Oleh: DR. Misno
Kondisi wilayah Marunda
Pulo berada pada pinggir pantai Teluk Jakarta dan Laut Jawa. Pada zaman dahulu,
khususnya masa kolonial Belanda di mana kondisi pantainya masih bersih, ia
dijadikan sebagai tempat wisata masyarakat yang tinggal di sekitarnya.[1]
Saat ini kondisi pantainya telah mengalami abrasi bertahun-tahun lamanya
sehingga untuk menahan ombak dan air pasang di bagian utara kampung dibangun
tembok dam setinggi kurang lebih 2 meter.
Keadaan permukaan
tanahnya berupa daratan yang dikelilingi oleh air payau dan sebagiannya berupa
rawa-rawa yang ditumbuhi pohon bakau. Saat ini tumbuhan bakau ini hanya ada di
bagian selatan dan barat dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Tinggi
permukaan tanah yang berada di bawah permukaan air laut mengakibatkan wilayah
ini akan tergenang air ketika laut mengalami pasang, bahkan tidak jarang
memasuki rumah-rumah yang dibangun dengan tembok dan lantai yang tidak dibuat
panggung.
Saat ini jalan-jalan di
Marunda Pulo sudah disemen dengan pembangunan yang dilakukan berulang-ulang.
Namun karena kondisi tanahnya yang mengalami penurunan terus-menerus maka
tingginya terus berkurang.[2]
Hal inilah yang mengakibatkan jalan-jalan tersebut selalu digenangi air ketika
air laut pasang. Pada beberapa bagian kampung terutama pada ujung-ujung kampung
jalan-jalan yang menghubungkan antara satu rumah dengan rumah lainnya
menggunakan papan kayu yang ditopang dengan tiang-tiang di bawahnya sebagaimana
rumah-rumah panggung mereka.
Pada zaman dahulu
seluruh model rumah mereka adalah panggung dengan tinggi antara1-2 meter.[3]
Tiang-tiang panggung sebagian besar berada di atas air dengan bagian bawahnya
terendam. Sebagian lainnya berada di tanah rawa yang datar seperti kita lihat
saat ini yang menjadi lokasi rumah Si Pitung yang berada di depan pintu masuk
kampung Marunda Pulo. Seiring perkembangan zaman rumah-rumah penduduk mengalami
perubahan dengan pengurangan tinggi panggung dan penggunaan material pasir dan
semen sebagai tembok dan pondasinya. Pada beberapa rumah menggunakan lantai
semen pada bagian depannya sementara bagian tengah dan belakangnya tetap
menggunakan panggung dengan tinggi kurang lebih 50 cm.
Rumah-rumah di Marunda
Pulo saat ini sebagian masih menggunakan panggung dari kayu dengan tambahan
pada bagian bawahnya berupa cor-coran batu dan semen. Sementara sebagian
lainnya mengecor lantai dengan tiang-tiang cor yang berada di bawahnya. Saat
penelitian ini berlangsung di ujung kampung bagian selatan terdapat sebuah
rumah yang sedang dibangun dengan pondasi permanen berada di atas tanah
rawa-rawa yang diurug. Secara umum model dari rumah di Marunda Pulo berupa
rumah sederhana dengan pembagian rumah sebagaimana arsitektur rumah Betawi pada
umumnya. Pembagian rumah didasarkan kepada kebutuhan penghuni rumah yaitu
berupa area publik (teras dan ruang tamu, area privat (ruang tengah dan kamar
tidur) dan area service (dapur dan kamar mandi).
Kebiasaan masyarakat
yang memiliki jiwa sosial tinggi menjadikan mereka membagi rumah ke dalam
beberapa ruang yang akan memudahkan bagi penghuninya untuk beraktifitas.
Sebagai contoh untuk ruang amben atau ruang tamu dibuat lebih besar dan
bersambung dengan ruang tengah karena mereka terbiasa melakukan acara syukuran
dengan mengundang para tetangga untuk makan bersama di rumahnya. Sehingga untuk
ruang tamu dan ruang tengah memiliki keluasan yang lebih dibandingkan dengan
kamar dan ruang lainnya. Sementara bale-bale atau beranda yang berada di
depan rumah sebagai tempat untuk berbincang-bincang di waktu senggang atau
sekadar duduk-duduk bagi pemiliknya.
Kondisi tanah di
Marunda Pulo pada umumnya adalah tanah berwarna hitam yang didominasi oleh
pasir laut. Saat ini kondisi tanah mengalami pencemaran yang cukup parah baik
yang berada di daratan maupun di perairannya.[4]
Hal ini menjadi salah satu sebab rusaknya ekosistem di wilayah ini, misalnya
pohon bakau yang tinggal beberapa batang, daratan yang terus-menerus mengalami
penurunan permukaannya dan punahnya binatang-binatang yang tinggal di sekitar
wilayah ini.
