(Pengkajian pada Masa
Kemunduran)
Oleh: Hayatul Kirom
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Islam disamping
sarat akan muatan sosiologis tak dapat dipungkiri memiliki juga dimensi
teologis dan inilah yang membedakan hukum Islam dengan hukum dalam terminologi
ilmu hukum modern, akan tetapi penempatan cara pandang yang keliru terhadap
dimensi teologis yang dikandungnya bisa mengakibatkan anggapan bahwa hkum Islam
merupakan aturan yang sakral, bahkan dalam keadaan tertentu orang akan merasa
takut untuk melakukan revaluasi terhadap aturan-aturan hkum Islam yang ada,
karena secara psikologis sudah terbebani oleh nilai-nilai kesakralan tersebut,
untuk itu perlu kajian yang mampu mengantarkan pada cara pandang yang benar mengenai
aspek teologis dalam hkum Islam ini. Dalam Perjalanan sejarahnya yang awal,
hukum Islam merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat
dilihat dari munculnya sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak
sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosiokultural dan politik dimana
mazhab hukum itu tumbuh dan berkembang.
Dalam paradigma usul
fiqh klasik terdapat lima prinsip yang memungkinkan Hukum Islam bisa berkembang
mengikuti masa: 1) Prinsip Ijma’; 2) Prinsip Qiyas; 3) Prinsip Maslahah
Mursalah; 4) Prinsip memelihara Urf’; dan 5) berubahnya hukum dengan berubahnya
masa. Kelima prinsip ini dengan jelas memperlihatkan betapa pleksibelnya hukum
Islam. [1] Dengan Berlalunya waktu, perkembangan Hukum Islam yang dinamis dan
kreatif pada masa awal kemudian menjelma kedalam bentuk mazhab-mazhab atas
inisiatif beberapa ahli hukum terkenal, tetapi dengan terjadinya kristalisasi
mazhab-mazhab tersebut, hak untuk berijtihad mulai dibatasi dan pada gilirannya
dinyatakan tertutup.[2]
Selanjutnya dalam
makalah ini dibahas tentang hukum Islam pada masa kemunduran atau dikenal
dengan istilah masa ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan dan
statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H)
_________________________________
[1] Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas
pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1989) hlm 33-35
[2] Periode ini disebut juga sebagai periode taqlid yakni ‘ahdul jumuud
wa al-wuquuf yakni periode kebekuan dan statis yan berlangsung mulai
pertengahan abad keempat hijrah (350 H) dan hanya Allah yang Maha Tahun kapan
periode ini akan berakhir. Diantara penyebab terhentinya gerakan ijtihad a.l :
1) terbagi-baginya Daulah Islamiyyah dalam berbagai kerajaan yang saling
bermusuhan sehingga atau terjebak dalam peperangan demi peperangan. Dalam
kondisi yang demikian ini maka ‘ulama pada masa itupun terbagai dalam berbagai
tingkatan. 1) tingkat pertama ahli ijihad dalam mazhab, 2) tingkat kedua,
mujtahid dalam beberapa masalah yang tidak ada riwayat dari imam mazhab, 3)
tingkat ketiga, ahlu at-tahriej yang tidak melakukan ijtihad untuk mengambil
hukum pada beberapa masalah dan hanya melakukan pembatasan mazhab yang
dianutnya dalam menafsiri pendapat-pendapat imamnya, 4) tingkat keempat ahlu
at-tarjiehyang sanggup mempertimbangkan dan membandingkan diantara
riwayat-riwayat dari para imam dan kemudian menetakan pilihan yang dinilai
paling shahih. Secara hampir mirip, A. Hanafi mendeskripsikan perkembangan
hukum Islam dalam 5 (lima) periode. Pertama, periode permulaan hukum Islam,
dimulai sejak kebangkitan Rasulullah saw hingga waftanya. Kedua, periode
persiapan hukum Islam, dimulai dari khalifah pertama hingga berakhirnya masa
shahabat (1 H – akhir abad I H). Ketiga periode pembinaan dan pembukuan hukum
Islam serta munculnya para imam mujtahid, berlangsung kurang lebih 250 tahun.
