Oleh:
Drs. Darmansyah Hsb, SH., MH
E-mail:
darmansyahhshasibuan@yahoo.co.id
A. SEKILAS TENTANG BANK SYARI`AH
Sebelum pemakalah mengungkapkan lebih jauh tentang apa isi
bahan pemakalah kali ini yaitu tentang WADI`AH, ada baiknya pemakalah mengupas
sedikit tentang sejarah berdirinya perbankan syari`ah sebagai tempatnya Wadi`ah
sarana ummat islam dalam pengimpestasian dananya sekaligus tempat penyimpanan
dengan alasan keamanan.
Perbankan Syari`ah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan
renaisance Islam modern yaitu NEOREVIVALIS dan MODERNIS. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan
berlandaskan etika ini adalah sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari
segenap aspek kehidupan ekonominya yang berlandaskan Al Qur`an dan As Sunnah.
Bank Syari’ah pertama kali muncul pada tahun 1963 sebagai
pilot project dalam bentuk bank tabungan pedesaan di kota kecil Mit Ghamr,
Mesir. Percobaan berikutnya terjadi di Pakistan pada tahun 1965 dalam bentuk
koperasi.
Upaya awal penerapan sistem profit dan los sharing (dalam
perbankan syari1ah) adalah yang pertama di Pakistan pada awal bulan Juli tahun
1979. Tahun 1979-1980 Pakistan
mensosialisasikan skema pinjam tanpa bunga kepada Petani dan Nelayan. Tahun 1981 mulai beroperasi 7000 cabang Bank
Komersial Nasional dengan menggunakan sistem syari`ah, dan pada awal tahun 1985
seluruh Perbankan konvensional Pakistan di konversi dengan peraturan baru yaitu
Sistem Perbankan Syari`ah.
Di Asia Tenggara sistem perbankan Syari`ah dipelopori oleh
Malaysia dengan BIMB (Bank Islam Malaysia Berhad), berdiri tahun 1983 dan akhir
tahun 1999 BIMB memiliki +-70 cabang di Malaysia. Sebelumnya telah dirintis perbankan syari`ah
pada dekade 1960 dan beroperasi sebagai RURAL SOCIAL BANK dengan nama MIT GHAMR
BANK oleh Prof. Dr. Ahmad Najjar, walaupun kecil namun telah mampu memicu para
menlu Negara-negara Islam khususnya anggota OKI untuk melakukan hal yang sama
dan telah terjadi beberapa pertemuan, diawali di Pakistan Desember 1970. Di Benghaji Libya Maret 1973 kembali
diagendakan pada sidang menlu Oki yang khusus menangani ekonomi dan keuangan,
didukung lagi oleh negara-negara Islam penghasil minyak yang mengadakan pertemuan
di Jeddah Juli 1973.
Bulan Mei 1974 Negara-negara Islam dan negara OKI kembali mengadakan pertemuan tentang Bank
Pembangunan Islam atau Islamic Depelopment dan telah-sampai pada penetapan
AD/ARTnya, akhirnya di Jeddah 1975 oleh sidang Mentri Keuangan OKI menyetujui
pendirian Bank Pembangunan Islamic (Islamic Developmen Bank (IDB) dengan
anggota, semua anggota OKI dengan modal awal Rp 2 Miliar Dinar Islam.
Perkembangan Bank Syari`ah di negara Arab dan di Malaysia
sangat berpengaruh ke Indonesia. Awal
periode1980-an, mulailah dilakukan diskusi oleh tokoh-tokoh seperti : Karnaen,
A. Perwataadmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amien Azis dan
dilakukan uji coba dalam bentuk bank dengan mendirikan BAITUT TAMWIL SALMAN di
Bandung dan bentuk koperasi didirikan koperasi RIDHO GUSTI di Jakarta.
Tahun 1990 diadakan pembahasan lebih khusus tentang bank
syari`ah oleh MUI di Cisarua Bogor Jawa Barat dan dilanjutkan pada Munas Mui ke
IV di Hotel Sahid Jaya Jakarta tanggal 22 – 25 Agustus 1990 dengan hasil
membentuk tim untuk mendirikan Bank Islam Indonesia. Tanggal 1 November 1991
ditanda tanganilah akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia dengan saham 84
miliar rupiah. 1 Mei 1991 Bank Muamalat
Indonesia beroperasi setelah Presiden menambah saham Bank Muamalat Indonesia menjadi Rp 106 126 382
000,00 diwaktu acara silaturrahmi tanggal 3 November 1991 di Bogor. Semenjak beroperasinya hingga September 1999
BMI telah memiliki 45 Autlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Balikpapan dan Makasar. Bank
Syari`ah Mandiri (BSM) adalah bank milik pemerintah yang pertama kali
menerapkan landasan operasionalnya dengan landasan syari`ah. Itu dilakukan setelah bergulirnya masa
reformasi dan telah dikeluarkannya UU. No. 10 Thn 1998 tentang landasan hukum
dan jenis usaha. Ada beberapa jenis
prodak bank syari`h pada waktu itu yang disosialisasikan namun yang paling
menonjol adalah Wadi`ah dan Mudharobah.
