Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro
Kisah
dari seorang teman di Tasikmalaya katanya Kampung Naga itu berada di sisi Jalan
Raya Tasikmalaya, dan lokasinya sangat mudah dijangkau. Akhirnya berbekal kisah
dari teman ini saya memberanikan diri untuk berangkat ke Kampung Naga dengan
menggunakan bis angkutan umum. Rute kendaraan dari arah Jakarta sebenarnya
sangat mudah, hanya mencari bus jurusan Tasikmalaya dan turun di Terminal
Indihiang lalu mencari mobil jurusan Garut. Kelihatannya mudah sekali, tapi di
lapangan ada saja kedala yang saya hadapi. Kebetulan saya naik bis antar
propinsi kelas ekonomi rute Kampung Rambutan-Tasikmalaya. Pilihan bis ini tentu
saja selain murah juga bis ini melintasi Bogor sehingga akses bagi saya yang
tinggal di Bogor semakin mudah.
Setelah
sampai di Terminal Bus Indihiang Tasikmalaya, sesuai dengan petunjuk dari
teman, saya mencari angkutan Tasikmalaya-Garut. Sayang sekali angkutan umum
tersebut ternyata tidak sampai di Terminal Indihiang, bisa jadi karena waktunya
masih pagi atau memang sopir-sopir bis tersebut tidak mau sampai ke terminal.
Setelah bertanya kepada beberapa orang yang berada di terminal tentang mobil
yang menuju ke Kampung Naga, akhirnya saya bersabar untuk menunggu bus tersebut.
Kurang lebih 2 jam saya menunggu ternyata bus yang dicari tidak kunjung datang,
sementara seorang tukang ojek dengan gigih merayu saya untuk ngojek menuju
tempat pemberangakatan bus Tasikmalaya-Garut. Saya sempat bertahan untuk
menunggu hingga ternyata waktu semakin siang, akhirnya saya menyerah dan ngojek
dari Terminal Indihiang ke Rawa Bango. Ternyata mobil trayek Tasikmalaya
tersebut ngetem di pertigaan dengan lampu merah ini. Kemudian saya
menunggu bis diberangkatkan, tapi lagi-lagi bis tersebut akan diberangkatkan
baru pada pukul 08.00 WIB sehingga saya harus menunggu satu jam lagi. Merasa
menyia-nyiakan waktu akhirnya saya mencari mobil lain dengan trayek yang sama.
Perjalanan
dari Rawabango ke Kampung Naga ebenarnya cukup nyaman seandainya sopirnya tidak
sering mencari penumpang. Tercatat lebih dari tiga kali bus yang saya tumpangi ngetem
di tempat pemberhentian merea untuk
mencari penumpang. Kondisi jalan menuju Kampung Naga sendiri sangat bagus, bisa
dipahami karena jalan ini merupakan jalan raya yang menghubungi kota
Tasikmalaya dan Garut. Sementara mendekati lokasi Kampung Naga mulai terlihat
lembah-lembah hijau di kanan-kiri jalan raya. Terlihat pula Kantor Kecamatan
Salawu berada kurang lebih 5 KM sebelum lokasi, kurang lebih 100 meter menjelang
lokasi di sebelah kanan jalan terlihat pula Kantor Desa Neglasari yang menjadi
kantor desa bagi wilayah Kampung Naga. Membutuhkan waktu sekitar 1.5 jam untuk
mencapai Kampung Naga dari arah Tasikmalaya menggunakan bus umum, jika
menggunakan mobil pribadi tentu lebih cepat.
Turun
dari bus tepat di depan plang nama menunjuk ke seberang jalan dengan tulisan
“Kampung Naga”, akhirnya perjuangan semalaman menuju kampung ini berjalan
dengan lancer dan tiba sampai tujuan dengan selamat, Alhamdulillah.
Memasuki
lokasi Kampung Naga saya disambut oleh sebuah pintu gapura besar bercat putih
dengan tinggi kurang lebih 5 meter. Kesan tradisional dan etnik terlihat dari
bagian atapnya yang terbuat dari injung pohon Kawung, sayangnya waktu telah
menjadikan beberapa bagian atap dari gapura ini ditumbuhi tumbuhan liar semacam
pakis. Di bagian kanan gapura terdapat pohon Caringin (Beringin) besar yang
memberikan kesan sejuk, menurut Bapak Abdul majid salah seorang pemilik kios di
depan gapura ini, pohon caringin ini ditanam bersamaan dengan dibangunnya
terminal tempat parkir Kampung Naga. Sementara di bagian kiri terdapat papan
bertuliskan “Tanah ini milik Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya” tertulis luas
tanah 2.635 M2, Nomor Sertifikat 10.
