Oleh: Muhammad Nur Ikhwan Muslim
الحمد لله الذي نصب من آل آائن على وحدانيته برهانا, و تصرف قي خليقته آما شاء عزا و سلطانا, و عم المذنبين بحمله و رحمته عفوا وغفرانا. و الصلاة و السلام على محمد و عبلى آله. و بعد.
Musim kemarau berlalu, berganti dengan musim penghujan. Suatu hal yang patut disyukuri karena Allah ta’ala masih menurunkan rahmat‐Nya kepada kita mengingat dosa‐dosa anak Adam sedemikian derasnya terjadi saat ini, sehingga jika kita mau memperhatikan, hampir seluruh dosa umat‐umat terdahulu telah dilakukan oleh umat manusia pada saat ini.
Dalam sebuah hadits1 disebutkan bahwa kemarau akan menimpa suatu kaum yang bermaksiat kepada Allah, sedangkan hujan yang diturunkan kepada mereka merupakan rahmat Allah ta’ala kepada hewan ternak. Asy Syaukani dalam Nailul Authar 4/26 mengatakan,
أَنَّ نُزُولَ الْغَيْثِ عِنْدَ وُقُوعِ الْمَعَاصِي إنَّمَا هُوَ رَحْمَةٌ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى لِلْبَهَائِمِ
“Sesungguhnya turunnya hujan tatkala maksiat tersebar hanyalah rahmat dari Allah ta’ala kepada hewan ternak”. Akankah kita mau berpikir?
Terkait dengan hujan, seorang muslim selayaknya mengetahui berbagai adab yang telah dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hujan turun. Beliau telah memberikan teladan kepada umatnya dalam seluruh
1 HR. Ibnu Majah nomor 4019; Hakim dan beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz Dzahabi 4/540; Hadits ini dishahihkan oleh al’Allamah Al Albani dalam Shahih Sunan IbniMajah 2/270 dan Ash Shahihah 1/7 nomor 106.
perkara, tidak terkecuali dalam permasalahan ini. Bahkan setiap muslim patut mengetahui berbagai tuntunan syari’at dalam setiap perkara agar mampu mengamalkannya, sehingga pahala akan senantiasa mengalir kepada dirinya. Oleh karena itu, melalui artikel ini, kami berusaha untuk memaparkan berbagai adab yang dituntunkan ketika Allah menurunkan hujan‐Nya ke permukaan bumi. Semoga Allah menjadikan amalan ini bermanfaat bagi diri kami pribadi dan kaum muslimin, sesungguhnya hanya kepada‐Nya semata kami memohon hidayah dan ‘inayah.
Asal Muasal Hujan
Sebagian pelajar atau mahasiswa mungkin telah mengetahui asal muasal hujan secara spesifik ketika mempelajarinya di bangku sekolah atau kuliah. Pada kesempatan ini, kita sedikit menyimak perkataan para ulama mengenai asal muasal terjadinya hujan. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka juga mengetahui pengetahuan alam yang bersifat teoritis. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
أَمَّا الْمَطَرُ : فَإِنَّ اللَّهَ يَخْلُقُهُ فِي السَّمَاءِ مِنْ السَّحَابِ وَمِنْ السَّحَابِ يَنْزِلُ آَمَا قَالَ تَعَالَى : { أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ} { أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ } وَقَالَ تَعَالَى : { وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا } وَقَالَ تَعَالَى : { فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلاَلِهِ } أَيْ مِنْ خِلاَلِ السَّحَابِ . وَقَوْلُهُ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ السَّمَاءِ : أَيْ مِنْ الْعُلُوِّ وَالسَّمَاءُ اسْمُ جِنْسٍ لِلْعَالِي قَدْ يَخْتَصُّ بِمَا فَوْقَ الْعَرْشِ تَارَةً وَبِالْأَفْلَاكِ تَارَةً وَبِسَقْفِ الْبَيْتِ تَارَةً لِمَا يَقْتَرِنُ بِاللَّفْظِ وَالْمَادَّةُ الَّتِي يُخْلَقُ مِنْهَا الْمَطَرُ هِيَ الْهَوَاءُ الَّذِي فِي الْجَوِّ تَارَةً وَبِالْبُخَارِ الْمُتَصَاعِدِ مِنْ الْأَرْضِ تَارَةً وَهَذَا مَا ذَآَرَهُ عُلَمَاءُ الْمُسْلِمِينَ وَالْفَلَاسِفَةُ يُوَافِقُونَ عَلَيْهِ .
