Oleh:
Muhammad Iqbal
A. PENDAHULUAN
Belakangan ini
penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak,
karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika
pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak
pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama
yang sedang mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari
perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi
pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik
perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih
ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat
dominan, fiqih -- terutama fiqih abad pertengahan -- mewarnai dan memberi corak
bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian
mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai
historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi
perkembangan Islam berikutnya.
Jika kita telusuri
sejak saat kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan sering membaginya dalam
dua priode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode pertama
risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode
kedua risalah kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum. Dalam mengambil
keputusan masalah amaliyah sehari-hari para sahabat tidak perlu melakukan
ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka
mendapati suatu masalah yang belum mereka ketahui.
Sampai dengan masa
empat khalifah pertama hukum-hukum syariah itu belum dibukukan, dan belum juga
diformulasikan sebagai sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa-masa
awal periode tabi'in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalam memahami
hukum-hukum syariah serta dalam merespon persoalan-persoalan baru yang muncul
sebagai akibat semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl
al-ra'y. Aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak
menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara
harfiah. Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan
rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul.
Perbedaan pendapat
dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal
ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam,
akan tetapi sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak
sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi pada sebuah hadis :
اختلاف
امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية(
Yang maksudnya :
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam
Risalah Asy’ariyyah).
Ini berarti, bahwa
orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan
tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Pada pembahasan
selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan
sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, bilkhusus pada empat mazhab
yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali serta
beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.
B. POKOK PERMASALAHAN
Sebelum sampai kepada
pembahasan, terlebih dahulu penulis tentukan pokok permasalahan sebagai tolak
ukur agar pembahasan tidak melabar dan menyimpang. Sebagai pokok permasalahan dalam
makalah ini adalah Bagaimanakah latar belakang dan sejarah munculnya empat
mazhab fiqih? Selain itu adalah apakah dasar-dasar hukum empat mazhab?, karena
bagaimanapun juga setiap imam mazhab pasti memiliki pendapat masing dalam hal
pengambilan dan menetapkan pijakan dasar sebuah hukum.
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mazhab
Kata mazhab berasal
dari bahasa Arab yaitu isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata
dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara
bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197;
Nahrawi, 1994: 208).
Secara terminologis
pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau
dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau
mengistinbatkan hukum Islam .
Sedangkan menurut
istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa
hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta
berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat
tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan
yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain
Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan
hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang
menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum
Islam dari dalil-dalilnya yang rinci .
Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari
berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth)
dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah
Al-Islamiyah, II/395) .
2. Biografi Empat Imam
Mazhab Fiqih
Mengingat betapa
masyhurnya nama keempat imam mazhab ini, berikut akan dijelaskan lebih lanjut
bagaimana pribadi dan pemikiran mereka.
a. Imam Hanafi (Tahun
80 – 150 H.)
Nama beliau yang
sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Sabit bin Zauti lahir pada
tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah . Semua literatur yang
mengungkapkan kehidupan Abu Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah
seorang ‘alim yang mengamalkan ilmunya, zuhud, ‘abid, wara’, taqiy, khusyu’ dan
tawadhu’.
Metode ushul yang
digunakan Abu Hanifah banyak bersandar pada ra’yun, setelah pada Kitabullah dan
As Sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan
protes di kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan
Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai
sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama .
Imam Hanafi disebutkan
sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan
kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya,
yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam
Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya .
Pada akhir hayatnya Abu
Hanifah diracuni, sebagaimana yang disampaikan dalam Kitab Al-Baar Adz-Dzahabi
berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman beracun kepada
imam Abu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid. Semoga Allah memberikan
rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada beberapa penyebar
fitnah yang tidak suka pada Abu Hanifah, memberi keterangan palsu pada
Al-Manshur, sehingga Al-Manshur melakukan pembunuhan itu, dan ada sebuah
riwayat shahih mengatakan bahwa ketika merasa kematiannya dekat, Abu Hanifah
bersujud hingga beliau meninggal dalam keadaan bersujud .
Para ahli sejarah
bersepakat beliau meninggal pada bulan rajab tahun 150 H dalam usia 70 tahun.
b. Imam Maliki (Tahun
93 – 179 H.)
Nama lengkapnya adalah
Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada
tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia
menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli
fiqh Madinah .
Dalam sumber lain
menyebutkan bahwa nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu
‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al
Himyari Al Ashbahi Al Madani .
