Oleh : Abdurrahman MBP*
Otonomi daerah
adalah cita-cita mulia dari para pembesar bangsa ini agar kesejahteraan dan
pemerataan bisa dirasakan oleh seluruh anak bangsa. Kebijakan ini dilakukan
dikarenakan terjadinya ketimpangan dalam hal pembangunan dan infrastruktur
antara pusat dan daerah. Sehingga dengan otonomi daerah diharapkan daerah akan
bisa mandiri dalam melaksanakan pembangunan wilayahnya masing-masing dan tujuan
pemerataan pembangunan akan bisa tercapai. Namun teori yang bagus belum tentu
akan berhasil ketika dipraktekan di lapangan, inilah yang terjadi dari efek
otonomi daerah. Masing-masing daerah berlomba-lomba untuk menggali
sumber-sumber pendapatan daerah, maka bermunculanlah raja-raja kecil daerah
yang mengeruk harta dari masyarakat lemah dan sumber daya alam untuk dijadikan
pendapatan asli daerah. Mengeruk harta rakyat dilakukan dengan cara pembuatan
berbagai peraturan daerah mengenai retribusi dan berbagai pungutan yang
dikenakan kepada rakyat. Sementara mengeruk sumber daya alam yang ada yaitu
mengeksploitasi wilayahnya sebagai “barang jualan” yang ditawarkan agar mendatangkan
keuntungan.
Di antara
pengerukan kekayaan yang dilakukan oleh pemerintah adalah eksploitasi terhadap
komunitas masyarakat adat yang tinggal di beberapa kampung adat di Jawa Barat.
Bisa jadi niat pemerintah daerah bagus yaitu mempromosikan kampung adat sebagai
obyek wisata yang akan mendatangkan pemasukan. Niat yang baik belum tentu akan
direspon baik oleh pihak lain, dalam hal ini niat baik pemerintah daerah untuk
mempromosikan kampung budaya atau kampung adat belum tentu akan sesuai dengan
keinginan masyarakat adat itu sendiri. Apalagi jika antara pemerintah daerah
dengan masyarakat adat tidak terjalin komunikasi yang baik, maka yang muncul
adalah kesalahpahaman dan ketidak harmonisan di antara mereka. Efek dari hal
ini adalah persangkaan yang negatif antar pemerintah daerah dan masyarakat
adat.
Sebagai contoh
adalah penolakan dari masyarakat Kampung Naga terhadap penjualan tiket masuk
bagi pengunjung yang akan masuk ke Kampung Naga. Pihak masyarakat adat yang
diwakili oleh Kuncen menolak secara tegas kebijakan pemerintah tersebut, bahkan
mereka mengancam akan menutup diri jika tetap dilakukan penjualan tiket untuk
masuk berkunjung ke kampung mereka. “Kami bukan tontonan” begitu menurut
mereka. Hal seperti ini terjadi juga di Kampung Pulo, sebuah kampung adat yang
berada di wilayah Leles Garut. Mereka juga sangat menyesalkan pihak pemerintah
daerah yang mereka rasa tidak memperhatikan keadaan masyarakat adat kampung
Pulo. Masyarakat adat di sana merasa tidak diperhatikan dan hanya menjadi
tontonan bagi pengunjung yang datang. “Kampung Kami bukan Tontonan” begitu
ucaan yang keluar dari kuncen Kampung Pulo. Kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah Garut dan lembaga kepurbakalaan sama seali tidak memberikan
perhtian kepada masyarakat adat Kampung Pulo. Bisa jadi pemerintah daerah akan
berkilah bahwa dijadikannya Kampung Pulo sebagai obyek wisata adalah untuk
kesejahteraan mereka, namun fakta di lapangan menunjukan bahwa hal ini tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap masyarakat Kampung Pulo. Hingga saat ini
hubungan antara pemerintah daerah dengan warga masyarakat kampung Pulo masih
belum harmonis.
Bagaimana dengan
di Bogor? Kampung Urug yang menjadi Kampung Adat di Bogor juga mengalami nasib
yang tidak jauh berbeda. Promosi yang dilakukan oleh pemerintah daerah hanya
menguntungkan beberapa pihak, sementara warga masyarakat adat Kampung urug sama
sekali tidak bisa merasakan keuntungan dari promosi kampung mereka tersebut.
Sehingga yang terjadi adalah eksploitasi masyarakat adat yang hanya dijadikan
obyek tontonan bagi para pengunjung, belum lagi jika pengunjung yang datang
membawa budaya baru yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat setempat.
Oleh karena itu
sudah selayaknya bagi pemerintah daerah untuk kembali memfungsikan kampung
budaya dan kampung adat sesuai dengan proporsinya. Jangan juga mereka hanya
dijadikan obyek kampanye ketika masa-masa pemilihan kepala daerah dilaksanakan.
Masyarakat adat juga dalah anak bangsa yang memiliki hak untuk menikmati
kemerdekaan ini, oleh karena itu sudah selayaknya pemerintah daerah untuk
memperhatikan dan memenuhi hak-hak mereka sebagi masyarakat adat. Mereka bukanlah
tontonan seperti binatang-biantang di kebun binatang, mereka adalah manusia dan
saudara se-bangsa kita, oleh karena itu hentikan eksploitasi terhadap
masyarakat adat.
*
Mahasiswa S3 Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
dan Peminat Kebudayaan Sunda dan Kampung Adat Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...