Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro
Al-Qur'an.
Manna' Al-Qathan
mengatakan dalam Mabahits Fi Ulum Al-Qur'an bahwa asal kata Al-Qur'an adalah
kata قرأ – قرائة – قرئان (qara-a – qira-atun –
qur'anan) yang bisa berarti berkumpul dan menghimpun , seperti dalam QS
Al-Qiyamah ayat 17-18 :
إِنَّ
عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ , فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya, Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya
itu.”
Abdul Wahab
Khalaf menyebutkan bahwa lafadz "al-qur'an" adalah bentuk masdar dari
kata قرأ qara-a, seperti kata غفر ghafara
bentuk mashdarnya adalah غفران ghufraan.
Al-Qur'an adalah firman Allah ta'ala yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam melalui malaikat Jibril dan membacanya
termasuk ibadah.
Sementara ada
yang mendefinisikannya dengan "Kalam (ucapan) Allah yang diturunkan
melalui malaikat Jibril kepada qalbu (hati) Muhammad Shalallahu Alahi wa salam
dengan lafadz bahasa Arab dan maknanya adalah benar, sebagai hujjah (bukti)
baginya bahwa beliau adalah utusan Allah sebagai dustur bagi manusia untuk
mencapai petunjuk membacanya adalah ibadah yang telah terkumpul dalam satu
mushaf diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas telah
sampai kepada kita secara mutawatir dari generasi demi generasi dan terjaga
dari perubahan". Sebagaimana firmanNya :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya” QS Al-Hijr ayat 9.
Demikianlah, Al-Qur'an
adalah sumber utama dalam setiap menetapkan suatu hukum dalam Islam,
kepadanyalah semua masalah dikembalikan.
As-Sunnah /
Al-Hadits
Al-Sunnah secara
bahasa berasal dari bahasa Arab
yaitu سن – يسن – ويسن – سنا فهو مسنون و
جمعه سنن و سن الأمر أى بينه yang berarti menerangkan.
والسنة : السيرة والطبيعة والطريقة sunnah adalah sirah (sejarah), tabiat dan
jalan. Kata ini muradif dengan kata "al-hadits" yang berasal dari
kata hadatsa حدث yang
berarti percakapan atau sesuatu yang baru. Sedangkan menurut istilah adalah :
ما صدر
عن رسول الله صلى الله عليه والسلم من قول أو فعل أو تقرير
“Setiap yang
datang dari Nabi Shalallahu alaihi wasalam baik berupa perkataan, perbuatan
atau taqrir (sesuatu yang didiamkannya)”.
Sunnah sendiri terbagi menjadi dua yaitu sunnah qauliyah dan sunnah
fi'liyah. Sunah qauliyah adalah hadits-hadits (ucapan) yang telah disampaikan
oleh Nabi dengan berbagai tujuan dan
keperluan yang sesuai. Sedangkan sunnah fi'liyah yaitu amalan-amalan Nabi
seperti cara-cara shalat, cara melakukan manasik haji dan yang lainnya.
Yazid Abdul Qadir
Jawwas mendefinisikan Al-Sunnah dengan “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Shalallahu 'Alaihi Wassalam dalam bentuk
ucapan, amalan, taqrir dan sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya
sebagai tasyri' bagi umat Islam.
Dari semua
pengertian tersebut menunjukan bahwa Al-Sunnah atau al-hadits adalah setiap
ucapan dan amalan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, serta suatu perkara
yang didiamkankannya sebagai bentuk persetujuannya. Al-Sunnah adalah sumber
hukum utama dalam Islam selain Al-Qur'an, kedudukan keduanya sama, dan tidak
boleh memisahkan di antara keduanya, karena keduanya sama-sama datang dari
Allah ta'ala.
Ijma'
Ijma menurut
bahasa adalah العزم والإتفاق yang berarti niat, maksud dan keinginan yang
kuat serta bersepakat, sedangkan menurut istilah :
اتفاق
علماء العصر على حكم الحادثة
"Kesepakatan
para ulama pada suatu masa atas permasalahan-permasalahan yang baru". Sementara menurut Salam Madkur ijma' adalah
“Kesepakatan para mujtahid dari umat Islam atas hukum syara' (mengenai suatu
masalah) pada suatu masa sesudah Nabi wafat.
Abdul Wahab
Khalaf mengatakan bahwa Ijma' adalah bersepakatnya seluruh ulama mujtahid dari
kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Nabi pada hukum syar'i yang
mereka hadapi. .
Ada ikhtilaf di
kalangan para ulama berkenaan dengan ijma' ini seperti disebutkan Muhammad
Salam Madkur, menurut Imam Malik bahwa ijma' yang dapat diakui adalah ijma
fuqaha ulama Madinah, sedangkan menurut kalangan syiah, ijma' yang diakuinya
adalah hanya ijma' dari kalahan mujtahidin Syi'ah dan menurut Imam Ahmad dan
Madzhab Dzahiry yang diakui terjadi hanyalah ijma' shahabat.