Malik bin Anas lahir di
Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah menghafal Al-Qur’an dan sudah
nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia dipandang ahli dalam berbagai cabang
ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Karya-karya Imam Malik begitu banyak, di
antaranya yang paling populer adalah Al Muwatta’ yang berarti ‘kemudahan’ atau
‘kesederhanaan’. Keistimewaan Al-Muwatta’ adalah bahwa Imam Malik merinci
berbagai persoalan kaidah-kaidah fiqhiyah yang di ambil dari hadits-hadits dan
atsar.
c. Imam Syafi’i (Tahun
150 – 204 H.)
Ia bernama Abu Abdullah,
Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saaib bin ‘Abiid bin
Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari
kakek Nabi .
Sebagian besar riwayat
menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di daerah Ghazza, Syam (Palestina) dari
keturunan Quraisy dan Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya,
Abdi Manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia
dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah .
Pada umur sekitar tujuh
tahun Imam Syafi’i sudah menghafal Al-Qur’an, selain itu ia juga banyak
menghafal hadits-hadits Nabi. Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang
sedemikian rupa , fiqih Imam Syafi’i juga merupakan refleksinya. Dengan kata
lain, kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam
Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan mazhab fiqihnya. Sejarah hidupnya
menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar terbukti dengan
munculnya dua kecendrungan dalam mazhab Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim
(mazhab lama) dan qaul jadid (mazhab baru).
Menurut para ahli
sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak pada tahun 195 H.
Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu
melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional
Irak.
Sedangkan mazhab jadid
adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi
pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafi’i di
antaranya di muat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad
dan berdiam di sana selama tiga tahun.
Karakteristik pemikiran
Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau pengetrapan
pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furu’iyah. Pluralisme pemikiran
yang ada di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran
Syafi’i.
Kemudian pada tahun 199
H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun terakhirnya di
Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang
pernah ditulisnya. Bukunya Ar-Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi
ulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan perkembangan baru di Mesir .
d. Imam Hambali ( Tahun
164 – 241 H.)
Nama lengkap imam besar
ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Hayyan
ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia terlahir di
Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M . Ayahnya meninggal dunia ketika Ahmad
masih kecil, ia kemudian diasuh oleh ibunya.
Ilmu yang pertama kali
dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga
mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah
tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15
tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk
mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria).
Imam Ahmad bin Hambal
berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang
tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman
dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah: Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad
Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar
As-Sulami, Imam Asy-Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin
‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Ma’qil
Umumnya ahli hadits
pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama
yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah: Imam Bukhari, Muslim,
Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad, Putranya,
Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal,
Keponakannya, Hambal bin Ishaq.
Setelah sakit sembilan
hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at
bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun.
Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu
pelayat perempuan.
3. Sejarah Empat Mazhab
Fiqih
Ilmu fiqih baru muncul
pada periode tabi' al-tabi'in yaitu sekitar abad kedua Hijriyah, dengan
munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan
perdebatan tentang hukum-hukum syariah. Pada masa-masa itulah di Irak muncul
seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah al-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H atau
700-767 M) yang merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi
ilmu ini belum dibukukan.
Sementara itu, di
Madinah muncul juga seorang mujtahid besar bernama Malik ibn Anas (93-178 H
atau 713-795 M) yang memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan kumpulan hadis
berjudul al-Muwaththa', yang terutama berisi hukum-hukum syariah. Pembukuan
kitab ini dilakukan atas permintaan khalifah Abu Ja'far al-Manshur (137-159 H
atau 754-775 M), dengan maksud sebagai pedoman bagi kaum Muslimin dalam
mengarungi kehidupan mereka.
Kitab ini kemudian
menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Hijaz (aliran
ahl-hadis). Sedangkan yang menjadi pedoman bagi faham fiqih di kalangan umat
Islam di Irak (aliran ahl al-ra'y) adalah buku-buku yang ditulis oleh
murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (102-189 H)
dengan bukunya antara lain al-Jâmi' al-Kabîr dan al-Jâmi' al-Shaghîr dan Abu
Yusuf (112-183 H) dengan bukunya berjudul Kitab al-Kharâj (Kitab tentang Pajak
Penghasilan). Abu Hanifah sendiri pernah diminta menjadi qâdhî (hakim) oleh
seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah, tetapi permintaan ini ditolak, sementara
Abu Yusuf pernah menjadi qâdhî pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Baik Abu
Hanifah maupun Malik ibn Anas kemudian oleh para pengikutnya masing-masing
dijadikan sebagai pendiri mazhab Hanafi dan Maliki .
