A. Latar
Belakang Masalah
Kebebasan
beragama merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia di
dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini memiliki empat
aspek, yaitu (a) kebebasan nurani (freedom of conscience), (b) kebebasan
mengekspresikan keyakinan agama (freedom of religious expression), (c)
kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (freedom of religious association),
dan (d) Kebebasan melembagakan keyakinan keagamaan (freedom of religious
institution)1. Di antara keempat aspek tersebut, aspek pertama yakni kebebasan
nurani (freedom of conscience), merupakan hak yang paling asli dan absolut
serta meliputi kebebasan untuk memilih dan tidak memilih agama tertentu.
Menurut konsep kebebasan di atas, maka kebenaran pribadi harus dianggap sebagai
nilai yang yang paling luhur (supreme value). Ia menghendaki komitmen serta
pertanggungjawaban pribadi yang mendalam. Komitmen serta pertanggungjawaban
pribadi ini harus berada di atas komitmen terhadap agen-agen otoritatif lainnya
seperti negara, pemerintah, dan masyarakat.
Negara Indonesia
merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai
dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan,
dan ras. Letak geografis Indonesia yang berada di tengah-tengah dua benua,
menjadikan negara ini terdiri dari berbagai ras, suku bangsa, dan agama.
Kemajemukan
agama di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan sejarah bagaimana bangsa
Indonesia itu muncul. Hal tersebut ditandai dengan munculnya banyaknya kerajaan
di Indonesia yang menganut bermacam agama. Tidak diragukan lagi, perjalanan
panjang sejarah bangsa Indonesia itu mengakibatkan adanya beberapa agama yang
dianut oleh bangsa Indonesia pada masa-masa selanjutnya. Agama bagi bangsa
Indonesia merupakan potensi yang besar.
Sebagai potensi,
pada satu sisi agama dapat menjadi pendorong dan pendukung arah pembangunan
Indonesia. Pada sisi yang lain, isu tentang agama dapat menjadi pemicu konflik
antarumat beragama. Oleh sebab itu, hubungan baik antarumat beragama yang
terwujud dalam tiga kerukunan hidup beragama Indonesia diharapkan selalu
terwujud dalam perjalanan hidup bangsa. Setiap agama mengajarkan kebenaran dan
kebaikan. Setiap penganut terpanggil untuk menanamkan dominasi kebenaran dan
keselamatan mutlak pada pihaknya serta kesesatan dan kecelakaan fatal pada
pihak yang lain. Interpretasi yang berbeda dan pemikiran teologis yang berlain
mengenai konsep ini merupakan sumber perselisihan antarumat beragama.
Sejak negara
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum islam memegang peranan
yang sangat penting dalam pembentukan hukum di Indonesia selain hukum Belanda
yang berlaku saat ini. Setelah Indonesia berusia 60 tahun dan telah mengalami 6
kali pergantian presiden, hukum islam tetap dipakai dibeberapa bidang hukum
disam ping hukum Belanda tentunya. Seperti yang kita ketahui, gelombang
reformasi yang menyapu seluruh kawasan Indonesia sejak kejatuhan Suharto banyak
memunculkan kembali lembaran sejarah masa lalu Indonesia.Salah satunya yang
hingga kini banyak menjadi sorotan adalah tuntutan untuk kembali kepada syariat
Islam, atau hukum Islam yang kemudian mengundang beragam kontroversi di
Indonesia. Kalau kita lihat lembaran sejarah Indonesia, salah satu faktor
pemicunya adalah tuntutan untuk mengembalikan tujuh kata bersejarah yang
tadinya terdapat dalam pembukaan atau mukadimmah konstitusi Indonesia yang
dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia. Tujuh kata itu adalah “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Dalam konteks
Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh warna
aliran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan
yang dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi
hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan
sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah
normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum
yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.
Munculnya
gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi
dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum
Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir
Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat Muslim secara umum.
Berdasarkan
uraian di atas, penulis tertarik untuk membuat paper dengan mengambil judul
”Kajian Kritik Terhadap Teori Receptio In Complelxu”.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah
perhatian Islam terhadap masyarakat?
2) Apa yang
melatarbelakangi munculnya teori receptio in complexu?
