5]Pudja G
DKK.2002. Manawa Dharmacastra (Manu Dharma Sastra) atau Weda Smrti
[6]Hawari Dadang.
2009. Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual. Jakarta. FKUI
[7]Compedium Hukum
Hindu. Jakarta. CV. Felita Nursatama Lestari.
[8]Gun gun. 2011.
Bhagawad Gita (terjemahan bergambar). Denpasar. PT. Mabhakti.
[9]Compedium Hukum
Hindu. Jakarta. CV. Felita Nursatama Lestari.
[10]Tim Penyusun.
2000. Hita Grha. Jakarta. Depag. RI
[11]Wikipedia.
(2016), “Biseksualitas.” https://id.wikipedia.org/wiki/Biseksualitas (diakses
15, agustus 2017. Jam 9:00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...