Keempat periode kemunduran hukum Islam, sebagai akibat merajalelanya taqlid dan
kebekuan hingga lahirnya kitabMajallah al-Ahkam al-‘Adliyyah, suatu kitab yang
mengintrodusir perundang-undangan modern dalam hukum Islam. Kelima, periode
kebangunan yang dimulai dari lahirnya kitab al-Majallah hingga sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Situasi Umum Dunia Islam
Harun Nasution,
menjelaskan bahwa Dunia Islam terbagi kepada dua bagian, yaitu Arab yang
terdiri atas Arabia, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan
Mesir sebagai pusatnya dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil,
Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusatnya. Pada waktu ini kebudayaan
Persia mengambil bentuk Internasional dan mendesak kebudayaan lapangan
kebudayaan Arab. Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup semakin meluas
dikalangan umat Islam. [3]
Ketika ajaran tarekat
semakin merajalela dengan pengaruh negatifnya. Perhatian pada ilmu pengetahuan
sangat kurang sekali. Umat Islam di Sepanyol--yang tadinya merupakan satu
kekuatan tersendiri--dipaksa masuk Kristen dan atau keluar dari darah itu. Di
samping itu, kondisi dunia Islam semakin mengalami kemunduran, meskipun pada
masa ini-- tahun 1500 – 1700--munculnya tiga kerajaan besar Islam dengan
kemanjuannya masing-masing yaitu Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Safawi di
Persia dan kerajaan Mughal di India.
Bersamaan dengan
kenyataan ini penetrasi bangsa Barat dengan kekuatannya semakin meningkat dan
meluas ke dunai Islam. Pada tahun 1798 M, Mesir sebagai pusat Islam terpenting
berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, seorang jenderal Perancis yang
memimpin pasukuannya menaklukan Mesir. Demikian pula, Inggeris telah mulai
menanamkan kekuasaannya di India.[4] Sampai pada tingkat ini, umat Islam
mengalami kemunduran yang paling buruk dalam sejarah perjalanannya. Paham
keagamaan terpecah belah kepada beberapa mazhab dimana antara satu dengan yang
lainnya saling mengklaim merekalah yang benar dan saling menyalahkan. Demikian
juga kekuatan politik umat Islam semakin melemah dan perhatian terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan sudah jauh menurun. Akibatnya masyarakat menjadi
jumud dan statis yang hanya menyerah kepada nasib.
Di Turki Asia berdiri
sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Bani Saljuk dan pada akhirnya kerajaan
ilmiah yang menghancurkan negeri Islam lainnya. Pada saat ini juga munculnya
pemberontakan yang berasal dari keturunan Bani Hasim, dan kelompok ini
dinamakan partai Alawiyah. Dengan munculnya kekerasan dan peperangan terus
menerus membawa akibat yang tidak baik bagi umat Islam, mereka menjadi lemah
untuk berbuat. Rasa putus asa muncul menyelimuti akibatnya kemunduran dan
keterbelakanganlah karena pada masa itu para ulama tidak lagi mempelajari
kitab-kitab tertentu yang diperlukan lain halnya dengan ulama-ulama terdahulu,
mereka pergi kenegara-negara besar sehingga terwujud dan terjalin hubungan
yanng harmonis antara ulama dan pemerintahannya.[5]
Siapapun yang mengamati
kejadian dan sejarah Islam pada periode ini tentu melihat bahwa yang
menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan yang
menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan politik yang
menyebabkan negara Islam terpecah menjadi beberapa negara kecil. Dimana setiap
negri mempunyai penguasaan sendiri yang diberi gelar Amirul Mukmin. Dari sini
bisa dilihat lemahnya negara Islam ketika sudah terkena penyakit perpecahan
mengganmtikan posisi persaudaraan dan keamanan, negara yang besar terbagi
beberapa negara yang kecil. Di timur ada negara Sasai dengan Ibukota Bukhara,
dan di Anfuleusia ada negara Letak yang didirikan oleh Abdurahman An-Nashir,
demikian juga negara Fatimiyah yang ada di utara Afrika. Pada masa kemunduan
ini juga disebut periode penutup ijtihad atau periode tadwin (pembekuan),
mula-mula dalam bidanag kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan
hukum Islam fiqih-fiqih Islam. Pada umumnya ulama pada masa ini sudah lemah
kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid sebagaimana yang dilakukan pendahulu
mereka.
