Oleh:
Abdurrahman MBP, MEI
A. Pendahuluan
Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, kehadirannya membawa kedamaian
bagi seluruh umat manusia. Allah ta’ala berfirman: “Dan tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” QS. al-Anbiyaa:
107. Imam Ibnu Katsir menafsirkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman kepada kita bahwa Dia telah menciptakan Muhammad Shalallahu
‘Alaihi wa Salam sebagai rahmat bagi
seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), artinya, Dia mengirimnya sebagai
rahmat untuk semua orang.[1]
Kehadiran Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dan risalah yang dibawanya (Islam) akan
membawa rahmat (kedamaian) bagi seluruh umat manusia dari berbagai suku
bangsa di dunia ini.
Ketika Islam masuk ke Tatar Sunda, ia dihadapkan pada kepercayaan yang
telah ada sebelumnya. Kepercayaan yang diwarisi secara turun-temurun dan
dipengaruhi oleh berbagai kepercayaan yang datang setelahnya yaitu agama Hindu
dan Budha.[2]
Kepercayaan asli di Tatar Sunda menurut beberapa ahli adalah Jati Sunda atau
Sunda Wiwitan. Makna wiwitan yaitu mula pertama, asal, pokok atau jati
sedangkan “Sunda” bermakna cahaya cemerlang yang putih dan bersih.[3] Sehingga
dikatakan kepercayaan Sunda Wiwitan adalah kepercayaan masyarakat Sunda yang
pertama (asli).[4]
Setelah kehadiran Hindu dan Budha, agama asli Sunda mengalami perubahan
dengan masuknya pengaruh kedua agama tersebut. salah satu pengaruh yang ada
adalah penyebutan Batara Tunggal sebagai Dzat yang diyakini sebagai penguasa
alam raya yaitu Nu Ngersakeun. Dewa-dewa dalam agama Hindu-pun masuk ke
dalam keyakinan asli ini hingga diyakini sebagai bagian tidak terpisahkan dari
keyakinan asli Sunda (Jati Sunda). Komunitas Baduy di Banten selatan masih
meyakini bahwa Batara Tunggal telah menurunkan beberapa batara yaitu Batara
Cikal, Batara Patanjala, Batara Wisawara, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara
Hyang Niskala dan Batara Mahadewa.[5]
Berdasarkan nama-nama batara tersebut tampak sekali bahwa sebagiannya adalah
nama dewa dari agama Hindu yang berasal dari India.
Selanjutnya ketika Islam masuk ke Tatar Sunda, kepercayaan akan adanya Nu
Kawasa (Al-Qadiir) kembali mendapatkan posisinya kembali. Jika pada
masa Hindu dan Budha masyarakat Sunda “dipaksa” untuk meyakini begitu banyak
dewa impor yang berasal dari India, maka ketika Islam datang, keyakinan adanya
Sang Penguasa Alam Raya kembali muncul dan bertemu pada satu titik yaitu
penyembahan terhadap satu Tuhan (Monoteisme). Kehadiran Islam dengan konsep tauhidullah
(Keesaan Allah ta’ala) disambut dengan suka cita oleh seluruh masyarkat
Sunda sehingga mereka menganggap Islam adalah fitrah Sunda yang selama ini
dijajah oleh agama-agama politeisme.
Pada bidang perilaku sehari-hari, masyarakat Sunda yang telah dipandu
selama berabad-abad dengan tradisi karuhun yang adiluhung, kemudian
ditemukan dengan Islam yang sangat mengutamakan keluhuran akhlak (budi
pekerti). Ketika Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda “Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia”[6]
maka masyarakat Sunda mengejawantahkannya dengan istilah silih asah, silih
asih, dan silih asuh serta "ulah ngaliarkeun taleus ateul”
yang berarti jangan menyebarkan keburukan/kejahatan. Kaidah hidup ini dikuatkan
kembali oleh sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam: Orang
beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak
bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat
bagi manusia. HR. Thabrani dan Daruquthni.
Penyembahan kepada satu Penguasa Alam Raya (Nu Kawasa) dan keluhuran
perilaku yang ada pada masyarakat Sunda menyambut dengan suka cita nilai-nilai
aqidah dan kemuliaan akhlak yang ada pada Islam. Sehingga kedunya seperti
saudara kembar yang kembali berjumpa setelah sekian lama terpisahkan dan
dipisahkan dari tangan-tangan durjana para penyembah dewa dan berhala.
B. Latar munculnya Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”
Fenomena masyarakat Sunda yang menerima Islam dengan suka cita dan
melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari telah memberikan inspirasi kepada Haji
Endang Saefudin Anshari untuk menyatakan secara retoris bahwa Islam teh Sunda
dan Sunda teh Islam; artinya bahwa Islam itu sama dengan Sunda dan Sunda itu ya
Islam.[7]
Istilah ini tidak berlebihan kiranya apabila kita menyaksikan bagaimana
masyarakat Sunda menjalani kehidupannya sehari-hari. Kekuatan aqidah akan
adanya satu-satunya ilah (sesembahan) yang berhak disembah dan
pengamalan keislaman yang dipandu oleh kesadaran keimanan yang mendalam telah
menjadikan komunitas Sunda identik dengan Islam. Terasa aneh apabila orang
Sunda itu bukan Islam, demikian seperti yang dapat kita saksikan pada
masyarakat Sunda saat ini. Islam menjadi jiwa bagi masyarakat Sunda di bumi
Parahyang dengan tetap menjalankan tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan
aturan-aturan syariahnya.
Bukti-bukti keharmonisan antara Sunda dan Islam tampak dari berbagai
sikap religiositas orang Sunda itu seperti terungkap dalam peribahasa, "diri
sasampiran awak sasampaian".
