Oleh: Imam Yazid
Zakat berkontribusi besar dalam
dakwah dan jihad, pengembangan perekonomian yang kesemuanya mutlak membutuhkan
harta. Urgensi keterkaitan antara dakwah dan harta, tercermin secara implisit
di dalam Al-Qur’an. Tatkala Allah Swt menyebutkan batas pengorbanan seorang
muslim kepada Islam, umumnya kata amwal
(harta) selalu diiringi dengan kata anfus
(jiwa).
¨bÎ) ©!$# 3utIô©$# ÆÏB úüÏZÏB÷sßJø9$# óOßg|¡àÿRr& Nçlm;ºuqøBr&ur cr'Î/ ÞOßgs9 sp¨Yyfø9$# ...
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri
dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka…” (QS. Al-Taubah, 9:
111).
Manusia
memiliki kecenderungan cinta pada harta benda karena
itu adalah tabiatnya. Oleh karena itu
zakat bisa dijadikan sebagai neraca guna menimbang kekuatan iman
seorang mukmin serta tingkat kecintaannya yang tulus kepada Allah.
z`Îiã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# ÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# ÆÏB É=yd©%!$# ÏpÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 Ï9ºs ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (surga).” (QS. Ali Imran, 3: 14).
Zakat merupakan suatu kerangka
teoritis untuk mendirikan keadilan sosial dalam masyarakat. Ia bertujuan
membersihkan jiwa manusia dari kekotoran, kebakhilan dan ketamakan serta untuk
memenuhi kebutuhan mereka yang fakir miskin dan diselubungi penderitaan. Pendapatan zakat juga
digunakan untuk mendirikan sesuatu yang penting bagi kepentingan umat, seperti
memerangi inflasi dan memperkecil jurang antara berbagai lapisan sosial.[1]
Zakat berpotensi besar dalam
memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Abu
al-A`la al-Maududi bahwa zakat dalam Islam diberdayagunakan untuk “asuransi
sosial” yang harus diwujudkan dan dilaksanakan di bawah pengawasan pemerintah
dan seluruh jajarannya.[2] Asuransi sosial bertujuan agar Negara tidak
membiarkan warganya tidak mendapatkan kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang pokok,
memberi tunjangan kepada mereka yang menganggur, mereka yang diserang penyakit
dan tidak mampu membayar biaya berobat, mengisi perut-perut yang lapar dan
membayarkan hutang bagi mereka yang tidak mampu membayarnya. Jalan yang
ditempuh ada dua cara yaitu, pertama
menyantuni mereka dengan memberikan dana zakat yang sifatnya konsumtif, atau kedua memberikan modal yang sifatnya
produktif untuk diolah dan dikembangkan.[3] Kondisi ekonomi masyarakat yang tergolong
fakir dan miskin kemudian mereka yang belum bisa berusaha (mandiri), orang
jompo atau orang dewasa tidak bisa bekerja karena sakit atau cacat menuntut
pada terlaksanakanya zakat konsumtif di samping perlu melaksanakan zakat
produktif bagi mereka yang masih kuat bekerja dan bisa mandiri dalam
menjalankan usaha.
Kewajiban zakat dan dorongan
untuk berinfaq/bershadaqah yang tegas itu disebabkan karena di dalam ibadah ini
terkandung berbagai hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik,
bagi muzakki, mustahiq, maupun masyarakat keseluruhan. Beberapa hikmah dan tujuan dari pensyari`atan zakat terhadap individu muslim dapat kita lihat dalam Al-Qur’an dan Hadis, diantaranya:
1) Termasuk orang beriman yang beruntung (QS. Al-Mu’minun, 23: 4).
2) Akan mendapatkan rahmat dan pertolongan Allah (QS. Al-Taubah, 9:
71) dan (QS. Al-Hajj, 22: 40-41).
3) Pembersih
diri dan harta dari segala sifat-sifat kikir, bakhil dan sejenisnya. (QS.
Al-Taubah, 9: 103).
4) Mendapat pahala yang besar (QS. Al-Nisa, 4: 162).
5) Kesadaran berzakat dipandang sebagai orang yang memperhatikan hak
fakir miskin dan para mustahiq
lainnya (QS. Al-Taubah, 9: 60).
6) Dipandang sebagai orang yang membersihkan, menyuburkan dan
mengembangkan hartanya serta mensucikan jiwanya (QS. Al-Taubah, 9: 103) dan
(QS. Al-Rum, 30: 39).
7) Menumbuhsuburkan harta (semakin bertambah dan berkembang).
(QS.Al-Baqarah, 2: 261).
8) Zakat membersihkan harta. “Allah SWT telah menjadikan zakat itu
sebagai pemberish bagi harta”. (HR. Bukhari).
9) Orang yang berzakat termasuk dalam 7 golongan yang dinaungi Allah SWT
di hari kiamat. “Ada
7 golongan yang akan dinaungi Allah pada hari kiamat kelak … (salah satu
diantaranya) adalah orang yang bersedekah dengan merahasiakannya agar
keikhlasannya terjaga”. (HR. Bukhari).
10) Merasakan cita rasa iman. “Ada
tiga hal, barang siapa yang melakukan tiga hal itu, niscaya dia merasakan cita
rasa iman … (salah satunya) ialah mengeluarkan zakat hartanya dengan hati yang
baik dan ikhlas…” (HR. Abu Daud).
11) Membantu meringankan beban kaum fakir/miskin. “Allah SWT mewajibkan
bagi orang-orang kaya muslim agar mengeluarkan sebagian harta mereka untuk
membantu fakir miskin diantara mereka. Para
fakir miskin tidak akan mempu berjihad dalam keadaan lapar kecuali mereka
dibantu orang-orang kaya yang ada diantara mereka…”(HR. Thabrani).
12) Zakat memelihara harta orang kaya. “Peliharalah hartamu dengan zakat,
obati orang-orang sakit dengan sedekah dan tolaklah bala’ dengan doa”. (HR.
Thabrani dan Binu Mas’ud).
Di tengah berbagai krisis sosial-budaya yang sedang
melanda bangsa kita sekarang ini, sudah sepantasnya kita melihat secara lebih
seksama dan sungguh-sungguh beberapa jalan keluar yang dalam ajaran islam. Salah
satunya adalah pengelolaan zakat
secara benar dan bertanggung jawab.
Mengingat kedudukan zakat merupakan bagian dari rukun Islam, dan
diantara hikmahnya berhubungan langsung pada dimensi sosial (habl min al-nas) untuk kesejahteraan
kemanusiaan, serta adanya ancaman yang jelas dari Allah Swt terhadap para
pelanggarnya, dan mengingat kontribusi umat Islam yang mayoritas di Indonesia
ini sudah sepatutnya diorganisir dan memberikan manfaat di tengah kehadiran
mereka di negara ini.
[1] Abd al-Karim at-Tawati, Mafhum al-Zakat wa
Ab`aduha wa Hikmat Tasyri`iha fi al-Islam (Al-Manhal, 1986), hh. 24-41.
[2] Abu al-A`la al-Maududi, Ushus al-Iqtishad,
terj. Abdullah Suhaili, Dasar-Dasar Ekonomi dalam Islam (Bandung: Al-Ma’arif,
1984) h. 113.
[3] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah II, Zakat, Pahak,
Asuransi dan Lembaga Kewenangan Manajemen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 23.
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuhu :)
BalasHapusBarak Allahu feekum...
Ameen.... Allah Bless You....
BalasHapus