____________________________
[3]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan).
(Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 14
[4] Ibid, hlm 15
[5]Amir Muallim-Yusdani,
Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. (Yogyakarta; Titian Ilahi
Press. Cet. I, 1997) hlm 38.
B.
Sebab-sebab kemunduran Pemikiran Hukum Islam
Dilihat dari segi
sejarah pemikiran hukum Islam dan gerakan ijtihad, maka masa ini merupakan masa
yang dipandang sebagai situasi yang tidak menguntungkan bagi umat Islam.
Dikatakan demikian, karena pada masa ini kegiatan ijtihad sudah mulai menurun
dan mengendur, dan bahkan statis. Kemunduran gerakan ijtihad pada masa ini
lebih disebabkan oleh tiga faktor penting.
a. Lahirnya
Mazhab-mazhab fiqh, dimana pada awalnya memang menunjukkan semaraknya gerakan
ijtihad,[6] tetapi pada akhirnya menimbulkan suasana atau citra yang tidak
kondusif, sehingga terjadi perbedaan-perbedaan antar mazhab yang cenderung
kontra produktif. Tidak jarang terjadi pertentangan antar mazhab, yang
kadang-kadang membawa dampak negative dalam masyarakat (pengikut mazhab).
Masyarakat terkotak-kotak ke dalam berbagai mazhab dan masing-masing mengkalaim
mazhab merekalah yang benar dan menyalahkan yang lainnya.
b. Menurunnya semangat
ijtihad dan kuatnya pengaruh ajaran mazhab, sehingga para ulama tidak mau dan
tidak sanggup melampaui ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh mazhab
yang mereka anut. Parahnya lagi, di kalangan pengikut mazhab muncul sikap
ta’asub mazhab dan taqlid. Akibatnya, para ualam yang ada disetiap mazhab
menjadi tidak kreatif dan mandul. Suasana seperti inilah yang menyebabkan
mundurnya gerakan ijtihad dan pemikiran dalam Islam. Pada waktu ini, kalaupun
ada ijtihad yang dilakukan oleh ulama, namun tidak lebih dari sekedar mensyarah
pemikiran-pemikiran imam-imam mazhab mereka dan mengintrodusir ajaran mazhab
kepada masyarakat. Kemandirian ulama untuk melakukan ijtihad menjadi hilang,
mereka hanya mengikuti apa yang ada dalam mazhab mereka.
Disamping itu, di
kalangan mazhab sendiri telah membuat berbagai macam persyaratan untuk
dijadikan acuan dalam melakukan ijtihad. Persyaratan-persyaratan ijtihad itu,
pada umumnya ditetapkan sangat ketat, sehingga dalam operasionalnya tidak
gampang untuk dilakukan. Ketatnya persyaratan ijtihad ini, semula tujuannya
adalah agar tidak muncul orang-orang yang tidak memiliki otoritas dalam
melakukan ijtihad dan menganggap gampang ijtihad itu. Diakui bahwa ketika ini,
memang ada semacam kecenderungan dari sebagian orang yang menggampangkan
persoalan ijtihad ini, dan dapat dilakukan oleh semua orang. Melihat
kecenderungan ini, ulama-ulama mazhab merasa khawatir jika ijtihad dilakukan
oleh orang-orang jahil yang tidak memiliki persyaratan, maka akan menimbulkan
malapetaka bagi umat Islam, sehingga akhirnya pintu ijtihad ditutup.
c. Disintegrasi dan
dominasi bangsa asing faktor yang paling parah yang menyebabkan kemunduran umat
Islam ialah terjadinya disintegrasi dan perpecahan umat Islam. Seperti
dijelaskan oleh Harun Nasution,[7] bahwa pada fase ini keutuhan umat Islam
dibidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah mulai menurun dan bahkan
khilafah sebagai symbol dan lambing kesatuan Politik umat Islam menjadi hilang.
