Oleh: Salman Al-Farizi dan Tubagus Miftahuddin
Islam yang mentas
dalam kenyataan sosial, dinilai kuat oleh Jones di tempat-tempat tersebut,
mungkin karena masyarakat Islam melarutkan ajaran agama dengan kebudayaan
mereka sehingga apa yang sedang terjadi, sebetulnya perlindungan kebudayaan
atas ajaran agama, sehingga perilaku dan pengetahuannya (kebudayaannya) itu
terasa ada nuansa suci (sakral). Karena itu bisa dipandang sebagai indikator bahwa
sakralisasi kebudayaan masyarakat dan kulturisasi agama dalam masyarakat,
adalah penyebab kuatnya Islam di tempat-tempat tersebut. Pandangan seperti ini
dapat diperlihatkan melalui cermatan unsur-unsur kebudayaan yang memiliki
potensi ketahanan tersebut.
Indikator
sakralisasi kebudayaan dan kulturisasi agama yang diperkuat tersebut, di empat
tempat (wilayah kebudayaan) tersebut dapat ditelusuri lewat nilai-nilai yang
mungkin menjadi inti kekuatan Islam di tempat-tempat tersebut. Islam yang
digambarkan lebih kuat di Aceh misalnya, karena ada peran ulama yang amat besar
dalam masyarakat aceh, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ulama
adalah personifikasi dari Islam itu sendiri. Karena ulama yang besar itu tidak
terbatas pada aspek keagamaan tetapi juga pada aspek politik, sosial, ekonomi
dan kebudayaan. Ada pepatah Aceh yang berbunyi: Hukom ngo adat lagu Zat ngo
sipheuet (Hukum dengan adat seperti benda dengan sifatnya, tidak terpisah).
Yang dimaksud dengan hukum di sini ialah hukum Islam yang diajarkan oleh para
ulama (Ismuha, 1983:6). Bahkan disebutkan pula dalam pepatah yang lain: Adat
bak Poteu Meureuhom, hukom bak Syiah Kuala (Adat pada Poteu Meureuhom, hukum
pada Syiah Kuala) (Baihaqi, 1983:130). Yang dimaksud Poteu Meureuhom ialah
Iskandar Muda, dan yang dimaksud Syiah Kuala ialah Syiah Ulama (Ismuha,
1983:7). Ungkapan (pepatah) tersebut mengandung nilai perpaduan yang amat
kental antara adat dengan agama yang dipersonifikasikan dengan Iskandar Muda
dan Syiah Ulama. Kekuatan adat-agama inlah yang kemudian tampil dengan amat
berkesan sebagai Islam yang kuat.
Bagi orang
Minangkabau di Sumatera Barat, agama Islam yang dalam ungkapan puitisnya
Kitabullah, menjadi sumber adat. Dinyatakan dalam tradisi orang Minangkabau
bahwa: Adat basandi Syara’, Syara basandi Kitabullah (Adat bersendi Syara’,
Syara’ bersendi Kitabullah). Syara’ (agama) sebagai sumber adat bahkan
dikatakan: Syara’ yang mengatu, adat yang memakai (Hamka, 1982:116). Pengertian
idealnya, agama sebagai ajaran itu menjadi sumber bagi “ajaran” adat; sedangkan
pengertian sosiologisnya, adat yang berlaku bagi orang Minangkabau itu adalah
penampilan Syara’ (agama) dalam bentuk nyata (faktual). Karena adat memperoleh
“sakralisasi” dari agama, maka pendukung adat (kebudayaan) itu terikat pada kesadaran
agama yang akibatnya agama terus dipegang, dan secara legitimate terus menjadi
identitas. Inilah rupanya yang menjadi pendorong terhadap orang Minangkabau
untuk dikatakan sebagai kuat Islamnya.
