Oleh:
Abdurrahman Misno Bambang Prawiro
Menurut Kamus
Bahasa Indonesia kata "sumber" berarti tempat keluar mata air, mata
air, sumur, bahan yang dapat digunakan manusia untuk memenuhi keperluan
hidupnya, atau segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai hasil dan asal dari
sesuatu (yang mempunyai makna banyak). Hal ini berarti sumber adalah sesuatu
yang menjadi asal, atau hal yang menjadi sandaran atas sesuatu.
Dalam bahasa Arab
istilah sumber hukum Islam mempunyai beberapa penyebutan, diantaranya
adalah أصول الأحكام ushul al-ahkam (dasar hukum), مصادر الأحكام mashadir al-ahkam
(sumber-sumber hukum) dan دليل dalil, ketiganya memiliki makna yang hampir sama (muradif).
Kata “Sumber-sumber hukum Islam” merupakan terjemah dari lafadz مصادر الأحكام (mashadir al-ahkam). Istilah ini kurang populer
di kalangan ulama fiqh klasik, mereka lebih sering menggunakan istilah
dalil-dalil syariat الأدلة الشرعية al-adilah
asy-syar'iyyah.
Kata "sumber
hukum" hanya berlaku pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah, sedangkan
"dalil-dalil hukum" adalah merupakan alat (metode) dalam menggali
hukum-hukum dari kedua sumber hukum Islam.
Secara etimologi
kata مصدر “mashdar” adalah bentuk mufrad, dalam bentuk
jama' االمصادر (al-mashadir) berarti wadah yang dari
padanya digali norma-norma hukum tertentu,
dikatakan المصادر الشرعية yaitu rujukan utama
dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Al-Qur'an dan Al-Sunnah.
Sedangkan الدليل ad-dalil merupakan petunjuk yang membawa kita menemukan hukum
tertentu. Kata dalil adalah kata dalam bentuk tunggal (mufrad) الدليل (al-dalil) bentuk
jama'nya adalah الأدلة (al-adilah). Dalil menurut bahasa adalah :
الهادي إلى أي شيء حسي أو معنوي
Petunjuk jalan
kepada segala sesuatu baik yang sifatnya real/nyata atau bersifat
maknawi/abstrak. Hamd bin Hamdi
Al-Sha'idy menyatakan bahwa الدليل ad-dalil secara
bahasa bermakna المرشد al-mursyid (petunjuk). Sedangkan secara istilah الدليل
al-dalil bermakna :
ما يستدل بالنظر الصحيح فيه على حكم
الشرع عملي على سبيل القطع او الظن.
"Setiap
sesuatu yang menunjukan kepada kebenaran pada hukum syar'i yang bersifat amali
dengan mengambil sandaran yang qath'i ataupun yang dhanny." Sebagian ulama ushul mendefinisikan dalil
dengan "Setiap sesuatu yang disandarkan padanya hukum syar'i dengan
menyandarkannya kepada dalil yang qath'i", adapun jika sandaran tersebut
bersifat dzanny maka hanya sebuah isyarat saja bukan dalil.
Nasrun Haroen
mencatat “Dalam bahasa Arab yang dimaksud dengan sumber adalah masdar, yaitu
asal dari segala sesuatu dan tempat yang merujuk segala sesuatu.”
Dari sini
menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang
digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam
Islam.
Telah menjadi
kesepakatan (ijma') para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum
Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits, hal ini sebagaimana yang termaktub dalam
QS Al-Nisaa ayat 59 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
Abdurrahman bin
Nashir Al-Sa'dy menyatakan bahwa dalam ayat ini Allah ta'ala memerintahkan kita
untuk taat kepadaNya, lalu kepada RasulNya dan ulil amri. Jika terjadi
permasalahan pada suatu masalah baik dalam masalah ushul maupun furu' hendaknya
dikembalikan kepada Allah dan RasulNya yaitu kepada Kitabullah (Al-Qur'an) dan
Al-Sunnah (Al-Hadits), Pada keduanya terdapat pemutus dari setiap masalah
khilafiyah. Karena Kitabullah dan sunnah RasulNya adalah pondasi bagi bangunan
dien, maka tidak akan tegak iman kecuali dengan keduanya dan mengembalikan
masalah kepada keduanya adalah syarat iman.
Sedangkan hadist
Nabi yang menunjukan bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah sumber hukum Islam
adalah riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud :
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ
الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ
الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Dari Miqdam bin
Ma'di Kariba Al-Kindy dia berkata bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya telah
diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya
(Al-Sunnah) ketahuilah sungguh telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an)
dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah). HR Ahmad no. 16546.