Di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi semakin meningkat. Perbedaan
antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah
nyata kelihatan.
_______________________________
[6]Sofi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari’’ah Al-Islamiyah Fi Bilad
Al-Arabiyah. (Kairo ; Dar al-Nahdah Al-arabiyah, Cet. III)1990, hlm 152-163
[7]Harun Nasution,
Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). (Jakarta ; Bulan
Bintang, Cet. II, 1982) hlm 13
C.
Tokoh-tokoh dan ajaran Hukum Islam masa kemunduran
Pada masa kemunduran
pemikiran hukum Islam muncul tokoh-tokoh penting yang hidup pada zamannya dan
mewarnai aktivitas pemikiran hukum Islam dengan dengan munculnya teori maqashid
al-Syari’ah. Maqasid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasulnya dalam
merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat
Al-Qur’an dan sunah Rosulullah sebagai alasan logis bagi rumusan, suatu hukum
yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Kegiatan penelitian
tujuan hukum (maqashid al-Syari’ah) telah dilakukan oleh para ahli ushul fikih
terdahulu. Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli ushul fikih pertama yang
menekankan pentingnya memahami maqashid aI-Syari’ah dalam menetapkah hukum. Ia
secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum
dalam Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan
perintah-perintah dan larang-laranganNya.
Kerangka berpikir
al-Juwaini di atas kelihatannya dikembangan oleh muridnya al-Ghazali(450H./1058M.-505H./IIIIM.)
dalam kitabnya Syifa al-Ghazali ia menjelaskan maksud syari’at dalam kaitannya
dengan al-munasabat al-maslhahiyyat al-qiyas. Sebagai seorang pemikir Islam
terbesar, A1-Ghazali, tidak hanya dikenal di dunia Islam, tetapi juga di luar
Islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik untuk-menulis dan
mengkaji pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, baik dari kalangan Muslim, maupun dari
kalangan Orientalis. Al-Ghazali (1058/1111M.) [8]
Sebagai pemikir besar
Islam, maka hasil pemikiran Al-Ghazali masih tetap menjadi warisan umat Islam,
meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran pengaruh Al-Ghazali tersebut dapat
dilihat dan gelar hujjah al-Islam yang disandangnya. Berbagai pujian
dilontarkan oleh penulis dan pemikir kepadanya, juga cercaan dan orang-orang
yang tidak senang kepadanya. Semua itu merupakan bukti kebesaran nama seorang
Al-Ghazali.[9]
Pada masa al-Ghazali,
tidak saja terjadi disintegrasi umat Islam di bidang politik, melainkan juga di
bidang sosial-keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa
golongan mazhab fiqh dan aliran kalam yang masing-masing tokoh ulamanya dengan
sadar menanamkan fanatisrne golongan kepada umat. Sebenarnya tindakan serupa
juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa menanamkan pahamnya kepada
rakyat dengan segala daya upaya, bahkan dengan cara kekerasan. Sebagai contoh,
apa yang dilakukan oleh Al-Kundury, Perdana Menteri Dinasti Saljuk pertama yang
beraliran Mu’tazilah sehingga mazhab dan aliran lainnya (seperti mazhab Syifi’i
dan Asy’ari) menjadi tertekan, bahkan banyak korban dan tokoh-tokohya.
