A. Pendahuluan
Ada suatu kecenderungan yang sangat terlihat di kalangan bangsa Arab, baik itu sebelum datangnya Islam atau sesudahnya. Kecenderungan yang sangat umum ini adalah memegang teguh praktek-praktek hidup, tradisi atau adat. Bagi mereka, hukum yang sudah berlaku dan diakui oleh masyarakat merupakan hukum yang sah dan harus diikuti. Konsep adat yang menjadi hukum ini sebenarnya hanyalah pada masalah politik saja, tapi tampaknya setelah meninggalnya Rasulullah SAW konsep adat atau tradisi ini berubah atau meluas pada hukum.[1]
Maka tak heran, jikalau mereka sungguh kental dalam memegang kebiasaan yang sudah berlaku sejak zaman sebelum mereka. Menurut kami, orang Arab mempunyai kesetiaan kepada pemimpinnya lebih daripada kesetian orang-orang non-Arab kepada pemimpin mereka, selain itu orang Arab juga mempunyai suatu adat atau kebiasaan yang sungguh komplek dan berpengaruh satu sama lainnya. Apresiasi mereka terhadap bahasa yang fashih dan baligh sangat besar. Bahasa merupakan salah satu wujud dari kehormatan mereka. Seseorang akan lebih mulia dan terkenal dengan banyaknya syair yang ia gubah dan mendapat kehormatan untuk ditempelkan di Ka’bah, yang lazimnya disebut Mu’allaqot. Hal ini juga sangat berpengaruh kepada kebiasaan mereka untuk menghafal hikam, amtsal, syair dan beberapa bentuk perkataan yang indah dan penuh makna dalam pandangan mereka.
Adat, kebiasaan di sini adalah berarti sama dengan sunnah sebelum Imam Syafi’i merumuskan Ushul Fikihnya. Imam Syafi’ilah yang kemudian memberi konotasi sunnah dengan praktek Nabi. Sunnah yang sudah mendapat konotasi baru inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar peletakan Hukum Islam. Sedangkan sunnah penduduk Madinah, Penduduk Kufah dan Bashrah, yang pada masa sebelum Syafi’i sangat berperan besar bahkan menjadi salah satu dasar hukum, kemudian ditolak kecuali mempunyai dasar dari Alquran al-Karim ataupun Sunnah Nabi.
Kami mengemukakan sekelumit sejarah ini dikarenakan ternyata banyak para sarjana-sarjana muslim menganggap bahwa kebiasaan, adat dan tradisi selain praktek Nabi, itulah yang disebut dengan ‘urf.
Dengan mempelajari sejarah, kita akan terbantu untuk memahami bagaimana kemudian ‘urf ini menjadi sangat berperan dalam pembentukan Hukum Islam. Hal ini tampaknya berangkat dari anggapan bahwa sunnah mereka adalah sunnah yang terpelihara dan paling dekat dengan Sunnah Nabi. Selain itu ternyata ada beberapa persoalan-persoalan hukum yang tidak dengan rinci diatur dalam Alquran al-Karim ataupun sudah ada dalam praktek atau keputusan Nabi Muhammad SAW.
Dalam kajian Ushul Fikih dikenal adanya Istihsan, Maslahah dan ‘urf. Dalam menemukan hukum dan menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, maka Alquran al-Karim dan Sunnah Nabi perlu dijelaskan dan diambil intisarinya hingga dapat dipahami apakah suatu kebiasaan dalam masyarakat bisa menjadi hukum apabila tidak bertentangan dengan Alquran al-Karim dan Sunnah Nabi.
Makalah ini akan menjelaskan defenisi ‘urf, macam-macamnya dan kehujjahannya sebagai dalil hukum.
B. Defenisi ‘Urf
‘Urf berasal dari kata bahasa Arab. Kata ini dibentuk atas huruf ain, ro dan fa. Dalam al-Munjid kita akan menemukan tiga arti pokok yang berbeda untuk kata ini. Yang pertama, Louis Ma’luf memberi arti mengaku, megetahui, apa yang diyakini karena telah disakasikan oleh akal dan secara alami orang menganggap itu benar. Yang kedua adalah kebaikan, rambut leher keledai, ombak dan daging merah di atas kepala ayam, tampaknya apa yang menjadi prinsip di arti yang kedua ini adalah sesuatu yang menonjol dari sesuatu yang lain. Yang ketiga adalah mengenal dan kebaikan.[2]Sedangkan Ahmad Warson mengartikan ‘urf dengan kebajikan, puncak dan adat yang dipelihara.[3]
Sedangkan ‘urf dalam istilah Ushul Fikih, meskipun mempunyai banyak defenisi menurut beberapa ulama, tapi tampaknya semuanya berpulang kepada satu ide, yakni kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Abdul Wahab Khallaf memberikan defenisi sebagai berikut:
ما تعارفه الناس و ساروا عليه من قول أو فعل أو ترك و يسمى العادة[4]
Sesuatu yang telah dikenal dan dilakukan oleh banyak orang, baik berupa perkataan, pebuatan ataupun kebiasaan untuk meninggalkan sesuatu. Hal ini juga disebut dengan adat.
