Oleh:
Abdurrahman
Tak banyak yang bisa diungkapkan dengan barisan kata ketika harus berbagi
cerita tentang “Pulang”. Perjalanan yang sangat panjang ini telah membawaku ke
berbagai pengalaman lahir batin yang luar biasa. Perjalanan panjang yang
melelahkan namun penuh dengan tantangan dan cobaan kehidupan. “Sebelum Pulang”
adalah kisah perjalanan seorang anak manusia di dunia penuh kefanaan, bukan
sekadar pengalaman yang menyenangkan, namun duka yang bertabur lara, serta tawa
beraroma gelaknya.
Berawal dari sebuah titik keberangkatan, perjalanan ini aku mulai dengan
membawa hati dan perasaan. Membawa luka yang kian menganga, gundah di jiwa dan
sengsara karena dunia. Perjalanan ini juga diringi oleh sebuah cita dan asa
akan perbaikan masa depan yang penuh dengan mimpi-mimpi penuh harapan. Awal
yang indah pada senja memerah di ujung sawah, angin yang kian melemah mengalah
diterpa remang malam yang kian melegam. Sebelum pulang diawali dari sebuah
keberangkatan yang penuh dengan biru haru, syahdu karena harus berpisah dengan
orang-orang yang selalu kurindu tanpa batas waktu. Sebelum pulang aku sudah
berjanji dalam hati, akan memberi sesuatu yang membuat manusia menjadi “iri”
dan tidak memandang kami manusia setengah “nyali”.
Awal pengembaraan di Metropolitan, sebuah kota dengan seluruh
kesibukannya. Kota harapan yang mempesona para insan di pedususnan, kota yang
membawa asa di tengah dahaga dunia. Aku terdampar di antara hitam air got
metropolitan, tinggal di gang-gang sempit Pademangan, bersama buruh-buruh kasar
di utara Jakarta hingga menjadi manusia yang tanpa arti. Pecundang,
penggelandang dan orang-orang di pinggir-pinggir gang. “Sebelum pulang”, aku
harus menjadi orang, bukan karang yang pasrah dengan deburan ombak di ujung
petang. Namun, tak ada jalan. Hanya gang sempit yang kian hari kian menghimpit,
hingga cita ini semakin sulit untuk kembali dibangkit. Lingkungan tak ada
dukungan, saudara jauh di ujung pandang, kampung halaman terukir di sudut
ruang.
Menjelang akhir perjuangan, asa itu datang tanpa diundang. Ia bersinar di
antara gempita metropolitan, menyeruak kembali membangunkan mimpi-mimpi yang
telah lama pergi. Asa itu ada, karena ia sealu terpatri dalam jiwa walaupun dikerumuni
duka sebagaimana sampah yang mengonggok di Pasar Mangga Dua Jakarta. Seorang
laki-laki beraroma surgawi, menghampiri dan memberi arti akan hidup ini.
Memberi arah kaki melangkah menunjukan jalan ketika asa itu tinggal kenangan.
Sang lelaki impian datang di saat jiwa ini semakin garang di tengah kota yang
semakin gersang. Segera kuraih tangan lelaki itu, ia membimbingku, menggandengku,
merengkuhku hingga tiba di kota harapan itu. Kota Hujan penuh impian yang tidak
lain tidak bukan kota harapan bagi kehidupan yang lebih menawan di masa depan.
“Sebelum Pulang”, ternyata ia bukan malaikat sempurna. Sang penolong yang
berhati garong, sang penyelamat berhati terlaknat. Ah… bukan mengumpat, hanya
aku belum menerima semuanya hingga mengharapkannya seperti dewa tanpa dosa. Ia
memberikanku madu bersama dengan setetes empedu, ia menawarkan surga namun
neraka juga diberinya. Kini ia telah kembali ke alam sana, semoga Tuhan
merahmatinya. Aku kembali sendiri di tengah jalan kesuksesan, di antara pecahan
kekecewaan dan kusutnya benang-benang kehidupan. Aku harus bangkit, merajut
mimpi yang ada di seberang kali. Ciliwung memberi mimpi penuh arti pada diri
yang hidup namun setengahnya mati suri.
Bogor, Kota Hujan penuh impian. Kurajut mimpi-mimpi indah di antara
semilir angin dari Ciawi. Aku mencoba
berdiri tegar, setegar gunung Salak di ujung Bogor Selatan. Kesungguhan dan
perjuangan yang penuh darah dan air mata kini mulai bisa dirasa. Luka lama yang
masih menganga harus dibalut dengan kapas cita, kesuksesan itu semakin dekat
dengan pandangan. Tinggal kuraih seperti seorang bayi yang meraih tangan lembut
ibunya. Kesuksesan itu terlalu dekat hingga ingin rasanya kudekap, kunikmati
dan terbang bersamanya ke menuju pelosok negeri. “Sebelum Pulang” perjuangan
harus dilanjutkan, kesuksesan awal jangan menjadi tumpuan karena di atas
kesuksesan ada kesuksesan.