Terlepas dari
perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa ijma' adalah kesepakatan para ulama
mujtahidin setelah wafatnya Nabi sampai akhir zaman atas suatu masalah-masalah
baru yang tidak ditemukan dalilnya secara sharih.
Qiyas
Qiyas secara
bahasa berarti mengukur dan menyamakan antara dua hal, baik yang konkret,
seperti benda-benda yang dapat dipegang, diukur dan sebagainya, maupun benda
yang abstrak seperti kebahagiaan, kepribadian dan sebagainya. Dalam Syarh Al-Waraqat disebutkan bahwa qiyas
adalah “Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok) dengan
sebab adanya ilat yang sama”.
Qiyas sendiri
terbagi tiga yaitu : Qiyas 'ilat, Qiyas Dalalah dan Qiyas Syibh. Abdul Wahab Khalaf menyebutkan “Definisi
qiyas menurut pendapat ulama ushul
adalah Memutuskan sesuatu yang terjadi yang tidak ada nash hukum tentang
hal tersebut dengan sesuatu yang terjadi dan telah ada nash hukumnya dan pada
hukum yang sudah jelas nashnya, menyamakan dua
kejadian tersebut dengan ilat hukum yang sama.
Abdullah bin
Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa qiyas adalah ushul keempat dari pokok-pokok sumber
hukum Islam. Kalangan Dzahiriyah menyelisihi hal ini, namun pendapat yang
paling benar adalah pendapat Jumhur, yaitu dipakainya qiyas sebagai dalil hukum
syar'i, jika dikatakan bahwa qiyas sebagai dalil yang bersifat dzanny, maka hal
ini tidaklah tepat karena khabar ahad juga merupakan dalil yang bersifat dzani
namun tetap dapat digunakan sebagai sumber hukum.
Sementara Ahmad
Hanafi mendefinisikan qiyas dengan
“Mempersamakan hukum sesuatu perkara yang belum ada kedudukan hukumnya dengan
sesuatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi
persamaan alam antara keduanya yang disebut illat”.
Pada zaman
sekarang ini urgensi dari qiyas begitu banyak, mengingat semakin berkembangnya
hal-hal baru yang tidak ada nash dalilnya baik dari Al-Qur'an maupun Al-Sunnah,
sehingga diperlukan adanya qiyas yang dapat mengatasi semua masalah
tersebut.
Istihsan
Wahbah Al-Zuhaily
berpendapat bahwa kata istihsan menurut bahasa عد الشء واعتقاده حسنا artinya adalah memilih suatu masalah yang dianggap lebih baik
dari yang lainnya. Sedangkan Abdul Wahab
Khalaf mengatakan bahwa istihsan secara bahasa adalah “Memperkirakan sesuatu
hukum yang dianggap terbaik”.
Sedangkan menurut
istilah adalah “Tindakan mujtahid dalam menghadapi suatu masalah yang lebih
mengutamakan dalil qiyas yang jaly daripada qiyas khafy, atau dari hukum yang
bersifat kully (menyeluruh) kepada hukum yang bersifat pengecualian pada dalil
yang diambil dalam pemikirannya yang lebih rajih dalam hal keadilan”.
Dalam kesempatan
yang lain Abdul Wahab Khalaf menyatakan bahwa makna yang lebih komprehensif
tentang ihtihsan yaitu “Pindah dari suatu hukum mengenai suatu masalah kepada
hukum lain (dalam memutuskan persoalan tersebut) karena ada dalil syar'i yang
mengharuskan demikian.
Ahmad Hanafi
mendefinisikan istihsan dengan mengecualikan (memindahkan) hukum sesuatu
peristiwa dari hukum-hukum peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan
kepadanya hukum yang lain karena ada alasan kuat bagi pengecualian tersebut. Dari semua definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa istihsan adalah memilih hukum yang lebih baik dengan ukuran
dari sumber-sumber hukum Islam.
Maslahah
Mursalah/Istishlah
Secara etimologi مصلحة maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun
makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung
manfaat.
Apabila dikatakan
bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu
kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu
penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.
Menurut ulama
ushul, maslahah mursalah adalah kemaslahatan (kebaikan) yang disyariatkan Allah
akan tetapi tidak ditetapkan hukumnya, dan tidak ada dalil syar'i yang
menetapkannya atau membatalkannya.
Imam Al-Ghazaly
mengatakan “Maslahat menurut makna asalnya berarti menarik manfaat atau menolak
mudzarat (hal-hal yang merugikan). Akan tetapi bukan itu yang kami maksud sebab
meraih manfaat dan menghindarkan mudzarat adalah tujuan makhluk (manusia).
Kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka. Yang kami maksud
dengan kemaslahatan adalah memelihara tujuan syara' (hukum Islam). Tujuan hukum
Islam yang ingin dicapai dari makhluk ada lima : yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan
memelihara kelima hal ini disebut maslahat dan setiap hal yang meniadakannya
disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat.”
Hal ini senada
dengan yang disampaikan oleh Imam Al-Syatibi
yang mengatakan “Setiap dasar agama (kemaslahatan) yang tidak ditunjuk
oleh nash tertentu dan ia sejalan dengan tindakan syara' serta maknanya diambil
dari dalil-dalil syara', maka hal itu benar, dapat dijadikan landasan hukum dan
dijadikan rujukan.
Demikian itu
apabila kemaslahatan tersebut (berdasarkan kumpulan beberapa dalil) dapat
dipastikan kebenarannya, sebab dalil-dalil itu tidak mesti menunjukan kepastian
hukum secara berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan dalil yang lain,
sebagaimana penjelasan terdahulu. Hal tersebut karena yang demikian itu
nampaknya sulit terjadi.”
Masjfuk Zuhdi
mendefinisikan maslahah dengan “Kebaikan
yang tidak terikat pada dalil/ nash Al-Qur'an dan Sunnah. Para ulama membagi
istislah menjadi dua yaitu : Maslahah
Mu'tabarah dan Maslahah Mursalah. Maslahah Mu'tabarah adalah kemaslahatan atau
kebaikan yang memang diakui oleh Islam. Sedangkan Maslahah Mursalah. adalah kemaslahatan yang
diakui adanya karena timbul peristiwa-peristiwa baru setelah Nabi wafat.
Nasrun Haroen
menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah “Suatu kemaslahatan yang tidak ada
nash juz'i (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan
tidak ada pula ijma' yang mendukungnya, tetapi kemaslahatn ini didukung oleh
sejumlah nash melalui cara Istiqra' (induksi dari sejumlah nash).
Adapun maslahah
jika dilihat dari jenisnya ada tiga macam :
Pertama Maslahah
Adz-Dzaruriyat, yaitu kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di
akhirat, seperti pemeliharaan dan perlindungan terhadap, agama, jiwa, akal,
nasab, keturunan dan harta.
Kedua Maslahah
Al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang diperlukan oleh manusia untuk menghilangkan
kesempitan dan kesukaran, maka apabila tidak ada kemaslahatan ini maka manusia
akan merasa sempat dan susah, contohnya Allah mensyariatkan beberapa jenis
muamalat semisal jual beli, sewa menyewa, serta berbagai keringanan bagi
orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu.
Ketiga Maslahah
Al-Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang bertujuan untuk menyempurnakan budaya
dan keluhuran akhlak, seperti bersuci sebagai pra syarat sholat, Berpakaian
yang bagus dan makanan yang baik, mengharamkan segala sesuatu yang khabaits dan
sebagainya.
Sebagai pedoman
agar maslahat ini tidak disalahartikan, maka para ulama banyak memberikan
berbagai persyaratan terkait dengan hal ini, seperti Abdul Wahab Khalaf dalam
Mashadiru Al-Tasyri' Fima la Nasha fihi yang membahas secara panjang lebar
tentang maslahat mursalah (istislah) ini. Beliau memberikan beberapa syarat
ketika seorang mujtahid ingin menggunakan maslahah mursalah ini, di antara syarat
tersebut adalah :
Pertama,
penetapan maslahah harus dilakukan setelah diadakannya penyelidikan, analisa
dan penelitian sehingga maslahat yang dimaksud benar-benar hakiki, bukan
bayang-bayang.
Kedua : Maslahat
yang dimaksud adalah maslahat hakiki, bersifat umum dan bukan maslahat yang
bersifat individu.
Ketiga :
Hendaknya maslahat umum itu tidak bertentangan dengan syariat yang ada nash dan
ijma' ulama.
Majelis Ulama
Indonesia dalam salah satu fatwanya memberikan batasan maslahat dengan
“Maslahat yang dibenarkan oleh syariat adalah maslahat yang tidak bertentangan
dengan nash. Oleh karena itu, maslahat tidak boleh bertentangan dengan
nash”.
Dari semua
pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa metode maslahah mursalah atau
istislah adalah sebuah metode untuk menetapkan sebuah hukum dengan berdasarkan
kepada kemaslahatan yang dapat dirasakan oleh seluruh manusia, dan sebagai
sarana untuk menolak kemudharatan yang ditimbulkan ketika maslahat ini tidak
ditegakkan, selain itu ruang lingkup maslahat adalah ketika tidak ada dalil
yang sharih yang menjadi sumber hukum atas suatu masalah yang sedang dihadapi.
