Sungguh kita tengah berada dalam arena fitnah yang berkepanjangan. Negeri
yang aman kini telah berubah bentuk menjadi negeri yang mencekam dan
menakutkan. Kolusi, korupsi, dan nepotisme menjadi bagian penting dalam tubuh
para penegak dan penduduknya. Krisis politik, sosial, dan perekonomian terus
menggoyang keutuhan negeri ini, diwarnai dengan kerusuhan, keributan, dan
demonstrasi yang tak henti-hentinya. Bersamaan dengan itu, semua dekadensi
moral, akhlaq, dan aqidah anak-anak bangsa telah mencapai klimaksnya,
kewibawaan bangsa dan umat Islam pun yang mayoritas penduduknya lenyap,
kehilangan keseimbangannya di tengah-tengah gempuran tekanan orang-orang yang
tidak suka dengan Islam. Quo Vadis bangsa Indonesia??
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, amat disayangkan fenomena yang
seperti ini disikapi oleh sebagian kaum dengan penuh emosi, hawa nafsu, dan
arogansi sehingga bukan menghentikan krisis dan memadamkan api fitnah tetapi
justru membuka pintu krisis baru dan menyalakan api fitnah yang kian membara.
Mulai dari orasi-orasi di atas mimbar dalam rangka agitasi politik dengan
memakai label penjagaan Islam, memompa semangat nasionalisme dengan memakai cap
proteksi akan degradasi bangsa dan umat Islam, melawan dan memberontak penguasa
/ pemerintah dengan judul amar ma'ruf nahi mungkar, bahkan mengkafirkan kaum
muslimin dengan alasan al wala' wal bara', hingga aksi pengeboman di berbagai
tempat secara serempak dengan mengatasnamakan jihad.
Hendaknya para pemimpin negara mengetahui kadar pemerintahan dan
mengetahui akan tinggi kedudukannya, sesungguhnya pemerintahan itu adalah
nikmat di antara nikmat-nikmat Allah ta'ala, barangsiapa yang menegakkannya
dengan baik sesuai tuntutan-tuntutannya akan mendapatkan kebahagiaan yang tiada
taranya, sebaliknya jika tidak mengerti ukuran nikmat ini kemudian menyibukkan
diri dengan kezholiman dan hawa nafsunya, dikhawatirkan akan tergolong pada
sebagian musuh-musuh Allah. Pemimpin negara semestinya untuk tidak mengharap
keridhoan seorang manusia di atas kebencian Allah disebabkan karena
penyelisihan terhadap syari'at, harus dimengerti bahwa baiknya rakyat
tergantung pada baiknya perjalanan penguasa. Satu hal lagi yang mesti
diingatkan di sini bahwa sudah seyogyanya bagi para pemimpin negara untuk menegakkan
amar ma'ruf nahi mungkar sesuai tuntunan syari'at, menutup pintu-pintu
kejahatan dan kerusakan, serta melindungi negara dan rakyat dari kejahatan kaum
kuffar dan orang-orang yang berniat jahat. Apabila ini semua telah terpenuhi
maka kantong amalannya pemerintah sebanding dengan pahala seluruh ibadah rakyat
negerinya. Ketika itu negeripun akan makmur dipenuhi dengan ketentraman dan
keselamatan serta berkah dalam rizki dan kebutuhan-kebutuhan hidup.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, adapun rakyat, maka hendaknya
menunaikan hak-haknya terhadap pemerintah di antaranya berupa taat dan
mendengar pada setiap apa yang diperintah dan dilarangnya kecuali yang bersifat
maksiat, ini adalah hak dan kewajiban yang paling besar terhadap pemerintah.
Sebab ketaatan merupakan landasan yang kokoh dalam me-manage urusan-urusan
negara dan rakyat. Pemerintah dan para pejabat adalah manusia biasa dimana
mereka masih membutuhkan nasehat orang-orang yang ikhlas dan bimbingan
orang-orang yang bertaqwa. Tugas yang mulia ini dipikul di atas pundak para
ulama, merekalah yang melaksanakannya, kepada para ulama Islam serta
da'i-da'inya yang ikhlas agar menegakkan apa yang Allah telah wajibkan atas
mereka dari menerangkan yang haq, mengingatkannya dan mengarahkan waliyul amri
/ pemerintah kepada yang ma'ruf serta membantu mereka akan hal itu, mencegah
mereka dari yang munkar, memperingatkannya, serta menjelaskan akan keburukan
akibatnya dan bahayanya pada umat cepat maupun lambat, bukan malah menjadi
pemicu terjadinya fitnah dan kekacauan atau malah berpangku tangan pura-pura
tidak tahu dan tidak ada kepedulian akan perbaikan umat, bangsa, dan negara.
