Oleh: Deden Cikal Rambu Basae
ABSTRAK
Rasulullah adalah sosok pemimpin
yang yang berhasil menyatukan umat Islam dalam satu kesatuan yang utuh,
Rasulullah merupakan pemimpin yang dijadikan panutan sepanjang masa. Setiap ada
masalah pada zaman Rasulullah umat Islam tidak perlu bingung mencari
penyelesaiannya, karena semua permasalahan dan penyelesaiannya mereka serahkan
pada Rasulullah, namun sepeninggal Rasulullah umat Islam bagaikan kehilangan
pegangan yang selama ini mereka banggakan. Bermula dari sinilah maka banyak
timbul berbagai macam problema di kalangan umat Islam.
Sejak awal, sumber norma dan nilai Islam adalah al-Qur'an dan as-Sunnah, ketika
Rasulullah masih ada penafsiran al-Qur'an dan as-Sunnah langsung ditafsiri oleh
Rasulullah sehingga tidak menimbulkan masalah di kalangan umat Islam saat itu.
Kemudian sepeninggal Rasulullah dan dalam perkembangan zaman timbullah pelbagai
masalah baru dalam kehidupan keagamaan yang membawa para ulama kepada
pemahaman, pendalaman, penafsiran, serta perincian mengenai pelbagai aspek
keagamaan, baik dalam lapangan akidah, maupun dalam bidang syari'ah.
Hal-hal inilah yang menjadi sebab lahirnya mazhab-mazhab pada kalangan umat
Islam dalam pelbagai segi masalah keagamaan. Salah satu mazhab atau aliran yang
timbul saat itu adalah aliran Khawarij.
Aliran kalam
pertama dalam sejarah Islam pada abad 11 adalah Khawarij. Istilah Khawarij ini
dipergunakan untuk menyebut nama suatu kelompok mayarakat yang memberontak dan
tidak mengakui keabsahan imam yang sah, baik pada zaman sahabat, terhadap empat
khalifah pilihan atau pada masa tabi'in atau terhadap imam-imam yang sah
di sepanjang masa.
Kemunculan Khawarij ini dilatarbelakangi adanya pertikaian politik antara Ali
dan Muawiyah yang nantinya akan memunculkan istilah tahkim, dan dari sinilah
kelompok yang tadinya mendukung Ali berbalik menentang Ali dan keluar dari
barisan Ali dan melabeli diri mereka dengan label Khawrij.
I. Pendahuluan
Tidak bisa dipungkiri bahwa Rasulullah adalah seorang Pemimpin yang dapat
mempersatukan umat Islam dalam kurun waktu yang tidak lama, hal ini sering kali
ditulis dalam sejarah-sejarah Islam. Sepeninggal Rasulullah, umat Islam merasa
kehilangan sebuah tonggak yang selama ini mereka jadikan panutan dalam segala
hal. Banyak sekali kejadian yang dialami oleh umat Islam sepeninggal
Rasulullah. Mulai dari pergantian Khalifah, dari Khalifah Abu Bakar sampai
Khalifah Ali bin Abi Thalib sampai peristiwa terpecahnya umat Islam menjadi
beberapa firqoh-forqoh dalam Islam, antara lain Khawarij, Murjiah, Syiah,
Jabariyah, Qadariyah, Mu'tazilah, Ahanlus sunah wal jamaah, Ahmadiyah
dan Salafiyah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kemunculan Khawarij sebagai sebuah sekte atau
kelompok agama merupakan salah satu distorsi atau perubahan politik dan mental
yang penting dalam sejarah Islam. Sesungguhnya munculnya kelompok ini seperti
merupakan simbol kecenderungan yang kaku di dunia Islam di bidang politik dan
mental. Sebuah kelompok yang berupaya keras mendapatkan tempat di bidang
politik dengan menerapkan pandangan-pandangan mereka yang ekstrem, namun akibat
ekstremitas inilah maka kelompok ini gagal mendapatkan tempat terhormat di
masyarakat.