Dalam hadits ini
Rasululah menyebutkan bahwa beliau diberikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup
dan sumber hukum bagi setiap permasalahan yang ada. Selain itu beliau juga
diberikan sesuatu yang serupa dengan Al-Qur'an yaitu Al-Sunnah sebagai pelengkapnya. Dalam riwayat yang lain
teksnya adalah :
عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا
إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ
عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ
مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ
أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ
مِنْ السَّبُعِ
Dari Miqdam bin Ma'di Karaba Dari
Rasulullah bahwa beliau bersabda sungguh telah diberikan kepadaku Al-Kitab
(Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah)...HR Abu Daud, Kitab
Al-Sunnah no. 3988.
Kedua atsar
tersebut menunjukan kedudukan hadits Nabi sebagai sumber hukum Islam, keduanya
merupakan wahyu yang turun sebagai pedoman bagi setiap permasalahan yang
muncul.
Al-Baghawy
membawakan sebuah riwayat yang derajatnya diperselisihkan oleh para ulama dan
ada kecacatan padanya, yaitu riwayat dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululah
pernah mengutusnya ke Yaman, maka beliau bersabda :
حديث معاذ لما قال له رسول الله صلى
الله عليه وسلم بما تقضي قال بكتاب الله
قال فإن لم تجد قال فبسنة رسول الله قال فإن لم تجد قال أجتهد رأيي قال
الحمدلله الذي وفق رسول رسوله
”Bagaimana engkau memutuskan suatu
masalah yang engkau hadapi ?”, maka Muadz menjawab “Aku akan berhukum dengan
Kitabullah“, “Jika tidak didapati hukumnya dalam Al-Qur'an?”, Muadz menjawab
“Aku akan mengambil Sunnah Rasulullah (Al-Hadits)”, “Apabila tidak juga
didapati dalam sunnah rasulullah ?”, Muadz menjawab lagi “Aku akan berijtihad
dengan pemikiranku dan aku tidak akan membiarkannya” Kemudian Rasulullah
menepuk dadanya dan mengucapkan “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
taufik utusan rasulNya dengan segala yang diridhainya” HR Abu Daud, Thirmidzi,
Ahmad dan yang lainnya.
Muhammad
Nashiruddin Al-Albani menyebutkan bahwa tingkatan pengambilan sumber hukum
dalam hadits ini adalah benar, yaitu Al-Qur'an dan Al-Sunnah/Al-Hadits. Jika
tidak ada nash sharih dalam Al-Qur'an maka dapat beralih ke Al-Hadits, hal ini
karena fungsi dari hadits Nabi adalah merinci hukum-hukum yang masih mujmal,
mentaqyid yang mutlak dan mengkhususkan yang umum dari Al-Qur'an.
Dari sini
menunjukan bahwa urutan dalam pengambilan sebuah dalil adalah benar yaitu
setelah tidak ada nash qath'i dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah maka seorang
mujtahid diperkenankan untuk berijtihad.
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Baghawy dari Maimun bin Mahran, ia berkata :
كان
أبو بكر إذا ورد عليه الخصم نظر في كتاب الله فان وجد فيه ما يقضي بينهم قضى به
وان لم يكن في الكتاب وعلم من رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذلك الأمر سنة قضى
بها فان أعياه خرج فسأل المسلمين وقال أتاني كذا وكذا فهل علمتم أن رسول الله صلى
الله عليه وسلم قضى في ذلك بقضاء فربما اجتمع إليه النفر كلهم بذكر عن رسول الله
صلى الله عليه وسلم فيه قضاء فيقول أبو بكر الحمد لله الذي جعل فينا من يحفظ علينا
علم نبينا فإن أعياه أن يجد فيه سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم جمع رؤوس
الناس وخيارهم فاستشارهم فاذا اجتمع رأيهم على أمر قضى به
Abu Bakar apabila
akan memutuskan sesuatu maka dia melihat kepada Al-Qur'an, apabila terdapat
padanya maka dia berhukum dengannya, apabila tidak ada dalam Al-Qur'an maka
akan diambil dari Al-Sunnah dan akan berhukum dengannya, maka jika tidak
terdapat juga dalam Al-Sunnah maka dia akan mengumpulkan para shahabat Nabi dan
bermusyawarah dengan mereka, jika mereka sepakat maka akan diambil kesepakatan
itu sebagai pemutus suatu masalah.
