1. Tauhid
Tauhid berasal dari bahasa Arab yaitu kata
yaitu [عَقَدَ-يَعْقِدُ-عَقْدً] artinya adalah mengikat atau mengadakan perjanjian. Kata al-'aqdu
(الْعَقْدُ)
berarti ikatan, at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan
yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan),
dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat. Selain
itu ia juga bermakna al-Ibraam (pengesahan), at-tamaasuk
(pengokohan) dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai
arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan). "Al-‘Aqdu"
(ikatan) lawan kata dari al-hallu (penguraian, pelepasan). Kata ini
diambil dari kata kerja: "‘Aqadahu" "Ya'qiduhu"
(mengikatnya), "‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan "‘Uqdatun
Nikah" (ikatan menikah). Allah Ta'ala berfirman:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغْوِ فِىٓ
أَيْمَٰنِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلْأَيْمَٰنَ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar)
sumpah itu. QS. Al-Maidah: 89.
Sedangkan
menurut istilah (terminologi): 'Tauhid adalah iman yang teguh dan pasti, yang
tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya. Jadi, Akidah
Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan
segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada
Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir
baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang
prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada
apa yang menjadi ijma' (konsensus) dari Salafushalih, serta seluruh
berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang
telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma' para
shahabat Nabi.
1.3.2. Akhlak
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan
masalah etika atau akhlak, ia menjadi ciri bagi baiknya seseorang. Rasulullah
Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda:
إِنَّمَا
بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak karimah. (HR. Malik)
Begitu pentingnya masalah akhlak dalam Islam
sehingga hal-hal yang terkesan tidak bermanfaat-pun diatur oleh Islam, bahkan
ia menjadi cirri bagi baiknya keislaman seseorang ketika mampu meninggalkannya.
Hal ini bedasarkan sabda Rasulullah:
مِنْ حُسْنِ
إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
Merupakan tanda baiknya Islam seseorang, dia
meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya. (HR, Thirmidzi).
Secara umum dapat disebuntukan bahwa syariah
Islam adalah aturan-aturan yang datang dari Allah ta’ala, ia berupa norma-norma
yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain itu ia juga berupa
hukum-hukum yang dihasilkan oleh para mujtahid yang disebut dengan fiqh Islam.
1.3.3. Syariah
Syariah adalah hukum-hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan Khaliq maupun dengan makhluk, di dalamnya terdiri dari
dua unsur yakni Ibadah dan Muamalah. Dalam kontek yang lebih luas hukum-hukum Syariah (ibadah dan muamalah)
bertujuan mewujudkan dan melindungi 3 maslahat yaitu: maslahat utama (primer),
maslahat penting (sekunder) dan maslahat penunjang (tertier). Maslahat utama ialah kebutuhan pokok hidup
manusia yang meliputi agama, (dien), jiwa, harta, akal dan keturunan. Adapun
maslahat penting ialah berbagai masalah yang dibutuhkan manusia agar hidup
mereka dapat berjalan dengan mudah dan praktis, misalnya rukshoh, jual
beli salam dalam muamalat, diaturnya hukum cerai, dll. Sedangkan maslahat
penunjang yaitu kebutuhan manusia akan berbagai hal, untuk menunjang
kelangsungan hidup agar terasa indah dan nyaman, seperti disyariahkannya
bersuci (thaharah).
Dalam ruang lingkup tujuan syariah para
ulama merumuskan adanya lima tujuan diturunkannya syariah Islam ini yang
dikenal dengan maqashid as-syariah (maksud dan tujuan syariah), kelima maqashid
tersebut adalah :
1.
Hifdz Ad-Din
2.
Hifdz An-Nafs
3.
Hifdz Al-‘Aql
4.
Hifdz
An-Nasab
5.
Hifdz Al-Mal
Kelima tujuan dari syariah tersebut adalah
ruh dari ajaran Islam, ia tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang
lainnya. Berikut ini adalah penjelasannya:
1.
Hifdz Ad-Din (Menjaga Agama)
Sebagai bentuk penjagaan Islam terhadap
agama (hifdz ad-din) maka Allah ta’ala teah memerintahkan kepada
hamba-hambaNya untuk melaksanakan ibadah. Di antara bentuk ibadah tersebut
adalah shalat, zakat, puasa, haji, dzikir, do'a, dan lain-lain. Dengan menjalankan ibadah-ibadah tersebut maka akan
tegaklah dien seseorang. Kemudian untuk menjaga keberadaan dien tersebut Allah ta’ala mensyariatkan jihad fi
sabilillah, hal ini sebagaimana firmanNya :
وَقَٰتِلُوهُمْ
حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌۭ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ كُلُّهُۥ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ
ٱنتَهَوْا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌۭ
Dan
perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata
untuk Allah. QS.Al Anfal :39.
Kemudian untuk menjaga jangan sampai ada
seorang muslim yang murtad setelah dia memeluk Islam, maka Allah mensyariatkan hukuman
yang sangat keras bagi orang yang murtad, yaitu dihalalkan darahnya sebagaimana
sabda Rasulullah:
لَا يَحِلُّ
دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي،
وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Tidaklah halal darah seorang muslim kecuali
dengan tiga alasan: orang yang sudah menikah lalu berzina, jiwa dibalas dengan
jiwa (hukum qishas) dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) yang berpisah
dengan jama'ah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebaliknya untuk meneguhkan hati orang yang
baru memeluk Islam (muallaf) Allah syariatkan penyaluran zakat untuk mereka.
Syariat Islam melarang adanya fitnah dalam dien. Fitnah di sini maksudnya semua
upaya yang menghalangi manusia untuk menempuh jalan Allah yang lurus. Fitnah
dalam hal ini jauh lebih besar bahayanya dari pembunuhan, sebagaimana firman
Allah:
يَسْـَٔلُونَكَ
عَنِ ٱلشَّهْرِ ٱلْحَرَامِ قِتَالٍۢ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌۭ فِيهِ كَبِيرٌۭ ۖ
وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَكُفْرٌۢ بِهِۦ وَٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ
وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِۦ مِنْهُ أَكْبَرُ عِندَ ٱللَّهِ ۚ وَٱلْفِتْنَةُ أَكْبَرُ
مِنَ ٱلْقَتْلِ
Mereka
bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:"Berperang dalam
bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya
dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) dari pada membunuh. QS.
Al-Baqarah :217.