“Adapun hujan, Allah menciptakannya dalam awan yang terletak di angkasa raya, dari awan itulah hujan tersebut turun sebagaimana firman Allah ta’ala,
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ ( ٦٨ )أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ ( الْمُنْزِلُونَ ( ٦٩
“Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?” (Al Waaqi’ah: 68‐69).
( وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا ( ١٤
“Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah” (An Nabaa’: 14).
( فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلالِهِ ( ٤٣
“Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celahcelahnya” (An Nuur: 43).
Maksudnya adalah dari celah-celah awan.
Firman Allah مِنْ السَّمَاءِ dalam berbagai memiliki maksud مِنْ الْعُلُوِّ (dari arah atas). Lafadz as sama’ merupakan kata benda yang diperuntukkan bagi segala sesuatu yang berada di atas, terkadang diperuntukkan bagi sesuatu yang berada di atas ‘arsy, terkadang diperuntukkan bagi bintangbintang, terkadang lafadz tersebut digunakan untuk atap rumah tergantung penempatan lafadz tersebut. Sedangkan unsur penyusun hujan adalah udara yang berasal dari angkasa atau uap air yang berasal dari bumi, inilah yang dikatakan oleh ulama kaum muslimin dan disetujui oleh para filsuf (Majmu’ Fatawa 24/262).
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,
ذآر العلماء أن بخار ماء البحار قد يجتمع منه الماء في السحب بأمر الله سبحانه، وقد يخلق الماء في الجو فيمطر به الناس بأمر الله سبحانه، وهو القادر على آل شيء، آما قال سبحانه وتعالى: {إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ آُنْ فَيَكُونُ}، والله جل وعلا أعلم بما يصلح عباده، فقد يكون تجمع هذه المياه بإذن الله من البحار ثم يجعله الله عذبًا بعد ذلك في الفضاء يقلبه الله من ملوحة إلى آونه عذبًا، ويسوقه في السحاب إلى ما يشاء سبحانه وتعالى من الأراضي المحتاجة إلى ذلك آما يشاء جل وعلا.
وقد يخلق الله سبحانه الماء في الجو فتحمله السحب والرياح إلى أماآن محتاجة إلى ذلك، ذآر هذا المعنى ابن القيم – رحمه الله – في آتابه مفتاح دار السعادة، وذآره غيره
“Para ulama mengatakan bahwa uap air yang berasal dari laut terkadang terkumpul di awan membentuk air hujan dengan ketentuan Allah subhanahu, terkadang air hujan tersebut terbentuk di angkasa, kemudian dengan ketentuan Allah hujan tersebut turun kepada manusia, Dia Mahakuasa untuk berbuat hal tersebut, sebagaimana firmanNya,
( إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ آُنْ فَيَكُونُ ( ٨٢
“Sesungguhnya keadaanNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia” (Yaasin: 82).
Allah Maha tahu terhadap segala sesuatu yang dibutuhkan para hambaNya. Maka terkadang dengan izin Allah seluruh air ini terkumpul dari samudera kemudian Allah menjadikannya tawar di angkasa, Dia merubah air tersebut, yang semula asin menjadi tawar. Sesuai kehendakNya, Allah menggiring air yang berada dalam awan ke berbagai belahan bumi yang membutuhkan.
Terkadang Allah menciptakan air tersebut di angkasa, kemudian awan dan angin membawanya ke berbagai tempat yang membutuhkan. Hal di atas telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Miftaah Daaris Sa’adah, juga disebutkan oleh ulama selain Ibnul Qoyyim” (Majmu Fatawa Ibni Baaz 13/87).
Hanya Allah yang Mengetahui Kapan Turunnya Hujan
Waktu turunnya hujan merupakan salah satu dari mafatihul ghaib (kunci-kunci perkara gaib) yang hanya diketahui oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada yang mampu mengetahuinya melainkan Allah semata. Allah ta’ala berfirman,
( وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ ( ٥٩
“Dan pada sisi Allahlah kuncikunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri” (Al An’aam: 59).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَفَاتِحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا اللَّهُ لاَ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ إِلَّا اللَّهُ وَلَا يَعْلَمُ مَا تَغِيضُ الْأَرْحَامُ إِلَّا اللَّهُ وَلَا يَعْلَمُ مَتَى يَأْتِي الْمَطَرُ أَحَدٌ إِلَّا اللَّهُ وَلَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ وَلَا يَعْلَمُ مَتَى تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا اللَّهُ
“Kunci-kunci gaib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah semata. Tidak ada yang mengetahui kejadian di masa depan melainkan Allah semata, tidak ada yang mengetahui apa yang berada di rahim seorang ibu melainkan Allah, tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan turunnya hujan melainkan Allah semata. Tidak satupun jiwa mengetahui dimana dirinya akan mati dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadi kiamat melainkan Allah semata” (HR. Bukhari nomor 4328).