3) Bagaimana
menerapkan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan hukum Islam bagi
orang Islam di Indonesia?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan
penulisan dari paper ini adalah :
1) Untuk mengetahui
sejauhmana perhatian orang Islam terhadap masyarakat
2) Untuk
mengetahui latar belakang munculnya teori receptio in complexu
3) Untuk
mengetahui hubungan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan hukum Islam
di Indonesia.
D. Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat
dari penulisan Paper ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi
rekan-rekan mahasiswa, khususnya penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
perhatian Islam terhadap masyarakat, latar belakang munculnya teori receptie,
dan hubungan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan hukum
Islam bagi orang Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masyarakat
Islam dan Non Islam
Kebebasan dan
toleransi merupakan dua hal yang sering kali dipertentangkan dalam kehidupan
manusia, secara khusus dalam komunitas yang beragam. Persoalan tersebut menjadi
lebih pelik ketika dibicarakan dalam wilayah agama.
Kebebasan
beragama dianggap sebagai sesuatu yang menghambat kerukunan (tidak adanya
toleransi), karena dalam pelaksanaan kebebasan, mustahil seseorang tidak
menyentuh kenyamanan orang lain. Akibatnya, pelaksanaan kebebasan menghambat
jalannya kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga
sebaliknya upaya untuk merukunkan umat beragam agama dengan menekankan
toleransi sering kali dicurigai sebagai usaha untuk membatasi hak kebebasan
orang lain. Toleransi dianggap sebagai alat pasung kebebasan beragama.
Kebebasan
beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antarumat
beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antarumat
beragama.
Demikian juga
sebaliknya, toleransi antarumat beragama adalah cara agar kebebasan beragama
dapat terlindungi dengan baik. Keduanya tidak dapat diabaikan. Namun yang
sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya, yaitu penekanan
kebebasan yang mengabaikan toleransi, dan usaha untuk merukunkan dengan
memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan. Untuk dapat mempersandingkan
keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan bergama dan toleransi
antarumat beragama merupakan sesuatu yang penting.
Kebebasan
beragama adalah hak setiap manusia. Hak yang melekat pada manusia karena ia
adalah manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, tidak ada
seorang pun yang boleh mencabutnya. Negara pun tidak berhak merampas hak
tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan beragama yang melekat
dalam setiap individu tersebut dinyatakan dengan gamblang dalam deklarasi
universal HAM Pasal 1 dan 18.
Toleransi yang
berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang
bertentangan dengan pendiriannya. Selanjutnya, kata “toleransi” juga berarti
batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan (Kamus
Umum Bahasa Indonesia).
Jadi, dalam
hubungannya dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti menghargai,
membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun
berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Toleransi tidak berarti bahwa
seseorang harus melepaskan kepercayaannya atau ajaran agamanya karena berbeda
dengan yang lain, tetapi mengizinkan perbedaan itu tetap ada.
Toleransi
menjadi jalan terciptanya kebebasan beragama, apabila kata tersebut diterapkan
pada orang pertama kepada orang kedua, ketiga dan seterusnya. Artinya, pada
waktu seseorang ingin menggunakan hak kebebasannya, ia harus terlebih dulu
bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya telah melaksanakan kewajiban untuk
menghormati kebebasan orang lain?” Dengan demikian, setiap orang akan
melaksanakan kebebasannya dengan bertanggung jawab. Agama-agama akan semakin
moderat jika mampu mempersandingkan kebebasan dan toleransi. Kebebasan
merupakan hak setiap individu dan kelompok yang harus dijaga dan dihormati,
sedang toleransi adalah kewajiban agama-agama dalam hidup bersama.
Sikap agama yang
lebih moderat, tidak hanya dituntut ada dalam agama Islam, tetapi pada semua
agama yang ada di Indonesia. Agama-agama harus menyadari bahwa dunia semakin
heterogen. Jadi tidak mungkin lagi untuk memimpikan kehidupan beragama yang
homogen. Diskriminasi yang dialami oleh agama-agama tidak perlu menimbulkan
semangat balas dendam, karena biasanya diskriminasi agama tidak berasal dari
agama itu sendiri, melainkan dipengaruhi faktor lain.