Melangkah
masuk ke dalam tepatnya ke arah tempat parkir kendaraan, tampak lokasi parkir
yang cukup luas dengan model parkir serong sehingga memungkinkan hingga sepuluh
bis besar terparkir di situ. Pada bagian sebelah kiri terdapat sebuah bangunan
yang berfungsi sebagai tempat menyimpan drum-drum minyak tanah. Tentu saja
minyak tanah tersebut menjadi satu-satunya energy bagi Kampung Naga karena
mereka menolak Gas dan listrik. Bangunan sebelahnya adalah Kantor Pusat
Informasi dan Kantor Koperasi Warga Kampung Naga dengan nama “Sauyunan”.
Bangunan ini juga menjadi Kantor Perhimpunan Pramuwisata Kampung Naga yang
disingkat “Hipana”. Bersebelahan dengan kantor ini berjajar kios-kios
cenderamata yang menjual produk-produk
masyarakat Kampung Naga dan sekitarnya. Sementara di sebelahnya lagi terdapat
banguan yang digunakan untuk tempat pembakaran sampah.
Beralih
ke sebelah kanan, tampak kios cenderamata yang menjual berbagai souvenir khas
Kampung Naga, took kelontong, warnet dan penyewaan Play Station (PS) dan di
pojok terdapat mini museum yang memamerkan berbagai senjata tradisional seperti
kujang, keris, pedang, golok dan yang lainya. Mini museum ini juga menyedikan
buku tentang Kampung Naga, Pin Khas Kampung Naga, baju, ikat kepala dan
aksesoris khas Kampung Naga lainnya. Karena berada pada posisi tanah bagian
atas, maka di sebelah kanan tempat parkir ini terdapat tangga menuju bagian
bawah yang digunakan untuk tempat warga dan ada juga WC umum.
Pada
bagian ujung kiri tempat parkir berdiri kokoh Tugu Kujang Pusaka[1] yang tampah megah dengan
warna dominan hitam. Tugu ini dikelilingi pagar besi yang memiliki satu pintu
di bagian muka. Pada kedua sisi pintu pagar bagian luar terdapat patung kepala
harimau. Pada bagian kanan tugu terdapat tulisan mengenai keterangan detail
pembangunan tugu ini. Tertulis bahwa tugu ini diresmikan oleh Gubernur Jawa
barat pada 16 April 2009 atau 19 Maulud 1430 H. Pengagas utama pembuatan tugu
ini adalah Drs. Anton Charliyan, MPKN yang pada waktu itu menjawabat sebagai
Kapolwil Priangan dan KRAT. H. Derajat Hadiningrat selaku Pimpian Graha Limau
Kencana. Tugu ini dikelilingi oleh sebuah kolam kecil dengan ukurna kurang
lebih 80 cm, serta dikelilingi pagar besi kecuali di bagian depan. Pada bagian
belakang tugu terdapat tembok yang menjadi batas dengan warga Sa-naga.
Dari
depan tugu saya dihadapkan pada belokan ke arah kiri dan menaiki anak tangga
yang terbuat dari batu bercampur semen dengan jumlah 11 anak tangga. Pada
bagian kanan tangga terdapat plang selamat datang dengan tulisan “Wilujeng
Sumping” yang berarti “selamat Datang” di Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya.
Pada bagian bawahnya terdapat tulisan dengan aksara sunda yang maknanya kurang
lebih sama. Plang ini terlihat sudah sangat usang pada beberapa bagian yang
mengalami karat dan catnya sudah mulai mengelupas.
Selanjutnya
saya berjalan menyusuri jalanan datar kurang lebih 50 meter, di bagian kanan
dan kiri jalan terdapat beberapa rumah warga dan took-toko kelontong yang
menjual makanan dan minuman ringan. Di ujung bagian kiri tepatnya di sisi
tangga yang menuju ke bawah terdapat mushola kecil bercat putih, mushola ini
digunakan untuk shalat dan mengaji beberapa warga yang berada di sekitar lokasi
parkir tersebut.
