Oelh: Misno, MEI
A. ’Urf dalam Hukum Islam
1. Definisi ‘Urf.
Kata
العرف
(al-‘Urf) secara bahasa berasal dari bahasa Arab, kata ini dibentuk dari
huruf ain, ro dan fa, bentuk kata kerja (fi’il)-nya adalah
عرف - يعرف
(‘arafa-ya’rifu) yang berarti mengenal atau mengetahui. Bentuk derivatif
dari kata ini adalah al-ma’ruf المَعْرُوفٌ yang berarti segala sesuatu yang sesuai
dengan adat (kepantasan). Ibnu Mandzur dalam Lisaan al-Arab mencatat
bahwa bahwa kata العرف (al-‘Urf) adalah:
الشي المألوف المستحسَن
الذي تتلقاه العقول السليمة بالقبول
Sesuatu yang
dipandang baik dan diterima oleh akal sehat.[1]
Ada
dua karakteristik ‘urf dalam definisi ini, yaitu keyakinan bahwa ucapan dan
perbuatan tersebut adalah baik (ma’ruf) serta penerimaan akal sehat
terhadapnya. Louis Ma’luf mengartikan kata العرف (al-‘Urf) dengan beberapa makna,
yaitu:
1.
Mengaku,
mengetahui, apa yang diyakini karena telah disaksikan oleh akal dan secara
alami orang menganggap itu benar”.
2.
Kebaikan,
rambut leher keledai, ombak dan daging merah di atas kepala ayam.
3.
Mengenal dan
kebaikan.[2]
Al-Jurjani
di dalam kamus al-Ta‘rifat, mencatat‘Urf
adalah:
ما استقرت النفوس
عليه بشهادة العقول وتلقته الطبائع بالقبول
Sesuatu
perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan ketenangan dalam mengerjakannya
karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiannya.[3]
Ibnu
Faris berpendapat bahwa kata arafa dan arfun menunjukkan sesuatu
yang berkesinambungan berhubungan satu dengan lainnya atau membawa ketenangan
dan ketentraman. Maksudnya ucapan atau perbuatan tersebut memang diyakini oleh
para pelakunya sebagai kebenaran. Sedangkan Ahmad Warson Munaawir mengartikan
‘urf dengan kebajikan, puncak dan adat yang dipelihara.[4] Berdasarkan
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ‘urf secara bahasa memiliki beberapa
makna yaitu: lawan dari nakirah, kata benda (isim) dari الاعتراف al-‘itiraf,
tempat yang tinggi pada tanah, dan segala kebaikan (ma’ruf) yang
diterima oleh akal dan syariat Islam membenarkannya.
Sedangkan
secara istilah العرف (al-‘Urf) adalah kebiasaan yang dilakukan oleh
kebanyakan masyarakat, baik dalam perkataan maupun perbuatan yang dilakukan
secara terus-menerus dan diakui sebagai sesuatu yang baik oleh mereka.[5]
Secara lebih rinci terdapat beberapa definisi dari العرف (al-‘Urf) yaitu:
1)
Setiap
perbuatan yang menetap dalam jiwa, diterima oleh akal dan tabiat manusia yang salim
menerimanya.
2)
Setiap
yang menjadi adat kebiasaan manusia dan mengulang-ulanginya dari perbuatan yang
mereka sepakati. Istilah ini juga bermakna adat yang dilakukan secara
bersama-sama (al-‘adat al-jamaah).
3)
Setiap
adat kebiasaan kebanyakan manusia dan menjadi kebiasaan di beberapa wilayah
baik yang dilakukan setiap waktu ataupun pada waktu-waktu tertentu.
Ketiga
perincian tersebut berpusat pada pengulangan ucapan dan perbuatan, keyakinan
bahwa hal tersebut baik dan diterima oleh akal sehat pelakunya. Abu Zahrah
memberikan definisi yang lebih rinci dengan menyatakan ‘Urf adalah:
الناس مااعتداه من المعاملات واستقامت عليه أمورهم
Setiap yang
menjadi kebiasaan manusia dalam urusan muamalat dan menegakkan urusan-urusan
mereka.[6]
Penekanan
kepada masalah-masalah muamalat didasarkan kepada kenyataan bahwa sebagian
besar penggunaan ‘urf lebih kepada masalah muamalah yaitu hubungan antara
manusia dengan manusia lainnya. Abdul Wahab Khallaf memberikan definisi sebagai
berikut:
الْعُرْفُ هُوَ مَا تَعَارَفَه ُالنَّاسُ وَسَارُوْا
عَلَيْهِ مِنْ قَوْلٍ أوْفِعْلٍ أوْتَرْكٍ وَيُسَمَّى الْعَادَةَ. وَفِى لِسَانِ الشَّرْعِيَّيْنَ
لاَفَرْقَ بَيْنَ الْعُرْفِ وَالْعَادَةِ.