Artinya, semuanya merupakan kepunyaan Allah SWT (Gusti nu murbeng
alam). oleh karena itu, manusia Sunda dalam kehidupannya selalu menggunakan
rasa (boga rasa rumasa, ngaji diri).
Bahkan dalam banyak hal, orang Sunda selalu bersyukur atas apa yang
diterimanya, sehingga "syukuran" bagian dari tradisi atas nikmat yang
diperolehnya. Lebih dari itu, ketika ditimpa musibah ia selalu bersyukur dengan
istilah "untung".
Bahkan ketika musibah meninggal terjadi sekalipun tidak jarang orang
Sunda masih terucap kata "untung", "Untung maot coba mun
hirup meureun jadi tanpa daksa".
Dalam terminologi Islam ini disebut qanaah, yang artinya merasa
cukup dengan yang ada khususnya masalah dunia sebagai kebajikan yang
dianjurkan.
Jika dikategorikan, ada beberapa
pandangan hidup orang Sunda tentang berbagai hal mengenai manusia sebagai
pribadi, manusia dengan masyarakat, dengan alam, dengan Tuhan dan hakikat
manusia. Misalnya, dalam mencapai tujuan hidup, orang Sunda harus mempunyai keseimbangan
yang disebut sineger tengah yang berarti wajar, tidak berlebihan. Dalam bahasa
Islam disebut ummatan wasathan, umat yang pertengahan. Hal itu tertuang
dalam petuah, "jaga urang hees tamba tunduh, nginum tuak tamba hanaang,
nyatu tamba ponyo ulah urang kajongjonan". Artinya, hendaklah tidur sekedar
menghilangkan kantuk, minum tuak sekedar menghilangkan haus, makan sekedar
menghilangkan lapar, jadi dalam perikehidupan tidak berlebihan. Ini sejalan
dengan ajaran Islam, sikap tamak merupakan sikap yang sangat tercela. Bahkan, dalam hidup kita juga dianjurkan
untuk adanya keseimbangan di dunia dan akhirat, seperti diungkapkan dalam ayat
al-Qur’an “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi” QS. al-Qashash: 77.
Manusia Sunda sebagai pribadi
digambarkan oleh tingkah laku dan budi bahasanya. Oleh karena itu, dituntut "kudu hade
gogog hade tagog” (baik budi bahasa dan tingkah laku) dan "nyaur kudu
diukur, nyabda kudu diungang" serta manusia Sunda juga harus "sacangreud
pageuh, sagolek pangkek" (teguh pendirian tak pernah ingkar janji).
Ini juga merupakan nilai-nilai utama dalam Islam, seperti diungkapkan dalam
hadis, "seutama-utama manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya". Artinya,
kehadiran kita bukan saja tidak menimbulkan kerusakan atau kesulitan bagi orang
lain tetapi juga dapat memberikan manfaat dan maslahat.
Orang Sunda memiliki filosofi ketuhanan yaitu keyakinan seperti ajaran
Islam, innalillaahi wainna ilaihi rojiun dengan ungkapan "mulih
ka jati mulang ka asal". Dengan
demikian juga dalam menjalani kehidupan, orang Sunda mempunyai norma dan etika
seperti "ulah pagiri-giri calik pagirang-girang tampian"
(janganlah berebut kekuasaan dan jabatan). Dalam Islam ada hadis, yang
berbunyi, "Jangan berikan jabatan kepada orang yang memintanya".
Hal ini berbeda dengan fenomena demokrasi sekarang, dimana orang yang ingin
jabatan harus pamer dan menyombongkan diri lewat kampanye, istilah Sundanya,
"Agul ku payung butut" (bangga dengan prestasi buruk).[8]
Nilai kesundaan yang islami
lainnya seperti, "ulah nyaliksik ka buuk leutik" (janganlah
memeras rakyat kecil), "ulah kumeok memeh dipacok" (jangan
mundur sebelum berusaha), "kudu bisa ka bala ka bale" (bisa
fleksibel dalam mengerjakan apa saja) dan mun teu ngakal moal ngeukeul, mun
teu ngrah moal ngarih (berusaha/berikhtiar sekuatnya).
Demikian juga dalam membangun
lingkungan sosial yang damai dalam Islam istilah rahmatan lil 'alamin, orang
Sunda mempunyai filosofi, "tiis ceuli herang panon" (hidup damai dan
tentram) serta "kudu bisa mihapekeun maneh" (tingkah laku menyesuikan
dengan lingkungan). Nilai-nilai itu turunan atau tafsir terhadap nilai-nilai
keislaman, tetapi juga warisan budaya dan filosofi masyarakat Sunda bahkan
sebelum datangnya Islam. Ini tidak aneh, karena Islam sebagai agama fitrah pada
dasarnya saluran dan peringatan terhadap kecenderungan baik (hanif) dalam diri
manusia.
