Oleh: Abdurrahman MBP
Penyerapan hukum Islam
oleh komunitas adat adalah sebuah fenomena yang terjadi di Indonesia. Maka
untuk mendeskripsikan fenomena ini peneliti juga menggunakan teori resepsi (receptie)
sebagai Middle theory. Teori ini digunakan untuk menjelaskan lebih
lanjut masalah penyerapan hukum Islam oleh masyarakat di Indonesia maka. Teori
resepsi adalah teori mengenai penyerapan hukum Islam oleh masyarakat Indonesia
karena beberapa alasan, sebagian karena kesadaran akan konsekuensi syahadatnya,
sebagian karena peraturan dari pemerintah menghendaki demikian dan karena
kondisi lingkungan mengharuskan hal tersebut.
Penyerapan hukum Islam
oleh masyarakat di Indonesia telah menarik
perhatian beberapa cendekiawan dari Belanda untuk melakukan studi dengan
tema ini. Maka munculah beberapa teori mengenai hal ini yaitu teori receptio
in complexu dan theory receptie. Kedua teori ini setelah masa
kemerdekaan dikritik oleh para ahli hukum dalam negeri dengan theory receptie
exit dan theory receptio a contrario. Berikut adalah
pembahasannya:
Teori pertama tentang
penyerapan hukum adalah teori receptio in complexu yang dirumuskan oleh
Lodewijk Willem Cristian Van Den Berg (1845-1927).[1]
Sebelumnya teori ini juga disebutkan oleh H.A.R. Gibb, Menurut teori ini bagi
orang Islam yang berlaku penuh adalah hukum Islam sebab dia telah memeluk Islam
walaupun dalam pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan-penyimpangan. Secara
fakta teori Berg lebih rinci dibandingkan teori yang dikemukakan H.A.R. Gibb,
sebab prakteknya hingga sekarang umat Islam di Indonesia masih banyak yang
belum taat dalam menjalankan ajaran Islam. Ketaatan mereka masih terbatas pada
shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji, sedangkan ajaran Islam lainnya masih
kurang diperhatikan misalnya ajaran Islam tentang ekonomi dan perbankan Islam.[2]
Teori penerimaan hukum
ini kemudian dikenal dengan istilah receptio in complexu yaitu
penerimaan hukum Islam secara keseluruhan oleh masyarakat yang beragama Islam.
Karakteristik dari teori ini adalah:
1.
Hukum Islam
dapat berlaku di Indonesia bagi pemeluk Islam
2.
Umat Islam harus
taat pada ajaran Islam
3.
Hukum Islam
berlaku universal pada berbagai bidang ekonomi, hukum pidana dan hukum perdata.[3]
Teori ini menjadi acuan
dalam kebijakan-kebijakan pemerintah penjajah waktu itu dengan dikeluarkannya
peraturan dalam Regeering Reglement (RR) th.1855, Statsblad 1855 Nomor 2. RR
merupakan Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Bahkan dalam ayat 2 pasal 75 RR
itu ditegaskan: ”Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
Indonesia itu atau dengan mereka yang dipersamakan dengan mereka maka mereka
tunduk kepada hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang
agama (godsdienstige wetten) atau ketentuan-ketentuan lama mereka”.