Sedangkan Harun Nasrun, yang mengutip definisi yang dituliskan oleh Ahmad Fahmi Abu Sunnah dalam buku al-‘‘urf Wal ‘Adah Fi Ra’yil Fuqaha, megajukan defenisi ‘urf sebagai berikut:[5]
الأمر المتكرر من غير علاقة عقلية
Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.
Zakiyuddin Sa’ban memberikan definisi ‘urf sebagai berikut:
ما اعتاده الناس و ألفوه من فعل شائع بينهم أو ألفاظ تعرافوا إطلاقه على معنى خاص بحيث لا يتبادر عند سماعه غيره[6]
Apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka setujui baik itu dalam perbuatan yang sudah tersebar luas di kalangan mereka ataupun perkataan yang apabila diucapkan mereka mengetahui artinya dengan khusus yang tidak akan ada arti lain yang terpikirkan bagi mereka ketika mendengar kata tersebut.
Definisi yang berarti sama dengan redaksi berbeda juga diajukan oleh Fadhil abdul Wahid Abdurrahman:
ما سار عليه الناس و اعتادوه فى معاملاتهم من قول أو فعل و هو ما يسمى بالعادة[7]
Apa yang sudah berjalan dan menjadi kebiasaan orang-orang dalam pergaulan mereka baik berupa praktek atau perkataan, hal inilah yang disebut dengan adat.
Tampaknya semua Ulama Ushul Fikih tidak jauh berbeda dalam memberikan defenisi ‘urf ini. Meskipun dengan redaksi yang berbeda hampir semuanya-sepanjang pembahasan kami-memberikan konsep ‘urf dengan hal, tradisi, kebiasaan mayoritas orang baik dalam praktek ataupun dalam perkataan.[8] Meskipun demikian ada beberapa ulama yang memberikan definisi ‘urf secara khusus, yakni ‘urf tidak dalam arti umum, tapi ‘urf yang boleh menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum. Seperti Muhammad Zakariya al-Bardisiy:[9]
العرف ما اعتاده الناس و ألفوا و ساروا عليه فى أمورهم فعلا كان أو قولا دون أن يعارض كتابا أو سنة
‘urf adalah apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka menyetujui dan mengerjakannya baik dalam bentuk praktek ataupun perkataan yang tidak bertentang dengan Alquran al-Karim ataupun Sunnah Nabi.
Dari beberapa defenisi diatas juga dapat difahami bahwa kebanyakan ulama tidak membedakan adat, sunnah sebelum mendapat konotasi praktek Nabi dengan ‘urf. akan tetapi banyak dari mereka yang mengatakan bahwa hanya ‘urf dalam prakteklah yang disebut dengan adat.
Dari beberapa definisi di atas juga dapat difahami, bahwa ‘urf itu mencakup hal-hal yang begitu luas, baik dalam kebiasaan pribadi individual seseorang dalam kehidupan sehari-hari ataupun kebiasaan ornag dalam berfikir. Selain itu ‘urf atau juga adat bisa muncul dari sebab yang alami seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis, dan lain sebagainya.
Bila kita sependapat bahwa ‘urf ini sama dengan sunnah atau tradisi, maka memang kita akan menemukan peran ‘urf yang sungguh signifikan dalam pembentukan hukum Islam. Baik itu sunnah orang-orang Arab sebelum Islam ataupun sesudahnya.
C. Macam-Macam ‘Urf
Mayoritas ulama, biasanya membagi ‘urf ini berdasarkan kebolehannya menjadi bahan pertimbangan dasar hukum. Selain itu, ‘urf juga dibagi berdasarkan keumuman berlakunya di sebuah masyarakat dan berdasarkan bentuknya apakah berupa praktek ataukah perkataan.
