Ibn al-Muqaffa adalah "insiator" taqnin hukum Islam. Pengkajian dan pendalaman gagasan Ibn al-Muqaffa tidak dimaksudkan untuk mengeliminir peran para khalifah yang telah berupaya membuat "keputusan politik" untuk menyelamatkan ajaran-ajaran agama sebagai telah disinggung dalam taqnin dari sisi sejarah hidup sahabat.
Nama lengkap Ibn al-Muqaffa adalah Abu Muhammad Ibn al-Muqaffa; beliau lahir pada tahun 102 H/720 M. di Persia. Oleh karena itu, Ia dikenal pula sebagai "penulis Arab bertkebangsaan Persia." Beliau meninggal pada tahun 139 H/756 M. karena hukuman mati atas keputusan Abu Ja‘far al-Mansur (khalifah kedua Dinasti Bani Abbas yang memerintah pada periode 137-159 H/754-775 M). Usia Ibn al-Muqaffa sangat singkat, yaitu hanya 37 tahun (102-139 H).
Ibn Muqaffa hidup sezaman dengan Imam Malik di Madinah (93-179 H). Akan tetapi, belum ditemukan literatur yang menginformasikan pertemuan secara fisik dua ulama besar tersebut. Mungkin ketidakbertemuan mereka disebabkan oleh jarak yang berbeda, Imam Malik di Madinah; sementara Ibn al-Muqaffa di Kirman (Irak); ketika Ibn al-Muqaffa meninggal, usia Imam Malik sudah paruh baya, yaitu 43 tahun. Banyak pertanyaan mengenai beliau, sebab beliau memiliki nama "kurang lazim" untuk ukuran seorang sekretaris Gubernur Kirman (di Irak) pada zaman Dinasti Bani Abbas. Al-muqaffa secara bahasa berarti "orang yang dipotong tangannya." Pertanyaan mengenai nama ini dapat dijawab melalui sejarah yang menceritakan dia dengan bapaknya.
Ibn al-Muqaffa memiliki ayah yang bernama al-Mubarak. Al-Mubarak bertugas sebagai pemungut pajak di daerah Irak dan Iran ketika Hajjaj Ibn Yusuf al-Saqafi menjadi Gubernur Irak dan Iran (41–95 H atau 661-714 M) pada masa kekuasaan Dinasti Bani Umayah. Al-Mubarak melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya, yaitu menggelapkan sebagian hasil pungutan pajak; oleh karena itu, ia dijatuhi hukuman potong tangan (sanksi pencurian adalah potong tangan seperti terdapat dalam Quran). Sejak saat itulah al-Mubarak digelari al-muqaffa‘ (orang yang terpotong tangannya). Gelar ini kemudian dilekatkan pada nama anaknya, Abu Muhammad Ibn al-Muqaffa. Secara harfiah, Ibn al-Muqaffa berarti "anak orang yang tangannya terpotong."
Ibn al-Muqaffa bukan ahli hukum (fikih atau usul fikih). Oleh karena itu, nama beliau dalam sejarah fikih atau hukum Islam jarang sekali (untuk mengatakan tidak pernah) ditulis sebagai penghargaan terhadap gagasannya. Beliau adalah "politisi" yang ditandai dengan jabatannya sebagai sekretaris Gubernur Kirman. Beliau dikenal sebagai sosok yang cerdas dan responsif yang sangat besar perhatiannya terhadap perbaikan (islah) masyarakatnya.
Karena kecerdasan tersebut, Ibn al-Muqaffa pernah diminta oleh khalifah Abu Ja‘far al-Mansur (khalifah kedua Dinasti Bani Abbas) untuk menyusun konsep perjanjian damai antara khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan dengan saudaranya, Abdullah Ibn Ali, yang melakukan makar (pemberontakan). Tetapi dalam "draft" perjanjian tersebut terdapat pernyataan-pernyataan yang menyinggung khalifah Abu Ja‘far al-Mansur. Abu Ja‘far al-Mansur marah dan curiga terhadap Ibn al-Muqaffa dan menuduhnya sebagai pendukung pemberontak. Karena murka, Abu Ja‘far al-Mansur memerintahkan kepada Gubernur Kirman keatika itu, Sufyan Ibn Mu‘awiyah al-Muhalibi, untuk memecat Ibn al-Muqaffa dari jabatannya sebagai sekretaris gubernur, sekaligus menjatuhkan hukuman mati terhadapnya karena ia dianggap sebagai pemberontak. Hukuman mati dijalaninya pada tahun 139 H/756 M.