Syariat Islam juga melarang keras siapa saja
yang berusaha untuk merusak atau menyimpangkan Tauhid kaum muslimin atau
menyebarluaskan pemahaman yang bid'ah (aliran sesat). Dalam rangka menjaga
kebersihan dien seseorang, syariat Islam melarang tersebarnya apa saja yang
berbau pornografi dan merusak akhlak.
2.
Memelihara Jiwa (Hifdz An-Nafs)
Islam melindungi seluruh umat manusia, maka
dalam rangka menjaga keselamatan jiwa manusia dari pembunuhan tanpa alasan yang
benar Allah ta’ala telah mengharamkan membunuh manusia tanpa alasan yang
dibenarkan Islam. Jika terjadi sebuah pembunuhan maka wajib atasnya ditegakkan qishas:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh. QS. Al-Baqarah: 178.
Selain larangan menghilangkan nyawa orang
lain, Islam juga melarang seseorang untuk melakukan bunuh diri.
وَلَا
تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا
Dan janganlah
kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. QS.
An-Nisaa: 29.
Syariat juga melarang seseorang menjatuhkan
dirinya dalam kebinasaan:
وَلَا
تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ
dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. QS. Al-Baqarah: 195.
Demikian juga semua perbuatan yang dapat
membahayakan keselamatan jiwa atau merusak kesehatan fisik, seperti merokok,
dll. dilarang/diharamkan oleh syariat berdasarkan sabda Rasulullah:
لاَ ضَرَرَ
وَلَا ضِرَارَ
Tidak boleh ada sesuatu yang membahayakan diri
sendiri dan tidak juga kepada orang lain. (HR. Daruquthni, Ibnu Majah dan
Malik.)
3.
Menjaga Akal (hifdz al-‘aql)
Syariat Islam melarang khamr (minuman keras), narkoba dan apa saja yang dapat merusak
akal. Hal ini bertujuan untuk menjaga akal manusia dari apa saja yang dapat
mengganggu fungsinya. Islam memandang bahwa akal manusia adalah anugrah dan
nikmat Allah yang sangat besar. Dengan
akal ini manusia menjadi lebih mulia dari pada makhluk-makhluk Allah yang lain. Maka termasuk dalam rangka mensyukuri
ni'mat Allah tersebut syariat mewajibkan bagi seseorang untuk memelihara
akalnya dari apa saja yang akan
mengganggunya atau mengurangi fungsi kerjanya.
4.
Menjaga Keturunan (hifdz an-nasb)
Untuk dapat menghasilkan keturunan syariat
Islam menganjurkan umatnya untuk menikah. Dan untuk menjaga keturunan, syariat
mengharamkan zina. Allah menyifati zina sebagai suatu kekejian dan jalan
yang buruk, sebagaimana firman Allah :
وَلَا
تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةًۭ وَسَآءَ سَبِيلًۭا
Dan janganlah
kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk. QS. Al-Isra: 32
Syariat Islam memberikan hukuman yang keras
bagi pelakunya baik perempuan ataupun laki-laki, sebagaimana firman Allah :
ٱلزَّانِيَةُ
وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍۢ مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍۢ ۖ وَلَا
تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌۭ فِى دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌۭ مِّنَ
ٱلْمُؤْمِنِينَ
Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman. QS. An-Nur : 2.
Syariat Islam juga melarang seseorang
membunuh anak-anaknya. Allah ta’ala berfirman:
وَلَا
تَقْتُلُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَٰقٍۢ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ
وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًۭٔا كَبِيرًۭا
Dan janganlah
kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi
rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah
suatu dosa yang besar. QS. Al-Isra: 31.
Demikian juga perbuatan aborsi (menggugurkan
kandungan) serta menelantarkan anak-anak dilarang dalam syariat.
5.
Menjaga Harta (hifdz al-maal)
Untuk memperoleh harta yang halal, syariat
Islam membolehkan berbagai macam bentuk muamalah, seperti jual beli,
sewa-menyewa, gadai dan yang lainnya. Untuk menjaganya syariat Islam
mengharamkan memakan harta manusia dengan jalan yang bathil, seperti; mencuri,
riba, menipu, mengurangi timbangan, korupsi, dan lain-lain .
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu. QS. An-Nisaa: 29.
Syariat juga menetapkan hukuman yang keras
bagi setiap pencuri.
وَٱلسَّارِقُ
وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلًۭا
مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌۭ
Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. QS. Al-Maidah: 38.
Demikian juga syariat mengharamkan seseorang
menghambur-hamburkan hartanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
وَءَاتِ ذَا
ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ
تَبْذِيرًا, وَءَاتِ ذَا
ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ
تَبْذِيرًا
dan janganlah
kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Rabbnya. QS Al-Isra: 26-27.
Dari maqashid
syariah tersebut dapatlah kita pahami bahwa syariah Islam memberikan
pedoman hidup bagi umat manusia, melindungi hak-hak mereka dan mengajak seluruh
umat manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
1.4.
Hasil dari Penerapan Syariah
Apabila bangunan Islam diterapkan dalam kehidupan, maka akan
terwujud keadilan, keamanan, kemakmuran dan persaudaraan bagi seluruh kehidupan di alam semesta.
1.4.1.Keadilan
Keadilan dipahami sebagai ketidakberpihakan
kepada salah satu dari dua pihak, dalam makna yang khusus maka keadilan yang
dimaksud adalah tidak terjadinya pertentangan antara seseorang dengan orang
yang lainnya karena tidak ada satu orangpun yang terdzalimi.
Berlaku adil adalah salah satu prinsip Islam
yang dijelaskan dalam berbagai nash ayat Al-Qur’an maupun hadits. Prinsip ini
benar-benar merupakan akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam syari’at Islam,
sehingga wajar kalau tuntunan dan aturan agama semuanya dibangun di atas dasar
keadilan dan seluruh lapisan manusia diperintah untuk berlaku adil.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ
يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ
ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kalian) berlaku adil, berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum
kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.”