1. Dari segi bentuknya atau objeknya ‘urf ini biasanya dibagi oleh para ulama menjadi dua macam yaitu:
a. ‘Urf lafzhi (عرف لفطى) yakni kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu, sehingga ada makna khusus yang terlintas dalam pikiran mereka, meskipun sebenarnya dalam kaidah bahasa ungkapan itu bisa mempunyai arti lain. Beberapa contoh klasik yang akan kita temui dalam banyak literatur Ushul Fikih untuk ‘urf dalam bentuk ini adalah kata walad, yang arti sebenarnya bisa berupa putra atau putri seperti dalam firman Allah SWT:
يوصىكم الله فى أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين (النساء : 11)
Akan tetapi kebiasaan orang-orang Arab memahami kata walad dengan arti anak laki-laki. Selain itu kata dâbbah yang sebenarnya berarti binatang melata, oleh penduduk Iraq difahami sebagai keledai. Contoh yang berkenaan dengan hukum adalah kata thalâq dalam bahasa Arab, yang sebenarnya berarti lepas atau melepaskan, tapi kemudian difahami dengan konotasi putusnya ikatan perkawinan. Maka seseorang suami yang mengatakan kepada istrinya: “thalaqtuki”, maka terjadi talak dalam pernikahan mereka.
b. ‘Urf ‘amali (العرف العملى) adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan atau mua’malah. Seperti jual-beli tanpa ijab dan qabul, yang itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Atau garansi dalam membeli sesuatu, spserti garansi jam bahwa jam itu bagus untuk waktu tertentu. Atau jual beli dengan antaran barang tanpa tambahan biaya. Atau memberikan mahar dalam pernikahan di kalangan masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Dan lain sebagainya.
2. Dari segi cakupannya, ataupun keberlakuannya di kalangan masyarakat maka ‘urf ini dibagi menjadi dua bagian juga, yakni ‘urf yang umum dan yang khusus
a. ‘Urf yang umum (العرف العام) adalah adalah tradisi atau kebiasaan yang berlaku secara luas di dalam masyarakat dan di seluruh daerah. Akan tetapi kami tidak mendapatkan batasan yang jelas tentang batasan dan cakupan ‘urf yang umum ini. Apakah hanya dengan berlakunya sebuah kebiasaan di kalangan mayoritas masyarakat ‘urf itu bisa disebut dengan ‘urf ‘âmm atau tidak. Ataukah ‘urf yang hanyak berlaku di Tapanuli Selatan saja bisa dikatakan ‘urf yang umum atau tidak.
Tapi tampaknya batasannya hanyalah berdasarkan tingkatannya, seperti ‘urf yang berlaku dikalangan mayoritas masyarakat Gunung Tua bisa dikatakan ‘urf ‘âmm pada tingkatan ‘urf Gunung Tua saja. Maka apabila ‘urf itu tidak berlaku umum pada masyarakat lainnya di Padang Bolak, maka ‘urf itu bisa dikatakan ‘urf khâsh pada tingkatan ‘urf Padang Bolak. Akan tetapi ada satu ilmuwan yang memberikan batasan yang lebih jelas dari yang lain, yakni Amir Syarifuddin. Menurut beliau ‘urf ‘âmm adalah ‘urf yang berlaku hampir diseluruh dunia sementara ‘urf khâsh hanya berlaku pada sebagain kaum, bangsa. Beliau mengajukan contoh seperti menganggukkan kepala.[10]
b. ‘Urf yang khusus (العرف الخاص) adalah kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu dan di daerah tertentu atau dikalangan tertentu. Meskipun para ulama Ushul Fikih tidak mensyaratkan zaman tertentu dalam mengkategorikan ‘urf yang khusus ini, tapi dari beberapa contoh yang sering mereka ajukan terlihat bahwa waktu juga termasuk kondisi yang bisa membedakan sesuatu apakah ia termasuk dari ‘urf yang umum atau yang khusus.
3. ‘Urf ditinjau dari keabsahannya menurut syari’at, maka ‘urf ini dibagi menjadi dua bagian yaitu ‘urf yang baik (العرف الصحيح ) dan ‘urf yang jelek (العرف الفاسد ), konsepnya adalah apakah ia sesuai dan sejalan dengan syari’ah atau tidak. Pembagian ‘urf dalam bentuk inilah yang menjadi pusat kajian para ulama Ushul dalam kajian ‘urf. Maka tidak mengherankan bila beberapa kajian sekilas tentang ‘urf hanya akan mengemukakan pembagian ‘urf dari segi kesesuaiannya dari syari’ah ataukah tidak.
a. ‘Urf shahih (العرف الصحيح ) adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidakbertentangan dengan Alquran al-Karim ataupun Sunnah Nabi, tidak menghilangkan kemashlahatan mereka dan tidak pula membawa mudharat bagi mereka. Misalnya bercadar bagi wanita yang merupakan kebiasaan wanita-wanita Arab sebelum datangnya Islam atau seperti menetapkan konsep haram oleh masyarakat Arab untuk beribadah dan berdamai. Ada banyak contoh-contoh yang bisa kita dapatkan dalam kajian sejarah dimana kemudian Alquran al-Karim ataupun Sunnah menetapkan sebuah kebiasaan menjadi salah satu bagian dari hukum Islam, meskipun setelah diberi aturan tambahan. Selain cadar dan konsep haram, kita juga bisa melihat mahar, sunnah atau tradisi, denda, polygami dan lain sebagainya.
