A. Pengertian
Hukum syara’ secara umum
merupakan hukum umum (kulliyat), sedikit
sekali yang merupakan hukum khusus. Diantara hukum syara’ terdapat hukum-hukum kulliy yang digali oleh para
mujtahid dari satu atau berbagai
macam dalil, karena mereka
menemukan bahwa satu atau beberapa dalil
tersebut mengandung illat atau makna yang setara dengan illat, sehingga mereka
mempu membentuk hukum kulliy yang mencakup berbagai bagian.[1]
Hukm kulliy dalam istilah ushul
fiqh dinamakan dengan kaidah kulliyat.
B. Bentuk Kaidah Kulliyat.
Berikut beberapa kaidah-kaidah
kulliyat[2]:
اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ
حَرَامٌ
Perantara yang akan menghantarkan kepada yang haram
adalah haram. Dalil kaidah ini :
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا
اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ
إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
(QS. Al-An’am [6]: 108)
Dalam ayat ini Allah melarang
mencaci tuhan orang kafir. Illat dalam
ayat ini dihasilkan karena mencaci tuhan-tuhan
orang kafir, yang akan berakibat pada caci maki terhadap Allah. Dari
ayat ini lalu digali kaidah bahwa perantara yang akan menghantarkan kepada yang haram
adalah haram.
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّبِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Perkara yang menjadi penyempurna
yang wajib, adalah wajib pula hukumnya.
Contohnya adalah membasuh kedua
tangan sampai siku adalah wajib. Khitab syar’i-nya adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ ..
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki,“(QS. Al-Maidah [5]: 6).
Contoh kedua:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُونَ (56)
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. An-nur [24]
:56)
Di antara perkara yang menyempurnakan shalat adalah berwudhu, berwudhu menjadi
syarat sahnya shalat, yakni bagi sesuatu yang wajib.
Begitu pula dengan hukum hudud, yang
wajib ditegakkan berdasarkan nash-nash
ayat. Akan tetapi hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan adanya imam (kepala Negara). Dari sini maka
mengangkat Imam (khalifah) bagi kaum muslimin adalah wajib.
قَاعِدَةُ اْلإِسْتِصْحَابُ
Secara bahasa adalah tuntutan persahabatan (bersama-sama). Setiap
perkara yang tidak dapat dipisahkan dari perkara lain berarti telah menyertainya. Istishhabmerupakan hukum
yang menetapkan tetapnya suatu perkara pada waktu kedua
berdasarkan ketetapan pada waktu pertama. Yakni, tetapnya suatu
perkata di masa kini berdasarkan ketetapannya di masa lalu.
Objek pembahasan istishhab
adalah apabila suatu hukum telah ditetapkan berdasarkan
dalil, dalil ini tidak menunjukkan tetapnya hukum dan berlaku terus menerus,
dan tidak ada dalil lain yang
menunjukkan tetapnya hukum dan berlaku secara langgeng serta mujtahid tidak
menemukan satu dalilpun yang merubah atau menghilangkan hukum itu.
Perkara yang keluar dari kaidah
istishhab:
a) Perkara yang keberadaanya dan
kelanggengannya telah ditunjukkan melalui
dalilagli, seperti wajib tentang wujud Allah.
b) Perkara yang bersifat tetap dan berlaku
terus-menerus yang ditunjukkan melalui dalil
nagli. Contonya: tidak bolehnya
menerima kesaksian orang yang telah menuduh zina (qadzaf).
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4)
“Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka
Itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An-nur [24]: 4).
Begitu juga kelanggengan jihad:
اَلْجِهَادُ مَاضٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Jihad itu berlaku terus-menerus hingga hari kiamat.[3]
Keduanya telah ditetapkan dengan
dalil khusus bukan dengan dalil
istishhab.
Contoh kasus kaidah Istishhab:
a) Orang yang mendakwa istri yang dinikahinya dan telah dicampurinya
tidak perawan (sebelumnya) maka dakwaannya tidak dipercaya, kecuali dengan
bukti yang nyata. Yang menjadi asal pada wanita adalah kegadisannya, ini fixed
sejak lahir.
b) Seseorang yang mendakwa bahwa dia mempunyai piutang terhadap orang lain, maka dakwaan
tersebut tidak bisa diterima kecuali dengan bukti.Perkataan yang diterima
adalah perkataan terdakwa memberlakukan
perkataan sebelumnya.
c) Apabila seseorang membeli
anjing dengan asumsi bahwa anjing
tersebut adalah anjing yang terdidik, kemudian
dia mendakwa bahwa anjing tersebut tidak terdidik, maka dakwaannya bisa
diterima dengan memberlakukan keadaan
sebelumnya. Sebab yang menjadi asal pada
binatang adalah tidak terdidik.
d) Apabila orang bertayammum, kemudian di
tengah shalatnya ia melihat air, maka shalatnya tidak batal dengan
memberlakukan keadaan sebelumnya (istishhaban lil hal). Sebab sebelumya telah
diputuskan keshahihanya.