Hal ini juga
dilakukan oleh Umar dan para shahabat Nabi yang lainnya, demikian pula pemimpin-pemimpin
kaum muslimin. Tidak ada yang menyelisihi tentang hal ini.
Al-Qur'an dan
Al-Sunnah adalah pedoman pokok dalam menyelesaikan hukum-hukum yang dihadapi
oleh manusia, hal ini seperti wasiat
Nabi Shalallahu Alaihi Wa Salam kepada kita dalam sebuah hadits:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ
أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ
نَبِيِّهِ
Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda “Telah aku tinggalkan dua perkara, maka
kalian tidak akan tersesat selama-lamanya jika kalian berpegang teguh kepada
keduanya yaitu kitabullah dan sunnah NabiNya. HR. Malik no. 1395.
Kesimpulan dari
hadits-hadits tersebut adalah bahwa Al-Qur'an dan Al-Sunnah adalah sumber hukum
Islam yang telah disepakati oleh seluruh umat Islam dan tidak ada perselisihan
padanya. Keduanya merupakan pondasi bagi permasalahan-permasalahan hukum yang
tidak ada nashnya.
Sedangkan dalil
hukum Islam yang masih diperselisihkan oleh para ulama adalah ijma, qiyas,
istihsan, maslahat mursalah, 'urf, pendapat shahabat, istishab, sad adz-dzara'i
dan syar'u man qablana (syariat umat sebelum kita). Di sini ada ikhtilaf di kalangan ulama
tentang metode pengambilan dalil jika ada nash dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah.
Namun perbedaan
pendapat ini bukanlah merupakan terpecahnya mereka dalam dien, karena hal ini
hanya mencakup masalah manhaj istidlal (metode penggunaan dalil) dan bukan pada
masalah-masalah (ushul) prinsip. Karena seluruh ulama bersepakat bahwa ketika sebuah
permasalahan tidak ada nashnya maka hendaknya digunakan ijtihad yang bersumber
dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah.
Sebagian ulama
berpendapat bahwa selain Al-Quran dan As-Sunnah bukanlah sumber hukum, ia
hanyalah dalil hukum. Perbedaan mendasar antara sumber dan dalil adalah bahwa
dalil akan senantiasa berpedoman kepada sumber, sehingga baik ijma, qiyas,
istihsan, maslahat mursalah, 'urf, pendapat shahabat, istishab, sad adz-dzara'i
maupun syar'u man qablana selalu didasari oleh Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Inilah
pendapat yang insya Allah mendekati kebenaran.
Dengan
berkembangnya masa, perbedaan-perbedaan tersebut kini semakin menipis. Hal ini
disebabkan sikap para mujtahid setelahnya yang semakin terbuka dalam menghadapi
berbagai permasalahan umat Islam yang semakin komplek, terutama pada hal-hal
yang tidak ditemukan nash qath'i/sharih.
Permasalahan
seperti haruslah dapat dicari landasan hukumnya agar dapat dijabarkan secara
jelas kepada umat. Upaya pencarian landasan hukum dan penjabarannya adalah
merupakan lapangan kajian ushul fiqh. Setiap mujtahid yang berkompeten dalam
ilmu ini haruslah mampu beristidlal dalam menghukumi berbagai permasalahan
kontemporer, dari sinilah urgensi ushul fiqh.
Muhammad Abu
Al-Fath Al-Bayanuni menyatakan bahwa urgennya ilmu ushul fiqh dalam era modern
ini karena akan menumbuhkan keyakinan dan kepuasan di dalam jiwa setiap mukmin,
bahwa fiqh yang diikutinya semata-mata merupakan produk pemahaman, berasal dari
penggalian terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah yang dibangun di atas kaidah yang
konstan dan permanen secara syar'i dan
merupakan hasil pembahasan yang mendalam, bukan hanya pendapat atau kehendak
seseorang.
Dari pembahasan tentang sumber hukum Islam dapat
disimpulkan bahwa sumber hukum yang disepakati oleh umat Islam adalah Al-Qur'an
dan Al-Sunnah, sedangkan yang disepakati oleh jumhur al-ulama adalah Ijma dan
Qiyas, adapun yang masih diperselisihkan oleh para ulama adalah istihsan,
maslahat mursalah, 'urf, pendapat shahabat, istishab, sad al-dzara'i dan syar'u
man qabalana (syariat umat sebelum kita).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...