b. ‘Urf fâsid (العرف الفاسد ) adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’. Seperti praktek riba’ yang sudah mewabah dalam kalangan bangsa Arab sebelum datangnya Islam, atau juga meminum minuman keras. Setelah datangnya Islam maka ‘urf-’urf yang seperti ini ditentang dan dikikis baik secara perlahan-lahan maupun langsung. Kalau untuk masa sekarang, mungkin kita mengenal kebiasaan yang berlaku luas dikalangan masyarakat Indonesia, yaitu marpangir, yakni berpergian kesuatu tempat tanpa ada batasan yang jelas antara wanita dan laki-laki dan mandi bersama-sama, kebiasaan ini dilakukan untuk menyambut bulan puasa.
D. Kehujjahan ‘Urf
Para ulama Ushul sepakat bahwa ‘urf yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil Syara’ haruslah dijaga dan dipertimbangkan dalam menetapkan hukum. Nashrun Haroen mengatakan bahwa ‘urf yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’ini bisa dijadikan sebagai hujjah.[11]Memang harus kita ingat bahwa dalam kajian ‘urf ini berada dibawah judul as-istidlâl. Sedangkan as-istidlâl sendiri berarti:[12]
ما ليس بنص و لا إجماع و لا قياس
(mengmbil dalil dalam) perkara yang tidak ada dalam nash maupun ijma’ atau qiyas.
Dalam beberapa literatur yang telah kami baca, tidak ada ulama yang secara jelas mengatakan bahwa ‘urf bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum dan sebagai sumber hukum. Tapi rata-rata mereka mengatakan bahwa ‘urf yang shahih ini harus dijaga dan dipertimbangkan oleh ulama yang akan berijtihad ataupun bagi seorang hakim yang akan memutuskan perkara.
Akan tetapi akan banyak kita temukan pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan bahwa ‘urf yang shahih ini bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Seperti pernyataan
الثابت بالعرف كالثابت بالنص
Yang ditetapkan melalui ‘urf seperti yang ditetapkan melalui nash.
العرف شريعة محكمة
‘urf adalah hukum
العادة محكمة
Adat itu sebagai hukum
Dalam kajian Harun Nashrun, beliau mengatakan bahwa Imam Syathibi (w 790) dan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (w 751) menerima dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum apabila tidak ada nash yang menjelaskan tentang masalah tersebut.[13]
Memang dalam beberapa keputusan para ulama baik pada masa klasik ataupun modern tentu tidak akan terlepas sepenuhnya dari ‘urf ini. Banyak keputusan-keputusan yang mereka ambil dengan mempertimbangkan ‘urf ini. Seperti Imam syafi’i yang mempunyai Qaul Jadid dan Qaul Qadim, yang lama di Baghdad dan setelahnya di Mesir. Menurut sebagian para pengkaji, tidak diragukan lagi hal itu merupakan pengaruh dari ‘urf yang berbeda yang berlaku pada kedua penduduk kota tersebut.[14] Atau seperti ulama-ulama mazhab Hanafiyah yang memperbolehkan guru Alquran, imam sholat, mua’dzzin untuk mengambil upah dari pekerjaan mereka meskipun ulama terdahulu dari mazhab mereka tidak memperbolehkan hal tersebut.
Tapi tentu saja semua sepakat bahwa ‘urf ini berlaku sebagai dalil hukum, hanya dalam masalah yang tidak ada aturannya dalam Alquran al-Karim maupun Sunnah. Selain itu ‘urf yang dipakai juga tentu ‘urf yang tidak bertentang dengan keduanya.
Selain masalah apakah ‘urf bisa dijadikan dalil dan sumber penetapan hukum, ada juga masalah yang diajukan oleh banyak ulama Ushul, yakni ‘urf bisa dijadikan sebagai pengkhusus bagi dalil nash yang umum, dan pengikat bagi dalil nash yang mutlaq.[15]
Ada suatu pendapat yang perlu kita perhatikan, yakni pendapat Syihabuddin al-Qorofi:[16]
بالنظر الدقيق فى العرف و أمثلته و ما قال الأصولييون و الفقهاء فيه يتبين أنه ليس دليلا مستقلا بشرع الحكم فى الواقعة بناء عليه و إنما هو دليل يتوصل به إلى الفهم المراد من عبارات النصوص و من ألفاظ المتعاملين و إلى تخصيص العام و تقييد المطلق
Dengan mempelajari dengan seksama dalam maslah ‘urf, contoh-contohnya, apa yang dikatakan oleh para ahli Ushul Fikih dan Fikih, akan menjadi jelas bahwa dalam suatu perkara, ‘urf itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri dari syari’at, hukumnya tidaklah berdasarkan ‘urf itu sendiri akan tetapi hanya dalil yang akan mengantarkan kita untuk bisa memahami maksud yang diingini oleh redaksi-redaksi nash dan maksud dari perkataan orang-orang yang terlibat di dalamnya, juga menjadi pengkusus bagi dalil yang umum dan pengikat bagi dalil yang mutlaq.