Dalam kultur orang
Bugis-Makassar terdapat suatu nilai yang disebut Siri’. Secara harfiah, Siri’
itu sama artinya dengan “harga diri”. Sedangkan secara kultural, Siri’
merupakan hal yang memberikan identitas sosial dan martabat kepada seseorang
Bugis-Makassar (Suyono, 1985:374). Siri’ yang telah tersosialisasi turun
temurun, merasuk pula pada aspek keagamaan yang menurut orang Bugis-Makassar
disebut Sara. Sebutan bukan Islam kepada seseorang adalah identifikasi Sara,
dan sebutan tidak ada Siri’ adalah identifikasi adat. Apabila dua hal yang
sederajat ini serentak disebutkan kepada seseorang, itu pastilah merupakan
suatu penghinaan yang berat. Nasehat orangtua yang diterima dari mubaligh,
kemudian diajarkan kepada anak cucunya bahwa orang yang bukan Islam itu adalah
laksana binatang, begitupula orang yang tidak ada siri’-nya, karena binatang
tidak tahu siri dan tidak beragama (Hamid, 1983:362-3). Siri’ yang semula
berkenaan dengan adat, kemudian memperkuat agama sehingga agama dikawal atau
dibela oleh siri’. Memegang simbol-simbol agama sama artinya dengan memegang
siri’, dan mengganggu atau menodai agama berarti berurusan dengan siri’. Orang
Bugis-Makassar merasa terhina (Siri’) jika agamanya diganggu. Karena agama
mereka Islam maka siri’ yang berkenaan dengan agama adalah agama Islam. Inilah
yang rupanya menjadi sumber kekuatan islam mereka.
Untuk melihat
indikator atau penyebab kuatnya Islam di Banten, tentu mesti mempertimbangkan
bagaimana orang Banten memandang dan memfungsikan agama islam itu. Dalam cerita
(babad) Banten yang dituturkan turun temurun, ada yang menarik yaitu proses
penaklukan Prabu Pucuk Umun dan peng-islaman orang Banten yang didahului dengan
adu kesaktian. Diceritakan bahwa Syarif Hidayatullah bersama puteranya
Hasanuddin, menaklukkan Prabu Pucuk Umun penguasa Banten, dengan mengadu
kesaktian yaitu adu ayam jantan. Pucuk Umun menantang Syarif Hidayatullah untuk
mengadu ayam, jika ayamnya kalah ia akan menyerahkan Banten ini kepada Syarif
Hidayatullah, tetapi jika ayamnya menang maka Syarif Hidayatullah mesti tunduk
kepadanya. Menghadapi pertandingan itu, Pucuk Umun mempersiapkan ayam jantan
yang amat sakti; tulang-tulangnya dibuat dari baja, otot-otot dan dagingnya
dibuat dari besi, sayapnya dibuat dari sutera, jenggernya dibuat dari emas dan
perak, paruh dan jalunya dibuat dari baja dan api, sedang semangat dan nyawanya
dibuat dari dan atas bantuan Jin (Setan). Sedangkan ayam Syarif Hidayatullah
dan puteranya, Hasanuddin, hanya ayam biasa tetapi semangat dan nyawanya dibuat
dari dan atas bantuan malaikat. Panampilan ayam Pucuk Umun sangat gagah sedang
penampilan ayam Syarif Hidayatullah biasa-biasa saja. Ketika pertarungan
terjadi ternyata ayam Pucuk Umun dapat dikalahkan dengan hanya dalam tempo
sekali gebrakan.
Cerita tersebut
menggambarkan adanya dua simbol kesaktian yaitu yang bersumber dari kesaktian
setan dan yang bersumber dari kesaktian malaikat. Kesaktian yang bersumber dari
malaikat itu selalu menang. Malaikat adalah simbol atau pengertian lain secara
kultural, agama Islam. Karena itu salah satu aspek atau bahkan dipandang
sebagai aspek penting dan inti dari agama Islam adalah kekuatan supernatural
yang bisa dimanfaatkan oleh manusia. Agama secara fungsional dipandang sebagai
formula-formula yang berhubungan dengan kekuatan supernatural itu.
Formula-formula itulah yang dapat membuktikan bahwa agama juga dapat memenuhi
umatnya akan kebutuhan-kebutuhan praktis (sekarang), bukan hanya nanti di
akherat. Secara kultural, inilah yang dapat dikatakan unsur “magis” yang dalam
bahasa agama disebut hikmah, atau potensi magis dalam agama yang difungsikan
oleh masyarakat pendukungnya (Tihami, 1992:222).
