1. Syariat
Secara
etimologis, kata syariat, (dalam bahasa Arab, aslinya, syarî’ah/ شريعة)
berasal dari kata syara’a ( شرع) yang berarti jalan ke tempat keluarnya air untuk minum atau
tempat lalu air di sungai. Dalam perkembangannya, kata syari’ah digunakan orang
Arab untuk konotasi jalan lurus ( الطريقة المستقيمة ).
Dalam al-Qur`an
kata syara`a, dalam berbagai bentuknya diungkapkan sebanyak lima kali, yaitu
surat al-Maidah/ 5: 48, al-A`raf/ 7: 163; al-Syûra/ 42: 13 dan 21, dan dalam
surat al-Jâtsiyah/ 45: 18. Kata syariat pada ayat-ayat tersebut mengandung arti
jalan yang lurus dan jelas menuju kebahagiaan hidup. Pengertian ini menurut
para ahli, identik dengan pengertian agama (al-din/ الدّين ). Karena hanya agamalah yang dapat
membimbing manusia kepada kebenaran hakiki untuk memperoleh kemenangan dan
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Firman Allah dalam surat al-Jâtsiyah ayat 18.
ثمّ جعلناك على شريعة من الأمر فاتّبعها
Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu,
maka ikutilah syariat itu.
Dalam surat al-
Syûra ayat 13 ditegaskan:
شرع لكم من الّذين ما وصّى به نوحا والّذي أوصينا إليك ما
وصّينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدّين ولا تفرّقوا فيه
Dia telah
mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu; tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya.
Kata syariat
dalam ayat di atas, tampaknya, identik dengan agama, yang mengandung arti mengesakan
Allah, mematuhi dan mengimani utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, hari pembalasan, dan
mentaati segala sesuatu (perintah dan, atau larangan Allah) yang membawa
seseorang menjadi muslim dalam arti sesungguhnya.
Apabila
dicermati arti syariat secara bahasa di atas, tampaknya terdapat keterkaitan
kandungan makna antara syari’at dengan air, seperti dijelaskan Amir
Syarifuddin, bahwa orang yang mematuhi syariat, ia akan mengalir dan bersih
jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan lahiriah (fisik)
sebagaimana Dia menjadikan syariat sebagai penyebab kehidupan jiwa (batiniah)
manusia.
Menurut istilah,
Mannâ’ al-Qatthân mengemukakan, bahwa syariat adalah:
ما شرع الله لعباده من العقائد والعبادات والأخلاق والمعاملات
Segala ketentuan
Allah yang disyariatkan bagi hamba-Nya baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak
maupun mu`amalah.
Defenisi di
atas, tampaknya masih mengacu pada pengertian agama (al-dîn), dimana
aspek-aspek pokok ajaran agama (Islam) dimasukkan ke dalam cakupan syariat.
Muhammad ‘Alî al-Sâyis.
Berdasarkan kesimpulannya terhadap pendapat para ulama, mengatakan bahwa
syari’at adalah:
الأحكام الّتي سنّها الله لعباده ليكونوا مؤمنين عاملين على ما
يسعدهم فى الدّنيا والآخرة
Hukum-hukum yang
telah ditetapkan Allah agar manusia beriman dan beramal saleh, yang dapat
membuat mereka bahagia di dunia dan di akhirat.
Menurut
al-Sâyis, pengertian syari’at seperti ini mengandung tiga dimensi; salah
satunya adalah dimensi hukum, yaitu meliputi tindakan-tindakan manusia, seperti
ibadah, mu`amalah, hukuman dan lain sebagainya yang termasuk ke dalam kajian
fikih. Pengertian inipun masih berorientasi pada pengertian agama.
Sementara,
menurut Mahmûd Syaltût, syariat adalah:
هي النّظم الّتى شرعها الله أصولها ليأخذ الإنسان بها نفسه
بعلاقاته بربّه وعلاقاته بأخيه المسلم وعلاقاته بأخيه الإنسان وعلاقاته بالكون
وعلاقاته بالحياة
Ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan Allah atau hasil penalaran atas dasar ketentuan tersebut, untuk
dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan umat manusia, baik dalam hubungannya
dengan Tuhan, dengan umat manusia; sesama muslim atau non muslim, maupun dengan
alam sekitarnya.