Ibn al-Muqaffa dikenal sebagai ulama yang kritis dan cerdas dalam memperhatikan praktek hukum yang hidup dan berkembang pada zamannya. Ibn Muqaffa mencetuskan gagasan taqnin al-ahkam berkaitan dengan "kesenjangan" hukum dengan putusan hakim yang terjadi pada zamannya. Idenya dituangkan dalam Risalah al-Sahabat; surat tersebut kemudian diterbitkan dengan judul Rasa’il al-Bulaga setelah diedit oleh Ibn Taifur. Secara garis besar, risalah itu berisi tentang kritik dan saran perbaikan hukum dalam empat bidang: militer, peradilan, rekrutmen pegawai pembantu khalifah, dan pajak tanah (al-kharaj). Selain itu, ia pun memberikan saran kepada khalifah. Kritik yang paling banyak dialamatkan pada militer. Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada militer adalah:
- Seharusnya dibuat peraturan perundang-undangan khusus mengenai prajurit tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dengan peraturan, prajurit akan mengetahui mana yang halal dan mana yang haram dilakukan. Hal ini berkaitan dengan doktrin militer ketika itu yang menyatakan bahwa "kalau amir al-mu’minin (khalifah) menginstruksikan agar salat membelakangi Ka’bah, pasti instruksi tersebut akan didengar dan ditaati.
- Seharusnya dibuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang "pemisahan" administrasi militer dan administrasi keuangan pemerintahan. Hal ini berkaitan dengan militer yang ditugaskan di daerah yang dinyatakan dalam status "darurat militer" yang mengambil alih sistem keuangan di daerah tersebut dengan bertindak arogan. Padahal tugas utamanya adalah mengamankan daerah, bukan mengambil alih keuangannya.
- Jabatan panglima dan komandan militer hendaknya dipegang oleh prajurit yang terbaik atas dasar prestasi (bukan atas dasar yang lain).
- Prajurit hendaknya dibekali ilmu pengetahuan dan agama, khususnya berkaitan dengan moral (akhlak), amanah (accountable), iffah (terpelihara dari perbuatan-perbuatan tercela), rendah hati (tawadu), dan kesederhanaan.
- Seharusnya prajurut mendapatkan imbalan (baik berupa gaji maupun honor) tepat waktu, agar dapat menjalankan tugas dengan baik dan semangat.
- Khalifah seharusnya selalu memperhatikan fisik dan mental prajurit; sehingga ia dapat memberikan bantuan pada saat yang tepat dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada perbaikan peradilan berkaitan dengan "kepastian hukum." Ibn al-Muqaffa menyarankan agar khalifah menyusun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pedoman bagi para hakim di pengadilan-pengadilan dalam menyelesaikan sengketa. Peraturan dapat menjamin kepastian hokum sepanjang ia dapat mengikuti perubahan zaman. Secara implisit, Ibn al-Muqaffa memberikan ruang kepada khalifah dan hakim untuk melakukan ijtihad demi tereliminirnya "kesenjangan" antara hukum dalam ide (maqasid) dan hukum dalam teks peraturan perundang-undangan. Kritik ini berkaitan dengan ragamnya putusan hakim karena tidak ada pedoman keputusan yang disepakati.
Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada perbaikan rekruitmen pegawai berkaitan dengan kriteria dan profesionalisme pegawai. Ibn al-Muqaffa mengusulkan agar pegawai yang diangkat untuk menjadi para pembantu khalifah harus memiliki standar atau kriterai tertentu; calon pegawai haruslah adil, amanah, dan berasal dari keturunan orang baik-baik. Pegawai seharusnya dibebani tugas yang jelas (fokus), dan tidak dibenarkan memegang banyak pekerjaan (seperti rangkap jabatan).
Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada perbaikan pajak tanah berkaitan dengan administrasi pertanahan. Ibn al-Muqaffa mengusulkan agar administrasi tanah ditertibkan; terutama berkaitan dengan pajak dan batas-batas kepemilikan tanah. Kejelasan aturan administrasi dan pajak tanah serta batas-batas tanah akan memudahkan pegawai pemungut pajak dan petugas yang menyalahgunakan kewenangannya agar diberi sanksi.