Dalam babad Banten
juga dikatakan bahwa proses penyebaran Islam di Banten menjadi sangat efektif
karena Syarif Hidayatullah dan Hasanuddin dapat mengislamkan 80 (delapan puluh)
orang Ajar (Pendeta Hindu) melalui pendekatan mistis yang dalam bentuk lahirnya
berupa magis. Dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan Adu Kadigjayaan
(kesaktian) misalnya mencabut tongkat yang ditanam di tanah. Kemenangan Syarif
Hidayatullah dan Hasanuddin terhadap para Ajar tersebut mendorong para Ajar
untuk memeluk Islam yang kemudian mentransfer kekuatan magis tersebut, yang
pada gilirannya justeru para (bekas) Ajar itulah yang menyebarkan Islam.
Pada perjalanan sejarahnya, cerita-cerita orang Banten selalu dihiasi dengan nuansa magisnya. Cara Sultan membangun masjid yang konon hanya beberapa waktu saja karena dibantu oleh kekuartan supernatural, konflik antar jawara yang disebut amprak sebagaimana diceritakan oleh Loze (1933) dan Meijer (1949) dengan kekuatan magisnya. Upaya Islamisasi oleh para Kiayi yang berhadapan dengan tantanga magis selalu diimbangi atau dibalas dengan kekuatan magis pula, adalah contoh-contoh pengetahuan masyarakat tentang agama dalam fungsi magis. Demikian pula ketika terjadi perlawanan orang Banten di Cilegon terhadap Kolonial Belanda, atau yang dikenal dengan pemberontakan (geger) Cilegon. Kartodirdjo (1966) menyebutkan bahwa pemberontakan itu digerakkan dan dipimpin oleh kiyai-kiyai tarekat. Kiayi-kiayi itulah yang diceritakan oleh Hamid (1987) sebagai yang memiliki kekuatan-kekuatan hikmah, misalnya kekuatan Kiayi Wakhia tidak tembus peluru ketika memimpin pemberontakan di Waringin Kurung pada tahun 1820.
Pada perjalanan sejarahnya, cerita-cerita orang Banten selalu dihiasi dengan nuansa magisnya. Cara Sultan membangun masjid yang konon hanya beberapa waktu saja karena dibantu oleh kekuartan supernatural, konflik antar jawara yang disebut amprak sebagaimana diceritakan oleh Loze (1933) dan Meijer (1949) dengan kekuatan magisnya. Upaya Islamisasi oleh para Kiayi yang berhadapan dengan tantanga magis selalu diimbangi atau dibalas dengan kekuatan magis pula, adalah contoh-contoh pengetahuan masyarakat tentang agama dalam fungsi magis. Demikian pula ketika terjadi perlawanan orang Banten di Cilegon terhadap Kolonial Belanda, atau yang dikenal dengan pemberontakan (geger) Cilegon. Kartodirdjo (1966) menyebutkan bahwa pemberontakan itu digerakkan dan dipimpin oleh kiyai-kiyai tarekat. Kiayi-kiayi itulah yang diceritakan oleh Hamid (1987) sebagai yang memiliki kekuatan-kekuatan hikmah, misalnya kekuatan Kiayi Wakhia tidak tembus peluru ketika memimpin pemberontakan di Waringin Kurung pada tahun 1820.
Perjalanan sejarah
seperti itu nampaknya semakin menandai kekhasan Islam di Banten yang memandang agamanya
secara fungsional juga menjadi sumber kekuatan magis. Akibatnya, tokoh-tokoh
agama yang dalam bahasa lokal disebut kiayi, secara fungsional bukan saja
pemimpin atau pembimbing agama tetapi juga pihak yang bersedia menolong
masyarakat yang ingin sembuh dari penyakit, ingin mencapai tujuan, terhindar
dari bahaya, dan memecahkan masalah-masalah. Dalam fungsi yang kedua ini, kiayi
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut yang tentu saja dengan
formula-formula agama. Karena itu sudah terbiasa jika kiayi dipandang sebagai
pihak yang mempunyai kemampuan magis yang kemudian mendorong masyarakat (orang)
Banten untuk tetap memegangi agamanya (Islam) karena agamanya itu bukan saja
memberikan tuntunan untuk akherat tetapi juga memberikan jalan keluar kini dan
di sini. Pengetahuan masyarakat tentang fungsi agama yang seperti itulah yang
mendorong budaya Banten mencapai ketahanannya, yaitu unsur-unsur yang meliputi
sistem nilai budaya dan sistem keyakinan yang secara praktis bermakna magis.
