1.
Hukum Pelaku LGBT di
Indonesia
Di Indonesia
legalitas homoseksual itu sendiri tidak ada. Namun di sisi lain perkawinan
homoseksual juga tidak diakui oleh hukum Indonesia. Selama ini yang dilarang
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya homoseksual yang dilakukan
terhadap anak-anak di bawah umur. Aturan tersebut terdapat ada di Pasal 292
KUHP. Pada pasal tersebut tidak secara tegas melarang homoseksual yang
dilakukan antar orang dewasa.Meski tidak ada legalitas soal status homoseksual
di Indonesia, ada aturan pidana terkait hubungan sesama jenis yang terdapat
dalam pasal tersebut, antara lain berbunyi: “Orang yang cukup umur, yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun”
R. Soesilo
dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” menjelaskan bahwa:
1.
Dewasa
= telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah pernah
kawin.
2.
Jenis
kelamin sama = laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan.
3.
Tentang
perbuatan cabul = segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau
perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya:
cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan
sebagainya. Dalam arti perbuatan cabul termasuk pula onani.
4.
Dua
orang semua belum dewasa atau dua orang semua sudah dewasa bersama-sama
melakukan perbuatan cabul, tidak dihukum menurut pasal ini oleh karena yang
diancam hukuman itu perbuatan cabul dari orang dewasa terhadap orang belum
dewasa.
5.
Supaya
dapat dihukum menurut pasal ini, maka orang dewasa itu harus mengetahui atau
setidak-tidaknya patut dapat menyangka bahwa temannya berbuat cabul itu belum
dewasa.
Namun ada pasal
lain yang lebih tegas bisa menjerat mereka, aktor atau pelaku gay. Aturan
tersebut adalah pasal 32, 33 dan 36 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.[1]
Pasal 32: Setiap orang
yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan
produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33: Setiap orang yang
mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima
ratus juta rupiah).
Pasal 36: Setiap orang
yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum
yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang
bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). [2]
Bangsa
Indonesia ini, kata Soepomo,[3]
dibangun dalam suatu tatanan integralistik. Artinya, kita adalah masyarakat
organis. Setiap diri kita adalah anggota dari rumpun keluarga-keluarga. Model
kemanusiaan kita sebagai orang Indonesia adalah pemuliaan generasi dengan
jelasnya garis keturunan yang membentuk rumpun-rumpun kemasyarakatan. Inilah
jati diri pertama dalam bangunan hukum nasional pasca proklamasi kemerdekaan
pada 1945.
Oleh karenanya,
perilaku seksual adalah hal yang diatur secara ketat dalam suatu ikatan
perkawinan. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 merumuskannya sebagai:
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“ .
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“ .
Perilaku
seksual hanya diwadahi dalam perkawinan yang merupakan “ikatan lahir batin”
yang bertujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia bukan
sekedar catatan sipil, tapi lebih dari itu adalah pengurusan sebuah tatanan
kemasyarakatan.
Sebab,
satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual adalah pemeliharaan generasi.
Perilaku seksual tidak boleh dilakukan di luar konsesi ini, sebagaimana halnya
pelatihan militer tidak boleh dilakukan di luar tujuan mempertahankan
kedaulatan negara.
Jadi, secara
terang, pelanggengan perilaku LGBT sebagaimana halnya pemerkosaan, perzinahan/
perselingkuhan, dan seks bebas samasekali tidak mendapat tempat dalam payung
hukum Indonesia. Kesemuanya itu bukan hanya jahat kepada satu atau dua orang,
tetapi juga kejahatan bagi pemuliaan generasi. Perilaku tersebut secara jelas
menghilangkan satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual yang
dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa.[4]
[1]R. Soesilo
dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
https://kumparan.com/wisnu-prasetyo/jerat-hukum-untuk-mereka-yang-pesta-gay (Diakses pada
tanggal 15 agustus 2017, pada pukul 16: 20 )
[2]R. Soesilo
dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
https://kumparan.com/wisnu-prasetyo/jerat-hukum-untuk-mereka-yang-pesta-gay (Diakses pada
tanggal 15 agustus 2017, pada pukul 16: 20 )
[3]http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/02/29/o3a5s0388-lgbt-dalam-perspektif-hukum-di-indonesia ( Diakses pada
tanggal 15 agustus 2017, pada pukul 16:55
[4]http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/02/29/o3a5s0388-lgbt-dalam-perspektif-hukum-di-indonesia ( Diakses pada
tanggal 15 agustus 2017, pada jam 16:59 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...