Pengertian Khalwat
Khalwat adalah seorang laki-laki berada bersama perempuan yang
bukan mahramnya dan tidak ada orang ketiga bersamanya. (Lihat Al Mar’atul
Muslimah Baina Ijtihâdil Fuqahâ’ wa Mumârasât Al Muslimîn hal. 111)
Khalwat adalah perkara yang diharamkan dalam agama ini,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil.
Di antara dalil-dali itu adalah sebagai berikut:
Satu: Hadits ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu yang
dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
‘alâ âlihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ
وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُوْلَ
اللهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ.
“Hati-hati kalian terhadap masuk (bertemu) dengan para
perempuan. Maka berkata seorang lelaki dari Anshar: “Wahai Rasulullah bagaimana
pendapatmu dengan Al Hamwu?” Beliau berkata: “Al Hamwu adalah
maut.”
Imam Muslim mengeluarkan dengan sanad yang shahih dari
Al Lais bin Sa’ad Ahli Fiqh negeri Mesir rahimahullah, Beliau berkata: “Al
Hamwu adalah saudara laki-laki suami dan yang serupa dengannya dari kerabat
sang suami; Anak paman dan yang semisalnya.”
Berkata Imam Nawawi: “Sepakat ahli bahasa bahwa makna Al
Hamwu adalah kerabat suami sang istri seperti bapaknya, Ibunya, saudara
laki-lakinya, anak saudara laki-lakinya, anak pamannya dan yang semisalnya.”
Kemudian Imam An Nawawi berkata: “Dan yang diinginkan
dengan Al Hamwu disini (dalam hadits di atas, -pent.) adalah kerabat
suami selain bapak-bapaknya dan anak-anaknya. Adapun bapak-bapak dan
anak-anaknya, mereka adalah mahram bagi istrinya, boleh bagi mereka ber-khalwat
dengannya dan tidaklah mereka disifatkan sebagai maut.” Baca: Syarah Shahîh
Muslim 14/154.
Adapun sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ
âlihi wasallam: “Al Hamwu adalah maut,” ada beberapa
penjelasan dari para ‘ulama tentang maksudnya:
- Maksudnya
bahwa ber-khalwat dengan Al Hamwu akan mengantar kepada
kehancuran agama seseorang yaitu dengan terjatuhnya ke dalam maksiat, atau
mengantar kepada mati itu sendiri yaitu apabila ia melakukan maksiat dan
mengakibatkan ia dihukum rajam, atau bisa kehancuran bagi perempuan itu
sendiri yaitu ia akan diceraikan oleh suaminya bila sebab kecemburaannya.
- Berkata
Ath Thobari: “Maknanya adalah seorang lelaki ber-khalwat dengan
istri saudara laki-lakinya atau (istri) anak saudara laki-lakinya
kedudukannya seperti kedudukan maut dan orang Arab mensifatkan sesuatu
yang tidak baik dengan maut.”
- Ibnul
‘A’rabi menerangkan bahwa orang Arab kalau berkata: “Singa adalah maut”
artinya berjumpa dengan singa adalah maut yaitu hati-hatilah kalian dari
singa sebagaimana kalian hati-hati dari maut.
- Berkata
pengarang Majma’ Al Gharâ’ib: “Yaitu tidak boleh seorangpun ber-khalwat
dengannya kecuali maut.”
- Berkata
Al Qodhi ‘Iyadh: “Maknanya bahwa ber-khalwat dengan Al
Hamwu adalah pengantar kepada fitnah dan kebinasaan.”
- Berkata
Al Qurthubi: “Maknanya bahwa masuknya kerabat suami (bertemu) dengan
istrinya menyerupai maut dalam jeleknya dan rusaknya yaitu hal tersebut
diharamkan (dan) dimaklumi pengharamannya.”
Lihat: Fathul Bari 9/332 karya Al Hafizh Ibnu
Hajar dan Syarah Shahîh Muslim karya Imam An Nawawi 14/154.
Dua: Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat
Bukhari, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam
berkata:
لَا
يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ
يَا رَسُوْلَ اللهِ امْرَأَتِيْ خَرَجَتْ حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ فِيْ غَزْوَةِ
كَذَا وَكَذَا قَالَ ارْجِعْ فَحَجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ.