Pengertian yang
dikemukakan Syaltût ini dengan jelas telah memisahkan antara agama dengan
syariat. Menurutnya, agama (Islam) terdiri dari dua ajaran pokok, yaitu akidah
dan syariat, dimana syariah lebih dikhususkan pada persoalan amaliah. Lebih
lanjut, masih menurut Syaltût, aspek akidah merupakan pondasi tempat tumbuh dan
berkembangnya syariah. Sedangkan syariah adalah sesuatu yang harus tumbuh dari
akidah itu.
Defenisi di atas
juga menunjukkan, bahwa syariat --sebagai ketentuan yang mengatur
persoalan-persoalan amaliah-- terdiri dari dua kategori; pertama,
ketentuan-ketentuan hukum yang secara langsung ditetapkan oleh Syâri’ (Allah
dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur`an dan Sunnah). Ketentuan-ketentuan tersebut
bersifat abadi dan tidak berubah, karena tidak ada yang punya wewenang
merubahnya kecuali Allah.
Kedua,
ketentuan-ketentuan hukum hasil kajian para ulama mujtahid yang merujuk pada
al-Qur`an dan Sunnah dengan menggunakan metode-metode istinbâth hukum seperti
kias, mashlahah al-mursalah, istihsan, sadd al-dzarî’ah ataupun metode ijtihad
lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum kategori kedua ini tidak memiliki sifat
keabadian dan bisa berubah-ubah dan amat dipengaruhi oleh keilmuan mujtahid
yang bersangkutan serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakat.
2. Fikih
Secara lughawi
(semantis), kata fikih berasal dari bahasa Arab, fiqh/ فقـه bermakna
mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik.
Di beberapa
tempat, al-Qur`an menggunakan kata”faqiha/ فقـه ” dalam berbagai bentuknya untuk
pengertian yang umum, yaitu pemahaman. Himbauan al-Qur`an "ليتفقّهوا فى الدّين" (untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama)
menunjukkan bahwa fikih tidak menegaskan suatu pengertian eksklusif tentang
hukum, melainkan suatu pemahaman yang mendalam tentang agama (Islam) secara
umum. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa awal Islam, istilah fikih belum
memiliki arti khusus. Kendati demikian, terminologi fikih mulai mengarah pada
kedalaman intensitas keyakinan, tauhid, hukum-hukum dan ajaran Islam lainnya.
Keadaan seperti ini menurut kesimpulan Ahmad Hasan, berjalan sampai pada abad
kedua Hijriah, dimana terminologi fikih mencakup persoalan-persoalan teologis,
akhlak dan hukum. Sebuah buku yang terkenal, al-Fiqh al-Akbar, yang dinisbahkan
pada Abu Hanifah (w. 150 H.), menurut Hasan, adalah bukti nyata di mana Abu
Hanifah memasukkan persoalan-persoalan akidah, hukum dan akhlak sebagai bagian
yang dicakup oleh terminologi fikih.
Akan tetapi,
dalam perkembangan berikutnya, muatan terminologi fikih tidak lagi bersifat
umum, melainkan khusus pada hukum-hukum syari’ah yang berkaitan dengan
perbuatan manusia.
Secara istilah
defenisi fikih yang dikemukakan oleh para ulama fikih (fuqahâ`) berkisar:
االعلم بالأحكام الشّرعيّة العمليّة المكتسب من أدلّتها
التّفصيليّة
Ilmu tentang
hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang ditemukan dari dalil-dalilnya
yang rinci.
Berdasarkan
defenisi di atas, paling tidak ada empat hal yang membedakan istilah fikih,
sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman, dengan selainnya, yaitu:
Pertama, fikih
adalah suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, sudah jelas, fikih memiliki tema pokok
dengan kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip khusus. Karenanya, dalam mengkaji
fikih para mujtahid menggunakan metode-metode atau pendekatan tertentu, seperti
kias, istihsan, mashâlih al-mursalah, sadd al-dzarî`ah, atau metode ijtihad
lainnya.