Maslahat ini
bukanlah hanya untuk kepentingan individu atau hanya segelintir orang saja,
akan tetapi manfaatnya benar-benar diperlukan oleh umat manusia.
'Urf
Istilah urfالعرف (Al-'Urf ) secara
bahasa adalah mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui,
dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran sehat, sebagaimana firmanNya :
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau
pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh” QS Al-A'raf ayat 199.
'Urf biasa
diterjemahkan dengan adat atau kebiasaan sebuah masyarakat, Ahmad Fahmi Abu Sunnah
mengatakan dalam Al-'Urf wa Al-'Adah fi Ra'yi Al-Fuqaha bahwa adat adalah
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional”.
Abdul Wahab
Khalaf mengatakan bahwa 'urf adalah setiap sesuatu yang menjadi adat kebiasaan
manusia dalam bertindak sesuai dengannya seperti segi perkataan, perbuatan dan
cara-cara lainnya yang disebut juga adat. Pada dasarnya tidak ada perbedaan
antara 'urf dan al-'adah. 'Urf atau adat terbagi menjadi dua yaitu : 'urf
'amaly misalnya jual belinya manusia tanpa menggunakan lafadz yang jelas, dan
'urf qauly misalnya memutlakkan kata walad dengan anak laki-laki.
Jika dilihat dari
segi keabsahannya maka 'urf ini terbagi menjadi dua, yaitu Al-'Urf Al-Shahih
dan Al-'Urf Al-Fasid. Al-'Urf Al-Shahih
adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Adapun Al-'Urf Al-Fasid
adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara' dan kaidah-kaidah
dasar yang ada dalam syara'.
Dari pemaparan
tersebut dapat dipastikan bahwa 'urf yang dapat dijadikan dalil/sumber hukum
adalah 'urf yang shahih, yaitu kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat yang
tidak ada nashnya secara sharih dan tidak bertentangan dengan syara'. Mengenai
landasan hukum berupa 'urf (adat) para ulama sejak dulu sudah
menggunakannya.
Istishab
Secara etimologi إصتصحاب (Istishab) berarti
“Minta bersahabat” atau “Membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”, sedangkan
secara terminologi yaitu hukum pada sesuatu dengan keadaan yang telah terjadi
sebelumnya, sampai adanya dalil pada perubahan keadaan tersebut, atau
menjadikan sebuah hukum yang tetap pada waktu yang lampau pada sebuah keadaan
hingga adanya dalil yang merubahnya.
Imam Al-Ghazali
mendefinisikannya dengan “Berpegang pada dalil akal atau syara', bukan
didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan
pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum
yang telah ada”.
Maksud dari
istishab adalah bahwa hukum-hukum yang sudah ada pada masa lalu tetap berlaku
sekarang dan yang akan datang, selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum
itu.
Syar'u man
Qablana
Syariat sebelum
kita yaitu syariat umat-umat terdahulu yang dibenarkan oleh Islam dengan
ditetapkannya dalil-dalil baik dalam Al-Qur'an maupun Al-Sunnah sebagai sebuah
amalan. Misalnya syariat puasa,
sebagaimana disebutkan dalam firmanNya :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa". QS Al-Baqarah ayat 183.
Para ahli tafsir
menyatakan bahwa shaum atau puasa adalah sebuah ibadah yang telah diwajibkan
sebelum Islam datang, hanya saja tata caranya yang sedikit berbeda.
Dari sini dapat
disimpulkan bahwa Syar'u man Qablana itu diakui ketika ada nash yang
menguatkannya dan tidak ada ayat yang menghapuskannya.
Manhaj Shahabat
Nabi
Setelah wafatnya
Rasulullah, sangat diperlukan fatwa bagi kaum muslimin dan penetapan hukum bagi
mereka dari kalangan shahabat Nabi yang telah diketahui dengan pemahaman mereka
tentang fiqh, ilmu dan lamanya mereka bersama Nabi serta pemahaman mereka
terhadap Al-Qur'an serta hukum-hukumnya, maka banyak muncul fatwa-fatwa yang
bermacam-macam pada berbagai permasalahan.
Hal inilah yang
mendasari pendapat bahwa manhaj shahabat dapat dijadikan dalil hukum, karena
ketika seorang shahabat Nabi berkata atau beramal, tentu ia mendengarnya
langsung dari Nabi.
Demikianlah
sumber dan dalil hukum dalam Islam. Secara hirarki setiap permasalahan haruslah
dicarikan hukumnya dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Jika tidak ada maka beralih ke
dalil-dalil hukum Islam seperti Ijma, Qiyas, istihsan, maslahat mursalah, 'urf,
pendapat shahabat, istishab, sad al-dzara'i dan syar'u man qablana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...