Berangkat dari sinilah maka penulis ingin menggali lebih jauh tentang kaum
Khwarij ini dengan harapan dapat memberikan informasi yang mendalam tentang
kaum Khawarij ini.
A. Sejarah Lahirnya Khawarij
Aliran kalam
pertama dalam sejarah Islam pada abad ke 1 H adalah Khawarij. Nama itu berasal
dari kata Arab yang berarti "keluar". Kelompok ini disebut khawarij
karena keluar dari barisan Ali bin Ali Thalib sebagai protes terhadap Ali yang
menyetujui perdamaian dengan Mu'awiyah bin Abi Sofyan.Ada juga yang megatakan
bahwa nama Khawarij ini didasarkan atas surah an-Nisa ayat 100:
ومن
يهاجر في سبيل الله يجد في الأرض مراغما كثيرا وسعة ومن يخرج من بيته مهاجرا إلى
الله ورسوله ثم يدركه الموت فقد وقع أجره على الله وكان الله غفورا رحيما
Artinya:
Barangsiapa berhijrah di jalan
Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan
rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke
tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Berdasarkan ayat ini kaum Khawarij
memandang diri mereka sebagai orang yang keluar dari rumah semata-mata untuk
berjuang di jalan Allah SWT.
Selain nama Khawarij, ada beberapa nama lagi yang diberikan kepada kelompok
ini, antara lain: al-Muhakkimah, Syurah, Haruriyah dan al-Mariqah. Nama
al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka yang terkenal "laa hukma
illaa li allah (tiada hukum kecuali hukum Allah) atau laa hakama illaa
allah (tidak ada pembuat hukum kecuali Allah). Berdasarkan alasan inilah
mereka menolak keputusan Ali. Bagi mereka yang berhak memutuskan perkara
hanyalah Allah SWT bukan arbitrase.
Mereka juga menyebut diri mereka Syurah yang berasal dari bahasa arab yasyri
(menjual). Penamaan ini didasarkan pada surah al-Baqarah ayat 207:
ومن
الناس من من يشري نفسه ِبتغاء مرضات الله والله رؤف بالعباد
Artinya:
Dan di antara manusia ada orang yang
mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun
kepada hamba-hamba-Nya.
Berdasarkan ayat ini kaum Khawarij menganggap diri
mereka adalah orang-orang yang mengorbankan diri mereka untuk mencari ridha
Allah SWT.
Mereka disebut juga kelompok Haruriyah berasal dari kata Harurah, tempat
mereka berkumpul setelah meninggalkan barisan Ali. Tempat ini kemudian mereka
jadikan pusat kegiatan.
Adapun nama al-Mariqah diberikan kepada mereka karena mereka dianggap
telah keluar dari agama. Kata ini berasal dari kata maraqa yang berarti
"anak panah yang keluar dari busurnya".