Kedua, fikih
adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat. Penggunaan kata " بالأحكام الشرعيّة
"(tentang hukum-hukum syariat) menunjukkan bahwa kajian dan ruang lingkup
fikih menyangkut ketentuan-ketentuan yang bersifat syar`i dan tidak mencakup
persoalan-persoalan yang di luar hukum syarak, seperti hukum-hukum akal.
Contoh, satu adalah separoh dari dua, tidak termasuk ke dalam pengertian fikih
menurut istilah.
Ketiga, fikih
adalah ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah.
Kata amaliah
menunjukkan bahwa hukum-hukum fikih selalu berkaitan dengan perbuatan yang
dilakukan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu`amalah. Dengan demikian,
hukum-hukum non amaliah, seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan
dasar-dasar iman (i`tiqâdiyyah) serta cabang-cabangnya, tidak termasuk ke dalam
kajian fikih.
Keempat, fikih
adalah ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang ditemulkan
dari dalil-dalilnya yang tafshîlî.
Artinya,
hukum-hukum fikih diambil atau digali dari sumbernya yaitu nash al-Qur`an atau
hadis melalui proses istidlâl (pencarian hukum dengan dalil), atau istinbâth
(deduksi atau penyimpulan), atau analisis (nazhar). Pengetahuan tentang
kewajiban shalat lima waktu, salah satu contoh, tidak termasuk ke dalam
pengertian fikih, karena hal ini secara langsung (tekstual) dapat ditemukan di
dalam nash.
Adapun kata
tafshili, maksudnya adalah satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjukkan
kepada suatu hukum dari suatu perbuatan tertentu, apakah haram, wajib, makruh,
dan, atau kategori hukum lainnya.
Dari definisi
fikih dan penjelasannya di atas dapat dipahami, bahwa fikih --yang menurut Amir
Syarifuddin adalah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam
usahanya menemukan hukum Allah-- berbeda dengan syariat. Perbedaan itu dapat
dilihat, antara lain dari segi di mana syariat itu bersifat tetap dan
--kebenaran serta keadilannya-- pasti karena berasal dari kehendak Allah
(sebagai Syâri’ atau Pembuat syariat). Seperti ditegaskan Abu Zahrah, hanya
Allah yang berhak menetapkan hukum syarak. Sementara fikih, tidak bersifat tetap.
Fikih bisa saja diubah dan dirombak sesuai dengan perbedaan tempat, perubahan
waktu, serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakat di mana fikih itu
diterapkan.
Begitu juga
kebenaran dan keadilan fikih tidak bersifat pasti, melainkan nisbi (relatif).
Sifat fikih yang demikian disebabkan fikih adalah interpretasi terhadap hukum
syarak. Satu hal lagi, dan tidak bisa diingkari, berdasarkan fakta sejarah
pembentukan fikih, bahwa faktor sosio kultural, politik, dan faktor-faktor
lainnya ikut mempengaruhi bagaimana bentuk atau corak suatu fikih.
Meskipun
demikian, syariat bukan fikih, akan tetapi keduanya memiliki hubungan yang erat
dan tidak dapat dipisahkan. Karena, syariat adalah asal, pokok, sari atau inti,
ajaran yang ideal serta berlaku secara universal. Sementara fikih, adalah
cabang (furû), atau perwujudan dan syariat. Dalam kedudukannya sebagai cabang
atau perwujudan dari syariat, fikih harus responsif terhadap
persoalan-persoalan di sekitarnya. Dalam kaitan ini, Muhammad ‘Alî al-Sâyis
mengatakan bahwa formulasi fikih tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh yang
bersifat kultural, dan karenanya, masa berlakunya bersifat temporal sesuai
dengan kebutuhan ruang dan zaman tertentu. Konsekuensinya, seperti diutarakan
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, perubahan dan perbedaan fatwa atau opini hukum dapat
terjadi karena perbedaam waktu, tempat, situasi, tujuan, niat dan adat
istiadat. Hal di atas adalah suatu keniscayaan sehingga fikih, sebagai
perwujudan syariat memiliki adaptabilitas dengan dinamika kehidupan sosial yang
setiap saat terus berubah dan berkembang. Di sinilah letak pentingnya arti
fikih bagi syariat. Syariat, sebagai ajaran yang diyakini, selalu up to date
(cocok sepanjang zaman), hanya bisa dibuktikan melalui fikih. Konsep-konsep
syariat yang ideal --dan untuk kategori hukum yang berhubungan dengan kategori
kemasyarakatan umumnya bersifat global-- harus diterjemahkan dalam tataran
praktis, wujud nyata atau dibumikan --meminjam istilah Quraish Shihab-- dalam
realitas sosial, lagi-lagi melalui fikih.