(QS. An-Nahl : 90)
إِنَّ ٱللَّهَ
يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم
بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم
بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًۭا
Sesungguhnya
Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. An-Nisâ` : 58)
Al-Qur`an Al-Karîm adalah lambang keadilan,
وَتَمَّتْ
كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًۭا وَعَدْلًۭا ۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَٰتِهِۦ ۚ وَهُوَ
ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ
Telah
sempurnalah kalimat Rabb-mu (Al-Qur`an), sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’âm : 115)
Allah Ahkamul Hâkimîn memerintah untuk
berlaku adil secara mutlak:
وَإِذَا
قُلْتُمْ فَٱعْدِلُوا۟ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ
Dan apabila
kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah
kerabat(mu).” (QS. Al-An’âm : 152)
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ
عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا
أَوْ فَقِيرًۭا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن
تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرًۭا
Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap diri kalian sendiri atau
ibu bapak dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah
lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena
ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata)
atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala
apa yang kamu kerjaan.” (QS. An-Nisâ` : 135)
Rabbul ‘Izzah tetap memerintahkan untuk
berlaku adil walaupun terhadap musuh sendiri,
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟
هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا
تَعْمَلُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Mâ`idah : 8)
Allah memuji orang-orang yang berlaku adil, sebagaimana firmanNya:
وَمِمَّنْ
خَلَقْنَآ أُمَّةٌۭ يَهْدُونَ بِٱلْحَقِّ وَبِهِۦ يَعْدِلُونَ
“Dan di
antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan
hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.” (QS. Al-A’râf
: 181)
Dan Nabi-Nya telah diperintah untuk
menyatakan,
وَأُمِرْتُ
لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ
“Dan aku
diperintahkan supaya berlaku adil di antara kalian.” (QS. Asy-Syûrô : 15
Allah Ta’ala dalam ayat-ayat tersebut memerintahkan
bagi seluruh umat Islam untuk senantiasa berbuat adil. Keadilan dalam makna
luas yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan tidak berat sebelah. Lebih
tegas lagi keadilan adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada perintah
Allah dan RasulNya. Itulah keadilan yang sebenarnya walaupun menurut manusia
tampak tidak adil.
Keadilan dalam hak berarti memberikan hak
bagi masing-masing pemiliknya sebagaimana ditetapkan dalam syariah Islam.
Sebagai contoh hak bagi anak laki-laki dalam masalah waris adalah dua kali anak
perempuan, sementara perempuan mendapatkan satu bagian dari laki-laki. Ini
adalah sebuah keadilan yang telah diatur oleh Allah ta’ala dalam syariahNya.
Selain itu keadilan dalam hak berarti keadilan yang telah ditetapkan Allah
ta’ala di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.
Keadilan dalam bidang sosial ekonomi adalah
keadilan yang memberikan strata kehidupan manusia sama dalam pandangan Islam.
Tidak ada keistimewaan antara satu orang dengan orang lainnya. Apalagi jika
hanya dilihat dari keturunan (nasab) harta, kedudukan atau karena pangkat dan
jabatan. Islam memandang bahwa seluruh manusia memiliki derajat yang sama, yang
membedakan hanyalah ketakwaan seseorang. Sehingga keadilan dalam Islam di
bidang sosial adalah bahwa setiap manusia memiliki derajat yang sama sebagai
makhluk Allah yang harus diperlakukan sebagaimana hamba Allah lainnya.
Keadilan sosial di bidang ekonomi berarti
setiap manusia memiliki akses yang sama untuk bekerja, mendapatkan penghasilan
dan memperoleh hasil dari usahanya. Tidak boleh adanya monopoli dan kepemilikan
yang sifatnya menjadikan kemudharatan bagi orang lain dan masyarakat pada
umumnya. Keadilan ekonomi juga berarti bahwa masyarakat yang tidak memiliki
kemampuan untuk bekerja menjadi tangguungan negara untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Negara bertanggungjawab terhadap kehidupan anak-anak yatim, fakir
miskin, orang-orang jompo dan mereka yang membutuhkan bantuan di bidang
ekonomi. Secara umum negara bertanggungjawab terhadap warga negaranya sebagai
bentuk keadilan ekonomi.
Keadilan di bidang hukum berarti setiap
manusia memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Tidak ada perbedaan seorang
raja, presiden atau pejabat dengan masyarakat biasa. Ketika ia bersalah maka
harus dihukum. Inilah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhamma SAW, beliau
bersabda:
وايم الله :
لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها
Demi Dzat yang Muhammad berada dalam
genggaman-Nya. Kalau seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri. Niscaya aku
akan memotong tangannya. HR. Bukhari dan Muslim
Demikianlah ketegasan Nabi yang mulia,
beliau akan menegakan keadilan walaupun berupa hukuman terhadap putrinya
sendiri. Islam tidak pernah membeda-bedakan derajat seseorang di depan hukum,
siapa yang bersalah maka harus dihukum. Kesalahan hukum di zaman kita ini
adalah bahwa hukum itu bisa dibeli sehingga seseorang yang bersalah akan bisa
lepas dari hukuman kalau dia berasal dari kalangan pejabat atau orang-orang
yang memiliki kekuasaan dan punya uang, mereka membeli hukum dengan menyuap
para hakim agar mereka terbebas dari hukuman.
1.4.2. Keamanan
Keamanan adalah suatu hal yang dituntut
dalam kehidupan, dimana seluruh makhluk sangat membutuhkannya dalam memenuhi
hal-hal yang berkaitan dengan mashlahat kepentingan mereka, baik yang sifatnya
keduniaan maupun keagamaan. Tiadalah seorang insan yang hidup di muka
bumi ini kecuali ia pasti mencari sebab-sebab keamanan untuk dirinya dan
mencurahkan segenap kemampuannya guna menjauhi sebab-sebab ketakutan yang boleh
jadi akan mendatangkan ancaman bahaya dalam perjalanan hidupnya. Bagaimanapun
seorang manusia meraih keselamatan badan dan keluasan rizki, maka hal tersebut
tidaklah bernilai dan tiada terasa manfaatnya kecuali dengan keamanan dan
ketentraman.
Betapapun manusia diberikan sebab-sebab
kemajuan dan segala unsur keberhasilan, maka ia tidak akan mencapai
kebahagiaannya dan tidak pula dapat menuai kehidupan yang indah kecuali dengan
tuntunan dan syari’at yang Allah ‘Azza wa Jalla, Sang Pencipta manusia ridhoi
untuk mereka.