Kemunculan aliran Khawarij dilatarbelakangi adanya pertikaian politik antara
Ali dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, yang pada waktu itu menjadi Gubernur Syam
(Suriah). Mu'awiyah menolak membaiat Ali yang terpilih sebagai Khalifah,
sehingga Ali mengerahkan bala tenteranya untuk menyerang Mu'awiyah. Mu'awiyah
yang mengumpulkan pasukannya untuk menghadapi Ali. Pertempuran pun terjadi
antara kedua belah pihak di Siffin. Pertempuran di Siffin sudah hampir
dimenangkan oleh pasukan Ali. Dalam situasi demikian itulah muncul politikus
ulung yang bernama Amr bin As, diplomat yang cukup terkenal di semenanjung
Arab. Ia pandai mencari jalan keluar dalam situasi sulit. Ia menyarankan kepada
Mu'awiyah agar pasukannya yang digaris paling depan mengikatkan mushaf
al-Qur'an ke ujung tombak sebagai tanda bahwa perang harus dihentikan dan
diadakan perundingan dengan keputusan berdasarkan hukum al-Qur'an. Cara ini
kemudian dikenal dengan istilah tahkim.[1]
Taktik inilah yang kemudian dilaksanakan oleh pihak Mu'awiyah. Pada mulanya Ali
tidak mau menerima tawaran damai tersebut, karena Ali menyadari bahwa ini
adalah suatu tipu muslihat. Perundingan demikian itu hanya merupakan permainan
politik. Sebagian pengikut Ali terutam para Qurra' (pembaca) dan Huffad
(penghafal) mereka tidak sependapat. Mereka siap berhenti bertempur. Mereka
sudah jemu berperangyang sudah berlangsung selama tiga bulan itu dan memaksanya
untuk menerima gencatan senjata dengan jalan tahkim. Keputusan Ali dalam
menerima tahkim ini telah menimbulkan perbedaan diantara pengikut Ali, sebagian
dari mereka ingin terus bertempur dan sebagian dari mereka setuju dengan
gencatan senjata, maka pertempuran dihentikan. Ali meminta kepada Mu'awiyah
untuk menjelaskan rencananya itu. Mu'awiyah mengusulkan ada dua orang yang
menjadi penengah mewakili masing-masing pihak. Maka Ali mencalonkan Abdullah bin
Abbas karena dia mampu menghadapi Amr bin As, namun hal ini ditolak oleh
pengikut-pengikutnya yang dari Irak, karena mereka menganggap Abdullah bin
Abbas terlalu keras sehingga dikhawatirkan tidak akan tercapai perdamaian, juga
karena dia masih kerabat dekat Ali. Mereka menginginkan orang yang lebih lembut
agar dapat mencapai perdamaian. Oleh karenanya pilihan jatuh pada Abdullah bin
Qais yang lebih dikenal dengan Abu Musa al-Asy'ari (laki-laki tua yang baik
hati).[2]
Calon lain
yang disebut-sebut dan mereka tolak adalah Asytar (Malik bin Haris) karena
ambisinya berperang sangat besar, dikhawatirkan ia akan merintangi usaha
perdamaian, begitu juga pencalonan Ahnaf bin Qais, dia adalah salah seorang
pendukung Ali yang kuat dan penting. Dia juga menentang keras pencalonan Abu
al-Asyari.[3]
Perundingan pertama antara Abu Musa al-Asyari dan Amr bin As dalam bertahkim
kepada al-Qur'an pada 13 Safar 37 H telah tercapai. Enam bulan kemudian
tepatnya bulan Ramadhan 37 H/Februari 658 M mereka bertemu lagi di Azruh
sebelah timur Suria. Dalam pembicaraan itu mereka masih belum mencapai kata
sepakat untuk memilih orang yang paling tepat yang mereka setujuisebagai
Khalifah menggantikan Ali atau Mu'awiyah. Oleh karenanya, mereka mengambil
jalan tengah, menyerahkan pemilihan kepada kaum muslim dalam syura untuk
memnentukan siap yang menjadi pilihan mereka. Didasari rasa hormat Amr bin As
kepada Abu Musa al-Asy'ari, maka Amr bin As meminta Abu Musa al-Asy'ari untuk
menyampaikan keputusannya terlebih dahulu kepada publik. Abu Musa al-Asy'ari
pun maju dan berkata didepan publik
"Setelah kami
mengadakan pembahasan, kami tidak menemukan jalan keluar yang lebih baik guna
