Oleh: Dr. Abdurrahman Misno BP, MEI
Pandemi Covid-19 memunculkan
berbagai permasalahan di tengah masyarakat, dari masalah besar yang berkaitan
dengan kemiskinan dan negara hingga masalah individual terkait dengan hubungan
antara manusia dengan manusia lainnya di bidang sosial, ekonomi dan bisnis atau
dalam bahasa Islam adalah Muamalah.
Salah satu dari permasalahan
muamalah yang muncul karena adanya Covid-19 ini adalah akad (transaksi)
pembayaran uang asrama khususnya pada lembaga pendidikan yang berasrama seperti
pesantren, sekolah berasrama dan perguruan tinggi berasrama. Permasalahan yang
muncul adalah rasa keberatan dari siswa atau mahasiswa serta orang tua yang
harus tetap membayar uang asrama, padahal siswa atau mahasiswa tersebut tidak
menggunakan dan memanfaatkan fasilitas asrama tersebut. Maka bagaimana hukum lembaga
pendidikan berasrama yang meminta pembayaran biaya asrama dari siswa atau
mahasiswa, padahal asrama tersebut tidak digunakan?
Pembayaran uang asrama dilakukan
karena adanya akad ijarah (sewa/jual beli tenaga, jasa atau manfaat)
atas manfaat dari asrama yang digunakan untuk menunjang proses pembelajaran.
Akadnya adalah ijarah, yaitu jual beli manfaat atas asrama yang
digunakan oleh siswa atau mahasiswa beristirahat. Biasanya asrama sudah
termasuk peralatan tidur dan fasilitas sehari-hari lainnya. Dasar hukum dari
Ijarah adalah firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
...kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; QS. Ath-Thalaq:
6.
Ayat senada terdapat pula dalam QS.
al-Baqarah: 233, demikian pula dalam firmanNya dalam QS. Az-Zukhruf: 32 dan al-Qashas:
26-27. Adapun dasar hukum dari As-Sunnah adalah;
عن عائشة رضي الله عنها:
واستأجرالنبى صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل، ثم من بنى عبد بن
عدي، هاديا خريتا الخريت: الماهر بالهداية قد غمس يمين حلف فى آل العاص بن وائل،
وهو على دين كفار قريش، فأمناه، فدفعا إليه راحلتيهما، ووعداه غار ثور بعد ثلاث ليال،
فأتهما براحلتيهما صبيحة ليال ثلاث فارتحلا، وانطلق معهما عامربن فهيرة، والدليل
الديلي، فأخذ بهم أسفل مكة، وهو طريق الساحل (رواه البخاري)[15]
“Dari Aisyah R.A, ia menuturkan Nabi SAW dan
Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang pintar sebagai penunjuk jalan dari
dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi bin Adi. Dia pernah terjerumus dalam
sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash bin Wail dan dia memeluk agama
orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi jaminan keamanan kepada keduanya,
maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan miliknya, seraya menjanjikan bertemu
di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia pun mendatangi keduanya dengan membawa
hewan tunggangan mereka pada hari di
malam ketiga, kemudian keduanya berangkat berangkat. Ikut bersama keduanya Amir
bin Fuhairah dan penunjuk jalan dari bani Dil, dia membawa mereka menempuh
bagian bawah Mekkah, yakni jalur pantai. H.R. Bukhari.
Merujuk pada hadits ini maka Nabi
menyewa orang musyrik saat darurat atau ketika tidak ditemukan orang Islam, dan
Nabi mempekerjakan orang-orang Yahudi Khaibar selama tiga hari. Kemudian hadist
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:
حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن
ابن عباس رضي الله عنهما قال: احتجم النبى صل الله عليه و
سلم واعطى الحجام اجره (رواه البخاري )
Hadist dari Ibnu Thawus dari ayanya
dari Ibnu Abbas r.a dia berkata bahwa Nabi Saw pernah mengupah
seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. HR.Bukhari.
Berdasarkan hadits di atas dapat
dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah terhadap orang yang telah
dipekerjakan. Riwayat ini dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan
transaksi upah mengupah.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا الأَجِيرَ
أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه ابن ماجه)[18]
”Dari Abdillah bin Umar ia berkata:
Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya
kering”. H.R Ibnu Majah.
Hadits di atas menjelaskan tentang
ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang dipekerjakan, yaitu Nabi sangat
menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya
kering atau setelah pekerjaan itu selesai dilakukan.
Merujuk pada ayat dan hadits
tersebut dapat disimpulkan bahwa akad ijarah dibolehkan dalam Islam,
adapun ijma (kesepakatan ulama) telah membolehkan akad ini sebagaimana
disebutkan oleh Sayid Sabiq dalam Kitab Fiqh Sunnah.
Sebagai akad ijarah maka
keabsahannya adalah terpenuhinya rukun dan syaratnya, rukunnya yaitu; Mua’jir
(lembaga pendidikan sebagai “pemilik” asrama), Musta’jir (mahasiswa
yang menggunakan asrama), ma’jur atau al-manfaah (manfaat asrama
sebagai obyek ijarah), ujrah atau ajr (uang asrama yang harus
dibayarkan) dan sighat ijab qabul (ucapan, tindakan dan isyarat yang
menunjukan akad tersebut). Adapun syarat-syarat ijarah adalah; Pertama, Pihak yang berakad harus berakal dan mumayiz
(dewasa yang mampu membedakan mana benar dan salah). Kedua, an taradhin (saling ridha)
yaitu dilakukan dengan kerelaan dan atas kemauan sendiri tanpa adanya paksanaan
(QS. An-Nisaa: 29). Ketiga, obyek akad harus halal, bisa diserah-terimakan atau
dimanfaatkan, jelas ukuran dan batas
waktunya, berlaku umum di masyarakat. Keempat, upah adalah harta muttaqawwim,
bernilai harta, tidak dari jenis yang diakadkan. Kelima, Ijab dan qabul
harus jelas dan sesuai dengan obyek akad dan batas waktu.