Kita bersyukur dan memuji Allah Jalla
Jalâluhu yang telah menerangkan segala sebab keamanan dalam agama kita. Kita senantiasa menyanjung-Nya atas segala
kemurahan yang diantaranya adalah dijadikannya syari’at Islam ini sebagai
syari’at yang bertujuan menegakkan keamanan di tengah manusia. Nabi ‘Ibrâhim ‘alaihissâlam
pada awal mula beliau menginjakkan kakinya di kota Makkah, beliau berdoa kepada
Rabb-Nya :
وَإِذْ قَالَ
إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنًۭا وَٱرْزُقْ أَهْلَهُۥ مِنَ
ٱلثَّمَرَٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ قَالَ
وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُۥ قَلِيلًۭا ثُمَّ أَضْطَرُّهُۥٓ إِلَىٰ عَذَابِ
ٱلنَّارِ ۖ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ
Ya Rabb-ku,
jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki berupa
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan
hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah : 126)
Setelah beliau merintis kota Makkah, maka
beliau dengan perintah Allah meninggalkan keluarganya di negeri baru tersebut
untuk sementara waktu. Kemudian beliau kembali lagi ke negeri tersebut dan
beliau berdoa kepada-Nya,
وَإِذْ قَالَ
إِبْرَٰهِيمُ رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا ٱلْبَلَدَ ءَامِنًۭا وَٱجْنُبْنِى وَبَنِىَّ
أَن نَّعْبُدَ ٱلْأَصْنَامَ, رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًۭا مِّنَ
ٱلنَّاسِ ۖ فَمَن تَبِعَنِى فَإِنَّهُۥ مِنِّى ۖ وَمَنْ عَصَانِى فَإِنَّكَ
غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ
Ya Rabb-ku,
jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta
anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Ya Rabb-ku, sesungguhnya
berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka
barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku,
dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Ibrâhim : 35-36)
Berdasarkan dua ayat di atas, Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam
memulai doanya dengan memohon keamanan untuk kota Makkah. Hal tersebut
karena Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sangat mengetahui bahwa keamanan adalah
lambang kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negara, dan dengan keamanan akan
tercapai segala kemashlahatan dan kebaikan yang dibutuhkan oleh manusia.
Allah Ta’ala mengingatkan nikmat keamanan
kepada penduduk tanah haram dan kepada seluruh makhluk agar mereka senantiasa
mengingat nikmat tersebut dan bersyukur kepada Allah karenanya dan beribadah
kepada-Nya di bawah naungaNya :
أَوَلَمْ
يَرَوْا۟ أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا ءَامِنًۭا وَيُتَخَطَّفُ ٱلنَّاسُ مِنْ
حَوْلِهِمْ ۚ أَفَبِٱلْبَٰطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ ٱللَّهِ يَكْفُرُونَ
Dan apakah
mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri
mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia di sekitarnya saling
rampok-merampok.” (QS. Al-‘Ankabût : 67)
وَقَالُوٓا۟
إِن نَّتَّبِعِ ٱلْهُدَىٰ مَعَكَ نُتَخَطَّفْ مِنْ أَرْضِنَآ ۚ أَوَلَمْ نُمَكِّن
لَّهُمْ حَرَمًا ءَامِنًۭا يُجْبَىٰٓ إِلَيْهِ ثَمَرَٰتُ كُلِّ شَىْءٍۢ رِّزْقًۭا
مِّن لَّدُنَّا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan apakah
Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang
aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam
(tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami?. Tetapi kebanyakan
mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-Qashash : 57)
لإِيلاَفِ
قُرَيْشٍ {1} إِيلاَفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَآءِ وَالصَّيْفِ {2} فَلْيَعْبُدُوا
رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ {3} الَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَءَامَنَهُم مِّنْ
خَوْفٍ {4}
Maka
hendaklah mereka menyembah Rabb Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi
makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan.” (QS. Quraisy : 3-4)
Allah ‘Azza
Dzikruhu telah memberikan nikmat keamanan kepada Tsamud, kaumnya Nabi Shôleh
‘alahissalâm dengan kemampuan mereka memahat gunung sebagai rumah-rumah mereka
tanpa ada ketakutan dan kecemasan, dan Allah Ta’âlâ melimpahkan kepada mereka
nikmat yang sangat banyak yang datang silih berganti dan memberikan mereka
tempat tinggal yang aman, dimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَجَعَلْنَا
بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ ٱلْقُرَى ٱلَّتِى بَٰرَكْنَا فِيهَا قُرًۭى ظَٰهِرَةًۭ
وَقَدَّرْنَا فِيهَا ٱلسَّيْرَ ۖ سِيرُوا۟ فِيهَا لَيَالِىَ وَأَيَّامًا
ءَامِنِينَ
Dan Kami
jadikan antara mereka dengan negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat
kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara
negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kalian di kota-kota itu
pada malam dan siang hari dengan aman.” (QS. Saba` : 18)
Yusuf ‘alaihissalâm ketika menyambut
kedua orang tua dan keluarganya, beliau mengingatkan nikmat keamanan yang
dilimpahkan terhadap mereka dengan masuknya mereka ke negeri yang aman dan
tentram dengan penuh kesejukan jiwa,
ٱدْخُلُوا۟
مِصْرَ إِن شَآءَ ٱللَّهُ ءَامِنِينَ
Masuklah
kalian ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.” (QS. Yûsuf : 99)
Bahkan di antara kenikmatan penduduk sorga
di dalam sorga adalah tempat yang aman tanpa ada rasa takut sedikit pun dan
tanpa kecemasan,
ٱدْخُلُوهَا
بِسَلَٰمٍ ءَامِنِينَ
(Dikatakan kepada penduduk sorga): “Masuklah
ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”.” (QS. Al-Hijr : 46)
وَهُمْ فِى
ٱلْغُرُفَٰتِ ءَامِنُونَ
Dan mereka
aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS. Saba` : 37)
إِنَّ
الْمُتَّقِينَ فِي مَقَامٍ أَمِينٍ {51} فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ {52} يَلْبَسُونَ
مِن سُندُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُّتَقَابِلِينَ {53} كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ
بِحُورٍ عِينٍ {54} يَدْعُونَ فِيهَا بِكُلِّ فَاكِهَةٍ ءَامِنِينَ
Sesungguhnya
orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman, (yaitu) di dalam
taman-taman dan berbagai mata air; mereka memakai sutera yang halus dan sutera
yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan, demikianlah. Dan Kami berikan kepada
mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman
(dari segala kekhawatiran).” (QS. Ad-Dukhân : 51-55)
Sungguh syari’at Islam telah mengumpulkan
seluruh jenis kebaikan; Islam menjaga syari’at dan tuntunan, melindungi dan
memelihara akal-akal manusia, mensucikan harta benda, memberi keamanan kepada
jiwa-jiwa manusia, dan menebarkan segala bentuk keselamatan, ketenangan, rahmat
dan kesejahteraan. Rasulullâh shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ
مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ مُعَافًى فِيْ جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ
فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Barang siapa aman pada tubuhnya, sehat dalam
jasadnya, mempunyai makanan pada hari itu, maka seakan-akan telah dikumpulkan
baginya dunia dengan segala isinya.”