al-'Urf
ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh
mereka, dari: perkataan, perbuatan atau (sesuatu) yang ditinggalkan. Hal ini
dinamakan pula dengan al-'Aadah". Dalam bahasa ahli syara'
tidak ada perbedan antara al-'Urf dengan al-'Aadah (adat).[7]
Pengertian
menyamakan antara adat dan ‘urf karena dianggap sama-sama sebagai ucapan dan
tindakan yang dilakukan oleh manusia secara berulang-ulang sehingga telah
menjadi tradisinya (adat kebiasaan). Ahmad Fahmi Abu Sunnah menukil pendapat
dari al-Nasifi yang mendefinisikan ‘urf dengan:
مااستقر في النفوس من جهة العقول وتلقه الطباع السليمة
بالقبول
Sesuatu yang
tetap dalam jiwa yang diterima oleh akal dan diterima oleh tabiat yang selamat..[8]
Definisi
yang lebih lengkap disebutkan oleh Zakiyuddin Sa’ban yang berpendapat bahwa
‘urf adalah :
ما اعتاده الناس
و ألفوه من فعل شائع بينهم أو ألفاظ تعرافوا إطلاقه على معنى خاص بحيث لا يتبادر
عند سماعه غيره
Apa
yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka setujui baik itu dalam
perbuatan yang sudah tersebar luas di kalangan mereka ataupun perkataan yang
apabila diucapkan mereka mengetahui artinya dengan khusus yang tidak akan ada
arti lain yang terpikirkan bagi mereka ketika mendengar kata tersebut..[9]
Melengkapi
definisi sebelumnya Muhammad Zakariya al-Bardisiy mendefinisikannya dengan:
العرف ما اعتاده
الناس و ألفوا و ساروا عليه فى أمورهم فعلا كان أو قولا دون أن يعارض كتابا أو سنة
‘Urf
adalah apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka menyetujui dan
mengerjakannya baik dalam bentuk praktek ataupun perkataan yang tidak
bertentang dengan al-Quran al-Karim ataupun Sunnah Nabi.
Adapun
“Urf” menurut ulama Ushul Fiqih adalah:
عادَةُ جُمْهُوْرِ
قَوْ مٍ فِيْ قَوْ لٍ أُوْ فِعْل
Kebiasaan
mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.[10]
Pengertian
ini menunjukan bahwa ‘urf adalah adat yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat,
bukan yang dilakukan secara perorangan. Istilah “aadah jumhur” kebiasaan
mayoritas umat menunjukan karakter dari ‘urf yaitu banyaknya masyarakat yang
melakukan kebiasaan tersebut. Abdul Karim Zaidan memberikan definisi ‘urf
dengan:
ما ألفه المجتمع
واعتا ده وسار عليه فى حياته من قول أو فعل
Sesuatu
yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan.[11]
Berdasarkan
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ‘urf adalah kebiasaan di masyarakat
yang berupa perkataan atau perbuatan yang berlaku secara berulang-ulang dan
diterima sebagai sebuah kebaikan oleh mereka. kebaikan yang diakui oleh para
pelakunya didasarkan pada nalar sosial masyarakat bahwa perbuatan tersebut
adalah baik.
Menurut
Musthafa Syalabi yang membedakan antara ‘urf dan adat adalah dari segi ruang
lingkup penggunaannya. Kata ‘urf selalu digunakan untuk jamaah atau golongan
sedang kata ‘adah dapat saja berlaku pada perorangan, sebagian orang di
samping pada golongan.[12]
Sementara Mustafa Ahmad az-Zarqa berpendapat bahwa ‘urf merupakan bagian dari
adat, karena adat lebih umum daripada ‘urf. Dengan kata lain, suatu tradisi
atau adat belum tentu ‘urf, tapi suatu ‘urf sudah pasti adat.[13]
Berdasarkan
perbedaan dan persamaan antara adat dan ‘urf maka penulis berpendapat bahwa
secara umum keduanya adalah sama yaitu perbuatan yang dilakukan oleh manusia
secara berulang-ulang. Namun secara khusus keduanya berbeda, adat lebih
menitikberatkan pada proses pengulangan suatu perbuatan tanpa melihat
baik-buruknya, sementara ‘urf pada nilai perbuatan tersebut yang dianggap baik
oleh masyarakat. Selain itu adat juga bisa berupa perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang sementara ‘urf adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang banyak.
Sehingga kesimpulannya adalah adat memiliki makna yang umum pada perbuatan yang
berulang-ulang dilakukan baik oleh individu ataupun sekelompok orang yang
bernilai baik dan buruk, sementara ‘urf adalah perbuatan yang dilakukan oleh
sekelompok orang dan mereka mengakui kebaikan perbuatan tersebut.
[1] Ibnu Mandzur, Lisaan
Al-Arab, hlm. 2899.
[2] Louis Ma’luf, al-Munjid
Fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut : Daar Masyriq, 1982), hlm. 500
[3] Ali bin
Muhammad al-Sayyid al-Syarif a-Jurjany, Mu’jam al-Ta’rifaat, hlm. 125.
[4] Munawwir,
Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997),
hlm. 911
[5] Wahbah
al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hlm. 282.
[6] Zahrah,
Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh, (Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), hlm. 273
[7] Khallaf, Abd
a-Wahhab, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), cet.ke-20, hlm. 79.
[8] Ahmad Fahmi
Abu Sinnah, al-‘Urf fi Ra’yi Fuqaha, hlm. 11.
[9] Zakiyuddin
Sa’ban, Ushul al-Fiqh al-Islamiy (Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, 1968),
hlm. 192.
[10] Mushtafa Ahmad
Zarqa, Al-Madkhal fi Fiqh al-‘Am, hlm. 872.
[11] Abdul Karim
Zaidan, Al-Madkhal li Dirasah al-Syariah al-Islamiyah, (Iskandariyah:
Daar Umar bin Khattan, tt), hlm. 205.
[12] Zein, Satria
Effendi M, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet.ke-1, hal.
364-365.
[13] Musthafa Ahmad
Zarqa, Al-Madkhal Al-Fiqhu Al-‘Am, (Damaskus: Darul Qalam, Cet. I, tahun
1998), hlm. 815.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...