Berdasarkan pembahasan mengenai
akad ijarah dengan obyek akad manfaat asrama sebagai obyek antara
lembaga pendidikan dan siswa atau mahasiswa maka apabila terjadi sengketa
haruslah dilihat dari akad (transaksi) yang telah dilakukan di awal. Apakah
pembayaran uang asrama dihitung setiap bulan atau tahunan? Apakah ia termasuk (include)
ke dalam biaya pendidikan termasuk makan bagi siswa atau mahasiswa? Apakah
terjadi unsur keridhaan di antara keduanya?
Keridhaan menjadi hal yang sangat
penting dalam akad ini sehingga jika salah satu tidak ridha maka akadnya akan
batal. Misalnya pihak siswa, mahasiswa atau orang tua tidak mau lagi
melanjutkan pembayaran asrama karena telah keluar dari lembaga pendidikan
tersebut. Maka tidak ada lagi kewajiban untuk membayar uang asrama karena ia
sudah membatalkan akad.
Adapun kasus khusus yang terkait
dengan adanya Covid-19 di mana pihak orang tua tidak mau membayar uang asrama
karena anaknya tidak menggunakan asrama tersebut maka haruslah kedua belah
pihak memastikan hak dan kewajiban yang muncul dari akad tersebut. Jika uang
asrama dihitung per bulan, maka ketika tidak digunakan oleh siswa atau
mahasiswa, mereka tidak wajib membayarkannya sebagaimana ia tidak membayar uang
makan. Maka dalam hal ini pihak lembaga pendidikan tidak boleh mengambil uang
asrama tersebut karena memang akadnya per bulan.
Apabila uang asrama dihitung selama
satu tahun dan menjadi program dari lembaga pendidikan dengan penghitungan biaya
total selama satu tahun dan pihak siswa, mahasiswa atau orang tua
menyepakatinya maka mustajir wajib untuk membayar uang asrama tersebut
selama satu tahun penuh. Sehingga pihak lembaga pendidikan dibolehkan menagih
haknya tersebut yaitu mendapatkan uang asrama.
Faktanya bahwa asrama yang menjadi
bagian dari proses belajar-mengajar merupakan fasilitas yang dihitung terpisah sebagai
akad tersendiri, sebagaimana uang makan yang dihitung per bulan. Hal ini
terlihat dalam brosur atau kesepakatan yang perinciannya sangat jelas yaitu;
uang asrama Rp. ..... , uang makan Rp..... dan SPP atau UKT Pendidikan Rp....
Maka dalam hal ini asrama tidak harus dibayar ketika siswa atau mahasiswa
pulang ke rumah dan tidak menggunakan asrama tersebut karena Covid-19,
sebagaimana ia tidak harus membayar uang makan. Sehingga lembaga pendidikan
tidak boleh mengambil uang asrama dari siswa atau mahasiswa yang tidak
menggunakan asrama tersebut.
Namun terkadang pihak lembaga
pendidikan akan menyatakan bahwa biaya asrama adalah satu paket dengan biaya
pendidikan, makan dan fasilitas lainnya. Maksudnya bahwa uang asrama dihitung
selama satu tahun karena dianggap sebagai satu program dalam satu tahun. Mereka
menganalogikan dengan makan yang seharusnya didapatkan oleh siswa atau
mahasiswa selama satu tahun full, namun faktanya bisa jadi hanya 10 bulan atau
lebih rinci lagi terkadang ia tidak makan di sana. Tentu saja hal ini masih
mungkin jika memang ternyata pihak lembaga pendidikan sudah menyiapkan makanan
namun siswa atau mahasiswa tidak makan karena sesuatu hal.
Kesimpulannya adalah bahwa lembaga
pendidiakn tidak boleh mengambil uang asrama dan makan apabila dalam brosur
atau kesepakatan dari jenis pembayaran tersebut dirinci per bulan. Serta
pembayarannya dilakukan dicicil per bulan oleh siswa, mahasiswa atau orang
tuanya. Adapun jika kesepakatannya adalah glondongan (biaya keseluruhan)
dalam satu tahun maka lebaga pendidikan boleh mengambilnya untuk program satu
tahun. Namun faktanya, lembaga pendidikan merincinya menjadi biaya per jenis
dan dihitung per bulan. Sehingga hal ini tidak diperbolehkan, karena tidak
adanya unsur keridhaan di antara dua belah pihak serta jika dipaksanakan akan
muncul kedzaliman dalam akad tersebut. Padahal saling ridha merupakan syarat
dalam sebuah akad yang sesuai syariah. Maka hendaklah bagi lembaga pendidikan
berasrama memperhatikan hal ini, jangan sampai ia tetap memaksa orang tua siswa
atau mahasiswa untuk membayar uang asrama padahal asrama tersebut tidak
digunakan, sebagaimana mereka tidak mewajibkan membayar uang makan karena
memang siswa atau siswa tersebut tidak makan. Bertakwalah kepada Allah Ta’ala
dan jauhilah segala bentuk akad yang tidak saling ridha dan takutlah berbuat
dzalim kepada orang tua siswa atau mahasiswa apalagi dalam keadan Covid-19
seperti ini. Wallahu a’lam, Petang di Bogor, 02 Juli 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...