Jadi yang akan dibahas pemakalah pada makalah ini adalah WADI`AH
(Depository)
B. PENGERTIAN WADIAH
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan tentang pengertian
wadi’ah, perlu disampaikan bahwa kegiatan penghimpunan dana bank syari’ah
mempunyai beberapa produk, yakni: Wadi’ah dalam bentuk giro maupun tabungan,
Qardh atau pinjaman kebajikan, dan Mudharabah atau bagi hasil dalam bentuk
Deposito. Akan tetapi karena terbatasnya waktu, pada kesempatan ini penulis
hanya mengulas tentang wadi’ah.
Pengertian Wadi`ah menurut bahasa adalah berasal dan akar
kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip. Sesuatu yang dititip baik harta, uang maupun
pesan atau amanah. Jadi wadi`ah titipan atau simpanan. Para ulama pikih berbeda pendapat dalam
penyampaian defenisi ini karena ada beberapa hukum yang berkenaan dengan
wadi`ah itu seperti, Apabila sipenerima wadi`ah ini meminta imbalan maka ia
disebut TAWKIL atau hanya sekedar menitip.
Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah
titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan
barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi
kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan
barang/uang.
C. DASAR HUKUM
Wadi`ah diterapkan mempunyai landasan hukum yang kuat yaitu
dalam :
Al-Qur`nul Karim Suroh An-Nisa` : 58
:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, …..”
Kemudian dalam Suroh Al Baqarah : 283 :
“…………. akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; …”.
Dalam Al-Hadits lebih lanjut yaitu :
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan
janganlah membalasnya khianat kepada orang yang menghianatimu.” (H.R. ABU DAUD
dan TIRMIDZI).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah,
tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI)
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai
(tanggung jawab) titipan. Ketika beliau
akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu
`Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang
berhak.”
Dalam dasar hukum yang lain menerangkan yaitu IJMA` ialah
para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma` (konsensus)
terhadap legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini,
seperti dikutip oleh:
Dr. Azzuhaily
dalam al-Fiqih al-Islami wa adillatuhu dalam kitab Al-Mughni Wa Syarh Kabir Li
Ibni Qudhamah dan Mubsuth Li Imam Sarakhsy.
Dr. Hasan Abdullah
Amin dalam al Wada`i al Masharifah an
Maqdiyah wa Istitsmariha fi al Islam hal.
23 – 31
SYAFII ANTONIO
dalam Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta GIP 2001) hal 35.
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No:
01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah,
yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat
dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa
tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah
dan Wadi’ah
D. BATASAN DAN JENIS WADI`AH
Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu
penitip aset (barang/jasa) mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya
ia tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan
pribadi baik konsumtif maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab
barang/uang itu masih milik mudi` (penitip).
Dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu :
1. WADI`AH YAD AL
AMANAH
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima
tidak diperkenankan penggunakan barang/uang tersebut dan tidak bertanggung
jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan atas kelalaian
penerima titipan dan faktor-faktor diluar batas kemampuannya.
Hadis Rasulullah :
“Jaminan pertanggung jawaban tidak diminta dari peminjam
yang tidak menyalah gunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai
terhadap titipan tersebut.” Ada lagi dalil yang menegaskan bahwa Wadi`ah adalah
Akad Amanah (tidak ada jaminan) adalah :
Amr Bin Syua`ib meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya,
bahwa Nabi SAW bersabda: “Penerima titipan itu tidak menjamin”.
Karena Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan
dengan amanat.
Penerima titipan telah menjaga titipan tersebut tanpa ada
imbalan (tabarru)
2. WADI`AH TAD
ADH-DHAMANAH
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima
titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan
bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan
tersebut.
Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
“Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah
meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar
dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memrintahkan Abu
Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie
kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan
tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun.
Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu
adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R MUSLIM)
Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir
bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk
dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni
menyisihkan sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan
investasi. Keduanya sama-sama akad
tabarru yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana
dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa
adalah muqridh (pemberi pinjaman).
E. JENIS BARANG YANG DI WADI`AHKAN
Dalam kehidupan kita masa sekarang ini bahkan mungkin sejak
adanya bank kompensional kita mungkin hanya mengenal tabungan/wadi`ah itu hanya
berbentuk uang, tapi sebenarnya tidak, masih banyak lagi barang yang bisa kita
wadi`ahkan seperti :
Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank
konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak
dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
Uang, jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada
umumnya.
Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian
Mudhorobah dll)
Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang
dianggap berharga mempunyai nilai uang)
F. RUKUN WADI`AH
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus
ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
Barang/Uang yang di Wadi`ahkan dalam keadaan jelas dan baik.
Ada Muwaddi` yang bertindak sebagai pemilik barang/uang
sekaligus yang menitipkannya/menyerahkan.
Ada Mustawda` yang bertindak sebagai penerima simpanan atau
yang memberikan pelayanan jasa custodian.
Kemudian diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam
perbankan biasanya ditandai dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti
penyimpanan.
Dalam perbankan Syari`ah tanpa salah satu darinya maka
proses Wadi`ah itu tidak berjalan/terjadi/sah.