mengatasi kemelut ini. Selain mengambil langkah ini demi kebaikan kita semua,
yaitu kami sudah sepakat untuk memecat Ali dan Mu'awiyah, dan selanjutnya kita
kembalikan kepada Majelis Syura diantara Kaum Muslimin sendiri."[4]
Setelah itu Amr bin As maju dan
berkata
"Abu Musa al-Asy'ari telah
memecat sahabatnya itu, dan saya ikut memecat orang yang telah dipecatnya,
tetapi saya akan mengukuhkan sahabat saya Mu'awiyah. Dia adalah wakil Usman bin
Affan dan yang berhak menuntut itu. Dialah yang paling tepat untuk kedudukan
itu."[5]
Setelah melihat apa yang telah
dilakukan oleh Amr bin As, Abu Musa al Asy'ari memprotes tindakan Amr bin As
dan dianggap sebagai suatu penipuan. Hal ini juga semakin menimbulkan
perselisihan yang mendalam pada pengikut-pengikut Ali. Pengikut-pengikut Ali
dari kalangan garis keras menyalahkan Ali menunjuk Abu Musa al-Asy'ari dan
sangat menyesalkan keputusan Imam Ali menerima tahkim. Mereka berpendapat
seharusnya Ali memaksa mereka agar kembali kepada keadilan dan kebenaran, bukan
sebaliknya malah mengikuti perbuatan salah. Mereka mengancam Ali dengan
pembunuhan jika tidak mau melaksanakan kehendak mereka.[6] Kemudian mereka
keluar dari barisan Ali dan mereka memilih dan membaiat Abdullah bin Wahab
ar-Rasibi yang dikenal dengan julukannya Zu as-Safinat menjadi pemimpin mereka.
Ar-Rasibi ini adalah orang yang sangat keras menentang hasil tahkim dan
menuntut agar Ali meninggalkan tahkim dan meneruskan perang melawan Mu'awiyah.
Kelompok inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya kaum Khawarij.
B. Perkembangan Khawarij
Beberapa sejarahwan menilai mulai timbulnya segala permusuhan dan perpecahan
itu sampai perang Siffin dan lahirnya gerakan Khawarij tidak lepas dari imbas
peranan Abdullah bin Saba' yang aktif mengadakan kegiatan politik. Kegiatan ini
kemudian dikenal dengan nama gerakan Saba'iyah. Menjelang dibaiatnya Usman bin
Affan sebagai khalifah ketiga dan berlanjut sampai masa pemerintahan Ali bin
Abi Thalib gerakan ini sangat aktif bekerja. Puncaknya ketika terjadi
pembangkangan sekelompok orang yang kemudian lebih dikenal dengan nama al-Khawarij.[7]
Sebagaimana telah dijelaskan di atas ada campur tangan Abdullah bin Saba' dalam
pembentukan gerakan Khawarij. Tujuannya tak lain adalah untuk memecah belah
umat Islam dengan menyebarkan racun fitnah di kalangan umat Islam sendiri. Hal
ini sudah dapat dibuktikan dengan semakin banyaknya pengikut Ali yang menjadi
pengikut Abdullah bin Wahhab ar Rasidi, jumlah mereka mencapai 16.000 orang.
Kebanyakan mereka terdiri dari penduduk badwi di desa-desa dan pedalaman. Pada
umumnya kaum Khawarij ini didukung oleh suku-suku nomad (suku yang hidupnya
tidak menetap atau suku pengelana, seperti suku Bakar bin Wail dan Bani
Tamim.E8 Diantara tokoh-tokoh dalam Khawarij yang terkenal adalah Syibs bin
Rib'i at-Tamimi dan dialah yang ditunjuk sebagai panglima.[8]
Kelompok
Khawarij ini disebut juga kelompok Haruriyah berasal dari kata Harurah,
tempat mereka berkumpul setelah meninggalkan barisan Ali. Tempat ini kemudian
mereka jadikan pusat kegiatan. Adapun nama al-Mariqah diberikan kepada
mereka Karena mereka dianggap telah keluar dari agama. Kata ini berasal dari
kata maraqa yang berarti anak panah yang keluar dari busurnya. Nama ini
diberikan lawan mereka.[9]
Seiring dengan perjalanan waktu, kaum Khawarij di Harurah berhasil menyusun
kekuatan dan memperoleh banyak pengikut. Mereka kemudian menyatakan
pembangkangan terhadap Ali. Mereka menganggap Ali dan Mu'awiyah serta semua
orang yang menyetujui tahkim dianggap telah menyimpang dari Islam.