Akibat dari fanatisme
golongan yang melibatkan pada masa itu, sering timbul konflik antara golongan
mazhab dan aliran, malah meningkat sampai menjadi konflik fisik yang meminta
korban jiwa. Konflik tersebut terjadi antara berbagai mazhab dan aliran,
masing-masing mempunyai wilayah penganutnya- Khurasan, mayoritas penduduknya
bermazhab Syafi’i, dan Transoxiana dan Balkah bermazhab Hanafi dan Hanbali,
sedangkan di Bagdad dan wilayah Iraq, mazhab Hambali lebih dominan.
Menelusuri tentang
karya-karya Al-Ghazali, maka dia digolongkan cukup produktif dalam hal
penulisan karya ilmiah, karena ia memiliki kecenderungan intelektual yang
sangat luas (gemar akan ilmu pengetahuan), dia juga memiliki kemampuan menulis
yang sangat tinggi, hal ini dibuktikan oleh al-Ghazali, menulis sejak umur 20
tahun.
Dari keterangan yang
diperoleh, nampaknya memang wajar, jika dikatakan bahwa al-Ghazali merupakan
salah seorang pemikir Islam yang memiliki kecenderungan intelektualitas yang
tinggi, sebab ia masih relatif muda, dan tulisan pertamanya mendapat pujian
dari gurunya al-Juwaini.
Tentang jumlah karangan
al-Ghazali, sampai saat ini belum terdapat kata pasti. Besar kemungkinan
disebabkan karena masih adanya karya-karya al-Ghazali yang belum diterbitkan
dan masih dalam bentuk naskah yang tersimpan di perpustakaan, baik di negeri
Arab maupun di Eropa. Sebab lain, karena sebahagian di antara karya-karyanya
telah lenyap dibakar pada saat tentara Monggol berkuasa, juga sebahagian
dibuang penguasa Spanyol atas perintah Qadhi Abdullah Muhammad ibn Hamdi.[10]
Kategori ini terdiri dan sejumlah 72 buku, 22 buku yang diragukan sebagai karya
al-Ghazali, karya-karya yang mengatakan secara pasti buku al-Ghazali, sebanyak
31 buah.
Adapun landasan
pemikiran Al-Ghazali, bahwa sebagai seorang muslim tetap mendasari
pemikiran-pemikirannya kepada pokok ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Di
samping itu juga ia mempergunakan akal (al-ma’quI) sebagai landasan
berpikirnya. Di dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil, Al-Ghazali mengungkapkan
kesetujuannya terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu dengan akal
sebagai dasar penting dalam membahas sesuatu.
Ketika Al-Ghazali
membahas dalil-dalil pokok (yang utama) untuk ijma’ ia menempuh 3 (tiga) jalan,
sebagai berikut:
§ Berpegang pada Al-Qur’an
§ Berpegang pada pendapat
Rasulullah Saw, bahwa umat tidak akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan)
§ Berpegang teguh pada
metode ma’nawy.
Dalam kitab
al-Mustashfa, Al-Ghazali menyebutkan bahwa rukun Ijtihad ada tiga; Fi Nafs
al-Ijtihadi, Al-Mujtahad, Al-Mujtahidu Fihi. Menurut al-Ghazali bahwa Ijtihad
ialah menggambarkan sesuatu yang diperjuangkan dan menghabiskan usaha dalam
sebuah aktifitas dan tidak bekerja kecuali pada hal-hal berupa beban
(kesulitan) secara menyeluruh.
Menurut al-Ghazali Orang
yang berijtihad, mempunyai dua syarat, Pertama : mengetahui seluk-beluk
syari’at, mana yang didahulukan dan mana yang wajib dikemudiankan.. Kedua :
seseorang mujtahid harus adil dan menjauhi dosa, persyaratan inilah sebagai
landasan dalam berfatwa, jika tidak adil, maka sama sekali tidak diterima
fatwanya. Jadi keadilan seseorang mujtahid sebagai syarat sahnya ijtihad, juga
selalu memperhatikan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu tidak dijadikan
syarat seorang mujtahid bahwa dia harus mengetahui semua kitab yang berhubungan
dengan hukum-hukum, tetapi mengetahui sekitar 500 ayat, juga tidak disyaratkan
menghafalnya; tetapi mengetahui tempat ayat ketika dibutuhkan.