Ibn al-Muqaffa juga meyarankan kepada para khalifah agar benar-benar menjadi suri tauladan (uswah hasanah) bagi masyarakat. Saran ini tentu saja berkaitan dengan moralitas para khalifah Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah yang cenderung menghalalkan segala cara demi mencapai dan mempertahaknkan kekuasaan; dan di antara mereka dianggap jauh dari nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Ibn al-Muqaffa juga meyarankan kepada para khalifah agar benar-benar menjadi suri tauladan (uswah hasanah) bagi masyarakat. Saran ini tentu saja berkaitan dengan moralitas para khalifah Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah yang cenderung menghalalkan segala cara demi mencapai dan mempertahaknkan kekuasaan; dan di antara mereka dianggap jauh dari nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika Ibn al-Muqaffa masih hidup, gagasannya yang tertuang dalam kitab Risalat al-Sahabah yang kemudian diterbitkan juga dengan judul Risalat al-Bulaga, tidak mendapat perhatian dari para aparat hukum ketika itu. Apalagi, akhir hayat Ibn al-Muqaffa dilalui dengan tragis; ia dituduh sebagai pemberontak dan karenanya ia dipecat (dari sekretaris gubernur) dan dihukum mati.
Setelah Ibn al-Muqaffa meninggal, sebagian mujtahid merasa perlu mempertimbangkan gagasan Ibn al-Muqaffa, terutama yang berkaitan dengan "kodifikasi" hukum. Hal yang sama juga dirasakan oleh Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur. Oleh karena itu, ketika menunaikan ibadah haji (tahun 163 H/760 M), kira-kira empat belas tahun setelah kematian Ibn al-Muqaffa, Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan sengaja menemui Imam Malik guna memintanya menyusun sebuah kitab fikih dengan menetapkan hukum dari sumber-sumber primer, dengan mempertimbangkan prinsip kemudahan dalam melaksanakan hukum. Ketika itu Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur meminta Imam Malik agar memilih pendapat yang sederhana, menengah, dan disepakati oleh para sahabat sehingga buku itu dapat dijadikan pegangan di seluruh negeri.
Menanggapi permintaan khalifah Abu Ja‘far al-Mansur, Imam Malik menjawab dengan mengatakan bahwa sesungguhnya penduduk Irak tidak menerima pendapatnya, bahkan penduduk Irak menganggap bahwa pendapatnya tidak benar (salah). Jawaban ini mengisyaratkan akan keberatan Imam Malik untuk melakukan kodifikasi hukum.
Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur menanggapi jawaban Imam Malik dengan mengatakan bahwa beliau akan menjamin hukum yang sudah dikodifikasi nanti untuk diberlakukan di seluruh negeri; hakim yang tidak mau menerapkannya akan berhadapan dengan hukuman khalifah. Pada musim haji tahun depan, lanjut Abu Ja‘far al-Mansur, akan diutus al-Mahdi (pengganti khalifah Abu Ja‘far al-Mansur berikutnya) untuk mendatangi Imam Malik yang telah menyiapkan buku tersebut yang bernama al-Muwatta. Gagasan Ibn al-Muqaffa juga kemdian dipraktekan oleh Kerajaan Turki Usmani yang telah melakukan kodifikasi hukum yang kemudian dinamai Majallat al-Ahkam al-Adliyyah.
Khalifah yang telah memvonis Ibn al-Muqaffa sebagai pemberontak dan menjatuhi hukuman mati terhadapnya, ternyata masih memerlukan gagasannya. Khalifah Abu Ja‘far al-Mansurlah yang menuduh beliau "bersekongkol" dengan pemberontak; karenanya ia dipecat dari jabatannya dan dihukum mati; dan Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur pula yang meminta Imam Malik untuk mengimplementasikan gagasan Ibn al-Muqaffa. Ini bukti bahwa gagasan atau pemikiran tetap dihargai, meskipun penggagasnya belum tentu dihargai.
Terima kasih atas tulisannya. Mudah2an anda dapat terus menulis. Terima kasih.
BalasHapusmasya allah terimakasih banyak semoga bisa terus bermanfaat melalui tulisan tulisan penuh berkah dan makna
BalasHapus