Karena itu mereka harus ditentang dan dijatuhkan. Bertemulah pasukan Ali dan
Khawarij di suatu tempat yang bernama Nahrawan dan terjadilah pertempuran
antara kedua belah pihak. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan tentara
Ali dan hampir seluruh kekuatan Khawarij dapat dimusnahkan. Menurut Muhammad
Abdul Karim Syahritsani, tidak sampai sepuluh orang kaum Khawarij yang
selamat dari pertempuran itu, yang lainnya gugur di medan perang termasuk
pemimpin mereka Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi. Akan tetapi kekalahan total di
Nahrawan tidak membuat kaum Khawarij patah semangat. Akhirnya salah satu dari
mereka yang bernama Abdur Rahman bin Muljam berhasil membunuh Ali pada 17
Ramadhan 40H/24 Januari 661 M.[10]
Sepeninggal Ali, kaum Khawarij melakukan pemberontakan terhadap penguasa Islam
resmi baik pada zaman dinasti Bani Umayah maupun dinasti Abbasiyah, dengan
alasan bahwa para penguasa itu dianggap telah menyeleweng dari ajaran Islam.
C. Paham Khawarij
Meskipun pada mulanya muncul karena
persoalan politik, dalam perkembangannya Khawarij lebih banyak bercorak
teologis. Menurut keyakinan mereka semua masalah harus diselesaikan dengan
merujuk kepada hukum Allah, mereka berpendapat:
- Mereka mengakui keabsahan
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Adapun Usman, menurut mereka telah
menyimpang- pada masa akhir khilafahnya – dari keadilan dan kebenaran,
karena itu selayaknya dibunuh. Mereka juga berpendapat bahwa sayyidina Ali
telah melakukan dosa besar dengan mentahkimkan selain Allah dan
semua orang yang menyetujui tahkim mereka telah melakukan dosa
besar.
- Dosa dalam pandangan mereka,
sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar
apabila ia tidak bertobat, atas dasar inilah mereka mengkafirkan semua
sahabat Nabi saw yang disebutkan namanya tadi. Pada mulanya yang mereka
anggap kafir adalah orang-orang yang menyetujui tahkim, tetapi
kemudian mereka mengembangkan artinya bahwa semua orang yang melakukan
dosa besar adalah kafir walaupun ia telah mengucapkan dua kalimat
syahadat.
- Khilafah tidak sah kecuali
dengan adanya pemilihan bebas antara kaum muslimin dan tidak dengan cara
apapun selain itu.
- Mereka sama sekali tidak
menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa seorang khalifah haruslah dari
suku Quraiys. Mereka mengatakan bahwa setiap orang laki-laki yang saleh,
dipilih oleh kaum muslimin, dapat menjadi seorang kkalifah yang sah bagi
mereka, terlepas dari kenyataan apakah dia seorang dari suku Quraisy atau
bukan.
- Ketaatan kepada khalifah
adalah sesuatu yang wajib hukumnya selama ia masih berada di jalan
keadilan dan kebaikan. Apabila ia menyimpang, maka wajib memeranginya atau
membunuhnya.
