Oleh: Muhammad Alifuddin
Tidak banyak yang
saya ketahui tentang Kampung Naga, kecuali bahwa masyarakat kampung tersebut adalah komunitas muslim yang dalam
banyak hal masih mempertahankan cara dan pola hidup di atas landasan kearifan
lokal. Hidup dan tinggal di antara tebing dengan pola tradisi masa lalu memang
merupakan satu tantangan tersendiri bagi masyarakat Naga. Dan karena cara serta
pola hidup yang demikian, kemudian membuat banyak orang penasaran dan berupaya
untuk tahu tentang kehidupan orang Kampung Naga, dari yang hanya sekedar untuk
tahu, hingga mereka yang ingin tahu secara mendalam sekaligus masuk ke dalam relung-relung
kehidupan orang Kampung Naga. Saya
termasuk dari kelompok yang kedua, rasa
penasaran, kemudian merangsan adrenalin
saya untuk mencoba tahu “sedikit” tetapi mendalam tentang cara berpikir dan
bagaimana orang Kampung Naga memaknai disain arsitektur, khususnya dalam hal
yang terkait dengan rancang bangun atau disain
arsitektur rumah yang ada wilayah ini.
Beranjak dari latar pemikiran tersebut, maka melalui studi ini akan
dibuktikan bahwa disain arsitektur orang Kampung Naga merupakan refleksi dari
pandangan hidup mereka yang memiliki kaitan dengan konsep kepercayaan dan
kosmologi masyarakat setempat.
Ketertarikan saya terhadap tema di atas selain
didorong oleh keunikan disain rumah di Kampung Naga yang berbeda dengan rumah
pada umumnya, juga dilatari oleh asumsi, bahwa telaah antropologis terhadap
arsitektur akan membawa kita kepada sebuah dunia yang baru dan memiliki
perbedaan jika masalah tersebut dikaji dari sudut pandang arsitektur berbasis
ilmu keteknikan.Dalam hal ini, Rahadea
Bhaswara menyebutkan bahwa; membicarakan arsitektur dari jendela
antropologi adalah salah satu cara untuk melihat arsitektur dari orbit luarnya.
Dengan meminjam jendela antropologi kita akan melihat arsitektur sebagai sebuah
proses kebudayaan yang utuh. Lebih lanjut Bhaswara menyebutkan bahwa; gejala
dan wujud kebudayaan dalam arsitektur merupakan indikasi yang semakin
mendekatkan arsitektur dengan proses terciptanya kebudayaan. (Bhaswara: 2008)
Tesis
Bhaswara bukan tanpa alasan, karena sebagaimana yang disebutkan oleh J.J.
Honingmann; terdapat tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities dan artefacts
(Honingmann dalam Koentjaraningrat: 2005, h.74). Koentjaraningrat sendiri
menawarkan empat wujud kebudayaan, yaitu: kebudayaan sebagai nilai ideologis;
kebudayaan sebagai sistem gagasan; kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan
tindakan yang berpola; dan kebudayaan sebagai benda fisik (artefak)
(Koentjaraningrat,2005). Lebih lanjut Koentjaraningrat menyebutkan; “karya
arsitektur” sebagai sebuah produk,
merupakan wujud fisik yang secara nyata dapat dilihat, disentuh dan
dirasakan kehadirannya dalam masyarakat. Wujud fisik ini, baik dalam skala
bangunan tunggal maupun sebuah lingkungan buatan, dapat dipahami sebagai sebuah
artefak.Sebuah “karya arsitektur” mengkomunikasikan kondisi masyarakat di mana
artefak tersebut berada.Artefak merupakan wujud akhir yang timbul akibat adanya
gagasan dan tindakan dalam suatu kebudayaan, wujud fisik.Kebudayaan dalam wujud
fisik merupakan bagian terluar dari lingkaran konsentris kerangka kebudayaan
(Koentjaraningrat, 2005).
Oleh
karena itu, banyak telaah dan penelitian menunjukkan bahwa pembentukan
arsitektur sebuah bangunan dideterminasi
oleh faktor-faktor, geografis, iklim, dan budaya lokal, demikian pula dengan keyakinan yang dianut
oleh suatu masyarakat. Hal ini bisa dipahami, karena memang faktor-faktor tersebut
tampak lebih langsung dan kasat mata
serta bersifat umum dan berlaku pula bagi pembentukan fungsi-fungsi arsitektur
yang lain (Barliana: 2008). Oleh karena
itu, perkembangan arsitektur tidak dapat dilepaskan dari pengaruh bentuk dan konsep yang tumbuh
lebih dahulu. Dengan demikian pengembangan dan percampuran bentuk dari tempat
dan zaman berbeda adalah hal yang lazim. Arsitektur Islam khususnya
masjid, juga mengalami perkembangan yang cukup kompleks, karena
kecenderungan masuknya budaya daerah (vernacularisme) sangat sulit untuk
dihindari. Hal ini disebabkan oleh kenyataan menunjukkan, bahwa sebelum Islam
menapaki Nusantara, negeri ini (Indonesia) sudah memiliki corak kebudayaan lokal
yang antara lain dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. bercampurnya dua (lebih)
kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang
melahirkan kebudayaan baru yaitu Islam dalam bingkai budaya lokal.Masuknya
Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya
sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya dalam wilayah
keyakinan/keimanan dan sistem ritual, tetapi juga dalam hal yang terkait dengan
produk kebendaan/material, seperti corak bagunan atau arsitektur tempat tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...