Oleh: Abdurrahman Misno BP
Adat kebiasaan
masyarakat Arab yang terdapat di dalam Hadits Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wassalam berkaitan dengan
masalah muamalah yaitu tentang kebolehan jual beli ‘araya, salam,[1]
kebolehan mengambil uang suami bagi istri dengan cara yang baik, hitungan masa
haidh dan yang lainnya. Berikut ini adalah hadits-hadits yang berkaitan dengan
adat dan ‘urf yang ada pada hadits-hadits beliau:
Hadits
pertama adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam kepada
Hindun binti ‘Uqbah sebagai istri Abu Sufyan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ هِنْدُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ
آخُذَ مِنْ مَالِهِ مَا يَكْفِينِي وَبَنِيَّ قَالَ خُذِي بِالْمَعْرُوفِ
Dari Aisyah radhiallahu
‘anhuma, Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, datang menemui Rasulullah
saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang
lelaki yang kikir, dia tidak pernah memberikan nafkah kepadaku yang dapat
mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali apa yang aku ambil dari hartanya
tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena itu? Rasulullah saw.
bersabda: Ambillah dari hartanya dengan cara yang baik yang dapat mencukupimu dan
mencukupi anak-anakmu. HR. Bukhari dan Muslim.
Maksud dari hadits ini
adalah bahwa Hindun diperbolehkan untuk mengambil harta Abu Sufyan dengan
syarat بِالْمَعْرُوفِ (tata cara yang baik) yaitu boleh
mengambil secara wajar untuk kebutuhannya dan keluarganya. Pengambilan secara
wajar tidak disebutkan nominalnya oleh Nabi karena kebutuhan hidup tentu
berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya. Hanya saja beliau juga
sudah mengetahui bahwa Hindun akan mengambil sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan riwayat
tersebut maka sesuatu yang sudah diketahui (al-ma’ruf) adalah setiap
sesuatu yang sudah dipahami oleh masyarakat tentang kebaikannya dengan tidak
melebihkan dan tidak menguranginya. Hal ini sudah diketahui oleh setiap anggota
masyarakat karena telah dilakukan secara berulang-ulang dan dianggap benar. Selanjutnya
sebuah riwayat mauquf dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda:
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ
حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
Apa saja yang dipandang baik oleh ummat
Islam, maka hal itu juga baik menurut Allah. HR. Ahmad.
Rasulullah dalam
riwayat ini menjelaskan bahwa Allah akan melegalisir apa saja yang dianggap
baik oleh manusia. Ini mengindikasikan bahwa jika ‘urf dipandang baik oleh
ummat Islam, berarti akan dianggap sebagai hukum di sisi Allah ta’ala. Di
samping itu mustahil hal-hal yang tidak baik dan keji akan dianggap sebagai
sesuatu yang baik dalam pandangan manusia khususnya ummat Islam. Sehingga umat
Islam akan senantiasa memilih sesuatu yang baik bagi dirinya dan bagi umatnya. Namun
riwayat ini dipertanyakan keshahihannya, Imam al-Sakhawy berpendapat bahwa matan
ini terdapat dalam musnad Imam Ahmad ibn Hanbal dan berstatus mauquf
dari Abdullah ibn Mas’ud serta statusnya hasan. Pendapat senada juga
dilontarkan oleh al-Alla’iy sebagaimana yang dikutip oleh Abu Bakr al-Sayuthi
yang menyatakan bahwa matan hadits ini tidaklah marfu’ dari Rasulullah
akan tetapi merupakan perkataan Abdullah ibn Mas’ud. Kesimpulan ini diambil setelah
ia melakukan penelitian yang panjang, baik dalam kitab-kitab hadits maupun
dalam sanad-sanad yang dhaif. Ternyata matan ini hanya bisa ditemukan dalam
musnad Imam Ahmad ibn Hanbal.[2]
Sehingga kesimpulannya adalah bahwa riwayat ini tidak bisa disandarkan kepada
Nabi Muhmammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Walaupun demikian riwayat mauquf ini sejalan dengan hadits Nabi yang
lainnya di mana beliau bersabda:
لا
تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلالَةِ
Umatku tidak akan bersatu dalam
kesesatan. HR. Ahmad dan al-Thabrani.