Dengan demikian,
pengembangan syariat sangat tergantung pada fungsi dan pola fikih. Dan,
pengamalan hukum-hukum fikih adalah bagian dari pengalaman syariat juga. Dengan
ungkapan lain, fikih adalah bagian dari syariat, tetapi bukan syariat itu
sendiri.
3. Hukum Islam
Kata hukum dan
Islam, keduanya berasal dari bahasa Arab dan digunakan dalam al-Qur`an di
beberapa tempat. Akan tetapi, al-Qur`an tidak pernah menggunakan kedua kata ini
secara bergandengan. Begitu juga dalam literatur hukum Islam klasik, sejauh
yang penulis ketahui tidak pernah menggunakan kata hukum Islam. Ungkapan yang
digunakan – yang mengandung konotasi hukum-- biasanya adalah kata syarî’ah
al-Islâm, hukum syara’, syarî’ah atau syara’, dan, atau fikih.
Para pakar hukum
Islam menduga, bahwa istilah hukum Islam merupakan terjemahan Indonesia dari
islamic law, yang sering dijumpai dalam literatur yang berbahasa Barat.
Untuk memudahkan
dalam memahami istilah hukum Islam, terlebih dahulu harus dipahami apa
pengertian hukum itu sendiri. Memang, tidak mudah untuk membicarakan istilah
hukum jika ingin memulainya dengan sebuah defenisi yang memuaskan. Berbagai
ahli mengemukakan beragam defenisi tentang hukum sesuai dengan sudut pandang
masing-masing. Keragaman defenisi hukum tersebut, menurut Hart (seorang
pemerhati hukum dari Universitas Oxford) sebenarnya lebih banyak disebabkan
oleh perbedaan cara melihat hukum itu sendiri daripada perbedan pandangan
tentang apa yang dimaksud hukum. Orang yang bergerak di bidang hukum, lanjut
Hart, umumnya mengetahui hukum tersebut, tetapi ia sering mendapat kesulitan
untuk menerangkannya kepada orang lain dalam bentuk sebuah defenisi yang tegas.
Secara leksikal,
kata hukum --seperti disebutkan di atas-- berasal dari bahasa Arab, yaitu hukm
( حكم
), jamaknya ahkâm ( أحكام ) yang berarti, antara lain menolak. Dari sinilah terbentuk
kata al-hukm ( الحكم ) yang, antara lain, berarti menolak kezaliman atau
penganiayaan.
Dalam bahasa
Indonesia, kata hukum juga mengandung beberapa pengertian. Di antaranya, yang
penting disebutkan di sini adalah:
(1) peraturan
atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, dikukuhkan oleh penguasa,
pemerintah, atau otoritas; (2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk
mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) keputusan (pertimbangan) yang
ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis, dan sebagainya.
Adapun menurut
istilah, sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, para ahli memberikan
defenisi yang beragam tentang hukum. Dari sejumlah defenisi tersebut, menurut
Hazairin, sebagaimana telah disinggung, dapat dikelompokkan kepada dua
pandangan. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa hukum hanyalah suatu segi
dari penjelmaan hidup kemasyarakatan. Yakni, serangkaian perhubungan tertentu
yang timbul dalam, dan dari masyarakat tertentu pula. Jelasnya menurut
pandangan ini, hukum adalah seperangkat peraturan hidup yang berpokok kepada
hak dan kewajiban yang berlaku selama didukung oleh masyarakat itu. Kedua,
pendapat yang mengatakan bahwa hukum bukanlah hanya suatu segi dari penjelmaan
hidup masyarakat saja. Dengan kata lain, tidak hanya sesuatu yang berdiri
sendiri, melainkan ada kaitannya –yang sangat erat—dengan Tuhan. Bahkan melihat
tuhan sebagai sumber hukum yang utama. Yang disebut pertama, oleh Hazairin,
dinamakan dengan paham kemasyarakatan, dan, yang kedua, dinamakannya dengan
paham ketuhanan.
