Oleh:
Abdurrahman
Hujan baru saja reda, gemericiknya masih tersisa di antara sela-sela
bebatuan di ujung kampung. Tak banyak yang bisa saya lakukan selain menunggu
matahari kembali bersinar di antara awan-awan yang masing menutupinya. Sambil
bersandar pada dipan bambu di depan rumah, saya menikmati manisnya buah dukuh.
Selain saya, ada adik, ayah yang sedang memperbaik bagian rumah dan ambu yang
sedang memasak di bagian belakang saung. Hari ini kami rencananya akan membersihkan
rumput-rumput yang tumbuh di sekitar tanaman padi yang kami tanam di huma.
Namun karena hujan turun terpaksa kami berhenti dan berteduh pada saung di
tengah huma (ladang).
Kami adalah satu di antara keluarga Baduy yang setiap harinya bekerja di huma
dengan menanam padi sebagai pekerjaan pokok. Setiap hari, ayah, ibu, saya
dan adik berangkat ke huma untuk memelihara tanaman padi yang kami
tanam. Lokasinya yang berbukit-bukit memaksa kami untuk bekerja keras dalam
menanamnya. Larangan-larangan yang dibuat oleh kepala suku juga harus kami
taati seperti tidak boleh mencangkul tanah, memberikan pupuk buatan hingga
tidak boleh menggunakan alat-alat modern dalam kehidupan sehari. Hari. Kami
merasakan bahwa larangan-larangan itu pasti ada manfaatnya buat kami dan juga
manusia semuanya. Hal itu pernah saya dengar dari beberapa teman yang suka
pergi ke kantor Desa Kanekes bahwa komunitas kami mendapatkan penghargaan Kalpataru
karena berhasil menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Saya sendiri tidak tahu apa itu Kalpataru atau lingkunga hidup, saya
tidak pernah sekolah karena memang dilarang oleh ketua suku kami. Sehingga saya
juga tidak bisa membaca dan menulis, hanya sesekali jika ada pengunjung yang
datang ke komunitas kami mereka sedikit mengenalkan tata cara menulis. Kakak
saya yang pertama sudah bisa menulis namanya dengan arang bekas pembakaran di
bambu rumah. Kalau saya sih baru tahu beberapa huruf yang digunakan untuk
mengeja nama saya…. eS A em, i dan eN.
Sepertinya matahari masih malu menampakan dirinya, padahal kami sudah sangat ingin untuk menyaksikan
sinarnya yang menyinari kawasan Pegunungan Kendeng tempat komunitas kami
berada. Gerimis masih setia menyirami setiap jengkal tanah di sekitar saung,
ketika sayup-sayup terdengar dari kejauhan suara orang berjalan dari arah
barat. Tampak seorang laki-laki muda berbaju kaos warna kuning dan tas punggung
di belakang tubuhnya. Lelaki itu tampak lelah dengan berkeringat bercucuran
bercampur dengan air hujan yang membekas di bagian tubuhnya. Bajunya juga separuh
basah dengan celana setengah betis berwarna hijau tua. “Punten…” lelaki itu
masuk ke beranda saung kami meletakan tasnya di dipan tempat saya duduk
dan menyandarkan tubuhnya di dipan bambu. “Mangga” ayah dan ambu menjawab
hampir bersamaan. “arek ka mana?” Tanya ayah pada lelaki itu. Kami
segera masuk ke dalam untuk mengambil baju dan memakainya. Maklum sedari tadi
saya tidak memakai baju walaupun udara dingin, bagi kami sudah biasa. “Mau ke tangtu
Cikeusik” kata lelaki itu.
Ayah segera menyodorkan buah dukuh yang sedari tadi kami makan bersama,
lelaki itu segera mariahnya dan menyantapnya dengan lahap. Sepertinya di tengah
hari seperti ini ia belum makan sehingga tampak lahap memakan buah dukuh itu.
Sambil menikmati buah dukuh, tangannya membuka tas warna hitam di dekatnya. Ia
mengambil beberapa bungkus permen dan menyodorkan kepada saya dan adik saya.
“Ambil saja” Ayah memberi isyarat untuk menerima permen tersebut. masing-masing
kami mendapatkan tiga permen, saya sendiri segera membukanya dan mengunyah
permen tersebut. Rasanya manis, lebih manis dari buah dukuh yang saya makan
tadi. Ini adalah makanan orang-orang kota yang jarang sekali kami nikmati, kami
hanya terbiasa dengan makan buah dukuh, durian, pisang dan buah-buahan di hutan
lainnya. Melihat lelaki itu memberikan permen ayah segera menyuruh kami untuk
memberikan kembali buah dukuh yang masih ada di sudut ruang, selain itu
ditambah pula pisang rebus yang menjadi menu makan siang kami. Awalnya lelaki
itu menolak tapi akhirnya ia menerimanya dan memakan kembali buah dukuh
tersebut.
Laki-laki itu kembali membuka tasnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya,
ia meraih serenceng kopi dan sebungkus kerupuk mentah. Ia memberikannya kepada
ayah yang langsung memberikannya kepada ambu. Sepertinya lelaki itu
ingin memberikan balasan atas buah dukuh dan juga pisang rebus yang dimakannya.
Namun, barang-barang yang diberikannya sangat asing di mata kami. Kerupuk
mentah yang terbungkus itu belum pernah kami lihat, hingga ambu bertanya
“ini bagaimana cara memasaknya? Direbus atau diapakan”, lelaki itu sedikit
heran menjawab “ya digoreng baru bisa untuk makan dengan nasi”. Ambu menghela
napas panjang “kami tidak biasa menggoreng, minyaknya tidak ada uang untuk
membeli minyak juga tidak ada” kata ibu polos. Lelaki itu melongo, sepertinya
heran dengan penjelasan ambu tadi. Memang, keluarga kami jarang sekali
makan sesuatu yang digoreng, kami hanya makan nasi ditambah dengan ikan asin
atau garam. Kalau ada sayur biasanya daun singkong atau daun lainnya yang
direbus dengan ditambah garam, itu saja tidak lebih. Berbeda dengan orang kota
yang makanannya enak-enak.
“Nih ada uang Rp 3000 untuk membeli minyak goreng” lelaki itu menyerahkan
tiga lembar uang ribuan dari dalam tasnya. Ayah menerimanya dan memasukannya ke
dalam kantong bajunya. Saya berfikir dalam hati “Mungkin lelaki ini ingin
membalas budi atas pemberian buah dukuh dan pisang rebus itu” setelah puas
menikmati buah dukuh dan pisang rebus sampia habis, lelaki itu segera
berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya mengelilingi Tanah Baduy. Kami
memandang lelaki itu dari kejauhan, benar apa yang dikatakan oleh orang-orang
tua zaman dahulu, kalau kita menolong orang lain pasti kita akan ditolong juga.
Walaupun kami tidak merasa menolong lelaki itu, namun ia merasa telah tertolong
dengan mengganjal perutnya yang mungkin lapar karena sudah tengah hari belum
makan. Walaupun hanya buah dukuh dan singkong rebus, namun baginya cukup untuk
bekal perjalanan menuju ke kampung Cikeusik Baduy Dalam. Mulia sekali hati
lelaki itu, semog saya bisa lebih banyak membantu orang lain, meneolong mereka
dan memberikan yang terbaik untuk seluruh manusia di dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...