Berdasarkan sekian banyak titik temu antara budaya Sunda dan Islam maka
sangat wajar jika kemudian Sunda identik dengan Islam dan Islam identik dengan
Sunda “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”. Namun harmoni ini tidak semua orang
menyukainya, pihak-pihak yang tidak menginginkan Islam dan Sunda bergandengan
tangan melakukan berbagai agitasi untuk memisahkan dan mengadu domba antara
keduanya. Maka saat ini kita saksikan terjadi jurang pemisah yang dalam antara
para penganut Islam yang berusah untuk istiqmah yang menganggap bahwa budaya
dan tradisi lokal tidak sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah sebagai agama
samawi, sementara pihak-pihak yang berusaha menapaki jalan karuhun bersikap
apatis seolah-olah Islam adalah agama impor yang hendak menghancurkan
kebudayaan Sunda. Maka sudah selayaknya kita kembali untuk merajut kebersamaan
itu Sunda yang memiliki jiwa kesundaan yang tidak bertentangan dengan Islam
yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
C. Perkembangan Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”
Masyarakat Sunda secara mayoritas beragma Islam, sehingga sangat wajar
jika Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Ia
telah mendarah daging, menjadi ruh bagi jasad Sunda dan menjadi energi bagi
berlangsungnya kebudayaan masyarakat ini. Tidaklah berlebihan jika Istilah
“Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” muncul dan mewakili jatidiri muslim di tanah
Pasundan. Namun tetap saja ada orang-orang yang tidak suka dengan hal ini,
diantara mereka adalah budayawan Katolik ahli Sunda, Jakob Sumardjo. Dalam tiga
jilid bukunya yang berjudul Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda (diterbitkan
Penerbit Kelir Bandung tahun 2009), Sumardjo berusaha mengaitkan jati diri
kasundaan dengan mengembalikannya pada kepercayaan Sunda yang dipengaruhi
animisme[9]
dan dinamisme[10];
atau Hindu-Budha. Dalam jilid ketiga yang secara khusus mengenai pantun-pantun
Sunda, tafsiran istilah pada pantun itu ia kaitkan dengan kepercayaan lama yang
bukan Islam, padahal dalam konteks kekinian, pandangan hidup Sunda tidak dapat
dipisahkan dari Islam.[11]
Teori-teori dari Barat (Eropa dan sekutunya) yang menyatakan bahwa agama
asli Indonesia adalah animisme dan dinamisme sepertinya perlu ditinjau ulang
kembali. Ketidakpahaman mereka akan kepercayaan masyarakat lokal menjadikannya
dengan mudah menyatakan hal tersebut. Pendapat seperti ini kemudian diteruskan
oleh anak-anak didiknya yang belajar dan membebek kepada barat, sebagai contoh Rachmat
Subagya yang menulis buku Agama Asli Indonesia. Buku tersebut sangat subyektif
sekali berbicara tentang agama asli Indonesia tanpa memperhatikan substansi
dari masing-masing agama dan kepercayaan tersebut. Sehingga dengan mudah
penulis menyatakan bahwa agama asli Indonesia adalah paham animism, dinamisme
dan totemisme. Padahal apabila kita lebih jeli dalam melihatnya maka seluruh
kepercayaan yang ada di Indonesia bersumber pada kepercayaan adanya satu
Penguasa Alam Raya yaitu Allah ta’ala dalam keyakinan Islam.
Bukti-bukti yang menguatkan pendapat ini sangat banyak sekali, salah
satunya adalah kepercayaan yang ada pada komunitas Baduy di mana mereka
meyakini adanya satu Nu Kawasa yang menjadi penguasa bagi alam semesta
ini. Demikian pula komunitas Dayak yang meyakini adanya Ranying sebagai
Tuhan penguasa alam semesta. Pada komunitas suku Mee di Papua mengenal Ugatamee
sebagai sebagai pencipta, penyelengara, dan penjaga dalam hidup suku bangsa ini.[12]
Maka teori tentang agama animisme dan dinamisme di Indonesia perlu dikaji
ulang.
D. Rekonstruksi Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”
Rekonstruksi secara bahasa berarti pengembalian seperti semula serta
penyusunan (penggambaran) kembali. Istilah me·re·kon·struk·si bermakna melakukan
rekonstruksi.[13]
Maka rekonstruksi istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” bermakna menyusun
dan membangun kembali makna istilah ini dalam ranah kekinian. Upaya ini sebagai
bentuk penyegaran kembali pemahaman terhadap harmoni antara Islam dan budaya
Pasundan.
Apabila Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” pada awalnya berasal
dari realitas bahwa komunitas Sunda telah menjadikan Islam sebagai bagian tidak
terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, maka upaya rekonstruksi dilakukan
dengan kembali membangun pondasi dan menegakan tiang-tiang penyangganya.
Setelah itu melengkapinya dengan atap yang memayungi bangunan istilah ini.
Pondasi dasar bagi istilah ini adalah pemahaman yang sama antara
kepercayaan asli Sunda (Jatisunda) dengan Islam. Asas monoteisme yaitu
penyembahan kepada satu Tuhan (Allah ta’ala) adalah fakta yang tidak bisa
disangkal. Pemahaman masyarakat Sunda awal tentang hakikat dari Sang Pencipta
yang mengatur seluruh alam raya masih terlihat jelas pada komunitas-komunitas
adat di Tatar Sunda. Sebagai contoh komunitas adat Baduy di Kenekes, hingga
saat ini mereka masih meyakini bahwa Batara Tunggal (Yang Maha Esa) adalah
satu-satunya Dzat yang harus disembah. Salah satu dogma mereka menyebutkan “Sagala
nu Lir Kumelip di Bumi Langit, engkena mah bakal balik deui jadi hiji jeung
Batara Tunggal” (Semua ciptaanNya di bumi dan di langit, pada waktunya akan
kembali lagi menyatu dengan Batara Tunggal).[14]
Dogma ini harus dianalisis terlebih dahulu, apakah ia murni berasal dari
kepercayaan lokal? atau telah mengalami reduksi dan pengaruh dari agama lain?
Saya berpendapat bahwa dogma ini telah mengalami pengaruh dari agama Hindu,
terbukti dengan istilah “Batara Tunggal” yang berasal dari ajaran Hindu aliran
Ciwa yang hidup pada masa kerajaan Pajajaran hingga menjadi agama
Ciwa-Pajajaran.[15]
Berikutnya kepercayaan penyatuan antara makhluk dengan Tuhan juga merupakan
keyakinan dari orang-orang Sufi dengan slogan manunggaling kawulo lan gusti (menyatunya
antara hamba dan Tuhan) yang banyak dipengaruhi oleh agama-agama Persia dan
India. Sehingga pemahaman terhadap satu-satunya Dzat yang telah menciptakan
alam semesta dan satu-satunya yang harus disembah merupakan kepercayaan Sunda.