“Janganlah seorang laki-laki ber-khalwat
dengan perempuan kecuali bersama mahramnya. Maka berdirilah seorang lelaki lalu
berkata: “Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk haji dan saya telah terdaftar
di perang ini dan ini.” Beliau berkata: “Kembalilah engkau, kemudian berhajilah
bersama istrimu.”
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathur Bari (4/
32–87): “Hadist ini menunjukkan pengharaman khalawat antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang tidak semahram, dan hal ini disepakati
oleh para ‘ulama dan tidak ada khilaf di dalamnya.”
Tiga: Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam
bersabda:
لَا
يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ.
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian
dengan perempuan karena yang ketiga bersama mereka adalah syaithan.”
(Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Ash Shahîhah no. 430)
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni 9/490 setelah tentang
disyari’atkannya melihat kepada perempuan yang dipinang, beliau menjelaskan
beberapa hukum yang berkaitan dengannya, di antaranya beliau berkata: “Dan
tidak boleh ber-khalwat dengannya karena khalwat adalah haram dan
tidak ada dalam syari’at (pembolehan) selain dari melihat karena dengan khalwat
itu tidak ada jaminan tidak terjatuh ke dalam hal yang terlarang.”
Empat: Hadist Jabir yang dikeluarkan oleh Imam Muslim,
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
أَلَا لَا
يَبِيْتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ نَاكِحًا أَوْ
ذَا مَحْرَمٍ.
“Janganlah seorang laki-laki bermalam di tempat
seorang janda kecuali ia telah menjadi suaminya atau sebagai mahramnya.”
Imam An Nawawi berkata dalam Syarah Shahîh Muslim
(14/153): “Hadits ini dan hadits-hadits setelahnya (menunjukkan) haramnya ber-khalwat
dengan perempuan ajnabiyah (bukan mahram) dan (menunjukkan) bolehnya
ber-khalwat dengan siapa yang merupakan mahramnya. Dan dua perkara ini
disepakai (dikalangan para ‘ulama, -pent.).”
Dan perlu diketahui bahwa pengharaman khalawat
tersebut adalah berlaku umum, baik itu dirumah maupun diluar rumah serta tempat
yang lainnya. Lihat Al Mufashshal Fî Ahkâmil Mar’ah (3/ 422).
Lima: Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
الْمَرْأَةُ
عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ.
“Perempuan itu adalah aurat, kalau dia keluar maka
dibuat agung/indah oleh syaithan.” (HR At Tirmidzi no. 1173 dan lain-lainnya
dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al Jami’ Ash Shahih).
HUKUM
IKHTILATH
Makna Ikhtilâth
Makna ikhtilath secara bahasa adalah
bercampurnya sesuatu dengan sesuatu yang lain (Lihat: Lisanul ‘Arab
9/161-162).
Adapun maknanya secara syar’i yaitu
percampurbauran antara laki-laki dan perempuan yang tidak hubungan mahram pada
tempat. (Lihat: Al Mufashshal Fî Ahkâmil Mar’ah: 3/421 dan Al
Mar’atul Muslimah Baina Ijtihâdil Fuqohâ’ wa Mumârasât Al Muslimin
hal. 111)
Hukum Ikhtilath
Hukum ikhtilath adalah haram berdasarkan
dalil-dalil sebagai berikut:
Satu : Firman Allah subhânahu wa ta’âlâ dalam
surah Al Ahzâb ayat 33:
وَقَرْنَ فِي
بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.”
Berkata Imam Al Qurthubi dalam menafsirakan ayat ini:
“Makna ayat ini adalah perintah untuk tetap berdiam atau tinggal di rumah,
walaupun yang diperintah dalam ayat ini adalah para istri Nabi Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam namun secara makna masuk pula selain dari
istri-istri beliau Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam.”
(Lihat Tafsirul Qurthubi: 4/179)
Dan Ibnu Katsir berkata tentang makna ayat ini:
“Tinggallah kalian di rumah-rumah kalian, janganlah kalian keluar kecuali bila
ada keperluan.”