Selain
itu, riwayat mauquf ini bisa juga digunakan sebagai dalil bahwasanya
kebaikan (hasanan) yang dipandang baik oleh umat Islam maka insya Allah
ta’ala juga baik di sisi Allah. Maka adat kebiasaan yang itu dipandang baik
oleh masyarakat bisa dilaksanakan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Islam yang universal. Berikutnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah
bin Abbas mengenai bolehnya jual beli salam:
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ
فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ,
وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ .. مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu
anhuma, ia berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah
dan mereka (penduduknya) biasa melakukan jual beli salaf pada buah-buahan untuk
masa setahun dan dua tahun. Maka beliau bersabda: "Barangsiapa yang
melakukan jual beli salaf pada buah-buahan hendaknya dengan takaran yang jelas,
timbangan yang jelas, dan waktu yang jelas pula." Muttafaq Alaihi. Menurut
riwayat Bukhari: "Barangsiapa berjual beli salaf pada sesuatu."[3]
Hadits ini merupakan hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Thirmidzi, Nasai, Ibnu Majah
dll. Isi dari hadits ini adalah berkenaan dengan adat kebiasaan masyarakat di
Madinah yang melakukan jual beli dengan sistem salam atau salaf.[4]
Merujuk pada sistem jual beli yang diperbolehkan dalam Islam bahwa jual beli
akan sah ketika rukun-rukunnya terpenuhi yaitu: Ba’i (penjual), Musytari
(pembeli), Sighat (ijab dan qabul) dan Ma’qud alaihi (benda atau
barang).[5]
Berdasarkan
rukun tersebut maka jual beli di mana benda yang menjadi obyeknya tidak ada
maka batal dilakukan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi
Wassalam:
لَا
تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah engkau menjual barang yang
bukan milikmu. HR. Abu Dawud, Tirmidzi, al-Nasaa’i, Ibnu Majah dan Ahmad.
Hadits
ini menunjukan bahwa tidak sah jual beli apabila benda sebagai obyeknya tidak
dimiliki oleh penjualnya. Kepemilikan sebagaimana syarat jual beli adalah
syarat sahnya suatu jual beli. Riwayat yang lain yang menguatkannya
adalah:
نهى
رسول صلى الله عليه وسلم عن بيع ما لم يقبض
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam
melarang jual beli yang bendanya belum dimiliki. HR. Ahmad.
Sementara secara khusus
apabila obyek akad dalam jual beli belum ada tidak boleh dilakukan karena akan
batal jual belinya tersebut. Inilah inti larangan Nabi dalam haditsnya:
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبْتَاعُهُ
لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ : لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Dari Hakim bin
Hizam, "Beliau berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ada orang
yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli,
denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu
yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?'
Kemudian, Nabi bersabda, 'Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.
HR. Abu Daud.
Berdasarkan hadits ini
maka jual beli pada barang yang belum dimiliki atau tidak ada tidak
diperkenankan. Pada sebuah riwayat yang dha’if disebutkan:
نهى رسول صلى الله عليه وسلم
عن بيع
المدوم
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam melarang
jual beli yang bendanya tidak ada. HR. Thirmidzi.
Pada asalnya Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam melarang melakukan jual beli dengan
obyek akad (ma’qud) tidak ada. Namun, ternyata adat kebiasaan yang
dilakukan penduduk di Madinah oleh justru mereka melakukan jual beli salam,
di mana obyek jual belinya belum ada. Maka kebiasaan ini tidak dilarang oleh
Nabi, beliau hanya memberikan aturan agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan
dalam jual beli tersebut, yaitu keharusan adanya timbangan dan takaran yang
jelas, waktu penyerahan yang jelas dan bendanya sudah jelas karakteristiknya.
Maka adat kebiasaan dan ‘urf yang berlaku pada masyarakat Madinah bisa diterima
oleh Nabi, sehingga dapat diambil kesimpulan pula bahwa setiap adat kebiasaan
yang baik (‘urf) bisa diterima dan dibolehkan dalam Islam.
Berkaitan
dengan adat jual beli yang berlaku di Hijaz, Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi
Wassalam juga membolehkan jual beli ‘araya bagi umat Islam
berdasarkan pelaksanaannya telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat.[6]
Hal ini tercatat dalam haditsnya:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَطِيبَ وَلَا يُبَاعُ شَيْءٌ مِنْهُ إِلَّا
بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ إِلَّا الْعَرَايَا
Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam melarang menjual buah (dari pohon) kecuali telah nampak
baiknya dan tidak boleh dijual sesuatupun darinya kecuali dengan dinar dan
dirham kecuali ‘ariyyah”. HR. Bukhari dan Muslim.