Karena
lokasi Kampung Naga berada di sebuah lembah maka hanya ada satu jalan menuju ke
lokasi yaitu dengan menuruni anak tangga. Saya bersyukur karena karena saat
saya berkunjung tangga tersebut telah dibangun dengan menggunakan semen yang
kokoh dan pada permukaannya ditambahkan batu kali. Anak tangga pertama yang
saya injak berjumlah 11 anak tangga yang menyampaikan saya ke perempatan
tangga. Jika belok ke kiri maka tangga kembali naik dan menuju bagian lain dari
warga di sekitar Kampung Naga, demikian juga jika lurus maka terdapat beberapa
rumah warga dengan gapura bertuliskan
“Mangga 4”, kumpulan rumah ini adalah warga Sa-naga yang tinggal di luar
perkampungan inti Kampung Naga sehingga bangunan rumah mereka terbuat dari
semen dan beratap genteng dan asbes.
Untuk
menuju Kampung Naga maka dari perempatan ini kita belok kana dengan mnyusuri
anak tangga menurun. Susunan tangga kedua ini berjumlah 30 anak tangga yang
berujung pada batas setiap tangga berupa semacam anak tangga dengan panjang
kurang lebih 2 meter. Anak tangga berikutnya yang saya injak berjumlah 17 anak
tangga yang juga diselingin dengan batas anak tangga dengan panjang kurang
lebih dua meter. Pada anak tangga ke-10 setelahnya terdapat pula tangga
menanjak yang mengarah ke pemukiman warga di bagian kiri tangga menunju Kampung
Naga. Jumlah anak tangga ini adalah 44 anak tangga. Anak tangga berikutnya
berjumlah 25 kemudian diselingi dengan batas anak tangga dan selanjutnya
berjumlah 10 anak tangga. Selanjutnya jalan kurang lebih 25 meter dengan lantai
terbuat dari batu kerikil berukuran sedang yang ditanam sepajang jalan. Akkhir
dari jalan datar ini adalah sebuah kios cenderamata dan sebuah rumah etnik yang
sedang dibangun untuk dijadikan semacam café. Beberapa rumah yang beerada di
sisi kiri dan kanan tangga ini telah menggunakan listrik dan alat-alat modern.
Paad beberapa lahan kosong terdapat pepohonan rindang selain juga beberapa
pohon enau (kawung).
Tangga
berikutnya menurun cukup curam dengan sebuangai sungai kecil megalir di bagian
bawahnya, sungai ini kurang lebih lebarnya dua meter dan menjadi salah satu
sumber air bersih warga di sekitar Kampung Naga. Di sebelah kanan jembatan
kecil di tepi sungai terdapat rumah warga yang menjual minuman dan makana
ringan. Di bagian bawah sungai kecil ini terdapat jalan setapak yang menghubungkan
perkampungan di luar Kampung Naga.
Selanjutnya
saya menuruni tangga curam yang berjumlah 5 anak tangga dan 24 anak tangga yang
menyampaikan saya ke sebuah mushola di sebelaj kiri jalan, sangat disayangkan
sepertinya mushola ini kurang terawat, sementara di bagian depannya digunakan
oleh warga untuk menjual kelapa muda. Jika kita berjalan keluar tangga ke arah
kiri dan melewati depan mushola maka dari ujung dataran tinggi ini kita akan
bisa meyaksikan panorama Kampung Naga dari kejauhan yang sangat eksotik. Bagi
yang ingin mengambil gambar tempat ini semestinya tidak disia-siakan.
Setelah
mengambil beberapa gambar saya kembali lagi ke tangga semula dan menyusuri
tangga tersebut yang berjumlah 140 anak tangga. Kali ini tangga yang saya
turuni sangat curam dengan bentuk hurus “S” yang menikung tajam, di sebelah
kanan tangga masih terdapat satu rumah warga yang juga menggunakan listrik
sementara di bagian kiri terdapat sebuah kolam penampung air yang tidak
terurus. Akhir dari tangga yang menurun curam ini adalah sebuah belokan ke
kanan yang landai, pada ujung tikungan terdapat bekas bangunan berupa pos yang
telah dibongkar. Dari keterangan Kang Entang bangunan “saung” tersebut sengaja
dirobohkan karena sering disalahgunakan oleh pengunjung terutama untuk berpacaran.
