Oleh: Abdurrahman
a.
Menggunakan
Lafadz ‘Arafa: (QS. Yusuf [12]:
58). (QS. Muhammad [47]: 6)
Lafadz
عرف (‘arofa) dalam ayat-ayat tersebut memiliki
makna mengenal dengan baik, baik kenal dengan seseorang atau mengetahui sesuatu
semisal surga. Pada ayat pertama menunjukan bagaimana Yusuf mengenal
saudara-saudaranya dengan baik walaupun mereka tidak mengenalnya karena sudah
lama tidak berjumpa.[1]
Sementara pada ayat kedua Allah ta’ala menjelaskan bahwa orang-orang yang
beriman akan masuk ke dalam surga yang telah diketahui sebelumnya oleh mereka
dari keterangan-keterangan firmanNya tentang surga tersebut.
b.
Menggunakan
Lafadz ‘Arrafuu: (QS. al-Baqarah [2]: 89). (QS. al-Maidah [5]: 83).
Ayat-ayat
tersebut menggunakan lafadzعرف (‘arofa) dengan
disambungkan dengan dhamir (هم) mereka. Sehingga maknanya adalah
orang-orang Yahudi dan Nasrani sejatinya telah mengenal dan mengetahui seorang
Nabi yang akan diutus dari bangsa Arab. Pada beberapa ayat lainnya menunjukan
bagaimana mereka mengenal Nabi tersebut sebagaimana mereka mengenal anak-anak
mereka sendiri. Makaعرف (‘arofa) menunjukan
bagaimana mereka mengetahui, mengenal dan memahami dengan baik.
c.
Menggunakan
Lafadz ‘Arafta: (QS. Muhammad
[47]: 30).
Penggunaan
lafadzعرف (‘arofa) pada ayat ini juga menunjukan
pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu. Sehingga kalimat فَلَعَرَفْتَهُمْ
maka benar-benar engkau akan mengenal dan mengetahui mereka dengan baik. Bukan
hanya mengenal selewat atau sekilas saja tetapi benar-benar mengetahuinya
secara detail.
d.
Menggunakan
Lafadz ‘Arrafa: (QS. At-Tahrim [66]: 3).
Penggunaan
lafadz عَرَّفَ bermakna proses pemberitahuan oleh seseorang kepada orang lain.
Pada ayat ini adalah bagaimana Allah ta’ala memberitahu Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wassalam mengenai pembicaraan istri-istrinya. Lafadz ini menggunakan
wazan فعل
(fa’ala) yang menunjukan arti memberitahukan yaitu memberi tahu tentang
sesuatu hal.
e.
Menggunakan
lafadz ya’rifu: (QS. al-Baqarah [2]: 146). (QS. al-An’am [6]: 20).
Kedua
ayat ini menceritakan tentang pengetahuan ahlu kitab yang mengetahui dan
mengenal Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Mereka mengenalnya
dari kitab suci mereka sehingga seperti mengenal anak-anak mereka sendiri. Ini
menunjukan bagaimana pengetahuan ahli kitab terhadap risalah dan
kenabian beliau. Namun mereka menolak ketika nabi terakhir tersebut diutus dan
membawa ajaran keselamatan.
Berikutnya
adalah firman Allah ta’ala yang masih menggunakan istilah يَعْرِفُونَ
“mengenal”: (QS. al-A’raf [7]:
46). (QS. al-A’raf [7]: 48).
Maka
ayat ini menunjukan makna ‘urf secara bahasa yang menggunakan kata “a’raaf”
yaitu tempat yang tinggi.[2]
Walaupun yang menjadi penguat di sini adalah kata يَعْرِفُونَهُم yang berarti
mereka mengenalnya dengan baik. Selanjutnya adalah firmanNya: (QS An-Nahl [16]: 83). (QS. al-Mukmin [40]: 69). (QS. Al-Hajj [22]:
72). (QS An-Naml [27]: 93).
Lafadz
عرف (‘arafa) baik yang disambungkan dengan kata ganti atau
tidak pada ayat-ayat tersebut menggunakan kata kerja bentuk sekarang dan yang
akan datang فعل المضرع (fi’il mudhari’)
yang memiliki makna yang sama hanya dengan pola kata kerja sedang dan akan
terjadi. Maka lafadz يَعْرِفُوا۟ dan تَعْرِفُ mengandung
makna (sedang) mengetahui atau akan mengetahuinya.
f.