Dalam riwayat lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 1 Juni 2009
مفاتح الغيب خمس إن الله عنده علم الساعة وينزل الغيث ويعلم ما في الأرحام وما تدري نفس ماذا تكسب غدا وما تدري نفس بأي أرض تموت
“Kunci-kunci gaib itu ada lima, sesungguhnya hanya Allah yang mengetahui waktu terjadinya kiamat, turunnya hujan dan apa yang berada dalam rahim. Tidak seorang pun mengetahui apa yang akan dialaminya besok dan di belahan bumi mana ajal menjemputnya” (HR. Bukhari nomor 1039).
Oleh karena itu barangsiapa yang mengaku memiliki ilmu gaib untuk mengetahui waktu turunnya hujan sungguh dirinya telah kafir dan murtad dari Islam karena merampas hak prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam.
Catatan: Jika seorang bisa memperkirakan waktu turunnya hujan dengan menggunakan alat-alat yang mendukung tersebut maka ini tidak termasuk mengetahui yang gaib karena sebagaimana penjelasan Syeikh Sholih as Suhaimi yang saya dengar sendiri ketika daurah di Malang beberapa waktu yang lewat bahwa yang dimaksud mengetahui hal yang gaib adalah jika tanpa alat pembantu, ed.
Hanya Allah yang Mampu Menurunkan Hujan
Keyakinan bahwa turunnya hujan dengan perantaraan bintang, baik dengan peredarannya maupun dengan berbagai tandanya merupakan perkara jahiliyah yang telah dilarang oleh Islam dan tergolong sebagai kekafiran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُآُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ
“Empat perkara di tengah-tengah umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah, dan tidak mereka tinggalkan, yaitu berbangga diri dengan kemuliaan nasab (leluhur), mencela keturunan, menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang dan meratapi mayit” (HR. Muslim 934).
Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah ta’ala berfirman,
وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ آَذَا وَآَذَا فَذَلِكَ آَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْآَبِ
“Adapun orang yang megatakan, “Kita diberi hujan disebabkan bintang ini dan bintang itu, maka orang tersebut kafir terhadapKu dan beriman kepada bintangbintang” (HR. Muslim nomor 71).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ السَّمَاءِ مِنْ بَرَآَةٍ إِلَّا أَصْبَحَ فَرِيقٌ مِنْ النَّاسِ بِهَا آَافِرِينَ يُنْزِلُ اللَّهُ الْغَيْثَ فَيَقُولُونَ الْكَوْآَبُ آَذَا وَآَذَ
“Tidaklah Allah menurunkan berkah dari langit (yaitu hujan, ed), melainkan sebagian manusia ada yang menjadi kafir karenanya. Allah yang menurunkan hujan namun mereka mengatakan: “Bintang ini dan bintang itu yang menurunkan hujan” (HR. Muslim nomor 73).