- Mereka menerima al-Qur'an
sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum Islam. Adapun hadis
dan ijma' maka mereka memiliki cara yang berbeda dari cara kaum muslimin
lainnya.[11]
- Mereka menganggap bahwa suatu
perkawinan tidak sah kecuali dengan kelompoknya sendiri.[12]
D. Sekte Khawarij
Mengenai jumlah sekte Khawarij ulama berbeda pendapat . abu Musa al-As'ariy
menyebut lebih dari 20 sekte. Al-Baqdadi (ahli usul fikih) berpendapat ada 20
sekte. Sementara itu Syahritsani hanya menyebut 18 sekte. Adapula ulama yang
hanya menghitung sekte utama. Misalnya Mustafa as- Syak'ah (seorang ahli ilmu
kalam) menyebut 8 sekte yaitu al-Muhakkimah, al-Zariqah, an-Najdat,
al-Baihasiyah, al-Ajaridah, as-Sa'alibah, al-Ibadiyah, dan as-Sufriyah. Adapun
Muhammad abu Zahrah (ahli fikih, usul fikih, dan kalam) menerangkan 4 sekte
saja, yaitu an-Najdat, as-Sufriyah, al-Ajaridah, dan al-Ibadiyah. Sementara itu
Harun Nasution (ahli filsafat Islam) dalam buku filsafat Islam ada 6
sekte penting, yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, an-Najdat, al-Ajaridah,
as-Sufriyah, dan al-Ibadiyah.[13]
Paham dan ajaran pokok dari sekte Khawarij yang penting adalah sebagai berikut:
- al-Muhakkimah, dipandang sebagai golongan Khawarij asli karena terdiri
dari pengikut Ali yang kemudian membangkang. Nama al-Muhakkimah berasal
dari semboyan mereka la hukma illa li Allah (menetapkan hukum itu hanyalah
hak Allah) mereka menolak tahkim karena dianggap bertentangan dengan
perintah Allah. Selanjutnya dalam paham sekte ini Ali, Mu'awiyah dan
seluruh orang yang menyetujui tahkim dituduh telah menjadi kafir
karena telah menyimpang dari ajaran Islam. Kemudian mereka juga menganggap
kafir orang yang berbuat dosa besar, seperti membunuh tanpa alasan yang
sah dan berzina.Orang Khawarij yang pertama dalam kelompok ini bernama Zul
al Khuwairisah dan yang terakhir bernama Zu al-Tsadiyah. Mereka menyatakan
bahwa mereka tidak menaati khalifah semenjak awalnya karena itu mereka
menciptakan dua macam bid'ah: Pertama, bid'ah yang mereka bikin
tentang imamah. Menurut mereka imam boleh saja selain dari orang Quraiys.
Setiap orang yang mereka angkat yang mampu berbuat adil dan menjauh dari
kejahatan adalah imam yang sah setiap yang tidak menaatinya wajib dibunuh.
Apabila imam telah berubah perilakunya dan telah meninggalkan kebenaran
wajib diberhentikan atau dibunuh.Kelompok ini termasuk orang yang paling
banyak menggunakan kias dan menurut mereka tidak boleh ada dua imam dalam
satu zaman. Hanya dalam keadaan yang sangat terpaksa dapat diangkat
menjadi imam lebih dari satu orang, baik dari orang yang merdeka atau
budak atau orang biasa atau orang keturunan dari Quraiys. Kedua Ali
bin Abi Thalib menurut mereka banyak melakukan kesalahan dengan menerima
konsep arbitrasi, menurut mereka arbitrasi adalah hasil keputusan manusia
yang tidak menjamin kebenarannya.[14]
- Al-Azariqah,
sekte ini lahir sekitar tahun 60 H (akhir abad ke 7 M) di daerah
perbatasan antara Irak dan Iran. Nama al-Azariqah dinisbahkan kepada
peimpin sekte ini, Nafi' bin Azrak al- Hanafi al-Hanzali. Sebagai khalifah
Nafi' digelari amirulmu'minin. Menurut al-Baqdadi, pendukungnya berjumlah
lebih dari 20 ribu orang. Al-Azariqah membawa paham yang lebih ekstrem.