Alasan mereka yang menerima ‘urf bisa dikatakan sebagai berikut:
1. Dari Alquran al-Karim, mereka mengambil ayat:
و ما جعل عليكم فى الدين من حرج (الحج 78 )
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam agama (al-Hajj: 78).
Maka menurut mereka yang menerima ‘urf sebagai dalil, suatu penetepan hukum tanpa menlihat ‘urf atau dengan kata lain dengan melawan dan tidak sesuai ‘urf yang shahih adalah suatu kesempitan dalam agama, dan itu bertentangan dengan ayat diatas.
2. Sedangkan dari Hadits Nabi:
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Apa yang dilihat baik oleh kaum muslim maka itu juga baik bagi Allah SWT.
3. Kemudian, menurut mereka ada juga beberapa praktek Nabi yang menerima ‘urf Madinah, seperti ketika menetapkan jual beli aroya dan salam karena melihat itu sudah menjadi ‘urf penduduk Madinah. Padahal sebelumnya beliau sudah bersabda:
نهى عن بيع المعدوم
Dilarang untuk menjual yang tidak ada
4. Tidak diragukan lagi bahwa banyak hukum yang ditetapkan oleh Alquran al-Karim merupakan penetapan dan penjagaan ‘urf orang-orang Arab, seperti banyak contoh yang telah kita sebutkan diatas.
Abdul Wahab Khallaf pernah berkata:
الجمود على المنقولات أيا كانت أضلال فى الدين و جهل بمقاصد المسلمين و السلف الماضين[17]
Statis dalam ayat-ayat atau hadits bagaimanapun adalah kesesatan dalam agama dan merupakan kebodohan dan ketidaktahuan atas tujuan-tujuan kaum muslim yang sekarang dan yang lampau.
Kami memang tidak bisa menemukan beberapa ulama yang secara jelas-jelas menolak ‘urf sebagai dalil syar’i kecuali hanya sedikit. Seperti Badrul Mutawalli, yang berpendapat bahwa penetapan ‘urf itu dalilnya bukan ‘urf itu sendiri tapi ada dalil yang lain.[18] Artinya dia menolak ‘urf sebagai dalil penetapan hukum. Atau juga seperti perkataan Syihabuddin al-Qorofi yang telah kita nukilkan dari buku Abdul Wahab Khallaf (silahkan lihat kembali hal 11).
Merekapun yang menolak ‘urf sebagai dalil, tetap saja tidak menolak bahwa ‘urf itu juga berpengaruh dalam penetapan, tapi bukan sebagai dalil dan sumber akan tetapi sebagai bahan pertimbangan.
E. Pengaruh Dan Peran ‘Urf Dalam Penetapan Hukum
Bangsa Arab, pada akhir abad keenam adalah bangsa yang tidak mempunyai kekuatan politik yang tidak jelas. Dengan tidak adanya kekuatan politik maka mereka juga tidak ada menganut sistem hukum ataupun sistem peradilan yang baku yang menyelasaikan perkara-perkara mereka. Dalam konsep mereka hukum adalah sunnah kurang lebih mirip dengan adat atau ‘urf. Bagi mereka ‘urf, adat, sunnah adalah hukum yang harus tetap dijalankan dan keputusan hakim harus seusai dengan ‘urf yang telah berlaku di kalangan mereka.
Setelah datangnya Islam, banyak ‘urf ini ditolak, diterima ataupun ditetapkan meski dengan menambahi aturan baru. Sistem keluarga yang berdasarkan paterfamilias, cadar, polygami, mengasuh anak yatim, konsep sunnah, konsep haram, mahar dalam pernikahan, tasarriy, dan lain sebagainya.
Sedangkan beberapa contoh yang sering ulama Ushul ajukan dalam bentuk perbuatan Nabi adalah seperti membolehkan jual-beli salaam dan aroya. Begitu juga dengan Sahabat-Sahabat seperti Khalifah Rasyidah. Sekarang kita mengenal sunnah Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a, Utsman bin Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib.