Islam menjaga keamanan jiwa manusia hingga
pada tempat yang paling aman sekalipun, seperti masjid-masjid. Rasulullâh
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرَّ
أَحَدُكُمْ فِيْ مَسْجِدِنَا أَوْ فِيْ سُوْقِنَا وَمَعَهُ نَبْلٌ فَلْيُمْسِكْ
عَلَى نِصَالِهَا أَوْ قَالَ فَلْيَقْبِضْ بِكَفِّهِ أَنْ يُصِيْبَ أَحَدًا مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ مِنْهَا شَيْءٌ
Apabila salah seorang dari kalian berlalu di
mesjid kami atau di pasar kami dangan membawa tombak, maka hendaknya ia
memegang ujungnya, –atau beliau berkata- hendaknya ia menggenggam dengan
tangannya, agar tidak ada sesuatupun dari senjata-senjata tersebut yang menimpa
salah seorang dari kaum muslimin.”
Memunculkan ketakutan di tengah kaum muslimin adalah hal
yang terlarang dalam syari’at Islam. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam bersabda,
لَا يُشِيْرُ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيْهِ
بِالسِّلَاحِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِيْ لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ فِيْ يَدِهِ
فَيَقَعُ فِيْ حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ
Janganlah salah seorang dari kalian
mengisyaratkan kepada saudaranya dengan senjata karena ia tidak mengetahui
jangan-jangan Syaithon mencelakakannya dengan sebab tangannya sehingga ia
terjerumus ke dalam jurang neraka.”
Syari’at ini telah mengharamkan atas setiap
muslim untuk berisyarat dengan suatu jenis senjata kepada saudaranya seislam,
walaupun hanya bercanda. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bersabda,
مَنْ أَشَارَ
إِلَى أَخِيْهِ بِحَدِيْدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَدَعَهُ
وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيْهِ وَأُمِّهِ
Barang siapa yang berisyarat kepada saudaranya
dengan sebuah besi, maka sesungguhnya Malaikat melaknatnya hingga ia
meninggalkannya, walaupun ia adalah saudaranya sebapak dan seibu.
Membuat takut seorang muslim adalah perkara
yang diharamkan dengan segala bentuknya. Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam bersabda,
لَا يَحِلُّ
لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
Tidak halal bagi seorang muslim membuat
takut muslim yang lain.
Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam bersabda,
مَنْ حَمَلَ
عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا
Barang siapa yang
mengangkat senjata terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.”
Beliau juga menegaskan,
سِبَابُ
الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan
membunuhnya adalah kekufuran.”
Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam bersabda,
الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim adalah orang yang kaum
muslimin (lainnya) selamat dari gangguan lisan dan tangannya.
Sebagai penjagaan terhadap keamanan dan
ketentraman, Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam marah kepada
siapa saja yang memberikan syafa’at dalam pelaksanaan had (hukuman) dari
had-had Allah ‘Azza wa Jalla setelah perkara itu sampai kepada penguasa, dimana
beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan hal
tersebut dalam sabdanya,
لَوْ أَنَّ
فَاطِمَةَ بَنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Andaikata Fathimah putri Muhammad mencuri,
maka sungguh saya akan memotong tangannya. HR. Bukhari dan Muslim
1.4.3.Kemakmuran
Kemakmuran adalah kondisi di mana masyarakat dapat merasakan kehidupan yang
tercukupi kebutuhannya baik secara moril maupun materiil. Menurut Ibnu Taimiyah, kemakmuran dalam
persepsi Islam bertujuan untuk mencapai moral kehidupan yang baik. Beliau juga
menambahkan bahwa akan banyak sekali kewajiban agama yang tidak dapat
dijalankan jika kemakmuran belum dicapai. Dan masyarakat yang tidak mencapai
kemakmuran secara otomatis sulit menjalankan agamanya secara kaffaah
(totalitas) termasuk dalam hal ibadahnya kepada Allah SWT. Sehingga oleh sebab
itulah Islam sangat menganjurkan agar umat manusia mau mencapai kehidupan dunia
yang lebih baik (hasanat fid duniya)
karena hal itu berkorelasi dengan upaya mencapai hasanat fil akhirat.
Ibnu Taimiyah
sangat menolak sikap hidup yang menjauhi keduniaan sebagaimana dianuti oleh
kalangan sufi ortodok. Bahkan beliau berpendapat bahwa keduniaan harus diraih
oleh umat Islam sebagai sarana untuk mencapai kemampuan dalam memenuhi kewajiban
dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Oleh sebab itu pula Ibnu Taimiyah
berkesimpulan bahwa syarat mutlak untuk mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya ialah harus dicapai lebih dulu kemakmuran umat. Kemiskinan
justru akan menghambat umat Islam untuk menjadi kaaffah. Dan kemiskinan merupakan penghalang utama bagi mewujudkan
masyarakat Islam yang utama dan yang sebenar-benarnya.
Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa, kemakmuran jauh berbeda dengan kekayaan
semata. Kemakmuran lebih tinggi kedudukannya daripada kekayaan, keduanya
(antara kemakmuran dan kekayaan) saling berinteraksi dan membutuhkan. Kekayaan
akan meningkatkan hak, sementara kemakmuran mengarahkan kepada upaya pencapaian
kewajiban. Oleh sebab itulah Islam berpandangan bahwa
orang kaya adalah mitra potensial bagi orang miskin, orang miskin sangat
diperlukan oleh orang kaya.
Henri Laoust
menyatakan kekagumannya terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah tentang kemakmuran
diatas, beliau menyatakan: “….doktrin Ibnu Taimiyah sangat mendorong
pengorganisasian secara aktif didalam penerapan ekonomi masyarakat dengan
alasan bahwa dengan ketiadaan organisasi semacam itu, kemakmuran akan mandeg
dan kemudian akan cenderung menyusut dan akhirnya menghilang semuanya.
Dalam sejumlah hal, Ibnu Taimiyah telah melampaui pemikiran ilmuwan lainnya
terutama dalam kajian kemakmuran ini yang sangat mengagumkan untuk sebuah tesis
pemikiran di penghujung abad ke 7 Hijriyah masa itu.
1.4.4.Persaudaraan
Setiap muslim adalah bersaudara, demikianlah
yang tercantum di dalam Al-Qur’an:
إِنَّمَا
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٌ۬ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
Sesungguhnya
orang-orang mu’min itu bersaudara kerena itu damaikanlah antara kedua saudaramu
dan bertakwalah kepada Allah SWT supaya kamu mendapat rahmat. QS Al-Hujuraat:
10.
Semua muslim adalah bersaudara. Karena itu
jika bertengkar mereka harus bersatu kembali dan bersaudara seperti biasanya.