Merujuk kepada teori-teori agama primitive,[16]
bahwa sejatinya kepercayaan-kepercayaan yang ada pada masyarakat lokal di
berbagai penjuru dunia merujuk pada satu-satunya Dzat yang menciptakan,
mengatur dan menguasai alam raya dengan berbagai nama dan istilahnya.[17]
Demikian pula yang kita dapati pada komunitas Sunda di masa lalu, ia berakar
kuat di tengah masyarakat sehingga ketika Islam datang mereka menyambutnya
seolah-olah seorang Panglima Perang yang membebaskan mereka dari segala bentuk
keyakinan kepada banyaknya dewa-dewa (baca: berhala).
Rekonstruksi berikutnya adalah bahwa tiang-tiang penyangga ini didasarkan
kepada fitrah manusia yang sejatinya berada pada jalan yang lurus (hanif).
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: “Seorang bayi tak
dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian
kedua orang tuanyalah yg akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun
Majusi” HR. Muslim. Fitrah yang dimaksud dalam ayat ini adalah bahwa setiap
manusia akan senantiasa meyakini bahwasanya hanya Allah-lah satu-satunya
pencipta dan Dzat yang berhak untuk disembah. Hal sebagaimana firman Allah
ta’ala: '…tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah itulah agama yang lurus.'
(QS. Ar-Ruum (30): 30).
Ayat dan hadits ini menjadi tiang penopang bahwasanya setiap manusia
memiliki fitrah yang lurus yaitu meyakini adanya satu al-Khaliq (Sang Pencipta)
dan satu-satunya Ilah yang harus diibadhi (Sesembahan). Masyarakat Sunda
sejak awal telah meyakini bahwasanya hanya ada satu Pencipta yaitu Sang
Hyang Keresa. Dialah yang telah menciptakan alam semesta ini. Selain itu
mereka juga mengenal satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi (ditaati)
yaitu Ilah (Batara Jagat) sebagai penguasa alam raya yang harus
ditaati. Adanya berbagai keyakinan dewa-dewa dan makhluk-makhluk ghaib lainnya
disinyalir adalah pengaruh dari agama berhalaisme.
Bidang hukum Islam yang telah ada sejak masa awal masyarakat Sunda adalah
sundat atau khitan. Prabu Ratu Dewata (1535 – 1543 M) sebagai
salah satu raja Pajajaran yang sangat alim dan taat kepada agama telah melakukan
upacara “sunatan” (adat khitan pra-Islam).[18]
Satu sisi dapat dipahami bahwa sunat atau khitan telah ada di Tatar Sunda
sebelum kehadiran Islam, sehingga ketika Islam datang maka ia menyempurnakan
tradisi yang baik ini. Pada bidang perkawinan adanya istilah seserahan sejatinya
adalah bukti penghormatan calon pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan
dan keluarganya. Demikian juga nasehat-nasehat yang diberikan pada saat saweran
adalah selaras dengan tradisi Arab pra Islam yang memberikan nasehat kepada
calon pengantin.
Sebuah riwayat yang dibawakan oleh Sayid Sabbiq dalam Fiqh Sunnah
mengenai seorang ibu bernama Bintu Al-Harits, sedangkan si pengantin perempuan
bernama Umm Ayyas binti ‘Auf bin ‘Alam Asy-Syaibani.[19]
Ia memberikan nasehat kepada anak perempuannya yang akan menikah dan
kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan ketika menjadi seorang istri. Allah
ta’ala telah memberikan nasehat bagi pasangan suami istri dalam firmanNya: “Dan
gaulilah isteri-isterimu dengan cara yang ma’ruf. Maka seandainya kalian
membenci mereka, karena boleh jadi ada sesuatu yang kalian tidak sukai dari
mereka, sedangkan Allah menjadikan padanya banyak kebaikan.” QS. al-Nisaa: 19.
Demikian pula wasiat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam kepada
setiap suami “Pergaulilah isteri-isteri dengan baik. Karena sesungguhnya
mereka itu mitra hidup kalian”, riwayat yang lainnya beliau bersabda “Mu’min
yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya. Dan sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya”. HR. Ahmad.
Ayat dan hadits tersebut merupakan nasehat bagi calon pengantin serta
suami istri agar bisa hidup damai, bahagia di dunia di akhirat. Makna
nasehat-nasehat tersebut terdapat pula dalam teks sawer “Bismillah damel
wiwitan, Mugi Gusti nangtayungan, Eulis- Asép nu réndéngan, Mugia kasalametan.
Salamet nu panganténan, Ulah aya kakirangan, Sing tiasa sasarengan, Sangkan
jadi kasenangan. Sing senang laki rabina, Nu diwuruk pangpayunna, Nyaéta badé
istrina, Masing dugi ka hartina. Hartikeun eulis ayeuna, Lebetkeun kana
manahna, Manawi aya gunana, Nu dipamrih mangpaatna. Mangpaatna lahir batin,
Eulis téh masing prihatin, Ayeuna aya nu mingpin, Ka carogé masing tigin. Tigin
eulis kumawula, Ka raka ulah bahula, Bisi raka meunang bahla, Kudu bisa silih
béla. Silih béla jeung carogé, Ulah ngan pelesir baé, Mending ogé boga gawé,
Ngarah rapih unggal poé. Répéh rapih nu saimah, Rumah tangga tumaninah, Tapi
lamun loba salah, Laki rabi moal genah….”.[20]
kearifan lokal ini tentunya harus dijaga jangan sampai hanya sekadar
tradisi yang tidak memberi arti bagi pengantin dan keluarga.