Pada masa selanjutnya, sebelum Imam Syafi’i menulis ar-Risalah, banyak para Imam dan ulama yang mendasarkan beberapa keputusan hukum mereka berdasarkan sunnah. Meskipun mereka tidak mendasarkan keputusan itu sebagai sunnah sebagai dasar hukum akan tetapi sunnah yang diklaim sebagai sunnah yang paling dekat dengan Sunnah Rasulullah SAW. Imam Malik tentu saja adalah orang yang paling kuat untuk mengklaim bahwa sunnah Madinah adalah sunnah yang paling dekat dengan Rasulullah SAW. Selain itu di Syiria ada Imam al-Auza’i dan Imam Abu Hanifah di Iraq.
Setelah Imam Syafi’i merumuskan ar-Risalah, yang dianggap sebagai Ushul Fikih pertama, meskipun beliau tidak menerima beberapa dasar penetapan hukum yang sudah berlaku luas pada saat itu seperti ra’yu dan dan sunnah selain Sunnahn Nabi, akan tetapi tentu saja memberikan peluang untuk kedua hal tersebut untuk masuk kedalam hukum, akan tetapi harus dengan dasar dan dalil syara’ yang jelas baik dari Alquran al-Karim, Sunnah Nabi, Ijma’ atau Qiyas.[19] Akan tetapi meskipun demikian, beberapa peneliti berpendapat bahwa adanya qaul jadidi dan qaul qadim Imam syafi’i tidak terlepas dari pertimbangan ‘urf.[20]
Selain itu beberapa ketetapan hukum dalam beberapa mazahab juga sering berubah-yang menurut para pengkaji merupakan pengaruh ‘urf-seperti kebolehan mengambil upah dari mengajarkan Alquran al-Karim, adzan, imam sholat, jual-beli dengan syarat, dan sebagainya dalam mazhab Hanafiyah. Imam Malik memperboleh menjual buah-buahan yang belum terlihat sepenuhnya, keputusan ini diambil karena di Madinah memang itu sudah menjadi ‘urf.
Memang tentulah hukum seperti ini akan terus berubah seiring berubahnya tempat dan waktu. Ada suatu pernyataan yang terkenal yang berkaitan degan perbendaan pendapat dalam mengambil keputusan:
إنه اختلاف عصر و زمان ليس اختلاف حجة و برهان[21]
Sesungguhnya hal itu berasal dari perbedaan waktu dan masa bukan perbedaan alasan dan bukti.
F. Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama Ushul menyatakan bahwa sutau ‘urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’ apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:[22]
1. ‘Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut, baik itu ‘urf dalam bentuk praktek, perkataan, umum dan khusus.
2. ‘Urf itu memang telah memasyarakat sebelumnya.
3. ‘Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Seperti apabila dalam suatu transaksi dikatakan secara jelas bahwa si pembeli akan membayar uang kirim barang, sementara ‘urf yang berlaku adalah si penjuallah yang menanggung ongkos kirim, maka dalam kasus seperti ‘urf tidak berlaku.
4. ‘Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan. ‘Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan ‘urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.
G. Pertentangan ‘Urf Dengan Dalil Syara’
Apabila ada urf yang berlaku dalam masyarakat bertentangan dengan nash baik Alquran al-Karim maupun Hadits, maka para ulama Ushul merincinya sebagai berikut:[23]
1. Apabila bertetantangan dengan nash yang khusus yang menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung dalam nash tersebut, maka dalam kasus ini tentu saja ‘urf tidak dapat dipakai dan dijadikan sebagai dalil. Seperti menceraikan wanita dan mengawininya kembali tanpa sesuka hati oleh laki-laki. ‘Urf seperti ini berlaku dikalngan bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Maka kemudian setelah datangnya Islam, syari’at menetapkan iddah.
2. Apabila bertentangan dengan nash yang bersifat umum, maka ada perbedaan pendapat didalamnya. Menurut Mushtafa Ahmad az-Zarqa’, apabila ‘urf itu telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum tersebut, maka perlu dibedakan antara ‘urf ‘amali dan ‘urf lafzhi. ‘Urf lafzhi bisa diterima. Maka nash dengan suatu redaksi harus difahami sesuai ‘urf lafzhi yang berlaku saat itu kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa maksud dari redaksi nash itu tidaklah seperti arti yang difahami dalam ‘urf, seperti kata walad yang biasanya difahami dengan arti anak laki-laki, tapi kemudian dalam surah an-Nisa ayat 11, disitu diberikan indikator lain bahwa walad disini adalah anak laki-laki maupun perempuan.