Hal ini diperkuat oleh larangan Rasulullah SAW terhadap permusuhan antar
muslim. Abu Ayyub Al-Anshary meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda “Tidak
seorang muslim memutuskan silaturrahmi dengan saudara muslimnya lebih dari tiga
malam yang masing-masingnya saling membuang muka bila berjumpa. Yang terbaik di
antara mereka adalah yang memulai mengucapkan salam kepada yang lain.” .
Persaudaraan yang dimaksudkan adalah bukan
menurut ikatan geneologi tapi menurut ikatan iman dan agama. Hal tersebut
diisyarakat dalam larangan Allah SWT mendoakan orang yang bukan Islam setelah
kematian mereka. Firman Allah SWT “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan
orang-orang yang beriman meminta ampun bagi orang-orang musyrik walaupun
orang-orang musyrik itu adl kerabatnya.”
Ini sama sekali tidak berarti bahwa seorang
muslim diijikankan mengabaikan ikatan keluarganya walaupun dangann kerabat non
muslim. Dasar kebajikan kepada orang tua dan keluarga dapat ditemukan dalam
Al-Qur’an sendiri. Firman Allah SWT “Dan kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya.”
Mengutamakan persaudaraan Islam lebih dari
yang lain sama sekali tidak mempengaruhi ikatan darah biarpun dangan kerabat
non-Muslim. Nabi SAW menekankan pentingnya membangun persaudaraan Islam dalam
batasan-batasan praktis dalam bentuk saling peduli dan tolong menolong. Sebagai
contoh Beliau bersabda “Allah SWT menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong
saudaranya” . Bodoh sekali seorang muslim yang mengharapkan belas kasih khusus
dari Allah SWT jika ia tidak memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan muslim
lainnya.
Sebagai akibatnya persaudaraan kaum muslim
tidak saja merupakan aspek teoritis ideologi Islam tapi telah terbukti dalam
praktek aktual pada kaum muslim terdahulu ketika mereka menyebarkan Islam ke
penjuru dunia. Kemanapun orang-orang Arab muslim pergi apakah itu ke Afrika
India atau daerah-daerah terpencil Asia mereka akan disambut hangat oleh
orang-orang yang telah memeluk Islam tanpa melihat warna kulit ras atau agama
lamanya. Tidak ada tempat dalam Islam bagi pemisahan kelas maupun kasta.Tata
cara melaksanakan shalat tidak ada tempat istimewa dan semua harus berdiri bahu
membahu dalam baris-baris lurus. Demikian pula dalam pemilihan imam tidak
didasarkan status sosialnya dalam masyarakat namun atas kemampuannya dalam
menghafal al-Qur’an.
Itulah mengapa seorang imam dapat ditunjuk
dari anak yang berusia enam tahun sebagaimana kejadian
pada seorang shahabat muda Salamah. Nabi Muhammad SAW.
mengatakan pada kabilahnya “Jika waktu shalat tiba salah seorang dari kalian harus
mengumandangkan adzan“. Ketika mereka mencari di antara mereka sendiri mereka
tidak menemukan orang yang tahu tentang Al-Qur’an lebih dari Salamah sehingga mereka menunjuknya
sebagai imam walaupun ia baru berusia enam atau tujuh tahun pada saat itu.
Pilar ketiga dalam Islam zakat berupa
kewajiban atas orang-orang kaya atau relatif kaya untuk menyerahkan sebagian
dari simpanan tahunan mereka kepada orang-orang miskin merupakan perwujudan
tanggung jawab sosial ekonomi dari persaudaraan itu. Sebab walaupun
kedermawanan amat dianjurkan oleh Islam sebagaimana oleh agama lain tanggung
jawab ini dalam Islam dilembagakan dan dipungut oleh negara untuk menjamin
kelangsungan hidup ekonomi orang-orang miskin.
Sebenarnya semua hukum-hukum ekonomi dalam
Islam selalu menekankan perlindungan atas hak-hak persaudaraan. Praktek-praktek
ekonomi yang dengan suatu cara menarik keuntungan atau merugikan anggota-angota
masyarakat adalah terlarang keras. Makanya pinjaman yang diakui dalam Islam adalah pinjaman tanpa bunga
sebab pinjaman dengan bunga pada umumnya mengambil keuntungan yang tidak adil dari orang lain ketika mereka
dalam posisi yang secara ekonomis lemah.
Demikian pula pilar kelima Islam yaitu Haji yang mengandung esensi pilar-pilar
lainnya menekankan persaudaraan orang-orang beriman dalam semua ritus-ritusnya.
Pakaian bagi laki-laki yang sedang menunaikan ibadah Haji dikenal
dengan Ihram terdiri dari dua lembar kain, selembar dipakai seputar pinggang, selembar yang lain diselempangkan di atas bahu.
Kesederhanaan pakaian ini dikenakan oleh jutaan jamaah haji dari berbagai
penjuru dunia menunjukan hakekat persatuan dan persamaan dalam persaudaraan
Islam.
Keaslian prinsip persaudaraan yang meliputi
segala upacara keagamaan dan hukum-hukum dalam Islam telah dan terus menjadi
faktor kunci dalam menarik manusia di seluruh dunia untuk masuk Islam. Namun
patut dicatat bahwa prinsip persaudaraan ini telah ditentang dalam prakteknya oleh munculnya
nasionalisme di antara kaum muslimin. Walaupun Allah SWT dan Rasul-Nya dengan
tegas menentang segala bentuk tribalisme, nasionalisme dan rasisme. Nasionalisme
telah muncul di kalangan
kaum muslimin setelah tumbangnya generasi awal
berabad-abad setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW .
Bentuk awal nasionalisme ini kemudian
diperberat oleh kolonialisme Eropa yang memecah belah umat Islam.
Walaupun ikatan umum Islam tetap berlanjut menyatukan umat dalam persaudaraan, pemerintah mereka masing-masing
mengeksploitasi segala kesempatan yang dapat membangkitkan perasaan-perasaan
nasionalisme agar massa muslim tetap terpecah-pecah sehingga pemerintahan
mereka yang pada sebagian besar kasus anti Islam dapat
terus terpelihara.