Dua: Firman Allah ‘Azza Wa Jalla dalam surah Al
Isra’ ayat 32:
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا
“Dan janganlah kalian mendekati zina.”
Larangan dalam ayat ini dengan konteks “Jangan
kalian mendekati” menunjukkan bahwa Al Qur’an telah mengharamkan zina
begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang dapat mengantar kepada perbuatan zina
serta sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, berkhalwat,
tabarruj dan lain-lain.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/39).
Tiga: Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang
dikeluarkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya,
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
لَا
تَمْنَعُوْا نِسَائَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang para perempuan kalian
(untuk menghadiri) mesjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
Dan dengan lafazh yang lain yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar pula, Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
لَا
تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ.
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah yang
perempuan (untuk menghadiri) mesjid-mesjid Allah.”
Hadits ini menjelaskan tentang tidak wajibnya
perempuan menghadiri sholat jama’ah bersama laki-laki di masjid, ini berarti
boleh bagi perempuan untuk menghadiri sholat jama’ah di masjid akan tetapi
rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka. Dan para ulama fuqaha’
sepakat tentang tidak wajibnya hal tersebut. Dan sebagian dari mereka
memakruhkan untuk perempuan muda, adapun untuk perempuan yang telah tua maka
mereka membolehkannya dan yang rajih adalah hukumnya boleh. (Lihat: Al
Mufashshal Fii Ahkâmil Mar’ah: 3/424)
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim
(2/83): “Ini menunjukkan bolehnya perempuan ke masjid untuk menghadiri sholat
jama’ah, tentunya bila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
syari’at. Di antaranya tidak keluar dengan menggunakan wangi-wangian, tidak
berpakaian yang menyolok dan termasuk di dalamnya tidak bercampur atau ikhtilath
dengan laki-laki yang bukan mahramnya.”
Empat: Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang
dikeluarkan oleh Imam Bukhari, beliau berkata:
اسْتَأْذَنْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ
: جِهَادُكُنَّ الْحَجُّ.
“Saya meminta izin kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa ‘alâ âlihi wasallam untuk berjihad, maka Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda: Jihad kalian adalah berhaji.”
Berkata Ibnu Baththal dalam Syarahnya sebagaimana yang
dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6/75-76): “Hadits ini
menjelaskan bahwa jihad tidak diwajibkan bagi perempuan, hal ini disebabkan
karena perempuan apabila berjihad maka tidak akan mampu menjaga dirinya dan juga
akan terjadi percampurbauran antara laki-laki dan perempuan.”
Lima: Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang
dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi
wasallam bersabda:
خَيْرُ
صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ
آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا.
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan
dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang. Dan sebaik-baik shaf
perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jeleknya adalah yang paling
awal.”
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim:
“Bahwa sesungguhnya shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang
dan shaf laki-laki yang paling baik adalah yang paling awalnya, hal ini
dikarenakan agar keadaan shaf perempuan dan shaf laki-laki saling menjauh
sehingga tidak terjadi ikhtilath dan saling memandang satu dengan yang
lainnya.”
Berkata Ash Shan’ani dalam Subulus Salam:
“Dalam hadits ini menjelaskan sebab sunnahnya shaf perempuan berada di belakang
shof laki-laki agar supaya keadaan tempat perempuan dan laki-laki dalam sholat
saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath di antara mereka.”
Berkata Asy Syaukani dalam Nailul Authar
(3/189): “Penyebab kebaikan shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki
adalah karena tidak terjadi iktilath antara mereka.”
Enam: Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang
dikeluarkan oleh Imam Bukhari, beliau berkata:
إِنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّيْ
الصُّبْحَ بِغَلَسٍ فَيَنْصَرِفْنَ نِسَاءُ الْمُؤْمِنِيْنَ لَا يُعْرَفْنَ مِنْ
الْغَلَسِ أَوْ لَا يَعْرِفُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
‘alâ âlihi wasallam sholat Shubuh pada saat masih gelap maka para perempuan
kaum mukminin kembali dan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian
mereka tidak mengenal sebagian yang lain.”
