Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro
Manusia adalah makhluk
sosial (zoon politicon), ia tidak bisa hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain bersamanya. Maka, setiap
manusia akan melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Proses interaksi ini
berlangsung secara terus-menerus, sejak ia dilahirkan hingga meninggal dunia. Ruang
lingkupnya yang tidak terbatas, dari interaksi dalam keluarga hingga interaksi
dengan masyarakat seluruh dunia. Proses interaksi ini menimbulkan dampak hubungan
timbal balik yang bersifat positif dan negatif. Dampak positif dalam interaksi
ini berupa terciptanya kerja sama, saling membantu, dan saling memenuhi
kebutuhan masing-masing. Sementara dampak negatifnya adalah terjadinya konflik
sosial karena setiap manusia akan berusaha mendahulukan kepentingan individunya
masing-masing. Selain itu adanya kepentingan yang berbeda-beda di antara
manusia juga merupakan dampak negatif dari interaksi yang terjadi di antara
mereka sehingga terjadi berbagai kesalahpahaman, percekcokan, persengketaan
hingga terjadi perselisihan yang berujung pada bentrok fisik dan peperangan.
Banyaknya terjadi
konflik sosial di tengah masyarakat menciptakan gagasan untuk membuat kesepakatan-kesepakatan
yang berkenaan dengan aturan dalam interaksi tersebut. Kesepakatan-kesepakatan
yang diberlakukan dalam suatu kelompok masyarakat inilah yang kemudian menjadi
aturan-aturan baku yang menjadi sebuah kesepakatan bersama dan menjadi hukum
yang ditetapkan sesuai dengan kondisi dan keadaan masyarakat tersebut. Agar
aturan ini dapat dilaksanakan dan ditaati maka dibuat pula kesepakatan adanya sanksi
hukuman bagi siapa saja yang melanggarnya. Adanya sanksi bagi para pelanggar aturan
tersebut memunculkan istilah hukum yang dipahami sebagai seperangkat aturan
yang menjadi kesepakatan bersama dan bagi yang melanggarnya akan mendapatkan
sanksi.
Hukum sebagai aturan
yang telah disepakati bersama ada pada setiap masyarakat, baik itu masyarakat
tradisional maupun masyarakat modern. Kenyataan inilah yang telah direkam oleh
ahli filsafat Yunani Cicero dengan istilah Ubi Societas Ibi Ius yaitu
bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum yang berlaku. Maksudnya adalah bahwa
bagaimanapun keadaan suatu masyarakat, mereka memiliki aturan-aturan (hukum) yang
disepakati bersama untuk mengatur interaksi di antara mereka, walaupun mereka
adalah masyarakat yang tinggal di tengah padang pasir atau di tengah hutan
belantara.
Masyarakat Arabia adalah
salah satu dari masyarakat yang memiliki adat istiadat sebagai sebuah hukum
yang berlaku di antara mereka. Walaupun mereka tinggal di tengah padang pasir,
namun mereka memiliki aturan-aturan tertentu yang disepakati oleh seluruh anggota
sukunya, dalam ruang lingkup lebih luas mereka juga mempunyai kesepakatan
(hukum) yang berlaku di antara suku (kabilah) yang bermukim di wilayah
Semenanjung Arab. Sejarah masyarakat Arab membuktikan bahwa hukum yang telah
mereka sepakati sering sekali dilanggar sehingga menimbulkan konflik antar suku
yang berlangsung lama. Hal ini disebabkan kepribadian mereka yang sangat loyal
dengan sukunya, sehingga mereka berani berkorban nyawa untuk membela kepentingan
sukunya. Bagi mereka suku adalah kehormatan diri, jika anggota sukunya terbunuh
oleh suku lain maka mereka akan melakukan tindakan menuntut balas (qishas).[1]
Fakta ini dijadikan argumentasi oleh beberapa ahli bahwa hukum yang berlaku
pada masyarakat Arab adalah hukum rimba (yang kuat menindas yang lemah).
[1]
Muhammad Husain Haekal, Sejarah
Hidup Muhammad, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa. 2007), hlm. 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...