Bentuk tunggal untuk
kata “araya” adalah “ariyyah”. “Ariyyah”, secara bahasa,
artinya ‘telanjang’. Dinamakan demikian karena barang ini dikeluarkan dari
bentuk jual beli yang haram, padahal bentuknya mirip dengan jual beli yang
haram. Karena itu, jual beli ariyyah merupakan pengecualian dari jual
beli yang diharamkan. Barang itu adalah kurma basah yang ditawarkan pemiliknya
kepada orang lain agar dimakan. Orang yang makan kurma, dalam bahasa Arab,
dinamakan “ista`arra ar-rajulu”. Adapun secara istilah, ulama Syafi`iyah
memberikan pengertian jual beli “araya” adalah ‘menjual kurma basah yang
ada di pohon dengan kurma kering yang ada di tangan, dengan takaran yang telah
ditetapkan syariat’.
Pada asalnya sistem
jual beli ini tidak diperbolehkan, namun karena kebiasaan di masyarakat dan
kebutuhan akan hal tersebut, maka Islam membolehkannya dengan ukuran yang jelas
sebagaimana dalam jual beli salam. Hal ini ditegaskan dalam sebuah riwayat dari
Zaid bin Tsabit:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ فِي بَيْعِ الْعَرَايَا بِالتَّمْرِ
وَالرُّطَبِ
Nabi telah memberikan keringanan untuk
menjual 'araya (ruthab atau anggur di atas pohon) dengan kurma dan
ruthab. HR. Abu Daud.
Adat kebiasaan juga
diterapkan oleh Nabi dalam masalah hukum (jinayah) sebagai sebuah
riwayat menyebutkan:
أَنَّ نَاقَةً لِلْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ
، دَخَلَتْ حَائِطَ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَأَفْسَدَتْ فِيهِ ، فَقَضَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَهْلِ الْحَوَائِطِ حِفْظُهَا بِالنَّهَارِ
، وَعَلَى أَهْلِ الْمَاشِيَةِ مَا أَفْسَدَتْ مَاشِيَتُهُمْ بِاللَّيْلِ
Bahwasanya unta
al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu masuk kebun seseorang dan
merusaknya. Lalu Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menetapkan
putusan bahwa pemilik kebun wajib menjaga kebunnya di siang hari, dan apa yang
dirusak unta di malam hari menjadi tanggungan pemilik unta. HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wassalam melandaskan hukum Beliau ini pada kebiasaan yang umum
berlaku bahwa pemilik ternak melepaskan ternak mereka di siang hari dan tidak
melepasnya di waktu malam. Sedangkan pemilik kebun biasanya berada di kebun
pada siang hari saja. Maka barangsiapa menyelisihi kebiasaan ini, berarti ia
telah teledor dalam menjaga hak miliknya, sehingga laksana orang yang meyimpan
hartanya di tengah jalan, maka orang yang mencurinya tidak dikenai potong
tangan. Ini menunjukkan bahwa ‘urf diperhitungkan dalam penetapan hukum ini.
Adat kebiasaan yang ada
pada individu juga menjadi bagian dalam penetapan hukum Islam. Diantaranya
adalah kebiasaan masa haidh bagi perempuan, sebuah hadits dari Rasulullah
menceritakan:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا اسْتَفْتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي امْرَأَةٍ تُهَرَاقُ الدَّمَ فَقَالَ تَنْتَظِرُ قَدْرَ اللَّيَالِي
وَالْأَيَّامِ الَّتِي كَانَتْ تَحِيضُهُنَّ وَقَدْرَهُنَّ مِنْ الشَّهْرِ فَتَدَعُ
الصَّلَاةَ ثُمَّ لِتَغْتَسِلْ وَلْتَسْتَثْفِرْ ثُمَّ تُصَلِّي
Dari Ummu
Salamah isteri Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam bahwa seorang wanita
mengeluarkan darah (istihadhah) pada zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi
Wassalam maka Ummu Salamah memintakan fatwa untuknya, dan Nabi Shalallahu
Alaihi Wassalam menjawab: “Hendaklah ia melihat jumlah malam dan hari haidh
dia setiap bulannya sebelum mengalami sakit yang sekarang ini, maka hendaklah
ia meninggalkan shalat sebanyak hari itu, dan jika sudah selesai, hendaklah dia
mandi kemudian membalutnya dengan kain lalu shalat.” HR. Ahmad dan Abu
Dawud.