Hadits ini menjelaskan disunnahkannya bagi perempuan
keluar dari masjid lebih dahulu daripada laki-laki ketika selesai shalat
jama’ah, agar supaya tidak terjadi ikhtilath, saling pandang memandang
atau hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syari’at.
Hal serupa dijelaskan pula dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha riwayat Imam Bukhari, beliau berkata:
أَنَّ
النِّسَاءَ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم وَمَنْ صَلَّى مِنَ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللهُ فَإِذَا
قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ.
“Sesungguhnya para perempuan di zaman Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bila mereka salam dari sholat wajib, maka
mereka berdiri dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam
dan orang yang sholat bersama beliau dari kalangan laki-laki tetap di tempat
mereka selama waktu yang diinginkan oleh Allah, bila Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berdiri maka para lelaki juga berdiri.”
Berkata Asy Syaukani dalam Nailul Authar
(2/315): “Dalam hadits ini terdapat hal yang menjelaskan tentang dibencinya ikhtilath
antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan dan hal ini lebih terlarang
lagi ketika ikhtilath terjadi dalam suatu tempat.”
Berkata Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2/560):
“Jika dalam jama’ah sholat terdapat laki-laki dan perempuan maka disunnahkan
bagi laki-laki untuk tidak meninggalkan tempat sampai perempuan keluar
meninggalkan jama’ah sebab kalau tidak, maka hal ini dapat membawa pada ikhtilath.“
Tujuh: Hadits Jabir Bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma
riwayat Imam Bukhari, beliau berkata:
قَامَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ
فَصَلَّى فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ خَطَبَ فَلَمَّا فَرَغَ نَزَلَ فَأَتَى
النِّسَاءَ فَذَكَّرَهُنَّ.
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi
wasallam berdiri pada hari Idul Fitri untuk Sholat maka beliau pun memulai
dengan sholat kemudian berkhutbah. Tatkala beliau selesai, beliau turun lalu
mendatangi para perempuan kemudian memperingati (baca: menasihati) mereka.”
Berkata Al Hafizh dalam Al Fath (2/466):
“Perkataan “kemudian beliau mendatangi para perempuan” menunjukkan bahwa
tempat perempuan terpisah dari tempat laki-laki, tidak dalam keadaan ikhtilath.“
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim
(2/535): “Hadits ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan apabila
menghadiri sholat jama’ah di mana jama’ah tersebut dihadiri pula oleh laki-laki
maka tempat perempuan berisah dari tempat laki-laki hal ini untuk menghindari
fitnah, saling memandang dan berbicara.”
Beberapa Masalah Seputar Ikhtilath
1. Hukum belajar di sekolah-sekolah dan
universitas yang terjadi ikhtilath di dalamnya.
Berkata syaikh Ibnu Jibrin sebagaimana dalam Fatâwâ
Fî An Nazhor Wal Khalwat Wal Ikhtilath hal. 23: “Kami menasihatkan pada
seorang muslim yang ingin menyelamatkan dan menjauhkan dirinya dari sebab-sebab
kerusakan dan fitnah, tidak ada keraguan bahwa sesungguhnya ikhtilath di
sekolah-sekolah adalah penyebab terjadinya kerusakan dan pengantar terjadinya
perzinahan.”
Berkata Syaikh Al Utsaimin sebagaimana dalam kitab
yang sama hal. 26: “Pendapat saya, sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang
baik laki-laki dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi ikhtilath
di dalamnya, disebabkan karena bahaya besar akan mengancam kesucian dan akhlak
mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimanapun sucinya dan mempunyai
akhlak yang tinggi, bagaimanapun bila di samping kursinya ada perempuan,
terlebih lagi bila perempuannya cantik lalu menampakkan kecantikannya maka
sangat sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan kerusakan. Oleh karena itu
segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah adalah haram.”