Sebelum pulang, akan aku persiapkan perbekalan untuk orang-orang
tersayang di kampung halaman. Tak akan lagi kubiarkan keluarga idaman merana
dengan duka lara dunia, tak akan lagi terdengar cerita keluarga tidak makan
hanya karena hutang di pasar tak lagi terbayarkan. Hanya satu yang menjadi
harapan, kedua orang tua bisa hidup mapan tanpa kekhawatiran di masa kehidupan.
Aku ingin mereka menikmati masa tua tanpa rasa khawatir dan duka dunia.
Kesuksesan memiliki tingkatan-tingkatan, aku tidak tahu berada di
tingakatan mana saat ini berada. Yang pasti, hampir semua keinginan bisa
didapatkan, semua harapan ada di genggaman dan mimpi-mimpi itu sudah menjadi
nyata kini. Pergi ke luar negeri, naik kapal pesiar di sungai Musi, mengembara
hingga ke Sumatera dan Nusa Tenggara dan berkelana di belantara beton Jakarta.
Saat ini, kesuksesan tak lagi sekadar mimpi semua dengan mudah terjadi. Namun,
aku juga tidak terpedaya dengan kesuksesan dunia, karena ada kesuksesan yang
lebih tahan lama, kehidupan abadi di alam sana, itulah yang harus kupersiapkan
segalanya.
Sebelum pulang, aku sudah menyiapkan perbekalan. Perbekalan yang akan
mebuat orang-orang desa terperangah dan menganga. Ah…. Itu kesombongan adanya.
Tentu aku tidak seperti itu, pengalaman kehidupan telah membawa pada satu
keyakinan bahwa kesuksesan dunia bukanlah tujuan utama. Mungkin bisa saja aku
pulang membawa chamry, namun iman di hati tentu lebih berarti. Hingga
kesombongan itu kubuang jauh-jauh, ia hanya akan membawa murka Sang Pencipta
karena kesombongan adalah milikNya tidak pantas bagi manusia yang penuh dosa
bertabur hawa.
Kini, aku siap untuk pulang. Membawa harapan yang sudah di genggaman,
membawa dunia bersama isinya. Oleh-oleh pulang yang lebih dari semua itu, adalah
ilmu yang dulu selalu kutunggu. Perjuangan sebelum pulang telah kulalui, ayah
bunda tercinta kini sudah menanti mengarap diri kembali ke pertiwi menjadi anak
negeri yang hakiki. Aku sudah pulang, kedua orang tuapun senang, para tetangga
kini mengenang, si anak malang kini telah jadi “orang”. Bukan itu yang
kuharapkan kemuliaan di mata dunia hanyalah sementara, ada kemuliaan yang akan
kekal selamanya kemuliaan di alam sana yang tiada tara. Ketika aku pulang,
kusyukuri seluruh nikmat ini kuridhai seluruh detik hidup ini dan kunikmati
setiap jengkal ibu pertiwi.
Waktu tak mau diajak kompormi, mengalir bersama hari-hari penuh arti di
sisi ayah bunda yang berseri-seri. Aku harus kembali, kembali mengeksplorasi
potensi diri untuk meraih kesuksesan yang lebih tinggi. Tak terasa, air mata
mengalir di pipi, asa dan duka menggelayut dalam hati tak kuasa meninggalkan
bumi pertiwi. Aku akan kembali, kembali untuk pulang kembali. Kembali ke
aktifitas sehari-hari di rantau lagi, dan akan pulang lagi ke bumi pertiwi.
“Sebelum Pulang” kembali, aku akan mempersiapkan perbekalan yang lebih
lagi, untuk ayah dan bunda di bumi pertiwi agar keduanya kembali berseri dalam
nikmat hidup yang penuh arti. “Sebelum Pulang” aku akan menyelesaikan akhir
perjalanan kehidupan serta menyempurnakan iman hingga ke ujung kehidupan.
Sebelum Pulang ke kampung halaman, aku
juga harus memikirkan pulang ke kampung keabadian karena di sanalah keabadian
dimulakan tanpa akhir dan tanpa kesusahan.
NB: Pulang bagi
saya memiliki makna yang sangat mendalam, bertemu dengan orang tua, sanak
saudara dan teman-teman ketika masih belia. Pulang kampung menjadi momen paling
menyenangkan karena bisa berkumpul dengan semuanya. Bukan untuk bangga dengan
dunia, tapi iman di dada itulah yang seharusnya ada. Lebih dari itu “Pulang”
juga saya maknai dengan pulang ke alam sana, di mana keabadian itu ada dan tak
ada lagi duka nestapa dirasa. Kesempurnaan kehidupan bagi saya adalah
segalanya, dan “Pulang” adalah jalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...