Rekonstruksi istilah ini adalah dengan menggali
sumber-sumber Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah yang berkaitan dengan tradisi
dan adat-istiadat pada suatu masyarakat. Ranah hukum Islam menyebut istilah ini
dengan ‘urf, العرف yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan
masyarakat, baik dalam perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara
terus-menerus dan diakui sebagai sesuatu yang baik oleh mereka.[21] Teori ‘Urf merupakan respon ahli hukum
Islam terhadap adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Inti teori ini adalah
bahwa adat kebiasaan yang dilakukan oleh manusia secara berulang-ulang dan
dipandang baik oleh mereka bisa diterima oleh Islam sebagai dalil hukum.
Sejatinya penerimaan ‘Urf sebagai dalil hukum Islam telah dilakukan
sejak masa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam dan para
shahabatnya.[22]
Tradisi ini dilanjutkan oleh para ahli hukum Islam pada masa-masa
berikutnya.
Ahli
hukum Islam yang menggagas teori ini adalah Malik bin Anas, beliau berpendapat
bahwa ‘Urf masyarakat harus dipertimbangkan dalam memformulasikan suatu
ketetapan dalam hukum Islam. Ia menetapkan a’mal penduduk Madinah
sebagai sumber hukum ketika tidak ditemukan secara eksplisit dalil dalam
al-Qur’an maupun al-Hadits.[23]
Ia juga melakukan takhsis terhadap ayat al-Qur’an dengan ‘urf Arab
pada permasalahan hak menyusui bagi seorang ibu.[24]
Menurutnya, walaupun ayat ini memerintahkan para ibu untuk menyusui anaknya
hingga dua tahun, namun dalam prakteknya ibu-ibu di Arab telah terbiasa dengan
menyusukan anak-anaknya kepada perempuan-perempuan dari wilayah pedalaman
dengan harapan anak-anaknya tersebut mendapatkan pendidikan dan lingkungan
pertumbuhan yang baik.
Imam
Syafi’i juga menggunakan ‘urf sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum Islam,
terlihat dari perubahan hukum ketika ia berpindah dari Baghdad ke Mesir dengan
pertimbangan ‘urf penduduk Mesir.[25] Fuqaha
Syafi’iyyah yang membahas masalah ‘urf adalah Imam Suyuti, ia
menyatakan:
أن
اعتبار العادة والعرف رُجِعَ إليه في الفقه في مسائل لا تُعَدُّ كثرة
Bahwa
adat dan urf merupakan sumber hukum yang bisa memecahkan dalam berbagai
persoalan, diantaranya masalah Haidh masalah batas dewasa dll.[26]
Abu Hanifah telah banyak menggunakan istihsan yang
salah satunya menjadikan adat kebiasaan sebagai bahan pertimbangan. Metode ini
diteruskan oleh murid-muridnya yaitu Abu Yusuf, Sarakhsi dan Syaibani. Abu
Yusuf berpendapat bahwa ‘urf menjadi bahan pertimbangan utama dalam
sistem hukum Hanafiyah, ketika nash yang jelas tidak ditemukan.[27]
Menurut Sarakhsi, Abu Hanifah akan menolak qiyas untuk lebih memilih ‘urf.[28]
Muhammad Syaibani merumuskan beberapa syarat yang memungkinkan ‘urf
diterima oleh hukum Islam.[29]
Ahmad bin Hambal dan
pengikutnya menggunakan ‘urf sebagai sumber hukum Islam. Ibnu Qudamah
berpendapat bahwa ‘urf dianggap sebagai sumber hukum Islam dan ia
menguatkan aturan-aturan fiqhnya dengan merujuk kepada adat.[30]
Al-Tufi menjadikan ‘urf sebagai salah satu dari sembilan belas sumber
hukum dalam Islam.[31]
Ahli hukum Islam dari mazhab Hambali berikutnya yang membahas tentang ‘urf adalah
Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. Ia mencatat dalam kitabnya
I`lamul Muwaqqi’in:
وَمَنْ
أَفْتَى النَّاسَ بِمُجَرَّدِ الْمَنْقُولِ فِي الْكُتُبِ عَلَى اخْتِلَافِ عُرْفِهِمْ
وَعَوَائِدِهِمْ وَأَزْمِنَتِهِمْ وَأَمْكِنَتِهِمْ وَأَحْوَالِهِمْ وَقَرَائِنِ أَحْوَالِهِمْ
فَقَدْ ضَلَّ وَأَضَلَّ
Sesungguhnya
orang yang berfatwa hanya berdasarkan dalil naqli dan bertentangan dengan
tradisi, urf, situasi, dan kondisi masyarakat maka berarti dia telah berlaku
sesat dan menyesatkan.[32]
Selain ahli hukum Islam dari empat mazhab klasik, ahli hukum
Islam kontemporer juga menyepakati bahwa ‘urf menjadi bahan pertimbangan
dalam menetapkan hukum Islam.[33]
Sehingga bisa dikatakan bahwa jumhur fuqaha salaf dan khalaf telah sepakat mengenai kedudukan ‘urf sebagai
dalil hukum Islam.
Teori ‘urf didasarkan
ayat-ayat al-Qur’an[34]
dan hadits-hadits Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Ayat-ayat
al-Qur’an yang menjadi dasar bagi teori ini adalah firman Allah ta’ala:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (QS. al-A'raf [7]:
199).