Berkata Syaikh Ibnu Bazz sebagaimana dalam kitab yang
sama pula hal. 10: “Barang siapa yang mengatakan boleh Ikhtilath di
sekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah berhijab hanya
khusus untuk istri-istri Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi
wasallam maka perkataan ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al Qur’an
dan Sunnah yang telah menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana dalam
firman Allah subhânahu wa ta’âlâ:
ذَلِكُمْ
أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan
hati mereka.”
Dan juga kita ketahui bahwa Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam diutus oleh Allah subhânahu wa
ta’âlâ untuk seluruh manusia tanpa kecuali, Allah subhânahu wa
ta’âlâ berfirman:
قُلْ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu semua.”
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan.”
Dan para sahabat yang mereka adalah sebaik-baik
manusia dalam keimanan dan takwa dan sebaik-baik zaman, di masanya ternyata
masih diperintahkan untuk berhijab demi kesucian hati-hati mereka, maka tentu
orang-orang yang setelah mereka lebih membutuhkan dan lebih harus berhijab
untuk mensucikan hati-hati mereka karena mereka berada pada zaman fitnah dan
kerusakan.”
2. Hukum bekerja ditempat yang terjadi ikhtilath
di dalamnya.
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin sebagaimana dalam Fatâwâ
Fî An Nazhor Wal Khalwat Wal Ikhtilath hal. 44: “Pendapat saya, yakni tidak
boleh ikhtilath antara laki-laki dan perempuan baik di instansi negeri
maupun swasta, karena ikhtilath adalah penyebab terjadinya banyak
kerusakan.”
Berkata para Ulama yang tergolong dalam Lajnah
Dai’mah: “Adapun hukum bekerja di tempat yang (terdapat) ikhtilath
adalah haram karena ikhtilath adalah penyebab kerusakan yang terjadi
pada manusia.”
Berkata Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah dalam
kitab Musyarakatul Mar’ah Lir Rijâl Fî Mîdân ‘Amal hal. 7:
“Bekerjanya perempuan di tempat yang terdapat laki-laki di dalamnya adalah
perkara yang sangat berbahaya. Dan di antara penyebab besar munculnya kerusakan
adalah disebabkan karena ikhtilath yang mana hal itu merupakan
jalan-jalan yang paling banyak menyebabkan terjadinya perzinahan.”
HUKUM
TABARRUJ
Makna Tabarruj
Tabarruj adalah apabila perempuan menampakkan perhiasan atau
kecantikannya dan hal-hal yang indah dari dirinya kepada laki-laki yang bukan
mahramnya, jadi perempuan yang ber-tabarruj adalah perempuan yang
menampakkan wajahnya. Sehingga bila ada perempuan yang menampakkan atau
memperlihatkan kecantikan wajah dan lehernya maka dikatakan perempuan itu ber-tabarruj.
(Lihat Lisanul Arab Oleh Ibnu Manzhur: 3/33)
Tabarruj adalah perkara haram, sebagaimana yang ditunjukkan
oleh dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
‘alâ âlihi wasallam.
Dan juga kaum muslimin sepakat tentang haramnya tabarruj
sebagaimana yang dinukil oleh Al ‘Allamah Ash Shan’ani dalam Hâsyiyah
Minhatul Ghoffâr ‘Alâ Dhau’in Nahâr 4/2011, 2012. Lihat: kitab Hirâsyatul
Fadhîlah hal.92 (cet.ke 7).
Berikut ini dalil-dalil yang menunjukkan tentang
haramnya tabarruj:
Satu: Allah Rabbul ‘Izzah berfirman dalam surah Al
Ahzâb ayat 33:
وَقَرْنَ فِي
بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu bertabarruj dengan tabarruj orang-orang Jahiliyah yang
dahulu.”