Pada tikungan ini juga terdapat sebuah anak tangga yang sudah tidak digunakan
terbuat dari campuran pasir dan semen, anak tangga ini mengindikasikan bahwa
dulu tangga yang ada melewati anak tangga tersebut, namun karena dirasa terlalu
curam dan dekat dengan tebing maka akhirnya arah tangga dinaikan ke atas. Dari
tikungan ini juga lokasi Kampung Naga sudah terlihat jelas dan siap menyambut
saya dan seluruh pengunjung yang datang.
Selanjutnya
dari tikungan ini kita berbelok ke kanan menyusuir atangga dengan jumlah 16, 42
dan 56 anak tangga. Ini adalah anak tangga terakhir menuju Kampung Naga,
selanjutnya perjalanan menyusuri jalan desa dengan lebar kurang lebih 2 meter
dengan susunan batu kali ukuran sedang dan tanah liat. Bagi yang ingin refleksi
kaki tempat ini sangat cocok, karena itu disarankan jika sudah sampai di sini
alas kakinya boleh dibuka. Pada ujung tangga juga terdapat sebuah tanda bagi
selesainya pembangunan tangga. Di sini terdapat pula jalan setapak ke arah
kanan menuju bendungan air dan sungai Ciwulan. Rasa penasaran saya juga membawa
saya pada kesempatan lain menyusuri jalan ini, menyeberangi sungai Ciwulan dan
menyusuri tangga yang terbuat dari semen menanjak tepat di samping Leuweng (Hutan
Larangan). Tangga ini menanjak melewati beberapa rumah warga dan jika berada di
ujungnya maka akan bertemu ke jalan menurun ke arah Kampung Naga dengan mentas
(menyeberangi) sungai Ciwulan dari arah yang berbeda.
Selanjutnya
saya berjalan ke kanan menyusuri jalan berbatu, jalan ini sendiri berada di tepi
sungai Ciwulan yang paad musim kemarau airnya sedikit berkurang. Berbelok ke
kanan mata saya dimanjakan oleh pemandangan sungai yang menghampar di sebelah
kanan, gemericik air yang jatuh dari tebih di ujung sebelah kana saya membawa
pesona yang berbeda dengan suasana di tempat lainnya. Sejauh mata memandang
yang terlihat adalah hijau yang berbapdu dengan warna dasar cokla tanah khas
pedesaan. Sementara memandang ke depan tampak Kampung Naga dengan susunan rumah
yang tertata rapi, atap-atap rumah itulah yang selama ini hanya saya dengar
dari cerita teman atau gambar di internet. Perjalanan menyusuri jalan desa di
tepi sungai Ciwulan berjarak kurang lebih 500 meter.
Saya
sedikit heran dengan komposisi letak dari kampung ini, saya pikir sebuah
kampung adat biasanya akan ditengarai dengan sebuah gapura atau pintu gerbang
yang berada di depan desa atau minimal arah masuk yang langsung ke desa
tersebut. Hal inilah yang menjadikan saya sempat masuk kampung bukan dari pintu
utamanya. Saya memasuki kampung ini untuk pertama kalinya justru melewati balong
(kolam ikan), saung lisung dan pinggir rumah warga. Setelah sampai
di dalam baru tahu bahwa pintu utama berada di ujung jalan setapak dan berbelok
ke kiri kurang lebih 20 meter.
Memasuki Kampung Naga kita disambut dengan
sebuah tanah lapang dengan dua buah rumah di bagian kiri dan tiga buah rumah di
bagian kanan. Rumah Kuncen sendiri berada di bagian kiri nomor dua dari arah
pintu masuk. Pandangan pertama ketika masuk selain adanya tanah lapang juga
berdiri kokoh sebuah Masjid dan Bale Patemon yang saling berdampingan.
[1] Disebut Tugu Kujang
Pusaka karena tugu ini memiliki bagian atasnya berupa kujang yang terbuat dari
kurang lebih 900 pusaka yang berasal dari seluruh wilayah Pasundan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...