Kaidah Dharar قائدة الضرار
Kaidah ini mencakup dua perkara:
a) Suatu perkara dinyatakan dharar dan tidak terdapat khitab syar’i yang menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkannya, atau
pilihan antara meninggalkan atau mengerjakannya. Maka keberadaan perkara dharar
tersebut merupakan dalil atas
keharamannya, karena Allah telah mengharamkan
sesuatu yang membahayakan, Kaidahnya adalah :
اَلْأَصْلُ فِي الْمَضَارِّ التَّحْرِيْمُ
Asal sesuatu yang berbahaya adalah
haram .
b) Syari’ telah memperbolehkan suatu perkara yang berbentuk umum, akan tetapi dalam salah satu
bagian dari perkara yang mubah itu
terdapat bahaya (dharar), maka bagian yang berbahaya atau yang akan
mengakibatkan bahaya itu menjadi dalil atas keharamannya.
Kaidahnya:
كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ
الْمُبَاحِ إِذَا كَانَ ضَارًّا أَوْمُأَدِّيًا إِلَى ضَرَرِ حُرِّمَ ذَالِكَ الْفَرْدُ
وَ ظَلَّ اْلأَمْرُ مُبَاحًا
“Setiap bagian dari perkara-perkara yang mubah apabila berbahaya atau akan
mengakibatkan bahaya, maka bagian
tersebut diharamkan, sementara perkara yang mubah (lainnya) itu tetap statusnya
mubah.”
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ
“Tidak boleh membahayakan (diri
sendiri) atau membahayakan orang lain dalam Islam.”[4]
Contoh kasus :
1. Apabila seseorang mempunyai pohon,
dahannya memanjang sampai ke rumah tetangga, maka dia dituntut untuk meninggikan atau memotongnya.
2. Setiap orang dilarang mengelola sesuatu yang dimilikinya dengan
bentuk pengelolaan yang dapat membahayakan tetangganya, dengan bau ataupun
asapnya.
3.
Dilarang mendirikan
pabrik kimia di daerah yang padat penduduknya supaya penduduk tidak terganggu dengan asap atau gas dari pabrik tersebut.
4. Apabila ada seekor ayam jantan
milik seseorang menelan mutiara
berharga milik orang lain, maka si pemilik mutiara bisa memiliki ayam jantan
tersebut sesuai dengan harganya untuk disembelih dan mengambil mutiara
miliknya.
5. Hakim berhak melarang
orang yang berhutang untuk
melakukan perjalanan berdasarkan tuntutan orang yang memiliki piutang sampai ia
mengangkat wakil untuk menyelesaikan tuntutan.
6. Orang yang bodoh dilarang melakukan transasksi agar bisa menghindari bahaya bagi
dirinya atau keluarganya karena ketidakmampuannya bertransaksi.
Istihsanاِسْتِحْسَانٌ
Istihsan dari segi bahasa
artinya ‘menganggap baik’. maksudnya
adalah penentuan hukum suatu masalah dengan mengedepankan aspek yang dianggap
lebih baik daripada hokum yang lain, selama itu masih dalam koridor
memperhatikan esensi tujuan syariat.[5]
Pembagian istihsan berdasar sanadnya
;
1. Istihsan yang disandarkan pada tradisi,
seperti akad pesanan atau order.
Meskipun itu adalah akad atas sesuatu yang tidak ada, namun dapat dibenarkan
secara istihsan. Contohnya adalah Anda memesan makanan untuk suatu acara atau menjahitkan kepada penjahit. Meskipun makanan itu belum ada wujudnya dan pakaian itu belum jadi, hal
ini tetap sah dalam hukum jual-beli.
Karena seperti itulah tadisi yang berlaku
di masyarakat tanpa ada yang mengingkari. Demikian juga dengan wakaf
harta atau barang yang dapat dipindahkan, dimana tidak ada nash yang
mengaturnya. Akan tetapi karean wakaf seperti ini telah banyak dikenal, maka
wakafnya tetap sah.Misalnya, wakaf buku dan lain sebagainya.
2. Istihsan yang disandarkan pada keadaan
darurat, seperti dimaafkannya percikan air kencing kepada pakaian, diampuninya
kekeliruan atau kelalaian yang kecil, kesucian air sumur dan lain sebagainya.
3. Istihsan yang disandarkan kepada
kemaslahatan, seperti jaminan tenaga kerja, jika terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan pada dirinya.