Makna ma’ruf dalam ayat ini adalah sesuatu yang telah diketahui
kebaikannya oleh semua manusia. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menafsirkan
kata al-‘urf dengan:
بكل قول حسن وفعل جميل،
وخلق كامل للقريب والبعيد
Seluruh perkataan yang baik dan
perbuatan yang mulia serta akhlak yang sempurna kepada orang-orang yang dekat
dan orang-orang yang jauh.[35]
Adapun dasar dari hadits adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wassalam kepada Hindun binti ‘Uqbah sebagai istri Abu Sufyan:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ هِنْدُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ مَا
يَكْفِينِي وَبَنِيَّ قَالَ خُذِي بِالْمَعْرُوفِ
Dari Aisyah radhiallahu
‘anhuma, Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, datang menemui Rasulullah
saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang
lelaki yang kikir, dia tidak pernah memberikan nafkah kepadaku yang dapat mencukupi
kebutuhanku dan anak-anakku kecuali apa yang aku ambil dari hartanya tanpa
sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena itu? Rasulullah saw. bersabda:
Ambillah dari hartanya dengan cara yang baik yang dapat mencukupimu dan
mencukupi anak-anakmu. HR. Bukhari dan Muslim.
Imam al-Qurtubi berpendapat bahwa hadits ini sebagai dalil
tindakan Nabi yang membolehkan menggunakan ‘urf sebagai pertimbangan
hukum. Selanjutnya adalah riwayat mauquf dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata:
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ
حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
Apa saja yang dipandang baik oleh umat
Islam, maka hal itu juga baik menurut Allah. HR. Ahmad.[36]
Riwayat ini
menjelaskan bahwa kebiasaan yang dianggap baik oleh umat Islam maka di mata
Allah juga baik. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang lainnya di mana beliau
bersabda:
لا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي
عَلَى ضَلالَةِ
Umatku tidak akan bersatu dalam
kesesatan. HR. Ahmad dan al-Thabrani.
Maka adat kebiasaan
yang itu dipandang baik oleh masyarakat bisa dilaksanakan selama tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang universal yairu ‘urf yang
berlaku pada suatu masyarakat. Termasukdalam hal ini setiap tradisi di Tatar
Sunda yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an dan al-Sunnah maka
bisa dijadikan sebagai pedoman dalam menetapkan hukum.
E. Simpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai rekonstruksi istilah “Islam teh Sunda,
Sunda teh Islam” maka ada beberapa kesimpulan:
1.
Sejarah munculnya istilah
“Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” adalah realitas masyarakat Sunda yang telah
menerima Islam karena selaras dengan nilai-nilai kesundaan yang mereka miliki.
2.
Keselarasan antara Sunda
dan Islam tampak dari kepercayaan mereka terhadap adanya satu Tuhan Pencipta
dan Pemilik Alam (Monoteisme) serta perilaku dan etika Sunda yang selaras
dengan adab dan akhlak dalam Islam.
3.
Agama dan kepercayaan
berhalaisme atau keyakinan dengan banyak tuhan (trinitas, dewa-dewa dan
politeisme lainnya) tidak mungkin diterima oleh komunitas Sunda karena
bertentangan dengan keyakinan awalnya.
4.
Rekonstruksi istilah “Islam
teh Sunda, Sunda teh Islam” dilakukan dengan menguatkan kembali pondasi
tauhidullah (keyakinan adanya satu Tuhan yaitu Allah ta’ala), membangun
tiang-tiang penopang berupa mengemablikan fitrah hanif umat manusia dan
merumuskan atap sebagai payung yaitu kaidah-kaidah fiqhiyah khususnya kaidah “al-adah
muhakkamah”
5.
Sudah selayaknya bagi
seluruh masyarakat Sunda untuk bisa Ngamumule Budaya Sunda Nanjeurkeun
Komara Agama.
F.
Bahan Bacaan
Abdul
Karim Zaidan, Al-Madkhal li Dirasah al-Syariah al-Islamiyah, (Iskandariyah:
Daar Umar bin Khattan, tt).
Abdurrahman
bin Nashir As-Sa’di, Taisir Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan (Kuwait:
Jam’iyyah Ihya At-Turats Al-Islami, tahun 2008).
Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Kairo: Daar
al-Manar, 1947).
Abu
Abdillah Muhammad bin Bakr bin Ayyub Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyyah, I’lam
al-Muwaqi’in ‘a Rabbil ‘Alamaiin, (Riyadh: Daar ibn al-Jauzy, 1423 H),
Jilid I.
Abu
al-Fida Ismail bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim Jilid III,
(Kuwait: Jam’iyyah Ihya al-Turats al-Islami, 2001).
Ahmad
Fahmi Abu Sinnah, Al-‘Urf Wal ‘Adah fi Ra’yil Fuqaha, (Mesir: Mathba’ah
Al-Azhar, tahun 1947).
Ajip
Rosjidi, Mencari Sosok Manusia Sunda, (Pustaka Jaya Jakarta, 2010).
Al-Sarakhsi,
Al-Mabsuth, (Kairo: Maktabah al-Sa’adah, 1912), jilid 12.
Al-Tufi,
Al-Mashlahah di Tasri’ al-Islami, lihat Ratno Lukito, “Pergumulan
Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia.
Anis
Djatisunda, Baduy Rawayan Urang Kanekes, (Bandung: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Jawa barat, 1993).
Anonimous,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,
Pusat Bahasa. 2008).
Demininggus
Pekei, Tinjauan Keyakinan dan Agama Asli Orang Mee di Papua, sumber: http://majalahselangkah.com/content/tinjauan-keyakinan-dan-agama-asli-orang-mee-di-papua.
E.
E. Evans Pritshard, Teori-teori tentang Agama Primitif, (Yogyakarta:
PLP2M, 1984).
Edi
S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Studi Pendekatan Sejarah Jilid 1, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 2009), cet. Ke-9, hlm. 62.