Kelemahan yang menghantam kehidupan umat
Islam sekarang ini mulai dari runtuhnya khilafah Islamiyah sampai terpuruknya
negeri-negeri Islam sehingga harus menjadi bagian dunia ketiga merupakan satu
indikasi yang paling jelas menurunnya rasa persaudaraan di kalangan umat Islam
itu sendiri. Perpecahan di kalangan umat yang mempunyai kepentingan-kepentingan
golongan ikut meluluhlantahkan pilar-pilar persaudaraan itu. Maka kata kunci
untuk mampu menegakan Islam di seantero jagad ini adalah dengan pererat
persaudaraan di antara sesama umat Islam dan menyingkirkan jauh-jauh rasa
ta’asubiyah (fanatik golongan) dan
keyakinan penuh bahwa nasionalisme bukan dari bagian kita sedikitpun.
1.3.1.1
Ruang Lingkup Syariah: Ibadah dan Muamalah
Ibadah memiliki makna yang luas, ia mencakup
segala sesuatu yang menjadi aktifitas manusia untuk menyembah kepada Allah
ta’ala. Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-Ubudiyyah mendefinisikan makna
ibadah secara komprehensif:
اَلْعِبَادَةُ: اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا
يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الأَقْوَالِ وَالأَعْمَالِ الظَّاهِرَةِ
وَالْبَاطِنَةِ
Ibadah adalah
suatu nama yang mencakup setiap apa-apa yang Allah cintai dan ridhai dari ucapan-ucapan
dan perbuatan-perbuatan yang zhahir maupun yang bathin.[1]
Ibadah
secara umum terbagi menjadi yaitu ibadah yang dhahir dan batin, ibadah yang dhahir adalah yang bisa disaksikan
seperti shalat, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya. Sedangkan ibadah yang
bathin adalah ibadah yang berkaitan dengan amalan hati seperti cinta kepada
Allah, takut, berharap, tawakkal kepada-Nya dan lain-lain. Dengan definisi ini
maka ibadah itu sangat luas tidak terbatas hanya shalat, zakat, puasa, haji dan
lainnya akan tetapi semua ucapan dan perbuatan yang dicintai dan diridhai Allah
maka itu adalah ibadah. Bagaimana untuk mengetahui bahwa suatu ucapan atau
perbuatan itu dicintai dan diridhai Allah?
Untuk mengetahui suatu ucapan atau
perbuatan, apakah dicintai dan diridhai Allah atau tidak, maka harus merujuk
kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah berdasarkan bimbingan ulama ahlus sunnah wal
jama'ah, bukan berdasarkan pendapat atau kemauan sendiri. Dan juga harus
diingat bahwa ucapan dan perbuatan tersebut dilakukan dengan ikhlash, hanya
mengharap ridha Allah Ta'ala semata. Secara umum ibadah dibagi menjadi lima
macam:
a)
'Ibaadah
I'tiqaadiyyah: yaitu
seorang muslim meyakini bahwasanya Allah 'Azza wa Jalla adalah Pencipta,
Pemberi Rizki, Yang Mematikan, Yang Menghidupkan, Yang Mengatur seluruh urusan
hamba-hamba-Nya. Juga meyakini bahwasanya Dia adalah Dzat yang berhak diibadahi
satu-satunya yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dari do'a, menyembelih, nadzar dan
yang lainnya, dan Dia adalah Dzat yang disifati dengan sifat-sifat kemuliaan,
kesempurnaan, kesombongan, keagungan, dan yang lainnya dari macam-macam
keyakinan tentang Allah, agama-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, hari akhir dan taqdir yang baik maupun yang buruk.
b)
'Ibaadah
Lafzhiyyah: yaitu
ibadah yang berkaitan dengan ucapan lisan, seperti melafazhkan / mengucapkan
dua kalimat syahadat, membaca Al-Qur`an, do'a, membaca dzikir-dzikir Nabawiyyah
dan lain-lainnya dari jenis-jenis ibadah lafzhiyyah.
c)
'Ibaadah
Badaniyyah: yaitu ibadah
yang berkaitan dengan badan, seperti berdiri, ruku' dan sujud di dalam shalat,
shaum, amalan-amalan haji, hijrah, jihad dan yang lainnya dari ibadah-ibadah
badaniyyah.
d)
'Ibaadah
Maaliyyah: yaitu ibadah
yang berkaitan dengan harta, seperti zakat, shadaqah dan lainnya.
e)
'Ibaadah
Tarkiyyah: yaitu seorang muslim meninggalkan seluruh hal-hal yang haram,
kesyirikan dan bid'ah dalam rangka melaksanakan syari'at Allah, maka ini
merupakan ibadah tarkiyyah darinya yang seorang muslim akan diberi pahala dari
meninggalkan yang haram apabila meninggalkannya dalam rangka mengharap Wajah
Allah.[2]
1.3.1.2. Muamalah
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata ‘amala-yu’amili-mu’amalatan yang berarti saling bertindak, saling
berbuat dan saling beramal. Fiqh muamalah memiliki dua macam pengertian, yaitu:
1.
Pengertian
fiqh muamalah dalam arti luas
2.
Pengertian
fiqh muamalah dalam arti sempit
Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah
adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan
manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut
Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-peraturan mengenai tiap
yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai
kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan
dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan
dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk
bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.
Pengertian fiqh muamalah yang dimaksud dalam
buku ini adalah pengertian dalam arti sempit yaitu: “Muamalah adalah aturan
Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk
mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik” atau ”
Muamalah adalah tukar-menukar barang atu sesutu yang bermanfaat dengan
cara-cara yang telah ditentukan”
Ruang lingkup yang dibahas dalam fiqh
muamalah ini meliputi dua hal;
1.
Muamalah
adabiyah: yaitu
ditinjau dari subjeknya atau pelakunya. Biasanya yang dibahas mengenai “harta”
dan “ijab qobul”
2.
Muamalah
madiyah: ditinjau
dari segi objeknya. Meliputi: al Ba’i (jual beli), Syirkah (perkongsian), al
Mudharabah (Kerjasama), Rahn (gadai), kafalah dan dhaman (jaminan dan
tanggungan), utang piutang, Sewa menyewa, hiwalah (pemindahan utang), sewa
menyewa (ijarah), upah, syuf’ah (gugatan), Qiradh (memberi modal), Ji’alah
(sayembara), Ariyah (pinjam meminjam), Wadi’ah (titipan), Musaraqah, Muzara’ah
dan mukhabarah, Pinjam meminjam, Riba Dan beberapa permasalahan kontemporer
(Perusahaan, bank dll), ihyaulmawat dan wakalah.