Teori ini kemudian
digantikan oleh teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam di
Indonesia baru berlaku apabila hukum adat menghendaki hal tersebut. Teori ini
merupakan hasil dari penelitian Christian Snouck Hurgronye (1857-1936) yang
dilakukan di Aceh dan Gayo. Ia menyimpulkan bahwa hukum Islam di Indonesia baru
berlaku ketika telah diterima (receptie) oleh hukum adat. Teori ini
tidak lepas dari kepentingan bangsa penjajah waktu itu yang ingin melemahkan
perjuangan umat Islam di Indonesia. Teori ini kemudian dikuatkan oleh kebijakan
pemerintah kolonial dengan dikeluarkannya Wet op De Staatsregeling (IS)
atau IS (Indische Staatsregeling) tahun 1929 Pasal 134 ayat (2) yang
berbunyi: ”Dalam hal terjadi masalah perdata antar sesama orang Islam, akan
diselesaikan oleh Hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya”.[4]
Teori ini mendapat
pertentangan yang sengit dari kalangan umat Islam dan juga tokoh-tokoh hukum
Belanda, Hazairin menyebut teori ini sebagai teori Iblis karena telah mematikan
pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Sementara Mr. Scholten van Oud Haarlem
menulis sebuah nota kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk tidak melakukan
pelanggaran terhadap Bumiputera sebagai pencegahan terhadap perlawanan yang
akan terjadi, maka diberlakukan pasal 75 RR (Regeering Reglement) suatu
peraturan yang menjadi dasar bagi pemerintah Belanda untuk menjalankan
kekuasaannya di Indonesia, S. 1855: 2 memberikan instruksi kepada pengadilan
agar tetap mempergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan
kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan keadilan
yang diakui umum.
Teori yang dirumuskan
Hazairin dikenal dengan teori receptie exit yang berarti bahwa setelah
Indonesia merdeka dan setelah UUD 1945 dijadikan UUD negara, maka walaupun
aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya
tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan
pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan ajaran receptie tidak berlaku
lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Setelah Proklamasi, kemudian
Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku yang di dalamnya ada semangat
merdeka di bidang hukum. Dengan peraturan peralihannya guna menghindari
kevakuman hukum masih diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan
bangunan-bangunan hukum yang ada selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD
1945. Beliau berpendapat bahwa banyak aturan pemerintah Hindia Belanda yang
bertentangan dengan UUD. Pertentangan tersebut terdapat pada pembukaan Undang-Undang
Dasar Alinea ke III dan Alinea ke IV serta pada Pasal 29 Undang-Undang Dasar
1945. Kesimpulan dari teori ini adalah:
1. Teori
receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara
Indonesia sejak Tahun 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia dan memulai
berlakunya UUD 1945 dan dasar negara Indonesia. Demikian pula keadaan itu
setelah adanya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali pada UUD 1945.
2. Sesuai
dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 maka negara Republik Indonesia berkewajiban
membentuk hukum nasional Indonesia bahannya adalah hukum agama. Negara
mempunyai kewajiban kenegaraan untuk itu.
3. Hukum
agama yang masuk dan menjadi hukum Nasional Indonesia itu bukan hukum Islam
saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain. Hukum agama di
bidang hukum perdata dan hukum pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia.
Istilah hukum baru Indonesia dengan dasar Pancasila.[5]
Selanjutnya
muncul Teori Receptio A Contrario yang dikemukakan oleh Sajuti Thalib
sebagi murid Hazairin, teori ini menyebutkan bahwa bagi umat Islam berlaku
hukum Islam, hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Teori Receptio A Contrario memiliki unsur-unsur berikut:
1. Hukum
Islam berlaku di Indonesia
2. Bagi
umat Islam Indonesia berlaku hukum Islam.
3. Hukum
adat bisa berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.[6]
Semua
teori tersebut memiliki banyak kelebihan dan kekurangan, maka untuk melihat
pola-pola penyerapan hukum Islam yang dilakukan oleh masyarakat adat bisa
dilakukan dengan menggunakan berbagai teori, namun karena ruang lingkupnya
adalah fakta hukum maka teori yang untuk digunakan adalah teori Receptie
(penyerapan hukum).
[1] Sajuti Thalib,
Receptio A Contratrio, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam.
(Jakarta: Bina Aksara, 1985), c et. Kelima,
hlm. 5
[2] Sajuti Thalib,
Receptio A Contratrio, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam. (Jakarta:
Bina Aksara,1985), cet. Kelima, hlm. 5
[3] Juhaya S.
Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, hlm. 81.
[4] R. Soepomo, Bab-bab
Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2000), cet. Ke-lima belas,
hlm.10.
[5] Hazairin, Tujuh
Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), cet. Ketiga, hlm.
52.
[6] Lihat Juhaya
S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya. (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
cet. I, hlm. 81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...