Kondisi airnya tidak
lebih baik dari daratannya, banyaknya sampah yang mengotori perairan ditambah
dengan limbah industry yang berada di wilayah ini mengakibatkan air yang berada
di permukaan dan air tanah-nya sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Kebutuhan
akan air bersih warga untuk mencuci, dan kebutuhan rumah tangga lainnya
disupply oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PAM) Jaya DKI Jakarta. Jumlah
penduduk Marunda Pulo berdasarkan sensus tahun 2013 sebanyak 621 jiwa dengan
204 Kepala Keluarga.
Tabel: 13
Jumlah Penduduk di
Kampung Marunda Pulo
RT
|
Jumlah
Penduduk
|
L
|
P
|
1
|
325/101
KK
|
85
|
240
|
2
|
296/103
KK
|
189
|
98
|
Jumlah
|
621/204
KK
|
264
|
338
|
Wilayah Marunda Pulo
terbagi menjadi dua Rukun Tetangga (RT) yaitu RT 001 RW 07 dan RT 002 RW 07. Saat ini yang menjadi Ketua RT 001
adalah Bapak H. Thirmidzi sedangkan yang menjadi Ketua RT 002 adalah Bapak
Sugiyanto. Mayoritas penduduknya adalah masyarakat asli Marunda Pulo yang
beretnis Betawi, sedangkan sebagian kecilnya adalah perantau yang mengontrak rumah
di wilayah ini yang berjumlah tidak lebih 20 Kepala Keluarga. Sebagian mereka
adalah pegawai yang bekerja di perusahaan-perusahaan pelabuhan di sekitar
Marunda Pulo.
Terdapat satu mushala
yang bernama mushala Nurul Jannah yang berada di RT 001 RW 002, ia dijadikan
tempat untuk shalat berjamaah bagi warga yang berlokasi di sekitarnya. Pada
sebelah kiri masjid terdapat Majelis Taklim Ibu-ibu yang dilaksanakan setiap
hari selasa. Sebuah madrasah terdapat di seberang masjid yaitu TPQ A Saniyah,
namun hingga saat ini tidak difungsikan, sementara satu buah TK berdiri di
ujung kampung yang dikelola oleh warga secara swadaya. Kantor Markas Unit
Ditpolair Marunda dibangun di ujung kampung sebelah barat.
Tabel:
13
Sarana
keagamaan dan sosial di Marunda Pulo
RT
|
Mushola
|
MT
|
Sekolah
|
PKK
|
Posyandu
|
Kesehatan
|
1
|
Ada
satu: Nurul Jannah
|
Ada
satu: TPQ A Saniah
|
Tidak
ada
|
Tidak
ada
|
Ada
satu
|
Tidak
ada
|
2
|
Tidak
ada
|
Tidak
ada
|
Ada
2 TK dan PAUD
|
Tidak
ada
|
Tidak
ada
|
Tidak
ada
|
Kondisi perkampungan kelihatan kumuh
karena sampah terdapat hampir di setiap sudut kampung, apalagi pada bagian air
yang tergenang. Pada bagian barat kampung yang merupakan Dam menumpuk sampah
yang berasal dari sisa-sisa rumah tangga warga. Upaya untuk menjaga kebersihan
sudah dilakukan dengan menempatkan tempat sampah di beberapa sudut kampung.
Namun sepertinya belum sesuai yang diharapkan di kampung tersebut. Beberapa
rumah yang berada di barisan paling pinggir dan menghadapi pantai sering sekali
kena luapan air pasang, demikian pula rumah yang tidak panggung dan berada di
bawah permukaan air laut. Sementara rumah yang menggunakan panggung akan
terbebas dari air pasang ini. Secara umum rumah-rumah di Marunda Pulo terbagi
menjadi beberapa jenis yaitu rumah panggung, panggung dengan semen dan rumah
semen.
[1] Jepri, Pengembangan
Estuaria Marunda Sebagai Kawasan Tujuan Wisata, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 2011).
[2] Wawancara
dengan Bapak Yanto Ketua RT 02/01 Marunda Pulo pada 17 Januari 2013.
[3] Serly
Listiyanti, Transformasi Rumah Panggung pada Pemukiman Pesisir Jakarta Utara,
(Jakarta: Universitas Indonesia, 2011), hlm 68.
[4] Lihat
Mustaruddin, Model Penyebaran Logam Berat Akibat Cemaran Industri Pada Erairan Umum Dan Pengaruhnya Terhadap Nilai
Ekonomi Air (Studi Kasus Pada Kali Cakung Dalam Di Rorotan-Marunda, Jakarta
Utara), (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...