Agama dalam
pelaksanaan misinya tidak boleh lagi bersikap tidak peduli dengan agama-agama
lain. Kemajauan suatu agama tidak boleh membunuh kehidupan agama-agama yang ada
di Indonesi
Toleransi dan
kerukunan hidup umat beragam antara Islam dan non Islam, telah diperaktekan
oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, pada waktu itu rasulullah memimpin
negara Madinah, beliau sebagai kepala negara dari komunitas negaranya, terdiri
atas penganut Islam, Yahudi dan Nasroni beliau memimpin masyarkat majemuk.
Dengan shahifah
(piagam madinah) sebagai konstitusinya yang oleh sementara pengamat disebut
sebagai the first written constitution in the world. Piagam madinah memuat
pokok-pokok kesepakatan.
(1) Semua umat
Islam, walaupun berasal dari banyak suku merupakan satu komunitas
(2) Hubungan
antara komunitas Islam dengan non Islam didasarkan atas prinsip-prinsip
bertetangga baik. Saling membantu dan saling menghadapi musuh bersama. Membela
mereka yang teraniyaya saling menasehati, menghormati, kebebasan beragama,
kedua ke Abbesinin (Ethiopia) ketiga perlakuan adil terhadap non nISlam di
pengadilan pada waktu dia berhadapn dengan Ali bin Abi Tholib (kepala negara
waktu itu) dan Ali bin Abi Thalib di kalahkan. Keempat kerukunan hidup umat
beragama pernah di peraktekan oleh ISLam, Yahudi dan Nasrani di Spanyol,
sebagaimana di ungkapkan oleh Nurcholis Majid (1994:36) mengutip ungkapan Max
Dimont bahwa selama 500 tahun dibawah pemerintahan Islam membuat Spanyol untuk
tiga agama dan satu tempat tidur Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun
bersama-sama menyertai perbedaan yang genting.
B. Latar
Belakang Munculnya Teori receptio In Complexu
Berbicara
tentang masalah hukum yang berlaku terhadap golongan Bumi Putera, yaitu hukum
adat bangsa Indonesia. Timbulah beberapa teori yaitu: Teori pertama diketemukan
oleh beberapa sarjana Belanda seperti Carel Frederik Hunter (1799-1859) Salomo
Kayzor (1823-1868) dan Odeniya William Christian Van Berg (1845-1925)
Teori ini menyatukan
bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing jadi
menurut teori ini bahwa hukum tentang berlaku bagi pribumi yang beragama Islam
adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragam
khatolik, demikian juga bagi penganut agama lain, teori ini yang dikenal dengan
teori receptio in complex (RIC).
Materi teori ini
kemudian dimuat dalam pasal 75 RR (Regering Reglement) tahun 1855. pasal 75
ayat 3 RR berbunyi “oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang
agama (Jadsdiensnge Wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu” pada masa
teori ini berlaku, kemudian antara lain Sibi 882 No. 152 tentang pembentukan
pengadilan agama (Priensterand) di samping pengadilan negeri (landrand).
Berdasarkan pasal 75 dengan mengacu kepada teori RIC hukum waris yang berlaku
bagi orang Islam adalah hukum waris Islam dan menjadi kompetensi (wewenang)
peradilan agama
Pada mulanya,
politik kolonial Belanda sebenarnya cukup menguntungkan posisi hukum Islam,
setidaknya sampai akhir abad ke 19 M dikeluarkannya Staatsblad No. 152 Tahun
1882 yang mengatur sekaligus mengakui adanya lembaga Peradilan Agama di Jawa
dan Madura, merupakan indikasi kuat diterimanya hukum Islam oleh pemerintah
kolonial Belanda. Dari sinilah muncul teori Receptio in Complexu yang
dikembangkan oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845 – 1927). Menurut
ahli hukum Belanda ini hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang
itu memeluk agama Islam, maka hukun Islam-lah yang berlaku baginya. Dengan
adanya teori receptio in Complexu maka hukum Islam sejajar dengan dengan sistem
hukum lainnya.
Kondisi di atas
tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda,
kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam.
Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis.
