Oleh : Abdurrahman
Jauhi Maksiat Dekati Pelakunya, eits…. Ga salah judul neeh…? Atau malah ngajak maksiat? Astaghfirullah…. Enggaklah. Judul tulisan ini bener kok, jauhi maksiat iya khan? Sampai sini sih semua sepakat, yang namanya maksiat memang harus dijauhi oleh setiap muslim karena bagaimanapun maksiat akan mendatangkan mudzarat bagi diri sendiri dan juga orang lain. Gak percaya? Coba aja itung satu-satu, mau berzina? Rugi khan plus merusak nasab. Mau berjudi? Bisa jadi akan kalah, menangpun tidak barakah. Mau mabuk, haru pakai uang dan merusak akal. Pronografi? Membuat kecanduan. Pokoke mah… semua bentuk maksiat itu akan membuat diri kita menjadi tidak tenang, hidup gamang dan penuh dengan kekhawatiran. Bener? Coba aja sendiri (bukan nyuruh maksiat lho…) tapi sebagai insan yang pernah terjatuh ke lembah kehinaan, saya pernah merasakan bahwa ternyata maksiat bikin hidup tidak nikmat. Belum lagi nanti dilaknat oleh malaikat dan semua yang bisa melaknat.
Terus kalau dekati pelaku maksiat? Saya yakin gak semua orang setuju dengan pernyataan ini. Kebanyakan orang beriman akan menjauhi maksiat dan pelakunya sama kaya menjauhi syirik dan pelakunya. Tapi kayaknya bener gak sih tindakan ini? Lanjut dong bacanya….
Sekelumit kisah ini menjadi ibrah buat kita ternyata ahli maksiat itu tidak harus dijauhi justru dekati dia agar mau kembali ke jalanNya : sebut saja Abdullah karena tinggal di metropolitan akhirnya ia juga terkena limbah maksiat kota. Ia terjatuh ke lembah hitam dan jurang kemaksiatan, berkali-kali dia melakukan dosa besar, tidak tanggung-tanggung maksiat yang dilakukannya seharusnya menjadikan dia mati di tiang gantungan atau dipancung di depan insan or dirajam dengan bebatuan. Syukur aja ia tinggal di Indonesia jadi hukuman itu gak sampai dilakukan. Alhamdulillah dengan izin Allah ta’ala ia mendapatkan hidayah Islam wa sunnah hingga mengantarnya bisa memahami Islam ini secara lebih kaffah. Ketika dia sedang semangat-semangatnya mempelajari agama, tiba-tiba dorongan untuk melakukan maksiat itu muncul lagi, namun dengan sekuat tenaga ia melawannya. Dia menceritakan semua hal tentang dirinya, tentang kemaksiatan yang dilakukannya kepada seorang ustadz (curhat githu deh….). ustadz tersebut menaggapi dengan serius dan memberikan beberapa solusi kepadanya.
Singkat cerita Abdullah bersyukur dengan hal itu, namun di luar dugaan ternyata berita tentang aibnya tersebut tersebar di tempat dia belajar agama hingga sebuah perlakuan tidak manusiawi harus dia hadapi. Bahasa kerennya dihajr (didiamkan, tidak diajak bicara dan salam) oleh orang-orang di sekitarnya. Tidak itu saja ia bahkan dipandang dengan sebelah mata (bukan buta sebelah…) selain itu ia juga dianggap seperti penyakit atau pembawa penyakit yang menakutkan semua orang sehingga harus dijauhi dan kalau perlu dibuang. Abdullah benar-benar terpukul dan menyesal kenapa harus menceritakan kepada orang lain, ia yang menginginkan kembali ke jalan yang benar justru mendapatkan perlakuan yang sewenang-wenang. Ia sedih luar dalam, tidak ada tempat mengadu, hanya termangu, malu dan aarrrrrgggghhhh…
Sekilas mungkin tindakan orang lain terhadap Abdullah benar, sama seperti kalau mereka melihat eks pelacur, mereka akan menjauhinya atau jika ada mantan maling pasti orang-orang akan selalu curiga dengannya. Demikian juga jika ada seorang teroris yang sudah bertaubat dan kembali ke masyarakat maka bisa jadi masyarakat akan mengucilkannya. Tapi, haruskah demikian? Dalam kasus ini seringkali para ahlu maksiat tersebut akan tertekan dan akhirnya kembali lagi ke jalan kesesatan yang dulu dia lakukan. Pada kasus Abdullah dia juga sempat berfikir akan kembali ke jalannya yang dahulu, karena ia merasa sakit sekali ketika dijauhi oleh teman-temannya yang notabene “paham” agama.
Ternyata menjauhi ahli maksiat dalam beberapa kasus bukan menyelesaikan masalah justru akan membuat ahli maksiat tersebut menjauhi kebenaran. Sebagai orang beriman memang kita harus menjauhi ahli maksiat, namun jika hal itu justru menjadikan dakwah tidak sampai kepada mereka atau mereka semakin larut dengan kemaksiatannya ini adalah sebuah kesalahan. Alangkah indahnya ketika ada ahli maksiat kita mendekatinya yang mencoba untuk menyadarkannya, tentu ini lebih baik daripada mencela, mencaci, menghina dan menjauhinya.
Kita sering terjebak kepada perasaan diri ini suci dan tidak punya kesalahan, sehingga ketika melihat para pelaku maksiat kita merasa jijik dan benci. Padahal mereka juga manusia yang bisa jadi ingin lepas dari kemaksiatan tersebut… kita juga paham bahwa manusia tidak ada yang sempurna setiap manusia pasti pernah berbuat dosa. Jangan dikira seorang yang memiliki pengetahuan agama luas tidak digoda oleh syaithan, semakin tinggi iman seseorang maka godaan itu akan semakin kuat. Bukankah pohon ketika semakin tinggi maka angin yang menerpanya akan semakin kencang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...