Rasulullah dalam hadits
ini merujuk kepada jumlah hari haidh yang biasa dialami wanita tersebut sebelum
mengalami istihadhah. Ini menunjukkan bahwa adatlah yang dipakai untuk
menetapkan hukum batasan seorang wanita mengalami haidh. Berikutnya adalah
istilah ma’ruf yang digunakan
oleh Nabi dalam batasan memakan harta dari wakaf:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ أَصَابَ
عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ
قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ
لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى
وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ لَا جُنَاحَ عَلَى
مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ
مُتَمَوِّلٍ فِيهِ
Hadis riwayat
Ibnu Umar ra., ia berkata: Umar ra. mendapat sebidang tanah di Khaibar kemudian
ia menghadap Nabi saw. untuk meminta petunjuk tentang pemanfaatannya. Umar
berkata: Wahai Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar yang belum
pernah saya dapatkan harta lain yang lebih berharga darinya. Apa saran engkau
tentang hal ini? Beliau bersabda: Jika kamu suka, kamu bisa mewakafkan asetnya
dan bersedekah dengan hasilnya. Maka Umar bersedekah dengan hasilnya atas dasar
asetnya tidak boleh dijual, dibeli, diwarisi atau dihibahkan. Umar bersedekah
kepada fakir-miskin, kerabat, untuk memerdekakan budak, jihad di jalan Allah, ibnu
sabil serta tamu. Tidak dosa bagi orang yang mengurusnya memakan sebagian
hasilnya dengan cara yang baik atau untuk memberi makan seorang teman tanpa
menyimpannya. HR. Bukhari dan Muslim.
Hadits ini menunjukan
kebolehan bagi para pengelola wakaf (nadzir) untuk memakan hasil dari
wakaf tersebut dengan cara yang baik. Jika wakaf tersebut adalah wakaf dzurry
maka diperbolehkan bagi keluarga untuk memakan sebagian hasilnya dengan
cara yang ma’ruf. Selanjutnya adalah perbuatan ma’ruf seseorang kepada budaknya.
Rasulullah bersabda:
لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ
بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يُكَلَّفُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيقُ و حَدَّثَنِي مَالِك
أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يَذْهَبُ إِلَى الْعَوَالِي
كُلَّ يَوْمِ سَبْتٍ فَإِذَا وَجَدَ عَبْدًا فِي عَمَلٍ لَا يُطِيقُهُ وَضَعَ عَنْهُ
مِنْهُ
Bagi budak ada
hak untuk diberi makan dan pakaian dengan cara yang ma'ruf, janganlah
membebaninya dengan pekerjaan yang ia tidak mampu melaksanakannya. HR. Malik,
al-Baihaqi, dll.
Cara yang makruf dalam
memberikan makan dan pakaian bagi para budak adalah sesuai dengan ketentuan dan
kebiasaan yang berlaku di masyarakat tersebut sebagaimana sudah dikenal di
antara mereka. Berbuat baik kepada para hamba merupakan hal makruf yang sangat
dianjurkan dalam Islam, lebih dari itu adalah memerdekakannya.
Berdasarkan hadits-hadits tersebut dapat
disimpulkan bahwa adat dan ‘urf terdapat dalam banyak sabda-sabda Nabi Muhammad
Shalallahu Alaihi Wassalam. Baik berupa sabda beliau, tindakan beliau
dan sesuatu yang dibenarkan oleh beliau (taqrir). Sehingga adat dan ‘urf
menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Nabi serta dalam
penetapan hukum Islam pada masa beliau. Hal ini berlanjut hingga pada masa-masa
berikutnya, khalifah Umar bin Khattab banyak melakukan keputusan hukum dengan
pertimbangan tradisi yang ada di masyarakat. Misalnya dalam memutuskan masalah
persewaan dan peminjaman yang telah lama dilakukan oleh masyarakat Arab.[7]
Hal ini terus berlanjut hingga pada masa-masa berikutnya.
[1] Jual beli ini
berupa pemesanan barang di mana pembeli memberikan uang terlebih dahulu dan
barang diserahkan kemudian.
[2] Jalaludin
al-Suyuti, al-Asybah wa Nadzair, hlm. 91.
[3] Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam (Kuwait: Jam’iyah Ihya
At-Turats Al-Islami, tahun 2001), hlm. 262.
[4] Jual beli
salam adalah jual beli yang dilakukan dengan tidak tunai, yaitu barang/benda
yang menjadi obyeknya belum ada pada saat transaksi berlangsung. Penyerahan
barang dilakukan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah
pihak
[5] Rachmat
Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, tahun 2004), hlm. 76.
[6] Ayman Shabana,
Custom in Islamic Law and Legal Theory: The Development of the Concepts of
‘Urf and ‘Ådah in the Islamic Legal Tradition, hlm 54.
[7] Dedi
Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...