Adapun tentang hadis,
harus mengetahui hadis-hadis yang terkait dengan hukum. Tidak diharuskan untuk
menghafalnya, seperti Sunan Abu Daud, Sunan Ahmad dan Al-Baihaqy. Adapun ijma’
diharuskan menghafal semua kejadian ijma’ dan perbedaanperbedaannya, tetapi
sebaliknya mengetahui fatwa-fatwa yang mana tidak bertentangan dengan ijma’
Al-Mujtahidu Fihi, atau
persoalan Ijtihad ini sendiri, di sini dijelaskan bahwa semua hukum agama yang
tidak mempunyai dalil-dalil qathy, bahkan ada pendapat (secara dzanni) bahwa
syarat mujtahid bukan Nabi, maka tidak diharuskan berijtihad bagi Nabi dan juga
sebagai syarat Ijtihad tidak terjadi pada zaman Nabi; maka timbul dua masalah:
terjadi perbedaan pendapat dalam kebolehan taabud dengnan qiyas dan ber Ijtihad
pada zaman Rasulullah Saw. dalam hal ini terjadi dua versi: Sekelompok yang
melarangnya, dan sekelompok yang membolehkannya. Pendapat pertama : boleh dalam
hal memutuskan perkara dan hal pemerintahan dalam keadaan Raasulullah tidak
ada. Pendapat kedua: yang membolehkan dengan mengatakan dengan izin Rasulullah
cukup dengan diamnya Rasulullah Saw.
Menurut Al-Ghazali dalam
mendapatkan hukum ada tiga cara: Secara ijmali (global) menurutnya ada
ke-ijmalan, sebagai contoh pada Firman Allah Swt;
وامسحوا بر ء وسكم
dalam hal ini Imam Malik dan Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat) meniadakan
al-Urf, mewajibkan membasuh seluruh rambut pada setiap berwudhu, sementara itu
Imam Syafi’i dan Abd. Jabbar dan Abu al-Huzain keduanya dari Mu’tazilah
menetapkan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan dari
sebahagian saputangan, maka wajib membasuh sebahagian rambut. Karena itu Imam
Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain: bahwa membasuh dari segi bahasa adalah
sebahagian seperti halnya mandi yang berarti keseluruhan.
Secara Al-Bayan, dengan
mengambil contoh sah keterangan dengan perbuatan sama kalau memakai dengan
perbuatan. Contoh yang lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat dan haji
dengan perbuatannya (dengan contohnya), pada kebanyakan orang mukallaf
sebagaimana sabda Rasulullah saw., dalam riwayat Bukhary:
صلوا كمارايتمونى ا صلى خذوا على مناسككم
Dari sini menunjukkan
bahwasanya Rasulullah saw., menjelaskan melalui perbuatan.
Dalam hal mengambil
suatu hukum, Al-Ghazali mengandalkan hadis-hadis mutawatir, dengan syarat
antara lain sebagai berikut:
harus mendahulukan ilmu
pada hadis itu, harus mendahulukan sanadnya yang banyak dan tidak berbohong.
Kalau bertentangan al-Jarhu wa Ta‘dil, maka yang didahulukan adalah naqd
al-sanad (kritik sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur tetapi dengan
syarat harusadil maka itu dapat diterima.
Terkait dengan hal ini,
maka dia mensyaratkan keadilan di dalam ber-Ijma’ menggantungkan diri, tetapi
tetap melegitimasi yang tidak adil seperti di dalam kitab Al-Amidi dan
Al-Ghazali menjelaskan bahwa adil yang menunjukkan kehujjahan Ijma’ itu
bersifat umum, mutlak, lepas, beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq tidak
boleh dijadikan hujjah.