G. BATASAN-BATASAN DALAM MENJAGA WADI`AH (TITIPAN)
Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan
biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan
batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr
(wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan
barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut
sebagaimana barangnya sendiri.
Al-wadi`ah bi `ajr (wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga
barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti
halnya tradisi masyarakat.
Kecerobohan/kelalaian (tagshir) dari pihak penerima titipan
itu biasa terjadi dan sering terjadi. Adapun
kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi ialah menjaga titipan tidak sesuai dengan yang
diamanatkan oleh mudi`. Ini biasa
terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka
wadi` harusbertangggung jawab terhadap segala kerusakan barang titipan
tadi. Kesalahan yang lain membawa barang
titipan bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka
wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut, dalam hal ini
wadi`sedang tidak bepergian. Apabila
wadi` menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah bertanggung
jawab terhadap barang tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia
pulang. Seterusnya kesalahan yang lain
adalah menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan karena udzur, tidak
melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima
titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama nilainya (qima)
Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir
adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah
sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan
barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja,
memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan
menginvestasikan)
H. APLIKASI DALAM
PERBANKAN
Keynes mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang karena :
Transaksi, Cadangan dan Investasi, sehingga perbankan menyesuaikannya dengan
giro, deposito dan tabungan. Sementara
itu pada bank syariah dalam penghimpunan dananya selain bersumber dari modal
dasar juga melalui produk tunggal yaitu wadi`ah (tabungan) namun dalam
prakteknya setiap bank berbeda, ada yang seperti giro ada yang seperti
deposito. Dilihat dari sunber modal
yang terbesar selain modal dasar tadi maka wadi`ah dapat dibagi kedalam,
Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya
termasuk kedalam TITIPAN yang sifatnya biasa.
Menurut Antonio kedua simpanan ini mempunyai karakteristik
yakni harta/uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan, pihak bank boleh
memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa ada perjanjian
sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan dengan giro dan
tabungan
Wadi`ah Istitsmariyah (TITIPAN INVESTASI), seperti halnya
wadi`ah yang terbagi atas dua jenis, maka titipan investasi inipun terbagi atas
dua bahagian juga yaitu : General Investment (investasi umum) dan Special
Investment (investasi khusus).
Kedua jenis investasi ini mempunyai perbedaan yang terletak
pada Shahib Al-Malnya dalam praktek
penginvestasiannya.
Sesuai
dengan pembagian wadi’ah di atas, maka wadi’ah yad al- amanah, pihak yang
menerima titipan tidak boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang
ditipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima
titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan
demikian si penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan
dia dibebankan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan.
Sehingga skemanya sebagai berikut: 1
Adapun
wadi’ah dalam bentuk yad adh-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan
danmenggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari
dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung
seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan
mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya. Tapi walaupun demikian pihak si penerima titipan yang telah
menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam
insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya
tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan
Wadi’ah ialah:
1. Bersifat titipan,
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk
pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum
tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah
1. Bersifat simpanan,
2. Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau
berdasarkan kesepakatan,
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk
pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No.
02/DSN-MUI/IV/2000.)
Tetapi
dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip
al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan
besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase.
Aplikasinya dapat dilihat dalam skema berikut ini: 2
I. PENUTUP
Dari hasil uraian pemakalah ini pembaca diharapakan dapat
mengerti dan memahami apa itu bank syari`ah, bagaimana proses pelaksanaannya,
produk apa saja yang ditawarkannya dan yang paling terpenting bahwasanya
kehadiran perbankan syariah adalah untuk membersihkan penyimpanan maupun
penginvestasian dana masyarakat sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam
Al-Qur`an dan As-Sunnah, sehingga kita dapatkan apa yang telah Allah janjikan
kelak diyaumil akhir dan terlepas dari azab siksa kubur dan api neraka
naujubillahi minzalik.
Memang kita sadari dalam prakteknya sehari-hari
ditengah-tengah masyarakat kita yang selama ini terbiasa dengan yang namanya
royalti sehingga dalam penyimpanan dan penginvestasian selalu memandang besar
kecilnya suku bunga suatu Bank tanpa memperhatikan kemaslahatannya terhadap
diri dan keluarganya. Namun bagi kita
yang mempunyai jiwa mujahid dan mujahidah tidak perlu berkecil hati terus
berusaha dan berusaha membertikan penerangan dan pengertian bagi
saudara-saudara kita yang belum mengerti dan paham setidak-tidaknya kita telah
memulainya dari diri kita masing-masing. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori ke
Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Firdaus, NH, Muhammad, dkk., Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari’ah
Kontemporer, Jakrta: Renaisan, 2005.
____________, Cara Mudah Memahami Akad-akad Syari’ah,
Jakarta: Renaisan, 2005
Rivai, Veithzal, dkk.,Bank and Financial Institution
Management Conventional & Sharia Syistem, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007
Shalahuddin Lc, dkk., Produk-produk Jasa Bank Islam Teori
dan Praktek, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi Islam, 2004
1. Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori ke
Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 87.
2. Ibid., hlm. 88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...