Berkata Imam Al Qurtubi tentang ayat ini: “Ayat ini
adalah perintah untuk tetap berdiam/tinggal di rumah. Dan sekalipun yang
diperintah dalam ayat ini adalah para istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ
âlihi wasallam namun secara makna termasuk pula selain dari istri-istri
Nabi.” (Lihat Tafsir Al Qurthubi: 14/179 )
Berkata Mujahid tentang makna “Tabarrujal
Jâhiliyah”: “Perempuan yang keluar dan berjalan di depan laki-laki maka
itulah yang dimaksud dengan “Tabarrujal Jâhiliyah.” (Lihat Tafsir
Ibnu Katsir: 3/482 dan Ahkâmul Qur’ân Oleh Al Jashshas:
3/360)
Berkata Muqatil Bin Hayyan tentang makna “Tabarrujal
Jâhiliyah”: “Tabarruj adalah perempuan yang melepaskan khimar
(tutup kepala) dari kepalanya sehingga terlihat kalung, anting-anting dan
lehernya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 3/482-483)
Dan Qatadah berkata dalam menafsirkan ayat “Ddan
janganlah kamu bertabarruj dengan tabarruj orang-orang Jahiliyah yang dahulu”:
Perempuan yang berjalan dengan bergoyang dan bergaya. Maka Allah subhânahu
wa ta’âlâ melarang perempuan melakukan itu.” (Lihat Ahkâmul
Qur’ân Oleh Al Jashshas: 3/360 dan Fathul Bayân: 7/391)
Adapun makna tabarruj dalam Tafsir Al Alûsi
21/8 yakni: “Perempuan yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya yang
seharusnya tidak dinampakkan.”
Sementara Abu Ubaidah dalam menafsirkan makna tabarruj:
“Perempuan yang menampakkan kecantikan yang dapat membangkitkan syahwat
laki-laki, maka itulah yang dimaksud Tabarruj.” (Lihat: Tafsir Ibnu
Katsir: 3/33 )
Dua: Firman Allah Ta’ala:
وَالْقَوَاعِدُ
مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ
أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ
يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari
haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) untuk tabarruj dengan
(menampakkan) perhiasan, dan menjaga kehormatan adalah lebih baik bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS An Nûr: 60)
Maksud dari “Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan
pakaian mereka,” yaitu pakaian yang zhohir yang menutupi muka dan telapak
tangan. Demikian dalam kitab Hirâsyatul Fadhîlah hal. 54 (cet. ke-7)
Kalau para perempuan tua dengan kriteria yang tersebut
dalam ayat tidak boleh ber-tabarruj, apalagi para perempuan yang masih
muda. Wallâhul Musta’ân.
Tiga: Firman Allah Jalla wa ‘Alâ:
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ
التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ
الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,
atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.” (QS An Nûr: 31)
Empat: Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat
Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam
bersabda:
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ
الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسُ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ
مُمِيْلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُؤْوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا
يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ
مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.
“Dua golongan dari penduduk neraka yang saya belum
pernah melihatnya sebelumnya: Kaum yang mempunyai cambuk-cambuk seperti
ekor-ekor sapi untuk memukul manusia dengannya dan para perempuan yang
berpakaian tapi telanjang berjalan berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti
punuk onta, mereka tidaklah masuk surga dan tidak (pula) menghirup baunya,
padahal baunya dihirup dari jarak begini dan begini.”
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim
(14/110) dalam menjelaskan makna “Berpakaian tapi telanjang” yaitu mereka
berpakaian tetapi hanya menutup sebagian badannya dan menampakkan sebagian yang
lain untuk memperlihatkan kecantikan dirinya ataukah memakai pakaian tipis
sehingga menampakkan kulit badannya.”
Dan Syaikh Bin Bazz rahimahullah dalam Majmû’ah
Ar Rosâil Fil Hijâb Wa Ash Shufûr hal. 52: “Dalam Hadits ini ada ancaman
yang sangat keras bagi yang melakukan perbuatan tabarruj, membuka wajah
dan memakai pakaian yang tipis. Ini terbukti dari ancaman Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam terhadap pelakunya bahwa mereka diharamkan
masuk surga.”
Tabarruj Termasuk Dosa Besar
Imam Adz Dzahabi rahimahullah menggolongkan tabarruj
termasuk dari dosa-dosa besar, beliau berkata dalam kitab Al Kabâ’ir hal.