Al-Ghazali secara
etimologi memberi penjelasan bahwa kata qiyas berarti mengukur, membanding
sesuatu dengan yang semisalnya. Dalam Al-Mustashfa, ia membari definisi qiyas,
sebagai berikut : “Menanggungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang
diketahui dalam hal menetapakan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari
keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum
atau peniadaan hukum”
Dari definisi yang
diberikan oleh Al-Ghazali, secara panjang dan rumit, demikian juga penggunaan
kata: hamala (menanggungkan), ada juga pakai isbath (menetapkan), ilhaq
(menghubungkan) dan sebagainya. tersebut mengandung arti bahwa qiyas itu
merupakan usaha atau mujtahid.
Penggunaan kata ma’lum,
oleh Al-Ghazali adalah dimaksudkan untuk menjangkau kepada sesutu yang belum
diketahui (ma’düm), karena kalau dikatakan kata “sesuatu” menurut mereka, hanya
berlaku yang diketahui (maujud). Terlihat lagi Al-Ghazali difinisinya
menghubungkan antara ashal dan furu’ dengan kata (dalam menetapkan hukum atau
peniadaan hukum), maksudnya supaya qiyas itu dapat mencapai qiyas ‘aks’ yaitu
menghasilkan lawan hukum dari sesautu yang diketahui pada tempat lain karena
keduanya berbeda dalam illat, hukum.
Dalam praktek Usul Fiqh,
qiyas dapat dirumuskan sebagai cara untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak
terdapat dalam nash dengan cara menyamakannya (menganologikan) dengan kasus
hokum yang ada pada nash, disebabkan adanya persamaan illat hukum.
Selain al-Ghazali muncul
Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi
al-Gharnati asy-Syatibi merupakan salah seorang cendekiawan muslim yang belum
banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku
Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah
(Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.1
Asy-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan
Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa
mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah
yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat
kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yang
berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi asy-Syatibi
dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari.
Dalam meniti
pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami
berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum
maqashid(esensi dan hakikat). Asy-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan
belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al-
Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syabti, dan Abu Ja’far Ahmad al-
Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina
dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur
al-Zawawi, ilmu ushul fikih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al- Tilimsani, ilmu sastra dari Abu
Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak,
mantiq, dan debat. Di samping bertemu langsung, ia juga melakukan hubungan
korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti
mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nafsi al-Rundi.
Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, asy-Syatibi lebih berminat
untuk mempelajari bahasa Arab dan, khususnya, ushul fikih.
Ketertarikannya terhadap
ilmu ushul fikih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam
merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fikih dalam
menanggapi perubahan sosial. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai,
asy-Syatibi mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para
generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu
Abdillah al-Bayani. Di samping itu, ia juga mewarisi karya-karya ilmiah,
seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang
bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang
ushul fikih. Asy-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
Dalam kerangka ini,
asy-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syariah. Secara bahasa, Maqashid
al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid
berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan menuju
sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.
Menurut istilah, asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syariah bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat”
Dari pengertian
tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi adalah
kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum
Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan
sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan,
dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki
manusia, pemenuhan Penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut
oleh kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.
Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan
maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan
manusia. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan perlindungan
mashalih, baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi
mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan
mashalih, maupun dengan cara preventif, seperti syariah mengambil berbagai
tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang yang secara aktual atau potensial
merusak mashalih.
Menurut al-Syatibi [11]
maqasidul syariah terbagi kepada tiga tingkatan kebutuhan:
§ Kebutuhan Dharuriyat.
Ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer.
Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat
manusia baik di dunia maupun di akherat kelak. Menurut al-Syatibi ada lima hal
yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal, kehormatan, keturunan serta harta.
§ Kebutuhan Hajiyat ialah
kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan tidak sampai mengancam
keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan
segala kesulitan itu.
§ Kebutuhan Tahsiniyat
ialah tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi tidak mengancam
eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tida pula menimbulkan
kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal
yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang
tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan
tuntutan norma dan akhlak.