Unsur lain dari
kebudayaan yang dipandang mempunyai ketahanan ialah bahasa yang menurut
Patmadiwiria (1977:1) disebut bahasa (dialek) Jawa Banten. Bahasa ini mencapai
ketahanan yang kuat karena disosialisasikan amat dini, yaitu sejak orang masih
dalam usia bayi (bayi sudah diajak bicara). Bahasa Jawa Banten adalah suatu
dialek Jawa yang tumbuh dan berkembang sejak permulaan abad ke-17 Masehi,
ketika terjadi penyebaran agama Islam oleh Syarif Hidayatullah yang kemudian
dilanjutkan oleh puteranya Sultan Maulana Hasanuddin. Karena itu pada taraf
permulaannya, bahasa Jawa di Banten tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
penyebaran agama Islam oleh orang-orang Jawa. Dengan adanya keraton
(kesultanan) Islam di Banten Utara itu, maka bahasa Jawa mendapatkan dasar
berpijak yang kuat sebab ia dipergunakan sebagai bahasa resmi keraton, karena
memang Sultan dan orang-orangnya berasal dari Jawa. Menurut Patmadiwiria
(1977:1), sesungguhnya pengaruh keraton itulah yang telah menyebabkan bahasa
Jawa dapat berkembang dengan pesat di daerah Banten Utara. Dengan demikian
lambat laun pengaruh keraton telah membentuk masyarakat berbahasa Jawa.
Sebagaimana
dikatakan di atas, bahwa bahasa sebagai salah unsur kebudayaan yang sulit untuk
berubah atau mempunyai ketahanan yang amat tinggi disebabkan karena
disosialisasikan secara dini, maka inti dari ketahanan itu ialah sosialisasi
dini. Logika yang dapat dirumuskan ialah, jika bahasa Jawa Banten - mungkin
juga bahasa Sunda Banten – disosialisasikan tidak secara dini, apalagi tergeser
dengan sosialisasi bahasa lain (misalnya bahasa Indonesia), maka ketahanannya
akan segera turun. Karena itu upaya mempertahankan bahasa Jawa Banten terletak
pada upaya sosialisasi. Demikian pula unsur-unsur kebudayaan yang lain,
misalnya adat istiadat yang secara fungsional mempunyai jaringan amat luas di
masyarakat, mempunyai daya tahan yang baik. Di antara adat istiadat seperti ini
misalnya simbol-simbol sakral pada kepemimpinan kiyai yang memunculkan kategori
kiyai dan bukan kiyai. Secara tradisional kiyai merupakan kedudukan sakral
sehingga ia secara luas difungsikan oleh masyarakat sedemikian rupa. Adat
istiadat ini akan bertahan lama (mempunyai daya tahan) jika posisi sakral itu
tetap dipertahankan oleh kiyai, sementara masyarakat memperoleh keuntungan dari
posisi tersebut.
Unsur lain dari
kebudayaan ialah kesenian sebagai refleksi simbolik pengetahuan masyarakat
tentang kehalusan, keindahan, dan gambaran perjalanan hidup. Menurut data
pariwisata Serang, di Banten terdapat duabelas macam kesenian khas. Dalam semua
kesenian dimaksud terdapat nuansa spiritual yang unik, bahkan ada atau sebut
saja didominasi, oleh formula-formula magis, mislanya Debus, Sulap, Syaman, dan
lain-lain. Dominasi nuansa magis itu sulit disebarkan secara massal karena
karakteristik magis amat rahasia dan tertutup. Karakteristik inilah yang
menghambat kelancaran sosialisasi sehingga pada gilirannya penerima sosialisasi
menjadi langka, dan itu sebagai pertanda kepunahan. Karena itu nuansa magis
dalam kesenian Banten diperlukan redefinisi atau reposisi sebagai wahana yang
menguntungkan pendukungnya.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...