Melalui ide Van Vollenhoven (1874 – 1933) dan C.S. Hurgronje (1857 – 1936) yang
dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie,
menurut teori ini hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum
adat. Jadi hukum adat yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Klaim
provokatif dan distorsif ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi hukum Islam
ketika itu, oleh karenanya Hazairin menyebutnya sebagai teori “Iblis’.
Dengan adanya
teori Receptie ini, Belanda cukup punya alasan untuk membentuk sebuah komisi
yang bertugas meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura.
Dengan bekal sebuah rekomendasi (usulan) dari komisi ini, lahirlah Staatsblad
No. 116 Tahun 1937 yang berisi pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk
menangani masalah waris dan lainnya. Perkara-perkara ini kemudian dilimpahkan
kewenangannya kepada Landraad (Pengadilan Negeri).
C. Hubungan
Teori Receptio In Complexu Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia
Merekonstruksi
catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam
untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan
mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam
sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada
tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum
Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata
substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Perjuangan
melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum
Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan
perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih -yang
dianggap representatif- telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Khusus untuk yang terakhir,
ia merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria.
Setelah lahirnya
Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas,
kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah
lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai
nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya
peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya). Sehingga pada
tahun 1991 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Terlepas dari pro dan kontra keberadaan KHI nantinya diproyeksikan sebagai
Undang-Undang resmi negara (hukum materiil) yang digunakan di lingkungan
Pengadilan Agama sebagai hukum terapan. Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan
reformasi di bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dengan
diamandemennya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan
Undang-Undang diatas secara otomatis membawa efek berantai pada Peradilan
Agama, sehingga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga
mengikuti jejak, yakni diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Seiring dengan
momentum amandemen Undang-Undang tentang Peradilan Agama, maka muncul perubahan
paradigma baru yakni Peradilan Agama dari peradilan keluarga menuju peradilan
modern. Semula Peradilan Agama hanya menangani perkara-perkara sumir -sebagian
besar masalah perceraian- kini dihadapkan pada perkara-perkara ekonomi syari’ah
yang relatif baru dalam dunia ekonomi Indonesia, namun dalam perkembangannya
cukup mempengaruhi konfigurasi ekonomi Indonesia. Oleh karena itu hakim dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah tidak cukup hanya berbekal pada doktrin
hukum “fikih madzhab” yang merupakan produk nalar para imam madzhab sekitar
tiga belas abad yang lalu, tetapi harus dibekali dengan undang-undang, mengapa?
Kalau penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah hanya didasarkan pada madzhab
fikih yang dianut oleh masing-masing hakim, itu sangat berbahaya karena akan
menjurus pada suatu putusan yang berdisparitas tinggi dan tidak adanya
kepastian hukum, karena masing-masing hakim akan berbeda madzhab, sehingga yang
terjadi adalah pertarungan madzhab. Hal ini akan sangat merugikan para pihak
pencari keadilan yang kebetulan madzhabnya juga berbeda. Putusan yang demikian
bertentangan dengan azas legalitas (principle of legality). Oleh karena itu
adanya undang-undang yang mengatur tentang ekonomi syari’ah menurut teori
kontrak sosial adalah merupakan bagian dari upaya negara untuk memberikan
perlindungan hukum bagi warga negara pencari keadilan. Pada dasarnya
pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan
tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam
bidang hukum, kesadaran berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis dan
kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik
masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan
dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam disamping kearifan
lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan konsep hukum dengan
nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja
serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi
tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Syari’at Islam
meskipun dalam realitanya telah membumi dan menjiwai setiap aktifitas
sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), dan banyak dijadikan acuan
Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara, namun belum merupakan
undang-undang negara. Oleh karena itu pelembagaan hukum Islam dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kegiatan di bidang ekonomi
syari’ah merupakan suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam, khususnya dan
bagi para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah pada umumnya. Secara
sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat
sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi
masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian,
melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi,
dan politik di masa depan.
Pluralitas
agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk
membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang
muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat
diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah
di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan,
namun banyak menyisakan permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam
regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga
yang berwenang menyelesaikan persoalan tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum
adanya hukum subtansial dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur
kegiatan ekonomi syari’ah sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006.
Pembangunan
hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu.
Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama untuk lingkungan tertentu dan subyek
hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu unifikasi
hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan
jika terhadap subyek hukum Islam-yang melakukan kegiatan dibidang muamalah-
diperlakukan hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya wajar pula dalam hubungan
keluarga terkadang hukum adat setempat lebih dominan. Prinsip unifikasi hukum
memang harus jadi pedoman, namun sejauh unifikasi tidak mungkin, maka
pluralitas hukum haruslah secara realitas diterima. Idealnya pluralitas hukum
ini haruslah diterima sebagai bagian dari tatanan hukum nasional. 14 Untuk
memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang yang tidak dapat diunifikasi,
negara dengan segala kedaulatan dan kewenangan yang ada padanya dapat mengakui
atau mempertahankan Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA
(Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh
Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 107. hukum yang hidup
dalam masyarakat, sekalipun itu bukan produk hukum negara, seperti hukum adat
yang merupakan warisan nenek moyang, hukum Islam yang bersumber dari ajaran
agama dan hukum Barat yang merupakan peninggalan kolonialis.
Prinsip negara
hukum sebagaimana pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung
Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Persamaan di depan
hukum di mana kepada seluruh warga negara diberikan pelayanan hukum yang sama
tanpa diskriminasi. Namun, bukan berarti pelembagaan hukum Islam bertentangan
dengan prinsip di atas sebab bunyi Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yakni: “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan UUD 1945
ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan
aktifitas keperdataan sesuai dengan konsep syari’at Islam sebagai keyakinan
yang dianutnya.
Hadirnya hukum
ekonomi syari’ah dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan
dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum
sebagai agent of development (hukum sebagai sarana pembangunan), agent of
modernization (hukum sebagai sarana modernisasi) dan hukum sebagai a tool of
social engineering (sarana rekayasa sosial)22. Namun dengan bertambahnya
kewenangan tersebut belum diimbangi dengan kesiapan sarana hukum sebagai rujukan
hakim dalam memutus perkara. Oleh karena itu adanya produk legislasi yang
mengatur tentang ekonomi syari’ah sudah sangat mendesak dan urgen yang pasti
akan dirasakan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama.
Keberadaan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi syari’ah yang akan
datang adalah untuk mengisi kekosongan hukum subtansial yang dijadikan rujukan
oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah, mengingat masih tersebarnya hukum materiil Islam khususnya
yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah di berbagai kitab fikih muamalah,25
sehingga gagasan legislasi fikih muamalah dapat dipandang sebagai upaya
unifikasi madzab dalam hukum Islam.
Dengan demikian,
kehadiran undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah akan datang
tidak perlu diperdebatkan lagi, karena kehadirannya di satu sisi untuk memenuhi
kebutuhan hukum masyarakat, di sisi lain secara subtansial akan dijadikan
sebagai landasan bagi hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah. Selanjutnya diperlukan intervensi negara dalam pembentukan
dan pengaturannya karena berhubungan dengan ketertiban umum dalam
pelaksanaannya.
BAB III
KESIMPULAN
Pluralitas
agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk
membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang
muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat
diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah
di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan,
namun banyak menyisakan permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam
regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga
yang berwenang menyelesaikan persoalan tersebut.
Kebebasan
beragama adalah hak setiap manusia. Hak yang melekat pada manusia karena ia
adalah manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, tidak ada
seorang pun yang boleh mencabutnya. Negara pun tidak berhak merampas hak
tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan beragama yang melekat
dalam setiap individu tersebut dinyatakan dengan gamblang dalam deklarasi
universal HAM Pasal 1 dan 18.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi,
Ahmad Mustafa. TT. Tafsir al-Maraghi, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
Daud Ali
Mohammad. 1999. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Fatah, Syekh
Abdul. 1990. Tarikh al-Tasyri al-Islam. Kairo: Dar al-Ittihad al’Arabi.
Hamka. 1976.
Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Mansyur. 1991.
Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhara.
Ridla, Muhammad
Rasyid. TT. Tafsir al-Manar, Juz I. Bairut: Dar al-Fikr.
Suepomo. 1977.
Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Yamanni, Ahmad
Zaki. 1388 H. Islamic Law and Contemporary Issues. Jeddah: The Saudi Publishing
House.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...