Oleh: Abdurrahman MBP, MEI
‘Urf yang diterima oleh
hukum Islam memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi, diantaranya adalah:
Pertama, tidak bertentangan dengan nash qath’y dari al-Qur’an dan
al-Sunnah.[1] Apabila
bertentangan dengan keduanya maka ia tidak boleh dilaksanakan, seperti
kebiasaan memakan uang riba yang sudah jelas disebutkan dalam al-Qur’an maupun
al-Sunnah. Nash qathi’y adalah
ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang
telah dipahami maknanya secara jelas tanpa adanya pemahaman yang lainnya. Jika
suatu ayat atau hadits masih bersifat mubham dan multi tafsir maka harus
dilihat dulu tafsiran mana yang lebih kuat. Atau jika adat tersebut
bertentangan dengan fiqh sebagai hasil ijtihad seorang mujtahid maka ia
masih bisa dilaksanakan apabila fiqh yang bertentangan tersebut adalah lemah
dalam penggalian dalilnya.
Kedua, adat dan ‘urf
tersebut bersifat umum yang telah menjadi kebiasaan manusia secara
berulang-ulang.[2]
Artinya bahwa adat tersebut telah dilakukan oleh kebanyakan manusia atau oleh
suatu komunitas tertentu. Karena sudah sering dilakukan maka ia menjadi
kebiasaan yang diyakini pula sebagai sesuatu yang baik dalam pandangan manusia
pada umumnya sehingga tidak mungkin adat tersebut adalah sesuatu yang buruk.
Adat yang dipandang baik oleh suatu komunitas bisa jadi oleh komunitas lainnya
dianggap tidak baik, maka untuk menjawab permasalahan ini harus diperhatikan
bahwa nilai-nilai baik yang ada pada adat tersebut bersifat global dan akan
diterima oleh semua orang.
Ketiga, ‘urf
tersebut sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang dipermasalahkan.
Maksudnya adalah bahwa adat tersebut memang sudah ada dan dilakukan secara
berulang-ulang oleh suatu komunitas atau masyarakat. Apabila ia belum
dilaksanakan maka bukan sebuah adat. Demikian pula apabila suatu ucapan atau
perbuatan dilakukan jarang-jarang maka tidak bisa disebut sebagai adat dalam
Islam.
Keempat, adat dan ‘urf
tersebut berlaku umum dan bisa diterima oleh akal sehat. Artinya bahwa adat
tersebut merupakan ucapan dan perbuatan yang dapat diterima oleh akal manusia
yang sehat. Logis di sini bermakna bisa diterima oleh akal manusia, bukan
sesuatu yang berada di luar jangkauan akal manusia pada umumnya. Apabila
sesuatu perbuatan ternyata tidak masuk akal maka ia tidak bisa dijadikan
pedoman dalam pelaksanaannya. Akal sendiri adalah bersifat global yang sangat
mungkin diterima oleh semua manusia.
Kelima, membawa
mashlahat dan tidak membawa mudharat. Setiap adat dan ‘urf yang mendatangkan
mudharat tidak boleh dilaksanakan dalam hukum Islam. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam
bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh melakukan
perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain. HR.
Ibnu Majah dan al-Daruquthny.
Kemudharatan
adalah sesuatu yang membahayakan manusia dan memberatkan dalam pelaksanaannya.
Kemudharatan terjadi pada hal-hal yang membahayakan manusia terutama mengancam agama,
jiwa, harta, nasab dan akal.
Keenam,
Adat kebiasaan tersebut tidak menggugurkan suatu kewajiban serta tidak
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Apabila suatu ‘urf atau
adat pelaksanaannya menggugurkan sesuatu yang telah wajib atau menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halal makaia tidak boleh dilaksanakan.
[1] Wahbah
al-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami, hlm. 831.
[2] Muhammad Salam
Madkur, Al-Madkhal li al-fiqh
al-Islami, hlm. 229.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...