Selain mengkaji
kasus-kasus sengketa dalam masyarakat, studi-studi antropologis mengenai hukum
juga memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum (legal
pluralism) dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitan ini, Cotterrel
(1995) menegaskan:
We should think of
law as a social phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing
in a variety of relationships, some of the quite tenuous, with the primary
legal institutions of the centralized state. Legal anthropology has
almost always worked with pluralist conceptions of law (Cotterrell,
1995:306).
Ini berarti secara
empiris dapat dijelaskan, bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain
terwujud dalam bentuk hukum negara (state law), juga berujud
sebagai hukum agama (religious law), dan hukum kebiasaan (customary
law). Tetapi, secara antropologis bentuk mekanisme-mekanisme
pengaturan sendiri (inner order mechanism atau self-regulation
) dalam komunitas-komunitas masyarakat adalah juga merupakan hukum
yang secara lokal berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial (F.
von Benda-Beckmann, 1989, 1999; Snyder, 1981; Griffiths, 1986; Hooker, 1987; K.
von Benda-Beckmann & Strijbosch, 1986; Moore, 1986; Spiertz & Wiber,
1998).
Pluralisme hukum secara
umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum
bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama ,
atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial
dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths, 1986:1), atau menerangkan suatu
situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan
sosial (Hooker, 1975:3), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem
hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan
hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann,
1999:6).
Ajaran mengenai
pluralisme hukum (legal pluralism) secara umum dipertentangkan dengan
ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme
hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum
negara (state law) sebagai satu-satunya hukum bagi semua
warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem hukum yang lain,
seperti hukum agama, hukum kebiasaan, dan juga semua bentuk mekanisme-mekanisme
pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat.
Dalam konteks ini, Griffiths
(1986:12) menegaskan :
The ideology of legal
centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons,
exclusive of all other law, and administered by a single set of state
institutions. To the extent that other, lesser normative orderings, such as the
church, the family, the voluntary association and the economic
organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate
to the law and institutions of the state.
Jadi, secara jelas
ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya
dalam masyarakat, termasuk di dalamnya norma-norma hukum lokal yang
secara nyata dianut dan dipatuhi warga dalam kehidupan bermasyarakat, dan
bahkan sering lebih ditaati dari pada hukum yang diciptakan dan diberlakukan
oleh negara (state law). Karena itu, pemberlakuan sentralisme hukum
dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya
hanya merupakan sebuah kemustahilan. Dengan meminjam kata-kata dari Griffiths (1986:4)
dinyatakan:
Legal pluralism is the
fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal
pluralism is the name of a social state of affairs and it is a
characteristic which can be predicted of a social group.
Konsep pluralisme hukum
yang dikemukakan Griffiths
di atas pada dasarnya dimaksudkan untuk menonjolkan keberadaan dan interaksi
sistem-sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state
law) dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama
(religious law) dalam suatu kelompok masyarakat. Dalam kaitan ini,
Tamanaha (1992:25-6) memberi komentar kritis terhadap konsep pluralisme dari Griffiths yang cenderung
terfokus pada penekanan dikotomi keberadaan hukum negara dengan sistem-sistem hukum
yang lain, seperti berikut:
1. Konsep pluralisme hukum
dari Griffiths
pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pluralisme yang kuat (strong
legal pluralism) dan pluralisme yang lemah (weak legal pluralism).
Pluralisme yang lemah merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal
centralism), karena walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state
law) mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara
tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem
hukum yang lain bersifat inferior dalam hierarkhi sistem hukum negara.
Contoh yang memperlihatkan pluralisme hukum yang lemah (weak legal
pluralism) adalah konsep pluralisme hukum dalam konteks interaksi sistem
hukum pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan
hukum agama (religious law) yang berlangsung di negara-negara jajahan
seperti dideskripsikan oleh Hooker (1975).
2. Sedangkan, pluralism
hukum yang kuat mengacu pada fakta adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua
kelompok masyarakat yang dipandang sama kedudukannya, sehingga tidak terdapat
hirarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih dominan dari sistem
hukum yang lain. Untuk ini, teori Living Law dari Eugene Ehrlich yang
menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup (living
law) dari tatanan normatif (Sinha, 1993:227; Cotterrell, 1995:306), yang
biasanya dikontraskan atau dipertentangkan dengan sistem hukum negara termasuk
dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism).
3. Selain itu, yang
dimasukkan kategori pluralisme hukum yang kuat adalah teori Semi-Autonomous
Social Field yang diintroduksi Moore
(1978) mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field)
dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation)
dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa pentaatannya. Karena itu, Griffiths kemudian mengadopsi pengertian pluralisme hukum
dari Moore
(1978) :
Legal pluralism refers to
the normative heterogenity attendant upon the fact that social action always
take place in a context of multiple, overlapping "semi-autonomous social
field".
Sementara itu,
hukum yang dimaksud dalam konsep pluralisme hukum Griffiths kemudian menjadi
tidak terbatas pada sistem hukum negara, hukum kebiasaan, atau hukum
agama saja, tetapi kemudian diperluas termasuk juga sistem normatif yang berupa
mekanisme-makanisme pengaturan sendiri seperti yang diintroduksi Moore
(1978), yaitu Law is the self-regulation of a ‘semi-autonomous
social field’ (Tamanaha, 1992:25). Dalam perkembangan selanjutnya, konsep
pluralisme hukum tidak lagi mengedepankan dikotomi antara sistem hukum negara (state
law) di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum
agama (religious law) di sisi yang lain. Pada tahap perkembangan ini,
konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi
berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi
hukum dalam masyarakat :
A variety of interacting,
competing normative orders-each mutually influencing the emergence and
operation of each other’s rules, processes and institutions (Kleinhans &
MacDonald, 1997:31).
Masalah pluralisme hukum hingga saat ini masih sering menjadi bahan
diskusi, baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Bagaimana para akademisi
dan praktisi memandang masalah pluralisme hukum ini, simaklah uraian tentang:
·
Pluralisme
Hukum Harus Diakui, untuk melihat sudut pandang daripara akademisi
maupun praktisi tentang masalah pluralisme hukum, dan
·
Masalah
Pluralisme Hukum, untuk melihat bagaimana wajah pluralisme hukum di
masyarakat.
Sumber: http://qbar.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=32&Itemid=32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...