Sedangkan dalam ‘urf amali terjadi perbedaan pendapat didalamnya. Menurut mazhab Hanafiyah, apabila ‘urf yang ada adalah ‘urf umum, maka itu bisa mengkhususkan nash yang umum tersebut. Karena pengkhususan tersebut tidak membuat hukum yang dikandung nash tersebut tidak dapat diamalkan. Misalnya Rasul yang membolehkan jual-beli salaam :
نهى عن بيع ما ليس للإنسان و رخص فى السلم (رواه البخارى و أبو داود)
Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh manusia dan beliau memberi keringanan dalam jual-beli pesanan (HR al-Bukhori dan Abu Daud)
Akad seperti ini telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Madinah sebelum Rasul datang kesana.
3. Sedangkan untuk ‘urf yang terbentuk belakangan setelah datangnya nash yang bersifat umum, maka segala bentuk dan macam-maca ‘urf itu tidak bisa dijadikan dalil. Untuk hal ini, ulama Fikih sepakat menolak kehujjahan urf tersebut. Akan tetapi apabila illat suatu nash adalah ‘urf ‘amali, maka ketika illat itu hilang maka hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Yusuf. Seperti Hadits Nabi yang berarti: “diamnya seorang wanita adalah persetujuannya”, ini berdasarkan ‘urf pada masa itu, yang mana mayoritas ketika ia ditanya apakah ia mau menikah dengan si Fulan, ia diam saja dan itu menunjukkan persetujuannya. Akan tetapi bila keadaanya sudah berubah seperti sekarang ini, maka diamnya wanita tidak bisa dipatok sebagai perserujuannya, karena ‘urf sudah berubah. Akan tetapi jumhur ulama tidak sependapat dengan Abu Yusuf.
4. Adapun dalam pertentangan antara ‘urf dengan qiyas, ulama dari kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah lebih mendahulukan ‘urf, karena ‘urf dalam masalah yang tidak ada nashnya menempati posisi ijma’. Menurut Ahmad az-Zarqa’ bahwa baik Syafi’iyyah dan Hanabilah secara prinsipil lebih mendahulukan ‘urf dari pada qiyas.
5. Sedangkan dalam pertentangan ‘urf dengan al-maslahah al-mursalah, maka menurut ulama Malikiyyah, ‘urf lebih didahulukan, begitu juga dengan mazhab Syafi’i dan Hanbali.
6. Adapun dalam pertentang ‘urf dengan istihsân, karena ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah tidak menerima istihsan, maka otomatis mereka menggunakan ‘urf.
G. Beberapa Kaidah Fikhiyyah Yang Berkaitan Dengan ‘Urf
Ada beberapa kaidah Fikhiyyah yang menurut kami berhubungan dengan ‘urf. di antaranya adalah:
1. Adat itu adalah hukum (العادة محكمة )
2. Apa yang ditetapkan oleh syara’ secara umum tidak ada ketentuan yang rinci di dalamnya dan juga tidak ada dalam bahasa maka ia dikembalikan kepada ‘urf
( ما ورد به الشرع مطلقا و لا ضابط له فيه و لا فى اللغة يرجع فيه إلى العرف).
Abdul Hamid Hakim mendasarkan dua kaidah atas ayat:[24]
و أمر بالعرف و اعرض عن الجاهلين (الأعراف 199)
Suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang bodoh.
3. Tidak dingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat (لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمنة و الأمكنة)
4. Yang baik itu jadi ‘urf seperti yang disyaratkan jadi syarat (المعروف عرفا كالمشروط شرطا)
5. Yang ditetapkan melalui ‘urf seperti yang ditetapkan melalui nash
(الثابت بالعرف كالثابت بالناص)
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah seperti hukum yang dietapkan melalui Alquran dan Sunnah akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui ‘urf itu sendiri.
H. Penutup
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mencolok dalam memberikan defenisi ‘urf. Para ulama Ushul, menurut kajian kami, sepakat bahwa konsep ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan sudah berlaku di kalangan mereka. Meskipun mereka memberikan definisi yang berbeda, akan tetapi tampaknya semuanya berpulang kepada ide yang sama.
Selain itu kebanyakan mereka juga tidak membedakan antara ‘urf dengan adat, yang dahulunya lebih dikenal dengan sunnah. Hanya ada beberapa pengkaji yang berpendapat bahwa hanya ‘urf ‘amalilah yang sama pengertiannya dengan adat.
Dalam masalah kehujjahan dan kekuatannya sebagai dalil hukum, terdapat perbedaan pendapat diantaranya. Mereka yang setuju dan menerima ‘urf sebagai dalil hukum mengajukan beberapa alasan baik dari Alquran al-Karim maupun Sunnah. Sedangkan mereka yang menolak ‘urf sebagai dalil hanya menolak keberdiriannya sendiri dari dalil syara’ lainnya. Menurut mereka ‘urf ini hanya pengkhusus, pengikat bagi nash yang umum.