Kemungkaran yang merajalela dan kerusakan yang tak dapat dibendung serta
carut-marutnya wajah bangsa adalah sebah-sebab datangnya musibah dan turunnya
adzab. Allah berfirman, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut
karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar."
(QS Ar Rum: 41).
Sesungguhnya kehinaan dan malapetaka yang menimpa bangsa ini adalah
ketika bangsa ini menghendaki kemuliaan bukan dari Islam, ketika para penguasa
dan rakyatnya meninggalkan agama dan cinta yang berlebihan terhadap dunia,
hingga akhirnya Allah menimpakan kehinaan yang tidak ada jalan keluarnya
kecuali dengan kembali kepada agama. Sebagaimana hal itu telah dijelaskan oleh
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad
dalam Musnadnya dan Abu Dawud dalam Sunannya dari sahabat Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhu. Jika masyarakat dilanda krisis aqidah, akhlaq, dan moral,
dilanda krisis ekonomi dan krisis politik yang dilematis, maka pembenahan
pertama yang mesti dilakukan ialah pembenahan aqidah dan moral dengan segala
kemampuan, sebab memperbaiki masalah yang paling berbahaya adalah hal yang
disepakati oleh setiap insan berakal. Ketahuilah bahwa kerusakan yang
diakibatkan keyakinan / aqidah manusia dari kesyirikan, khurofat, dan kesesatan
seribu kali jauh lebih berbahaya daripada kerusakan yang ditimbulkan dari
rusaknya hukum / undang-undang dan yang lainnya. Terbukti, ketika Allah
mengutus para rosul ke tengah-tengah kaum yang dipenuhi dengan
penyimpangan-penyimpangan, aqidah yang rusak, moral yang bejat, pola pikir yang
salah, dan sistem hukum yang tak beraturan dan menyalahi syari'at, Allah tidak
membebani mereka (para rosul) -pada permulaannya- untuk segera mengadakan
pembaharuan sistem dalam keadaan umat dikelilingi dengan penyimpangan moral dan
aqidah, tetapi justru langkah awal yang ditempuh oleh para rosul adalah
pembenahan aqidah dan moral. Para Nabi dan Rosul tidaklah datang dalam rangka
menggulingkan negara dan menegakkan negara yang baru, tidak menginginkan
kekuasaan, dan tidak pula membentuk organisasi untuk itu, tetapi mereka datang
memberi hidayah kepada manusia dan menyelamatkannya dari kesesatan dan
kesyirikan, serta mengeluarkannya dari kegelapan menuju cahaya. Inilah jalan
lurus yang Allah telah syari'atkan seluruh para nabi dari yang paling awalnya
hingga yang paling akhirnya, dan Dialah Allah Maha Pencipta, Maha Bijaksana,
Maha Mengetahui akan tabiat manusia dan apa yang bermaslahat untuk mereka.
Allah berfirman, "Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang
kamu lahirkan dan rahasiakan) dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?"
(QS Al Mulk: 14).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- Rosulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam mendidik para sahabatnya di atas kitab dan hikmah / sunnah, di atas
keimanan, kejujuran, serta tauhid, keikhlasan karena Allah dalam setiap amalan,
jauh dari uslub-uslub politik dan dari larut dalam hal jabatan yang tinggi.
Dengan demikian jalan yang harus ditempuh dalam mengembalikan kemuliaan
Islam, kaum muslimin, bangsa, dan negara ialah: Pertama: pembenahan dan
pembentukan aqidah dan permuniannya dari kesalahan-kesalahannya. Kedua:
mentarbiyah setiap individu-individu masyarakat dan membangun kepribadiannya di
atas landasan hukum-hukum Islam dan adab-adabnya sesuai dengan apa yang telah
diwariskan kepada kita dari tiga generasi pertama. Inilah jalan penyelamat dan
dari sinilah permulaannya yakni mentarbiyah dengan Islam yang bersih dari
khurofat dan bid'ah, dari kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya dan dari
pola pikir yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah serta metodologi salaful ummah.
Wal ilmu indallah. @Abu Hamzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...