Paham mereka antara lain adalah bahwa setiap orang Islam yang menolak
ajaran al-Azariqah dianggap musyrik. Pengikut al-Azariqah yang tidak mau
ikut hijrah ke wilayahnya juga dianggap musyrik. Menurut mereka semua
orang Islam yang musyrik boleh ditawan atau dibunuh termasuk anak
dan istri mereka. Berdasarkan prinsip ini pengikut al-Azariqah banyak
melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada di luar daerah
mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai darul Islam di luar daerah
itu adalah darul kufr (daerah yang dikuasai atau dipimpin orang
kafir).[15] Mereka menganggap kafir terhadap orang yang tidak mau ikut
bertempur dengan mereka sekalipun masih melaksanakan ajaran Islam. Mereka
tidak mengakui hukuman rajam bagi pezina, dengan alasan hukuman itu tidak
tercantum dalam al-Qur'an. Menurut mereka taqiah tidak
diperbolehkan, baik dalam perkataan atau perbuatan.[16]
- An-Najdat, sekte ini adalah kelompok yang dipimpin oleh Najdah
bin Amir al-Hanafi, penguasa daerah Yamamah dan Bahrain. Lahirnya
kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi' pemimpin al-Azariqah,
yang mereka pandang terlalu ekstrem. Pendapat Nafi' yang mereka tolak
adalah tentang musyriknya pengikut al-Azariqah yang tidak mau berhijrah ke
dalam wilayah al-Azariqah dan tentang kebolehan membunuh anak-anak atau
isteri orang yang mereka anggap musyrik. Pengikut an-Najdat memandang
Nafi' telah menjadi kafir, begitu juga orang yang mengakuinya sebagai
khalifah. Paham teologi an-Najdat yang terpenting adalah bahwa orang Islam
yang tak sepaham dengan mereka dianggap kafir dan akan kekal dalam neraka,
sedangkan pengikut an-Najdat tidak akan kekal dalam neraka walaupun mereka
melakukan dosa besar. Selanjutnya bagi mereka dosa kecil itu dapat
meningkat menjadi dosa besar apabila dikerjakan terus-menerus. Paham lain
yang dibawa sekte ini adalah taqiyah, yaitu bahwa seorang Islam dapat
menyembunyikan identitas keimanannya demi keselamatan dirinya, dalam hal
ini ia diperbolehkan mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan yang
bertentangan dengan keyakinannya. Dalam perkembangan selanjutnya sekte ini
mengalami perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini, seperti Abu
Fudaik dan Rasyid at- Tatwil membentuk kelompok oposisi terhadap
an-Najdat
yang berakhir dengan terbunuhnya an-Najdat pada
tahun
69 H/688 M.[17]
- Al-Ajaridah,
pemimpin sekte ini adalah Abdul Karim bin Ajarrad. Dibandingkan dengan
al-Azariqah, pandangan kaum al-Ajaridah jauh lebih moderat. Mereka
berpendapat bahwa tidak wajib berhijrah ke wilayah mereka seperti seperti
yang diajarkan Nafi, tidak boleh merampas harta dalam peperangan kecuali
harta orang yang mati terbunuh, dan tidak dianggap musyrik anak-anak yang
masih kecil. Bagi mereka al-Qur'an sebagai kitab suci, tidak layak
memuat memuat cerita percintaan, seperti yang terkandung dalam surat
Yusuf. Oleh karena itu surat Yusuf dipandang bukan bagian dari al-Qur'an.
- As-Sufriyah,
sekte ini membawa paham yang mirip dengan paham al-Azariqah, hanya lebih
lunak. Nama as-Sufriyah berasal dari nama pemimpin mereka, Ziad bin Asfar.