Sementara dalam kekuatannya, juga terdapat perbedaan pendapat jikalau ‘urf bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Apabila ‘urf itu bertentangan dengan dalil nash yang rinci, tampaknya para ulama sepakat bahwa ‘urf tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Akan tetapi dalam nash yang umum, ada yang berpendapat bahwa ‘urf ini bisa mengkhususkan nash itu, meskipun ada juga yang menolak pendapat tersebut. Sedangkan dalam pertentangan antara ‘urf dengan dalil syara’ yang lain yang bukan nash, juga terdapat perbedaan pendapat.
Dalam mengkaji sejarah, kita akan melihat peran ‘urf yang sungguh signifikan dalam pembentukan dan penetapan hukum Islam, baik oleh Rasulullah SAW, para Sahabat, dan Imam yang empat. Karena memang prinsip ‘urf, sunnah sebagai hukum itus endiri sudah dikenal di kalangan bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Allohu a’lam bisshowab.
Daftar Pustaka :
Abdurrahman, Fadhil Abdul Wahid, al-Anmudzaj Fi Ushul al-Fiqh. Baghdad: Ma’arif, 1969.
Bardisiy, al-, Muhammad Zakariya, Ushul al-Fiqh. Kairo: Maktab an-Nahdhoh al-Mishriyah, 1959.
Hakim, Abdul Hamid, Mabadi Awwaliyah. Jakarta: Sa’diyah Putra, tth.
_________________, Al-Bayan. Ponorogo: Darusslam Press, 1999.
Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam, jil. I. Chicago: Chichago University Press, 1974.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh. Kairo: Daar Ilmi, 1978.
__________________, Mashadiru at-Tasyri’ al-Islamiy fima La Nushusha Fihi . Saudi: tp, 1945.
Lapidus, Ira, M, A History Of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge Universty Press, 1993.
Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam. Daar Masyriq: Beirut, 1982.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-munawwir. Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984.
Nashroen, Harun, Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Sa’ban, Zakiyuddin, Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, 1968.
Sacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law. Inggris: Oxford Press, 1971.
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Wasith, al-, Badrul Mutawalli al-Birr, Taisir Ushul al-Fiqh. Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, tth.
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh. Saudi: Daar Fikri al-Arabiy, 1958.
[1] Joseph Sacht, An Introduction To Islamic Law (Inggris: Oxford Press, 1971) hal. 9. lihat juga Ira, M. Lapidus, A History Of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge Universty Press, 1993) hal. 11.
[3] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984) hal. 911
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: Daar Ilmi, 1978) hal. 89.
[5] Harun Nashroen, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hal. 138.
[6] Zakiyuddin Sa’ban, Ushul al-Fiqh al-Islamiy (Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, 1968) hal. 192.
[7] Fadhil Abdul Wahid Abdurrahman, al-Anmudzaj Fi Ushul al-Fiqh (Baghdad: Ma’arif, 1969) hal. 157.
[8] Anda bisa melihat beberapa literatur seperti Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: Daar Ilmi, 1978) hal. 89. lihat juga buku beliau, Mashadiru at-Tasyri’ al-Islamiy fima La Nushusha Fihi (Saudi: tp, 1945) hal. 123. lihat juga Zakiyuddin, Ushul, dan Badrul Mutawalli al-Birr al-Wasith, Taisir Ushul al-Fiqh (Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, tth) hal. 342. lihat juga Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hal. 128. dan Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Saudi: Daar Fikri al-Arabiy, 1958) hal. 273.
[9] Muhammad Zakariya al-Bardisiy, Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktab an-Nahdhoh al-Mishriyah, 1959) hal, 183.
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) hal. 363.
[11] Harun, Ushul, hal. 142.
[12] Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan (Ponorogo: Darussalam Press, 1999) hal. 33.
[13] Ibid.
[14] Abdul Wahab, Mashadir, hal. 127,
[15] Zakiyuddin, Ushul, hal. 203.
[16] Abdul Wahab, Mashadir, hal. 130.
[17] Abdul Wahab, Mashadir, hal. 691.
[18] Badrul, Taysir, hal. 342.
[19] Marshall Hodgson, The Venture Of Islam (Chicago: Chichago University Press, 1974) jil. I,, hal. 319.
[20] Fadhil, al-Anmudzaj, hal 158.
[21] Zakiyuddin, Ushul, hal. 194.
[22] Harun, Ushul, hal. 144.
[23] Ibid. hal. 145.
[24] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah (Jakarta: Sa’diyah Putra, tth) hal. 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...