146-147: “Termasuk perbuatan-perbuatan yang menyebabkan terlaknatnya seorang
perempuan bila ia menampakkan perhiasan emas dan permata yang berada di bawah
cadarnya, memakai wangi-wangian bila keluar rumah dan yang lainnya. Semuanya
itu termasuk dari tabarruj yang Allah subhânahu wa ta’âlâ
membencinya dan membenci pula pelakunya di dunia dan di akhirat. Dan perbuatan
inilah yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan sehinga Nabi shallallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda tentang para perempuan bahwa: “Aku
menengok ke dalam neraka maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah
perempuan.” Dan bersabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam:
مَا تَرَكْتُ
بِعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ.
“Saya tidaklah meninggalkan suatu fitnah setelahku
yang paling berbahaya atas kaum lelaki daripada fitnah perempuan.”
Dan dari bahaya fitnah perempuan terhadap laki-laki
yakni keluarnya perempuan dari rumah-rumah mereka dalam keadaan ber-tabarruj
karena hal itu dapat menjadi sebab bangkitnya syahwat laki-laki dan
terkadang hal itu membawa kepada perbuatan yang tidak senonoh. (Lihat: Al
Mufashshal Fî Ahkâmil Mar’ah: 3/416)
Dari uraian di atas, telah jelas bahwa tabarruj yang
dilarang adalah tabarruj yang dilakukan bila keluar rumah. Adapun bila
perempuan tersebut berhias di rumahnya dan menampakkan perhiasan dan kecantikan
kepada suaminya maka hal ini tidak mengapa dan tidak berdosa bahkan agama
memerintahkan hal tersebut.
Akibat-akibat yang Ditimbulkan dari Fitnah
Ikhtilath dan Tabarruj
1. Ikhtilath adalah jalan dan sarana yang mengantar kepada segala
bentuk perzinahan yakni zina menyentuh, melihat dan mendengar. Dan zina yang
paling keji adalah zina kemaluan yang mana Allah subhânahu wa ta’âlâ
mengancam pelakunya dalam surah Al Furqân ayat 68-69 dan surah Al
Isrâ’ ayat 32. (Lihat: Ahkâmun Nisâ’ 4/357)
2. Ikhtilath dan tabarruj menyebabkan
perkelahian dan peperangan di antara kaum muslimin. Hal ini disebabkan karena
dalam ikhtilath terjadi kedengakian dan kebencian serta permusuhan
di antara laki-laki karena memperebutkan perempuan atau sebaliknya terjadi
kedengkian, kebencian dan permusuhan anatara perempuan karena memperebutkan
laki-laki. (Lihat: Ahkâmun Nisâ’ 4/355-357).
3. Ikhtilath dan tabarruj menyebabkan perempuan tidak punya
harga diri sebab ketika bercampur dengan laki-laki maka perempuan tersebut
dapat dipandang dan dilihat oleh laki-laki sekedar untuk dinikmati, ibarat
boneka yang hanya dilihat dari kecantikan raut muka dan keindahannya. (Lihat Majmû’ah
Ar Rosâil Fil Hijâb Wa Ash Shufûr oleh Lajnah Da’imah hal. 119)
4. Ikthilath dan tabarruj menyebabkan
hilangnya rasa malu pada diri perempuan yang mana hal itu adalah ciri keimanan
dalam dirinya, karena ketika terjadi ikhtilath dan tabarruj maka
perempuan tidak lagi mempunyai rasa malu dalam menampakkan auratnya. (Lihat Risalatul
Hijâb oleh Syaikh Al ‘Utsaimin hal. 65)
5. Ikhtilath dan tabarruj menyebabkan
ketundukan dan keterikatan pria yang sangat besar terhadap perempuan yang dia
kenal dan dilihatnya. Dan hal inilah yang menyebabkan kerusakan besar pada diri
laki-laki sampai membawanya kepada perbuatan yang kadang tergolong ke dalam
kesyirikan. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam
bersabda:
مَا تَرَكْتُ
بِعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ.
“Saya tidaklah meninggalkan suatu fitnah setelahku
yang paling berbahaya atas kaum lelaki daripada fitnah perempuan.”
6. Perbuatan ikhtilath dan tabarruj adalah
perbuatan yang menyerupai prilaku orang-orang kafir dari Yahudi dan Nashara
karena hal itu adalah kebiasaan-kebiasaan mereka. Sedangkan Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia
termasuk dari golongan mereka.”