4. Istihsan dengan alasan menghilangkan
kesulitan yang ada, seperti kesalahan kecil dalam masalah muamalah.
Bentuk istihsan yang lain :
1. Dibolehkannya melihat aurat dalam
rangka pengobatan kedokteran sebagai
pengecualian dari kaidah umum yang
mengharamkannya.
2. Tidak diangapnya kategori bunga
berlebih (riba al-fadl) untuk
ukuran-ukruan yang kecil, dikarenakan
susah menghitungnya. Sehingga diperbolehkan untuk melebihkan sedikit dalam
transaksi barang yang banyak. Contoh : Anda meminjam beras sebanyak 100
kilogram pada seorang teman. Ketika Anda mengembalikan, ternyata kelebihan setengah gram. Hal ini diperbolehkan, karena
memang sulit untuk menghitung hal-hal
kecil dalam barang besar/ banyak jumlahnya.
3. Memasuki kamar mandi yang tidak
ditentukan harga sewanya, jangka waktu
pemakaiannya, dan tidak adanya ketentuan
banyaknya air yang digunakan. Meskipun
pada dasarnya hal ini dilarang, tetapi karena masyarakat memaklumi hal
ini dan tidak adanya aturan yang ketat di sana, maka diperbolehkan.
اِسْتِصْلاَحٌ / اَلْمَصْلَحَةُ الْمُرْسَلَةُ
Makna istishlah adalah istidlal (pencarian dalil) dengan menggunakan al-maslahah al-mursalah, yakni yang belum ada dalilnya secara khusus dari
nash-nash syariat mengenai
pemberlakuannya atau pembatalannya, tetapi terdapat dalil umum, bahwa syariat memelihara
kemaslahatan makhluk dan seluruh hukum-hukum yang
disyariatkan bertujuan mewujudkannya,
disamping bertujuan menghindari kerusakan dan
kesulitan dari mereka, baik secara material maupun immaterial, yang
sudah terjadi maupun belum terjadi.[6]
Syarat Maslahah-mursalah menurut
Al-Ghazali[7]:
1. Harus masuk akal, sehingga ketika disampaikan pada akal, akal dapat menerimanya,
namun tidak boleh menyangkut hal-hal
ibadah, karena pada dasarnya masalah-masalah ibadah wajib diterima tanpa
reserve.
2. Secara keseluruhan harus sesuai dengan
tujuan-tujuan syariat, yang mana
tidak menghilangkan satu dasar
pun dari dasar-dasar agama dan satu-dalil pun dari dalil-dalil yang qath’i. Tetapi ia harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang menjadi tujuan syariat.
3. Maslahat mursalah harus selalu mengacu kepada pemeliharaan hal-hal
yang bersifat vital yaitu menghilangkan kesulitan dan hal-hal yang memberatkan di dalam agama. .
Berbagai contoh Istishlah :
a. Sebelum wafatnya, Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya untuk menjadi khalifah kaum muslimin, meski Rasulullah tidak
melakukan hal itu.
b. Istishlah mendorong Umar untuk
memberlakukan pajak, inventarisasi
dokumen, menetapkan perbatasan kota-kota,
membuat penjara, dan hal lain yang belum pernah dilakukan Rasul SAW.
c. Istishlah membuat Usman menyatukan kaum muslimiin dalam satumushaf, dan menyebarkanya keseluruh
negeri lalu membakar selainnya. Dia
pernah juga memberikan warisan kepada seorang istri yang suaminya melakukan
thalak al-faar.
d. Ali bin Abi thalib, karena
istishlah, dia memerintahkan kepada Abul
Aswad Ad-Duali untuk melakukan dasar-dasar ilmu nahwu. Dia juga memerintahkan kepada para pekerja
untuk mejamin semua barang yang ada di
tangannya.
e. Muadz bin Jabal beristishlah dengan
mengambil pakaian Yaman sebagai ganti
zakat-biji-bijian dan buah-buahan.
f. Para khalifah sesudah
khulafaurrasyidin mendiriakan
pos dan melakukan Arabisasi semua
dokumen, membuat mata uang, dan praktek
kenegaraan lain tanpa ada seorang ulama
pun yang memprotes usaha merea.
g. Imam Abu Hanifah mengatakan kaharusan mengarantina atau
mengasingkan seorang mufti yang tak
bermoral, dokter yang ceroboh, dan kontraktor yang bangkrut.
h. Istislah mendorong jumhur fuqaha
untuk mengatakan bolehnya memerangi
orang muslim, jika berkomplot dengan kaum kafir.
i. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa yang wajib ditempatkan
untuk setiap jabatan adalah yang paling besar maslahatnya sesuai jabatan itu
sendiri. Bila hanya ada dua pilihan untuk sebuah jabatan, dimana yang satu
lebih amanah dan yang lain lebih kuat, maka yang didahulukan adalah yang lebih
bermanfaat dan lebih sedikit mudharatnya untuk jabatan itu. Untuk jabatan
tempur misalnya, lebih diutamakan laki-laki yang lebih kuat meskipun pada
dirinya ada kemaksiatan dari pada laki-laki yang lemah meskipun lebih shalih.[8]
C. Perbedaan Pendapat Seputar Kaidah
Kulliyat
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan kaidah kulliyat ini. Atha’
bin Khalil (ulama HT) tidak memasukkan kaidah istihsan dan istislah / maslahat mursalah dengan alasan keduanya
bukanlah dalil syara’. Begitu juga kaidahsyar’un man qablana dan madzhab
sahabat, merujuk pada surat An-Nisa ayat
59:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
”Jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. ”
Lebih lanjut mengenai istihsan, Atha’ bin Khalil berpendapat bahwa setiap muslim dituntut
untuk mengikuti hukum Allah dan
Rasul-Nya, atau yang ditunjuk oleh
keduanya, yaitu Ijma sahabat dan Qiyas.
Sedangkan istihsan yang berarti beralih
dari suatu dalil tanpa adanya dalil, tidak
termasuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasulnya.[9]
Mengenai maslahah-mursalah Atha’ bin
Khalil menjelaskan, kemaslahaan yang sebenarnya adalah kemaslahatan berdasarkan dalil syara’. Dimana ada perintah
syara’, di sana ada kemaslahatan.
Sedangkan maslahat mursalah adalah menghukumi yang didasarkan pada maslahat
yang tidak ditetapkan oleh syara’. Kedua, membangun suatu hukum atas dasar
kemaslahatan yang tidak diakui oleh syara’ berarti menjadikan akal yang tidak didukung oleh dalil sebagai
hakim. Ini tidak diperbolehkan.[10]
Dr. Yusuf Qaradhawi menerangkan
bahwa memang para ulama dalam hal ini berbeda, ada yang menganggap tidak ada dan ada pula yang menganggapnya sebagai hukum pasti. Ada juga yang saklek dan ada juga yang luwes.
Menyempitkan dan yang meluaskannya.
Semuanya memberikan khasanah yang
luas bagi ahli fikih, sehingga
memungkinkan mereka beristinbat dan
mentakhrij serta melapangkan makhluk
Allah melalui syariat dan dalil-dalilnyayang melimpah.[11]
Terkait pendapat Atha’ bin Khalil
yang tidak memasukkan kaidah istihsan dan
Maslahat mursalah, berikut
pendata Dr. Yusuf Qaradhawi mengenai kedua hal tersebut:
Menurut Dr. Yusuf Qardhawi,
istihsan bukan berarti semata-mata menuruti syahwat dan hawa nafsu tanpa bersandar pada sumber asli, akan tetapi
maknanya adalah mendahulukan
kemaslahatan sebagai bagian yang standar atas qiyas yang bersifat
umum, atau mendahulukan qiyas yang
alasannya tidak begitu jelas, namun pengaruhnya
sangat lemah. Atau melakukan
pengkhususan yang umum dengan dalil
yang standar atau sejenis.
Imam Asy-Syatibi Al-Maliki, dalam
hal ini mengatakan: ”istihsan menurut
kami dan pengikut madzhab Hanafi adalah mengamalkan dalil yang lebih kuat di antara dua dalil yang ada. Mengambil dalil yang umum jika memungkinkan dan menggunakan qiyas jika tidak ada dalil yang lain. Imam
Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa istihsan yaitu mengkhususkan yang umum
dengan dalil apapun dan pengecualian qiyas dari dalil
apapun.” Imam Malik juga menyatakan, ”sembilan persepuluh ilmu
adalah istihsan”. Begitu juga muridnya, Ashbagh, menyatakan, ”orang yang
tenggelam dalam qiyas, dia nyaris
meninggalkan dari Sunnah. Dan istihsan adalah tiang ilmu.”[12]
Mengenai istishlah/maslahat
mursalah, Dr. Yusuf menyatakan bahwa
Jumhur ulama –dari segi praktek- memasukkan al-maslahat al-mursalah
sebagai dalil syar’i yagn menjadi landasan bangunan tasyri’ atau fatwa atau pengadilan (qadha’). Orang yang
membaca kitab-kitab fikih di madzhab yang berbeda-beda akan menemukan ratusan
contoh hukum yang tidak diperinci, kecuali
berdasarkan kemaslahatan yang ingin
dicapai atau kerusakan yang ingin
dihindari.[13]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...