Pendapatnya yang penting adalah istilah "kufur" atau
"kafir" (mengandung dua arti yaitu kufr an-ni'mah,mengingkari
nikmat Tuhan dan kufr bi Allah, mengingkari Tuhan). Untuk yang
pertama, kafir tidak berarti keluar dari Islam. Tentang taqiyah,
mereka hanya membolehkan dalam bentuk perkataan, tidak boleh dalam bentuk
tindakan, kecuali bagi wanita Islam yang diperbolehkan menikah dengan
lelaki kafir apabila terancam keselamatan atau keamanan dirinya.[18]
- al-Ibadiyah, sekte ini dimunculkan oleh Abdullah bin Ibad al-Murri
at- Tamimi tahun 686 M. Doktrin mereka yang terpenting antara lain bahwa
orang Islam yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin melainkan
muwahhid (orang yang kafir nikmat, yaitu tidak membuat pelakunya keluar
dari agama Islam) Selanjutnya yang dipandang sebagai dar al-kufr hanyalah
markas pemerintahan dan itulah yang harus diperangi selain dari itu
disebut dar at-Tauhid (daerah yang dikuasai orang Islam), tidak boleh
diperangi. Mereka mengharamkan penyerbuan terhadap kaum muslim secara
rahasia, tapi menghalalkan penyerbuan terhadap mereka secara
terang-terangan.[19] Tentang harta yang boleh dirampas dalam perang,
mereka menetapkan hanya kuda dan alat perang. Sekte al-Ibadiyah dianggap golongan
yang paling moderat dalam aliran Khawarij.Gerakan ini sampai sekarang
masih ada di Afrika Utara, Aljazair, Libia, Zanzibar, dan Oman dalam
jumlah sekitar lima ratus ribu orang.[20]
III. Kesimpulan
Munculnya kaum Khawarij
merupakan sikap protes mereka terhadap otoritas agama yang ada pada mereka dan
sistem politik yang selama ini berlaku. Kaum ini memiliki system
demokrasi yang diyakini akan kebenarannya, bagi mereka hukum Allah hanya bisa
diwujudkan melalui pemilihan yang bebas oleh muslimin secara keseluruhan.
Mereka sangat menentang tuntutan, bahwa menurut suatu golongan hanya quraisy
saja yang sah memperoleh hak prioritas menjadi khalifah, atau menurut anggapan
Syiah hanya dari keturunan Ali saja yang berhak menjadi Khalifah. Sebaliknya
menurut Khawarij, setiap orang sekalipun ia seorang budak hitam berhak
dicalonkan dan mencalonkan diri untuk dipilih menjadi khalifah jika memenuhi
syarat sesuai dengan ketakwaan beragama dan akhlak pribadinya. Teori demokrasi
yang mereka kemukakan mengenai kekhalifahan cukup menarik, tetapi sikap mereka
yang terkenal amat keras dan sangat fanatik, banyak orang enggan mendekati
mereka. Golongan inipun menganggap diri mereka yang benar dan sulit untuk
menerima pendapat orang lain, dan mereka sangat berpegang teguh pada penafsiran
al-qur'an secara harfiah.
[1] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib
sampai kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2007)
halaman 262.
[2] Ibid, halaman 263.
[3] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib
sampai kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2007)
halaman 263.
[4] ibid
[5] ibid
[6] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib
sampai kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2007)
halaman 277.
[7] Ibid, halaman 279.
[8] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib
sampai kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2007)
halaman 281.
[9] Lihat Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1993) halaman 99.
[10] Ibid
[11] Abu A'la al-Mududi, Khilafah
dan Kerajaan, (Bandung, PT. Mizan, 1994) halaman 277.
[12] Muhammad bin Abdul Karim
Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, (PT. Bina Ilmu) halaman 103.
[13] Lihat Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1993) halaman 99.
[14] Muhammad bin Abdul Karim
Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, (PT. Bina Ilmu) halaman 104.
[15] W Montgomery Watt, Pemikiran
Teologi dan Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Midas Surya
Grafindo, 1979) halaman 23.
[16] Muhammad bin Abdul Karim
Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, (PT. Bina Ilmu) halaman 109.
[17] Lihat Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1993) halaman 100.
[18] Lihat Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1993) halaman 100.
[19] Abu A'la al-Mududi, Khilafah
dan Kerajaan, (Bandung, PT. Mizan, 1994) halaman 278.
[20] Ali Audah, Ali bin Abi
Thalib sampai kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Pustaka Lentera Antar
Nusa, 2007) halaman 284.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...