H.M.
Didi Turmudzi, Keserasian Islam & Sunda dalam http://pajajaran.blogspot.com/2008/09/ keserasian-islam-sunda.html.
Ibnu
Hummam, Syarh Fathu al-Qadir, (Kairo: Matba’at Musthafa Muhammad, 1937),
jilid 5.
Jaih
Mubarak, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid,
(Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2002).
Jalaluddin
al-Suyuti, al-Asybah wa Nadzair, (Beirut : Daar Al-Kutub al- Araby,tt).
Judistira
K. Garna, Orang Baduy, (Malaysia, Bangi : Universitas Kebangsaan
Malaysia, 1989).
Jul
Jacob : Primaco Akademikan dan Judistira Garna Foundation, 2012).
Khallaf,
Abd a-Wahhab, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), cet.ke-20.
Muhammad
Muhammad al-Madany, Nadzaraat fi Fiqh al-Faruq Umar ibn al-Khattab, (Kairo:
Wizarah al-Auqaf, 2002).
Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Silsilah ahadits al-Shahihah Juz I/112, Maktabah
Syamilah.
Mushtafa
Ahmad Zarqa, Al-Madkhal fi Fiqh al-‘Am.
Nina
Herlina Lubis, Sejarah Tatar Sunda Jilid 1, (Bandung: Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran, 2003).
Saléh
Danasasmita. Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi.
(Bandung: Kiblat Buku Utama, 2003).
Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah, (Mesir: Dar Al-Fath).
Tiar
Anwar Bachtiar, Sunda dan Islam, pada http://www.globalmuslim.web.id/2011/12/sunda-dan-islam.html.
Yus
Rusyana. Bagbagan Puisi Sawer Sunda. (Bandung: Proyek Penelitian Pantun
dan Folklore Sunda, 1971).
Zahrah,
Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh, (Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958).
Zakiyuddin
Sa’ban, Ushul al-Fiqh al-Islamiy (Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, 1968).
[1] Abu al-Fida Ismail bin Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Adzim Jilid III, (Kuwait: Jam’iyyah Ihya al-Turats al-Islami,
2001), hlm. 1876.
[2] Nina Herlina Lubis, Sejarah Tatar
Sunda Jilid 1, (Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2003),
hlm. 155.
[3] Kata Sunda berasal dari kata “Sund”
berarti bagus/baik, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. H. Hasan
Mustapa menyebutkan bahwa kata “Sunda” berasal dari kata “Sundek” yang
berarti bagus secara arti dan hakiki. Lihat H. Hasan Mustapa, Adat Istiadat
Sunda, (Bandung: PT. Alumni, 2010), hlm. 225. Orang Sunda diyakini memiliki
etos/watak/karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak/karakter
Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener
(benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/cerdas).
[4] Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda:
Studi Pendekatan Sejarah Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009), cet. Ke-9,
hlm. 62.
[5] Anis Djatisunda, Baduy Rawayan
Urang Kanekes, (Bandung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa
barat, 1993), hlm. 3.
[6] HR. Ahmad. Lihat Muhammad Nashiruddin
al-Albani, Silsilah ahadits al-Shahihah Juz I/112, Maktabah Syamilah.
[7] Ajip Rosjidi, Mencari Sosok Manusia
Sunda, (Pustaka Jaya Jakarta, 2010), hlm.50.
[8] H. M. Didi Turmudzi, Keserasian
Islam & Sunda dalam http://pajajaran.blogspot.com/2008/09/ keserasian-islam-sunda.html.
[9] Kepercayaan animisme (dari bahasa
latin anima atau “roh”) adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh, yang
mana animisme merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul di
kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme yaitu percaya bahwa setiap
benda di bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pohon atau batu besar)
mempunyai jiwa.
[10] Kepercayaan terhadap benda-benda di
sekitar manusia yang diyakini memiliki kekuatan ghaib seperti batu, gunung, dan
benda-benda keramat lainnya.
[11] Tiar Anwar Bachtiar, Sunda dan
Islam, pada http://www.globalmuslim.web.id/2011/12/sunda-dan-islam.html.
[12] Demininggus Pekei, Tinjauan
Keyakinan dan Agama Asli Orang Mee di Papua, sumber: http://majalahselangkah.com/content/tinjauan-keyakinan-dan-agama-asli-orang-mee-di-papua.
[13] Anonimous, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2008),
hlm. 1189.
[14] Judistira K. Garna, Orang Baduy,
hlm. 61.
[15] Bandingkan dengan Jul Jacobs, De
Badoej’s, terjemah oleh Judistira K. Garna, Orang Baduy, (Bandung:
Primaco Akademikan dan Judistira Garna Foundation, 2012), hlm.6.
[16] Istilah primitive digunakan oleh
ahli-ahli dari Barat yang menganggap bahwa agama selain dari Eropa dianggap
tertinggal. Penulis sangat tidak setuju dengan istilah ini sebagaimana juga
tidak setuju dengan istilah tradisional dan modern dalam terminologi Barat.
[17] E. E. Evans Pritshard, Teori-teori
tentang Agama Primitif, (Yogyakarta: PLP2M, 1984), hlm. 17.
[18] Lihat Saléh Danasasmita. Nyukcruk
sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. (Bandung: Kiblat Buku
Utama, 2003).
[19] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,
(Mesir: Dar Al-Fath).
[20] Lihat Yus Rusyana. Bagbagan Puisi
Sawer Sunda. (Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda, 1971).
[21] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh
al-Islami, hlm. 282. Lebih lanjut lihat Zahrah, Muhammad Abu, Ushul
al-Fiqh, (Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), hlm. 273. Khallaf, Abd
a-Wahhab, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), cet.ke-20, hlm. 79.