Sejak periode tabi'in
sering terjadi perdebatan antara kedua aliran tersebut. Sementara kalangan ahl
al-hadis mencela kelompok ahl al-ra'y dengan tuduhan bahwa ahl al-ra'y
meninggalkan sebagian hadis, maka ahl al-ra'y pun menjawab dengan mengemukakan
argumentasi tentang 'illah-'illah hukum (legal reasons) dan maksud-maksud
syariah. Pada umumnya ahl al-ra'y dengan kemampuan debatnya dapat mengalahkan
argumentasi ahl al-hadîts, sebagaimana contoh di atas. Maka munculnya Muhammad
ibn Idris al-Syafi'i atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i (150-204 H atau
767-820 M), yang di satu segi menguasai banyak hadis dan di lain segi memiliki
kemampuan dalam menggali dasar-dasar dan tujuan-tujuan hukum, dapat
menghilangkan supremasi ahl al-ra'y terhadap ahl al-hadis dalam perdebatan.
Karena jasanya membela hadis, maka ia dijuluki sebagai "nâshir
al-sunnah" (pembela Sunnah).
Keempat mazhab (Hanafi,
Maliki, Syafii, dan Hambali) inilah yang sampai kini dianggap sebagai mazhab
fiqih yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.
1. Latar Belakang dan
Sejarah Munculnya Empat Mazhab Fiqih
Sebagaimana diketahui,
bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak
sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru
tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah
memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas,
Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1. Perbedaan para
sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an
2. Perbedaan para
sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para
sahabat disebabkan karena ra’yu.
Sementara Jalaluddin
Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia
berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat
prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada
zaman Rasulullah SAW .
Setelah berakhirnya
masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it
Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi
penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada
waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah
dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana
pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Dari mata rantai
sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin
hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. dan dari sini pula kita
dapat merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun
mazhab-mazhab muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab – Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali – seperti yang ada sekarang.
Dr. Thaha Jabir Fayyadh
al-‘Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul sekitar tiga belas mazhab yang
semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang “Ahlu Sunnah”, tetapi hanya delapan
atau sembilan mazhab saja yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan
metode fiqhiyah yang mereka pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah :
Imam Abu Sa’id bin Yasar al-Bashir (wafat 110 H.), Imam Abu Hanifah al-Nu’man
bin Tsabit bin Zuthi (wafat 150 H.), Imam Auza’ie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru
bin Muhammad (wafat 157 H.), Imam Sufyan bin Said bin Masruq al-Tsauri (wafat
160 H.), Imam Laits bin Sa’d (wafat 157 H.), Imam Malik bin Anas al-Anshari
(Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H.), Imam Muhammad bin Idris
al Syafi’ie (wafat 204 H.), dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241
H.) .
Muhammad Khudari Beik
(ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Yaitu
Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih,
Periode keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan
yang terakhir adalah periode kemunduran fiqih .
1. Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11
H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di
tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi
SAW.
Periode awal ini juga
dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah,
risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang
turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam
rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan
masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode
Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh
persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah
maupun muamalah.
2. Periode al-Khulafaur
Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah
bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M.
Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga
ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan
ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas
dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi
khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat.
3. Periode awal
pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad
ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah
satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai
daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan
menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad
hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi
dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H.
Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode
Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang
menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama,
sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan
pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam
bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132
H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan
Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para
penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa
awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam
mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks.
Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika
Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar
kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.
Periode keemasan ini
juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara
kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh
Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir
oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini
adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing
mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah
al-mursalah.
5. Periode tahrir,
takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad
ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij,
dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam
mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini
ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh
lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab
mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada
lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas
dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus
sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan
prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang
berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi
(sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk
mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa
mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa
pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang
mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para
penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan
dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap
at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir)
dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam
mazhab.
o Munculnya gerakan
pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih
pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing
mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari sini muncul sikap taqlid pada
mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula
pernyataan haram melakukan talfiq.
6. Periode kemunduran
fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah
al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban
l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh
yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah
perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama
fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang
telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk
mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab
atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di
kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan
takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri
perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya
pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat
fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai
mazhab.
o Muncul beberapa
produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti
diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu,
fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik
dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan
terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai
dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh
bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan
diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk
transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara',
tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut
dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan
pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak
dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut,
karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang
tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada
masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574]
dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir periode ini
muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah.
Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah
al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di
seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
4. Dasar-Dasar Fiqih
Empat Mazhab
a. Dasar-dasar Fiqih
Mazhab Hanafi
Abu Hanifah memang
belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara terperinci, tetapi
kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran
fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya kembalikan segala
persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya
tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka
saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih pada fatwa
selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu
Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabi’ien), maka saya berhak
pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
Dari sini kita ketahui
bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu Hanifah adalah Al-Qur’an, Sunnah
dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash Al-Qur’an dan Sunnah
secara jelas-jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka hukum itu disebut
“diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi bila nash tadi menunjukkan
secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah-kaidah dasar berupa
tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan hukum disebut
“melalui qiyas”.