Imam Asy Syafi’i dalam al Umm 1/418 mengatakan,
أن من قال : مطرنا بفضل الله ورحمته فذلك إيمان بالله لأنه يعلم أنه لا يمطر ولا يعطي إلا الله عز وجل وأما من قال مطرنا بنوء آذا وآذا على ما آان بعض أهل الشرك يعنون من إضافة المطر إلى أنه أمطره نوء آذا فذلك آفر آما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن النوء وقت والوقت مخلوق لا يملك لنفسه ولا لغيره شيئا ولا يمطر ولا يصنع شيئا فأما من قال : مطرنا بنوء آذا على معنى
مطرنا بوقت آذا فإنما ذلك آقوله : مطرنا في شهر آذا ولا يكون هذا آفرا وغيره من الكلام أحب إلي منه قال الشافعي : أحب أن
يقول : مطرنا في وقت آذا وقد روى عن عمر أنه قال يوم الجمعة وهو على المنبر: آم بقى من نوء الثريا؟ فقام العباس فقال لم يبق منه شئ إلا العواء فدعا ودعا الناس حتى نزل عن المنبر فمطر مطرا حيى الناس منه وقول عمر هذا يبين ما وصفت لانه إنما أراد: آم بقى من وقت الثرياء؟ ليعرفهم بأن الله عزوجل قدر الامطار في أوقات فيما جربوا آما علموا أنه قدر الحر والبرد بما جربوا في أوقات
“Barangsiapa yang mengatakan, “Hujan turun karena karunia Allah dan rahmatNya”, maka hal tersebut merupakan bentuk keimanan kepada Allah. Sebab dirinya mengetahui bahwa tidak ada yang mampu menurunkan dan memberikan hujan melainkan Allah ‘azza wa jalla. Adapun orang yang mengatakan, “Hujan turun karena bintang ini dan bintang itu”, sebagaimana yang dikatakan oleh kaum musyrikin, maksudnya menisbatkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, maka hal tersebut adalah kekafiran, seperti yang telah disabdakan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, nau’ (gugusan bintang) hanyalah petunjuk waktu dan dia adalah makhluk. Sedikitpun tidak kuasa terhadap dirinya sendiri, apalagi terhadap selainnya. Tidak kuasa menurunkan hujan dan melakukan suatu apapun. Adapun orang yang mengatakan, “Hujan turun karena bintang ini” dengan maksud hujan turun pada waktu munculnya bintang ini,maka perkataan ini seperti perkataan, “Hujan turun pada bulan ini”. Hal ini bukan kekafiran, namun saya lebih menyukai perkataan lain daripada ucapan tersebut.
Saya (Asy Syafi’i) lebih menyukai ucapan “Hujan turun pada waktu ini.” Telah diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab radliallahu 'anhu, bahwa ia berkata di atas mimbar pada hari Jum’at: ‘Berapakah gugusan bintang yang masih terlihat?’ Al ‘Abbas bangkit lalu berkata, ‘Tidak ada satupun yang terlihat kecuali suara lolongan.’ Maka beliau berdo’a dan orang-orang
pun turut berdo’a, kemudian beliau turun dari mimbar. Tidak lama kemudian turunlah hujan sehingga orangorang bersuka cita menyambutnya. Perkataan ‘Umar itu menjelaskan apa yang saya (Asy Syafi’i) uraikan di atas, sebab maksud beliau adalah: ‘Berapa lamakah waktu gugusan bintang masih terlihat?’ Tujuannya untuk menjelaskan kepada mereka, Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan turunnya hujan menurut pengalaman yang biasa mereka alami selama ini, sebagaimana mereka mengetahui bahwa Allah telah menetapkan waktu musim panas dan dingin menurut pengalaman yang biasa mereka alami.”
Imam An Nawawi dalam Al Adzkar (1/182) mengatakan
قال العلماء : إن قال مسلم : مطرنا بنوء آذا ، مريدا أن النوء هو الموجد والفاعل المحدث للمطر ، صار آافرا مرتدا بلا شك ، وإن قاله مريدا أنه علامة لنزول المطر ، فينزل المطر عند هذه العلامة ، ونزوله بفعل الله تعالى وخلقه سبحانه ، لم يكفر. واختلفوا في آراهته ، والمختار أنه مكروه ، ولأنه من ألفاظ الكفار ، وهذا ظاهر الحديث ، ونص عليه الشافعي رحمه الله في " الأم " وغيره ، والله أعلم.
“Para ulama berkata, “Apabila seorang muslim mengatakan, “Hujan turun karena bintang ini”, dengan maksud bintang tersebut yang menciptakan dan menurunkan hujan, maka dirinya kafir, murtad tanpa ada keraguan. Apabila dia mengatakannya dengan niat bintang tersebut adalah tanda turunnya hujan, dan (biasanya) hujan akan turun tatkala tanda tersebut muncul, sedangkan (dirinya meyakini) bahwa Allahlah yang menurunkan hujan tersebut, maka dia tidak kafir. Namun para ulama berselisih pendapat mengenai hukum ucapan tersebut, makruh ataukah tidak. Pendapat yang terkuat perbuatan tersebut hukumnya makruh, karena katakata
tersebut termasuk ucapan orang-orang kafir. Itulah makna yang tersurat dari hadits tersebut. Asy Syafi’i rahimahullah telah menegaskan hal ini dalam ‘Al Umm’ dan kitab lainnya. Wallahu a’lam.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...