Ahmad Fahmi Abu Sinnah, al-‘Urf fi Ra’yi Fuqaha, (Mesir: Mathba’ah
Al-Azhar, tahun 1947), hlm. 11. Zakiyuddin Sa’ban, Ushul al-Fiqh al-Islamiy
(Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, 1968), hlm. 192. Mushtafa Ahmad Zarqa, Al-Madkhal
fi Fiqh al-‘Am, hlm. 872. Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal li Dirasah
al-Syariah al-Islamiyah, (Iskandariyah: Daar Umar bin Khattan, tt), hlm.
205.
[22] Khalifah Umar bin Khattab tercatat
sebagai khalifah yang banyak menjadikan adat kebiasaan masyarakat pada
negeri-negeri taklukan sebagai bagian dari sistem kekhalifahannya. Misalnya ia
mengadopsi sistem diwan, registrasi, kharaj dan layanan pos yang
sebagian diambil dari adat kebaisaan kekaisaran Bizantium dan Persia. Lihat
lebih lanjut Muhammad Muhammad al-Madany, Nadzaraat fi Fiqh al-Faruq Umar
ibn al-Khattab, (Kairo: Wizarah al-Auqaf, 2002).
[23] Ahmad Fahmi Abu Sinnah, Al-‘Urf Wal
‘Adah fi Ra’yil Fuqaha, (Mesir: Mathba’ah Al-Azhar, tahun 1947), hlm. 12.
[24] Allah ta’ala berfirman: Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. (QS. al-Baqarah [2]: 233).
[25] Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum
Islam: Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta : Rajagrafindo
Persada, 2002), hlm. 311.
[26] Jalaluddin al-Suyuti, al-Asybah wa
Nadzair, (Beirut : Daar Al-Kutub al- Araby,tt) hlm. 90.
[27] Ibnu Hummam, Syarh Fathu al-Qadir, (Kairo:
Matba’at Musthafa Muhammad, 1937), jilid 5, hlm. 283.
[28] Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth,
(Kairo: Maktabah al-Sa’adah, 1912), jilid 12, hlm 199.
[29] Muhammad Ibnu Hasan al-Syaibani, Siyar
al-Kabir, lihat Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di
Indonesia, hlm. 20.
[30] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Ibnu
Qudamah, al-Mughni, (Kairo: Daar al-Manar, 1947), hlm. 485.
[31] Al-Tufi, Al-Mashlahah di Tasri’
al-Islami, lihat Ratno Lukito, “Pergumulan Hukum Adat dan Hukum Islam di
Indonesia, hlm. 23
[32] Abu Abdillah Muhammad bin Bakr bin
Ayyub Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqi’in ‘a Rabbil ‘Alamaiin, (Riyadh:
Daar ibn al-Jauzy, 1423 H), Jilid I, hlm. 40.
[33] Ahli hukum Islam kontemporer yang
mengkaji secara mendalam teori ‘urf adalah Fahmi Abu Sinnah, Wahbah al-Zuhaili,
Muhammad Abu Zahra, Abdul Wahab Khalaf, Hasbi Ash-Shidiqie dan ahli hukum Islam
lainnya
[34] Al-Qur’an
menggunakan kata ‘urf dengan beberapa lafadz, yaitu ‘Arafa: QS.
Yusuf [12]: 58. QS. Muhammad [47]: 6. Lafadz ‘Arrafuu: QS. al-Baqarah
[2]: 89. QS. al-Maidah [5]: 83. Lafadz ‘Arafta: QS. Muhammad [47]: 30.
Lafadz ‘Arrafa: QS. At-Tahrim [66]: 3. Lafadz ya’rifu: QS.
al-Baqarah [2]: 146. QS. al-An’am [6]: 20. QS. al-A’raf [7]: 46, 48. QS An-Nahl
[16]: 83. QS. al-Mukmin [40]: 69. QS. Al-Hajj [22]: 72. QS An-Naml [27]: 93.
Lafadz ‘Urf dan al-‘Urf: QS. al-Mursalaat [77]: 1. QS. al-A'raf
[7]: 199. Lafadz ma'ruf dan al-ma’ruf: QS. al-Baqarah [2]: 178,
180, 228, 229, 231, 234-236, 240, 241, 263. QS. Muhammad [47]: 21. QS. al-Nisaa
[4]: 114. QS. al-Mumtahanah [60]: 12. QS. Luqman [31]: 15. QS. al-Nisaa [4]:
5,6, 8. QS. al-Nur [24]: 53. QS. al-A’raf [7]: 157. (QS. Luqman [31]: 17. QS.
Ali Imran [3]: 104, 110, 114. QS.
al-Nisaa [4]: 19, 25. QS. Al-Hajj [22]: 41. QS. al-Taubah [9]: 67, 71, 112.
Lafadz i’tarofu: QS. al-Taubah
[9]: 102. Lafadz yata’arafu: QS.
Yunus [10]: 45.
[35] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisir
Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan (Kuwait: Jam’iyyah Ihya At-Turats
Al-Islami, tahun 2008), hlm. 313.
[36] Imam al-Sakhawy berpendapat bahwa
matan hadits ini terdapat dalam musnad Imam Ahmad ibn Hanbal dan berstatus
mauquf dari Abdullah ibn Mas’ud serta statusnya hasan. Pendapat senada juga
dilontarkan oleh al-Alla’iy sebagaimana yang dikutip oleh Abu Bakr al-Suyuthi
yang menyatakan bahwa matan hadits ini tidaklah marfu’ dari Rasulullah akan
tetapi merupakan perkataan Abdullah ibn Mas’ud. Lihat Jalaludin al-Suyuti, al-Asybah
wa Nadzair, hlm. 91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...