Semua imam sepakat
tentang keharusan merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang membedakan
dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan imam-imam yang lain sebenarnya
terletak pada kebenarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral
dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu hukum.
Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan teori qiyas, istihsan, ‘urf
(adat-kebiasaan), teori kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan lebih tajam lagi
adalah bahwa Abu Hanifah banyak menggunakan teori-teori tadi dan sangat ketat
dalam penerimaan hadits ahad. Tidak seperti imam yang lain, Abu Hanifah sering
menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka illat,
hikmah dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahaminya .
Perlu ditambahkan bahwa
betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang menyelami di balik
arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu
tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnahatau
meninggalkan ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang
menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al-Qur’an dan Sunnah.
Bahkan jika ia
menemukan pendapat atau qaul (pernyataan) sahabat yang benar, ia menolak untuk
melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri
sendiri tetapi berakar kuat pada pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para
ahli hadits di Hijaz. Muhammad bin Hasan seperti dikutip Abu Zahrah,
membenarkan bahwa dalam masalah hukum seseorang yang berhubungan dengan
istrinya sebelum tawaf ziarah, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas,
seorang ulama ahli hadits Makkah, dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal
banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.
b. Dasar-dasar Fiqih
Mazhab Maliki
Seperti halnya Imam
Hanafi, Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi
pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, murid-murid Imam
Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah
Imam Malik kemudian menuliskannya.
Dari beberapa isyarat
yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha’, fuqaha Malikiyah
merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah menyebutkan
bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur
Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal ‘illah (pencarian
kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’ qiyas, tradisi orang-orang
Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i’, mura’at al khilaf,
maslahah mursalah dan syar’u man qablana. Al-Qurafidalam bukunya Tanqih
Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut : Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah
mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi, seorang
ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke
dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan ra’yi (rasio) .
c. Dasar-dasar Fiqih
Mazhab Syafi’i
Bagi Imam Syafi’i
Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu
kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas,
istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan
dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral
Al-Qur’an dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran fiqih
Syafi’ie. Menurut Syaafi’ie, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan
dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas di dalam Al-Qur’an, merinci yang
global, mengkhususkan yang umum dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada
di dalam Al-Qur’an.
Hipotesa menarik
lainnya dalam pemikiran metodologi Syafi’ie adalah pernyataannya, “Setiap
persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnnya di dalam Al-Qur’an.”
Untuk membuktikan hipotesanya itu, Syafi’ie menyebut empat cara Al-Qur’an dalam
menerangkan suatu hukum. Pertama, Al-Qur’an menerangkan suatu hukum dengan
nash-nash hukum yang jelas, seperti nash-nash yang mewajibkan shalat, puasa,
zakat, dan haji, atau nash-nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan
bangkai, darah dan yang lainnya.
Kedua, suatu hukum yang
disebut secara global dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya,
jumlah rakaat dalam shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan
berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam
Al-Qur’an dal Nabi-lah yang menerangkan secara terinci.
Ketiga, Nabi Muhammad
saw juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya di dalam
Al-Qur’an. Bentuk penjelasan Al-Qur’an untuk masalah seperti ini dengan
mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Di dalam
Al-Qur’an disebutkan : (4:80)
Yang maksudnya :
“Barang siapa yang taat kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah.”
Dengan demikian, suatu
hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur’an,
karena Al-Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi
menjauhi yang di larang .
Keempat, Allah juga
mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang
tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al-Qur’an
dalam masalah yang seperti ini, yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan
mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap maqashid al-Syari’ah
(tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis,
dalam Al-Qur’an di sebutkan dalan 4:59
d. Dasar-dasar Fiqih
Mazhab Hambali
Sikapnya yang tegas dan
fundamentalis tercermin pemikiran-pemikiran fikihnya. Para ulama Hanabilah
berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal dan pemikiran-pemikiran
fiqihnya dibangun atas sepuluh dasar, yaitu lima dasar ushuliyah dan lima dasar
lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar mazhab Hambali aitu adalah : (1)
Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’, (2)
fatwa-fatwa sahabat, (3) apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad memilih yang
paling dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah; dan apabila tidak jelas, dia hanya
menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara khusus, (4)
hadits-hadits mursal dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan, (7) sadd al-dara-i’,
(8) istishab, (9) ibthal al ja’l, (10) maslahah mursalah.
Dari dasar-dasar dan
metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat bahwa Imam Ahmad bin Hambal
mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia lebih mendahulukan
penggunaan qiyas.