Muamalah dengan pengertian pergaulan hidup
tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungan dengan orang lain yang
menimbulkan hubungan hak dan kewajiban merupakan
bagian terbesar dalam aspek
kehidupan manusia. Oleh karenanya Islam menempatkan bidang
muamalat sedemikian penting, hingga Rasulullah SAW mengatakan, ‘Agama adalah muamalah’. Berangkat dari hal itu semua, Islam bersikap
lebih longgar dalam masalah hukum pada muamalah. Hukum Islam memberikan
ketentuan bahwa pada dasarnya hukum dalam muamalah adalah mubah, hingga ada
dalil atau nash yang mengharamkannya. Berbeda
dengan ibadah yang hukum asalnya adalah haram, kecuali ada perintah atau
tuntunan yang menganjurkan perbuatan ibadah tersebut.
Aktifitas muamalah
adalah hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya. Pemahaman yang
lebih sempit mengenai muamalah adalah aktifitas ekonomi yang berkaitan dengan
manajemen dan bisnis. Salah satu faktor yang menentukan suksesnya manajemen dan
bisnis adalah bagaimana pelaku bisnis mengelola sumber daya manusianya yang
merupakan asset perusahaan.
Syariah Islamiyah
adalah undang-undang yang komprehensif dan universal. Komprehensif berarti
meliputi semua aspek dan bidang kehidupan yang secara garis besar dapat
diklasifikasi menjadi tiga sub-sistem yaitu: Aqidah, Syari’ah dan Akhlaq.
Aqidah adalah hukum-hukum yang bersangkut-paut dengan keimanan dan ketauhidan
yang merupakan dasar keislaman seorang muslim. Syari’ah adalah hukum-hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan Khaliq maupun dengan makhluq. Sedangkan Akhlaq
menitik beratkan pada pendidikan rohani dan pembersihan hati dari sifat-sifat
tercela dan menghiasi dengan sifat-sifat yang terpuji.
Syariat ini
merupakan ciptaan Allah SWT, maka ia tidak terbatas oleh ruang dan waktu, ia
adalah sistem yang universal. Ia sesuai untuk sepanjang zaman dan semua tempat,
tidak lapuk ditelan zaman dan tidak kering dimakan hari. Prinsip Syari’ah
Islamiyah tidak dapat berubah, walaupun hukum-hukum cabangnya mungkin dapat
berubah.
Keadaan geografis,
jarak dan perbedaan alam tidak menjadi sebuah halangan bagi kecocokan dan
keunggulan sistem ini, karena hukum Islam bukan diciptakan oleh manusia melalui
fikiran, pengetahuan dan pengalamannya. Ia merupakan ciptaan Sang Khaliq Allah
SWT Tuhan yang Maha Mengetahui dan Maha Mencipta alam semesta. Syari’ah
Islamiyah dan seluruh hukumnya tidak boleh dipisah-pisahkan atau dipecah-pecah,
karena ia bersifat kully (menyeluruh). Mengambil sebahagian-sebahagian
dan meninggalkan sebahagian yang lain tidak akan dapat mencapai objectif
Syari’ah; tujuan dan falsafahnya tidak akan dapat ditegakkan. Bahkan perbuatan
seperti ini bertentangan dengan tuntutan Syari’ah dan nash-nash hukum. Beriman
dengan sebagian ayat Al-Qur’an dan mengingkari sebagian yang lain membawa
seorang hamba kepada suatu kehinaan.[3]
Sikap seperti ini tidak akan membawa kepada kebaikan dan kemuliaan kepada ummat
Islam. Allah berfirman:
§NèO öNçFRr& ÏäIwàs¯»yd cqè=çGø)s? öNä3|¡àÿRr& tbqã_ÌøéBur $Z)Ìsù Nä3ZÏiB `ÏiB öNÏdÌ»tÏ tbrãyg»sàs? NÎgøn=tæ ÄNøOM}$$Î/ Èbºurôãèø9$#ur bÎ)ur öNä.qè?ù't 3t»yé& öNèdrß»xÿè? uqèdur îP§ptèC öNà6øn=tã öNßgã_#t÷zÎ) 4 tbqãYÏB÷sçGsùr& ÇÙ÷èt7Î/ É=»tGÅ3ø9$# crãàÿõ3s?ur <Ù÷èt7Î/ 4 $yJsù âä!#ty_ `tB ã@yèøÿt Ï9ºs öNà6YÏB wÎ) Ó÷Åz Îû Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( tPöqtur ÏpyJ»uÉ)ø9$# tbrtã #n<Î) Ïdx©r& É>#xyèø9$# 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÑÎÈ
Apakah
kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?
Tiadalah balasan kebaikan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang
kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah:
85).
Begitu juga Allah
berfirman dalam surah An-Nisa : 150-151: [4]
¨bÎ) úïÏ%©!$# tbrãàÿõ3t «!$$Î/ ¾Ï&Î#ßâur crßÌãur br& (#qè%Ìhxÿã tû÷üt/ «!$# ¾Ï&Î#ßâur cqä9qà)tur ß`ÏB÷sçR <Ù÷èt7Î/ ãàÿò6tRur <Ù÷èt7Î/ tbrßÌãur br& (#räÏGt tû÷üt/ y7Ï9ºs ¸xÎ6y ÇÊÎÉÈ y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# $y)ym 4 $tRôtFôãr&ur tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 $\/#xtã $YYÎgB ÇÊÎÊÈ
Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud
membeda-bedakan antara Allah dan rasul-rasulNya dengan mengatakan : “kami
beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian yang lain”,
serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) diantara yang
demikian (iman atau kafir) rekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang
menghinakan.
Berdasarkan dua ayat ini maka
dapat disimpulkan bahwa umat Islam tidak boleh mengambil sebagian isi Al-Qur’an
dan membuang sebagiannya. Bahkan umat Islam harus mengambil seluruh hukum-hukum
yang ada di dalam al-Qur’an sebagaimana mereka diperintahkan ke dalam Islam secara
keseluruhan (kaafah):
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةًۭ وَلَا تَتَّبِعُوا۟
خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّۭ مُّبِينٌۭ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah [2]: 208).
Masuk ke dalam Islam secara
keseluruhan berarti mengamalkan Islam dalam seluruh sendi kehidupan baik yang
bersifat ibadah kepada Allah ta’ala maupun muamalah dengan sesama manusia.
Termasuk di dalamnya dalam masalah wirausaha dan bisnis yang harus didasarkan
pada nilai-nilai Islam.
[1] Ahmad Ibn Taimiyyah, Majmuu'ul Fataawaa,
Juz 10/149.
[2] Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid: 170-171
[3]
H.Salim Bahreisy dan H.Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid I, CV Diponegoro, Bandung, hal 154
[4] H.Salim Bahreisy dan H.Said Bahreisy, Terjemah
Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, CV Diponegoro, Bandung, hal 592
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...