Pengetahuan tentang
maqasid syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd-Alwahhab Khalaf, adalah hak
sangat penting yang dapat dijadikan alat abntu untuk memahami redaksi Al-Qur’an
dan sunnah menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan sangat penting lagi
adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak bertampung oleh
Al-Qur’an dan sunah secara kajian kebahasan. [12]
Beberapa ulama ushul
telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’kan hukum menjadi
tiga kelompok, yaitu :
§ Memelihara segala
sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidupan mereka. Urusan-urusan yang
dharuri itu ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang apabila
tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbullah
kekacauan, dan berkembangnya kerusakan. Urusan-urusan yang dharuri itu kembali
pada lima pokok : Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
§ Menyempurnakan segala
yang dihayati manusia. Urusan yang dihayati manusia ialah segala sesuatu yang
diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif
dan beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak peraturan
hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan
kesukaran saja.
§ Mewujudkan keindahan
bagi perseorangan dan masyarakat. Ialah segala yang diperlukan oleh rasa
kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini tidak
diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa kepicikan.
Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang kuat dan fitrah yang sejahtera.
Urusan-urusan yang mewujudkan keindahan ini dalam arti kembali kepada soal
akhlak dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu untuk mencapai
keseragaman hidup melalui jalan-jalan yang utama.
Urusan dharuri merupakan
sepenting-pentingnya maksud, karena apabila urusan-urusan dharuri itu ridak
diperoleh akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan, menghilangkan keamanan
dan merajalelalah keganasan. Dalam padi itu, tidak dipelihara hukum yang
bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan suatu dalam memeliharanya
mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita membuka aurat untuk keperluan
berobat. Menutup aurat merupakan urusan yang mengindahkan, sedangkan berobat
suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis untuk obat dan dalam keadaan
terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis adalah urusan yang mengindahkan
sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan dharuri[13]
Wajib kita mengerjakan
segala yang wajib walaupun menimbulkan sedikit kesukaran, karena wajib kita
termasuk golongan dharuri. Sedangkan urusan menolak kesukaran dan kepicikan
merupakan urusan tahsini yang mengindhkan. Karena itu tidaklah dipelihara
urusan yang mengindahkan, mendatangkan kesewenangan, apabila merusak dharuri.
Segala hukum dharuri ridak boleh dicederakan, terkecuali kalau suatu dharuri
yang lebih penting dari padanya. Atas dasar inilah kita diwajibkan berjihad
untuk memeliharanya sebab memelihara agama adalah lebih penting dari pada
memelihara jiwa. Meminum arak dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau
karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara
akal. Apabila perlu untuk memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang
karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara harta.
_______________________________
[8]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm
13.
[9]Nurcholish Madjid,
Khazanah lntelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm 34.
[10]Ahmad Syafi Ma’arif,
Peta Bumi intelektuat Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm 57
[11]Khairul Uman, Achyar
Amitudin, Ushul Fiqh II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998) hlm 75
[12]Djazuli, Fiqh Siyasah,
Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, (Jakarta : Pustaka
Media, 2003) hlm 16
[13]Satria Efendi, M. Zein.
Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008) hlm 19
DAFTAR PUSTAKA
§ Ahmad Syafi Ma’arif, Peta
Bumi intelektuat Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1993
§ Amir Muallim-Yusdani,
Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. Yogyakarta; Titian Ilahi
Press. Cet. I, 1997
§ Djazuli, Fiqh Siyasah,
Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, Jakarta : Pustaka
Media, 2003
§ Harun Nasution,
Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta ; Bulan Bintang,
Cet. II, 1982
§ Khairul Uman, Achyar
Amitudin, Ushul Fiqh II, Bandung : CV Pustaka Setia, 1998
§ Nurcholish Madjid,
Khazanah lntelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
§ Satria Efendi, M. Zein.
Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008
§ Sofi Hasan Abu Thalib,
Tatbiq al-Syari’’ah Al-Islamiyah Fi Bilad Al-Arabiyah. Kairo ; Dar al-Nahdah
Al-arabiyah, Cet. III1990
§ Taufiq Adnan Amal, Islam
dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung:
Mizan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...