Menggunakan
Lafadz ‘Urf dan al-‘Urf: (QS. al-Mursalaat [77]: 1). (QS.
al-A'raf [7]: 199).
Kedua
ayat ini menggunakan lafadz الْعُرْفِ (al-‘urf) yang merupakan bentuk masdar
dari kata
عرف (‘arofa). Walaupun dalam bentuk masdar
namun ia juga bermakna مَعْرُوفٍ (ma’ruf) yang berarti telah
diketahui dan dikenal. Maka perintah untuk melakukan yang ma’ruf dalam ayat
tersebut adalah hal-hal yang telah diketahui dan diakui sebagai sesuatu yang
baik. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menafsirkan kata al-‘urf dengan:
بكل قول حسن وفعل
جميل، وخلق كامل للقريب والبعيد
Seluruh perkataan yang baik dan perbuatan yang
mulia serta akhlak yang sempurna kepada orang-orang yang dekat dan orang-orang
yang jauh.[3]
g.
Menggunakan
Lafadz ma'ruf dan al-ma’ruf: (QS. al-Baqarah [2]: 240).
Ayat
ini menunjukan perintah bagi para suami yang akan meninggal dunia hendaknya
membuat sebuah wasiat bagi istri-istrinya. Sementara istri diberi kebebasan
untuk berbuat ma’ruf. Makna “ma’ruf” dalam ayat ini adalah مما ليس بمنكر شرعاً
setiap tindakan yang baik dan tidak disebut munkar dalam syariat.[4] Makna yang serupa terdapat
pula dalam firmanNya: (QS. al-Baqarah
[2]: 263).
Maksud
“Perkataan yang baik (ma’ruf)” berarti setiap perkataan yang baik
dan jawaban dari sebuah soal yang baik pula.[5]
Makna serupa terdapat pula dalam firmanNya: (QS. Muhammad [47]: 21). (QS.
al-Nisaa [4]: 114).
Ayat
ini menunjukan segala bentuk kebaikan “ma’ruf” merupakan hal yang harus
senantiasa disampaikan kepada seluruh umat manusia. Sebagaimana dijelaskan pula
dalam kalamNya: (QS. al-Mumtahanah [60]: 12). (QS. Luqman [31]: 15). (QS.
al-Baqarah [2]: 229).
Allah
ta’ala telah memberikan aturan dalam ayat ini mengenai tata cara talak (cerai).
Salah satunya adalah jika talak pertama terjadi maka setelah selesai masa iddah
boleh kembali lagi kepada istrinya tersebut atau menceraikannya dengan cara
yang ma’ruf (baik). Perlakuan baik terhadap istri yang dicerai juga
disebutkan kembali dalam ayat berikutnya: (QS. al-Baqarah [2]: 231).
Selanjutnya
adalah mengenai tata cara meminang seorang perempuan yang belum selesai masa
iddahnya maka tidak diperbolehkan kecuali menyampaikannya dengan kata-kata yang
ma’ruf (baik dalam penyampaiannya), sebagaimana firmanNya: (QS.
al-Baqarah [2]: 235).
Penggunaan
kata ma’ruf terdapat pula dalam
perlakuan terhadap anak yatim yaitu firmanNya: (QS. al-Nisaa [4]: 5-6).
Berdasarkan
ayat ini maka para wali yatim yang mengurus anak yatim dan harta bendanya
hendaknya mengurusnya dengan cara yang baik, demikian pula jika hendak
memakannya diperbolehkan dengan cara yang baik ketika memang ia benar-benar
membutuhkannya karena kemiskinan dan lain sebagainya. Hal ini dikuatkan oleh
ayat berikut: (QS. al-Nisaa [4]: 8). QS. al-Nur [24]: 53). (QS. al-A’raf [7]:
157).
Sesuatu
yang ma’ruf adalah yang sudah dikenal oleh umat manusia secara umum, sehingga
sejak dahulu kebaikan tersebut telah ada. Misalnya yang terdapat dalam
kitab-kitab samawi sebelum al-Qur’an yaitu Taurat dan Injil. Kebaikan
ini pula yang diajarkan Lukan al-Hakim kepada anak-anaknya: (QS. Luqman [31]:
17).