(Lihat perkataan sekelompok ulama dalam kitab Majmu’
Rosâ’il hal. 52)
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan ayat-ayat Al Qur’an dan
hadits-hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam serta
penjelasan para ulama, juga melihat bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh khalwat,
ikhtilath dan tabarruj maka jelaslah bahwa khalwat, ikhtilath
dan tabarruj merupakan hal yang diharamkan. Dan seharusnya bagi
seorang muslim dan muslimah apabila Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu perkara, hendaknya bersikap tunduk dan patuh pada perintah-Nya
sebagai aplikasi keimanan kepada-Nya, sebagaimana firman Allah subhânahu
wa ta’âlâ:
وَمَا كَانَ
لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka.” (QS Al Ahzâb: 36)
Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamin. Wallâhu
a’lam.
Sumber: Majalah An-Nashihah volume 05 Tahun 1/1424
H/2004 M halaman 58-64, dengan perbaikan ejaan dan ketikan.
Muslimah Ikhtilath di Kampus
Published:
21 Juni 2010Posted in: Adab
Fatwa Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhohullah
mengenai “Muslimah yang Kuliah Ikhtilat“.[15] يقول: الدراسة في الجامعة المختلطة بالنِّسبة للأخوات؟
Syaikh Ali Hasan al Halabi mendaptkan pertanyaan, “Apa hukum kuliah di universitas yang ber-ikhtilath bagi akhwat (baca: muslimah)?”
[الجواب] أنا أعتقد أنَّ الجامعة المختلطة مَمنوعة سواء بالنسبة للأخوات أو بالنِّسبة للإخوة؛ فما الذي جعل الحكم متعلقًا بالأخوات دون الإخوة!؟ والواقع أنَّه اختلاط بينهم وبينهنَّ.
Jawaban beliau, “Aku berkeyakinan bahwa kuliah di universitas yang campur baur antara laki-laki dan perempuan adalah terlarang baik bagi akhwat (baca: muslimah) ataupun bagi ikhwah (baca: muslim). Lalu mengapa teks pertanyaan yang disampaikan hanya dikaitkan dengan akhwat tanpa ikhwah?! Padahal realita menunjukkan bahwa campur baur terjadi antara muslim dengan muslimah.
وهذا ما يفتي به شيخنا والشَّيخ ابن باز والشَّيخ العثيمين -رحمهم الله-.
Inilah yang difatwakan oleh guru kami (yaitu al Albani), Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh al Utsaimin.
لكن -أحيانًا- قد يكون لبعض النَّاس ظرف خاصٌّ؛ بمعنى أنَّه قد يُجبَر على الدِّراسة في مثل هذه الجامعة؛ بحيث إذا لم يَدرس قد يؤثِّر ذلك على علاقته مع أهله، أو إلى قطيعة رحِم وما أشبه، فالأمور تقدَّر بقَدرها.
Akan tetapi terkadang sebagian orang mengalami kondisi tertentu dalam pengertian dia dipaksa oleh keluarganya untuk kuliah di universitas semisal itu. Artinya jika dia ngotot untuk tidak kuliah di tempat tersebut akan retaklah hubungannya dengan keluarganya, putuslah ikatan persaudaraan dan semisalnya. (Maka ini adalah kondisi darurat) dan kondisi darurat itu ditakar secukupnya”.
Sumber: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=71037#post71037
Catatan:
Dari uraian di atas bahasan tentang kuliah dengan berikhtilath itu ditinjau dari dua sisi:
a. Hukum asal dari ikhtilat demi kuliah adalah terlarang sebagaimana umumnya ikhtilat.
b. Dalam kondisi tertentu bisa dibolehkan, bukan karena kita membolehkan ikhtilath namun karena pertimbangan kondisi masing-masing orang yang berbeda-beda. Dalam kondisi ini hendaknya kita meminimalisir kemungkaran sebisa mungkin dan kuliah dalam keadaan demikian hendaknya ditempuh secepat mungkin.
Artikel www.ustadzaris.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...