Defenisi hukum
yang dikemukakan Muhammad Muslehuddin (cendikiawan muslim lulusan Fakultas
Hukum Universitas London), agaknya mendekati kedua paham (pandangan) di atas,
yaitu: kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari
kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat tertentu menerima aturan-aturan
tersebut.
Apabila
dihubungkan defenisi Muslehuddin ini dengan pengertian hukum secara bahasa di
atas, maka dapat dirumuskan bahwa hukum pada hakekatnya merupakan kaedah atau
pegangan bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap, prilaku dalam
melangsungkan hubungan dan kegiatan dengan sesama manusia lainnya dalam
pergaulan hidup masyarakat. Jika seseorang telah mematuhi hukum yang berlaku,
atau berbuat sesuai dengan hukum, maka orang tersebut akan menolak berbuat
zalim atau aniaya, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap sesama manusia,
maupun terhadap sesama makhluk.
Bila hukum itu
dihubungkan dengan hukum Islam atau hukum syara’, maka akan terbayang bahwa
hukum Islam adalah hukum yang sesuai dengan --atau berdasarkan-- kehendak
Allah. (Itulah sebabnya mengapa seorang mukalaf yang bertindak menurut hukum
(Islam) dalam segala macam situasi dan kegiatan dianggap memenuhi kehendak
Allah). Akan tetapi, seperti ditegaskan Amir Syarifuddin, sebagian besar
kehendak Allah itu tersimpan di balik apa yang tertulis dalam al-Qur`an dan
hadis Rasul-Nya (syariat). Untuk itu, lanjut Amir, dibutuhkan pemahaman yang
mendalam tentang al-Qur`an dan hadis (syariat) itu. Hasil pemahaman tersebut,
yang dituangkan dalam bentuk ketentuan rinci, dinamakan fikih.
Dengan dasar
pemikiran seperti di atas, maka pernyataan Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyamakan
fikih Islam dengan hukum Islam dapat diterima. Menurut Hasbi, hukum Islam
adalah koleksi daya upaya fuqahâ (ahli hukum Islam) untuk menerapkan syariat
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kata ”koleksi …
syariat” dalam defenisi di atas menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan hukum
Islam --seperti, juga, ditegaskan Amir Syarifuddin-- adalah yang bernama fikih
dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Cuma saja, dalam penggunaan
kata-kata hukum Islam --dikalangan umat Islam Indonesia-- sering menimbulkan
kebingungan. Istilah hukum Islam, seperti halnya fikih, sering diidentikkan
dengan syariat dalam arti sempit. Padahal, seperti telah dijelaskan, fikih atau
hukum Islam memiliki perbedaan yang cukup mendasar dengan syariat dalam
pengertian teknis.
Sedangkan kata
”sesuai kebutuhan masyarakat” menunjukkan bahwa hukum Islam itu harus dinamis,
disamping harus memiliki daya adaptabilitas dengan realitas kehidupan
masyarakat. Artinya, ruang dan waktu serta kondisi-kondisi tertentu akan
mempengaruhi corak hukum Islam, dimana koleksi daya upaya fuqahâ` (fikih-fikih
klasik), seperti disinggung Hasbi dalam defenisi di atas, --untuk bab-bab
tertentu-- tidak harus dilaksanakan secara kaku atau tekstual, melainkan harus
melalui transformasi. Hukum Islam dalam konteks ini adalah hukum Islam (fikih)
lokal.
Dengan demikian,
hukum Islam yang berlaku pada suatu negara nasional bisa saja berbeda dengan
hukum Islam yang berlaku di negara nasional lain seperti perbedaan suatu mazhab
dengan mazhab lain dalam pengertian fikih tradisional.
Sungguhpun
begitu, hukum Islam dalam berbagai negara nasional tetap berasal dari sumber
yang sama, yaitu syariat sebagai hukum Ilahi yang bertujuan menjaga lima hal
seperti tersimpul dalam maqâshid al-syarî’ah (tujuan hukum disyariatkan).
Sumber:
http://fuadiqudwah.blogspot.com/2010/03/pengertian-syariat-fikih-dan-hukum.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...