Berikutnya
adalah ayat-ayat yang menggunakan istilah ma’ruf sebagai bentuk kebaikan
yang telah diterima oleh umat manusia pada umumnya: (QS. al-Baqarah [2]: 178).
(QS. al-Baqarah [2]: 180). (QS. al-Baqarah [2]: 228). (QS. al-Baqarah [2]:
232). (QS. al-Baqarah [2]: 233). (QS. al-Baqarah [2]: 234). (QS. al-Baqarah
[2]: 236). (QS. al-Baqarah [2]: 241). (QS. Ali Imran [3]: 104). (QS. Ali Imran [3]: 110). (QS. Ali
Imran [3]: 114). (QS. al-Nisaa [4]: 19).
Ayat
ini secara jelas menunjukan perintah untuk memperlakukan istri dengan cara yang
ma’ruf yaitu yang sesuai dengan norma-norma Islam dan lingkungan sosial
masyarakat. Sebagaimana disebutkan pula dalam ayat berikut: (QS. al-Nisaa [4]:
25). (QS. Al-Hajj [22]: 41). (QS. al-Taubah [9]: 67).
Apabila
ayat-ayat sebelumnya membahas tentang makna ma’ruf secara umum, maka
ayat ini menujukan makna kebaikan yang telah ditentukan oleh syariat Islam.
Sehingga ma’ruf yang dimaksud adalah yang didasarkan kepada nilai-nilai
Islam yaitu bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Makna ini disebutkan pula
dalam beberapa firmanNya berikut ini: (QS. al-Taubah [9]: 71). (QS. al-Taubah
[9]: 112).
Ayat-ayat
tersebut secara jelas menggunakan kalimat مَعْرُوفٍ (ma’ruf) baik
dengan bentuk isim nakirah ataupun isim makrifat yaitu dengan
menggunakan ال alif
dan lam sebagai tanda ma’rifatnya. Makna dari al-ma’ruf dalam
ayat-ayat tersebut adalah sebagaimana disebutkan oleh para mufassir yaitu
seluruh ucapan dan perbuatan yang diketahui kebenarannya oleh manusia secara
umum. Kebenaran yaitu yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta adat
kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat.
h.
Menggunakan
Lafadz i’tarofu: (QS. al-Taubah
[9]: 102).
Lafadz
ٱعْتَرَفُوا۟ (I’tarofu) dalam ayat ini adalah bentuk
derivasi dari kata ‘arofa, ia menggunakan wazan ifta’ala yang
berarti pengetahuan akan dirinya terutama berkenaan dosa-dosa yang dilakukannya
sendiri. Makna “pengakuan diri” berarti ia mengetahui dengan pasti dosa-dosa
yang telah dilakukan oleh dirinya sendiri, sehingga tidak samar lagi baginya.
i.
Menggunakan
Lafadz yata’arafu: (QS. Yunus
[10]: 45).
Lafadz يَتَعَارَفُونَ (ya’ta’arafu)
merupakan bentuk derivasi dari ‘arofa yang berarti saling mengetahui
atau saling mengenal dengan baik. Lafadz ini merupakan wazan dari تفاعل-يتفاعل (tafaa’ala-yatafaa’alu)
yang bermakna saling melakukan sesuatu.
Berdasarkan
lafadz ‘urf dan derivasinya dalam al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa ia bermakna
sesuatu yang telah diketahui oleh masyarakat akan kebaikannya sehingga mereka
melakukan hal-hal tersebut. Kebaikan ini didasarkan kepada adat kebiasaan
mereka, adapun dalam ruang lingkup yang lebih khusus yaitu dalam Islam maka al-ma’ruf
yang dimaksud adalah setiap hal yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wassalam.
[1] Abul Fida’
Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim Juz IV, hlm. 397.
[2] Abu al-Fida’
Islamil bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim Jilid III, hlm. 1116.
[3] Abdurrahman
bin Nashir As-Sa’di, Taisir Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan (Kuwaiat:
Jam’iyyah Ihya At-Turats Al-Islami, tahun 2008), hlm. 313.
[4] Abu al-Qasim
Mahmud bin ‘Amr al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf Juz I, hlm. 213.
[5] Jalaludin
al-Suyuti, Tafsir Jalalain Juz I, hlm. 269.
syukron syaikh ^_^
BalasHapus