Oleh: Abd Misno Mohd Djahri
Salah satu dari perkataan yang umum
di masyarakat adalah bahwa jodoh, rezeki, ajal (kematian) dan perceraian adalah
takdir dari Allah Ta’ala, benarkah demikian? Jawabannya adalah Ya, betul sekali
bahwa semua itu adalah merupakan takdir dari Allah Ta’ala. Akan tetapi
keempatnya memiliki karakter masing-masing, yang apabila kita rinci terbagi
menjadi dua; Pertama; Rezeki dan Kematian, Kedua; Jodoh dan
Perceraian. Permasalahan ini sangat penting untuk dibahas karena terkait dengan
Qadha dan Qadar yang masuk ke ranah tauhid atau keyakinan sebagai seorang
muslim. Selain itu jangan sampai kita masuk ke dalam aliran Jabariah yang
menganggap bahwa manusia hanya seperti wayang yang dipaksa mengikuti takdirNya,
atau seperti Qadariah yang meyakini semuanya adalah kehendak manusia tanpa
campur tangan Allah Ta’ala.
Beriman
dengan Qadha dan Qadar
Dasar keimanan terhadap qadha dan
qadar adalah firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, yaitu firmanNya:
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا
عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ
Dan tidak ada sesuatu pun melainkan
pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan
ukuran yang tertentu. QS. Al-Hijr: 21.
Pada ayat yang lainnya disebutkan:
وَكَانَ أَمْرًا مَقْضِيًّا
“Dan ini perkara yang sudah
ditetapkan.” (QS. Maryam: 21).
Riwayat shahih mengenai hal ini
adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam :
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ
وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ
بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Kamu beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan
kamu beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk. HR. Muslim.
Riwayat lainnya menyebutkan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali
diciptakan Allah ta’ala ialah pena, kemudian Allah berfirman kepadanya,
‘Tulislah.’ Pena berkata, ‘Tuhanku, apa yang harus saya tulis?’ Allah
berfirman, ‘Tulislah takaran (takdir) segala sesuatu hingga hari kiamat.” (H.R.
Ahmad dan At-Tirmidzi).
Merujuk pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an
dan riwayat shahih dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dapat
dipahami bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan takdir seluruh makhlukNya. Riwayat
lainnya menjelaskan:
كَتَبَ اللهُ
مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ
بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.
“Allah telah mencatat seluruh
takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”
HR. Muslim, Thirmidzi dan Abu Dawud.
Ada dua istilah yang kemudian
dibahas oleh para ulama, yaitu; qadha dan qadar. Keduanya memiliki makna yang
berbeda ketika disatukan dalam satu pembahasan (qadha-qadar) apabila dipisah
maknanya sama yaitu takdir dari Allah Ta’ala. Secara lebih rinci ada dua
pendapat mengenai hal ini;
Pertama, Qadha dan Qadar bermakna Sama.
Mereka menyatakan bahwa makna qadha
dan qadar itu sama maknanya yaitu ketentuan dari Allah Ta’ala sejak zaman
dahulu kala. Pendapat ini dipegang oleh Abdul Aziz bin Abdullah yang
menyatakan:
القضاء والقدر، هو شيء واحد،
الشيء الذي قضاه الله سابقاً ، وقدره سابقاً، يقال لهذا القضاء ، ويقال له القدر
Qadha dan qadar adalah dua kata
yang artinya samya, aitu sesuatu yang telah Allah qadha’-kan (tetapkan) dulu,
dan yang telah Allah takdirkan dulu. Bisa disebut qadha, bisa disebut taqdir.
Persamaaan makna ini sebagaimana
tercatat dalam al-Qamus al-Muhith, yaitu;
القدر : القضاء والحكم
Qadar adalah qadha dan hukum.
Merujuk kepada pendapat ini maka
tidak ada perbedaan makna antara qadha dan qadar yaitu ketetapan dari Allah Ta’ala
sejak zaman azali.
Kedua,
Berbeda makna antara Qadha dan Qadar.
Pendapat ini memiliki dua pendapat
yang berbeda pula, yaitu;
1. Qadha lebih dahulu dari pada qadar.
Qadha adalah ketetapan Allah di zaman azali. Sementara qadar adalah ketetapan
Allah untuk apapun yang saat ini sedang terjadi. Al-Hafidz Ibnu Hajar
mengatakan,
قال العلماء : القضاء هو
الحكم الكلي الإجمالي في الأزل ، والقدر جزئيات ذلك الحكم وتفاصيله
Para ulama
mengatakan, al-qadha adalah ketetapan global secara keseluruhan di zaman azali.
Sementara qadar adalah bagian-bagian dan rincian dari ketetapan global itu.
(Fathul Bari, 11/477).
Al-Jurjani menyatakan,
والفرق بين
القدر والقضاء : هو أن القضاء وجود جميع الموجودات في اللوح المحفوظ مجتمعة،
والقدر وجودها متفرقة في الأعيان بعد حصول شرائطها
Perbedaan
antara qadar dan qadha, bahwa qadha bentuknya ketetapan adanya seluruh makhluk
yang tertulis di al-Lauh al-Mahfudz secara global. Sementara qadar adalah
ketetapan adanya makhluk tertentu, setelah terpenuhi syarat-syaratnya. (at-Ta’rifat,
hlm. 174)
2. Kebalikan dari pendapat sebelumnya,
qadar lebih dahulu dari pada qadha. Qadar adalah ketetapan Allah di zaman
azali. Sementara qadha adalah penciptaan Allah untuk apapun yang saat ini
sedang terjadi.
Ar-Raghib
al-Asfahani dalam al-Mufradat (hlm. 675) menyatakan,
والقضاء من
الله تعالى أخص من القدر؛ لأنه الفصل بين التقدير، فالقدر هو التقدير، والقضاء هو
الفصل والقطع
Qadha Allah
lebih khusus dibandingkan qadar. Karena qadha adalah ketetapan diantara taqdir
(ketetapan). Qadar itu taqdir, sementara qadha adalah keputusan.
Pendapat ini
dipegang pula oleh Muhammad bin Shaleh yang menyatakan “Maka ketika Allah
menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya, ketentuan ini disebut Qadar.
Kemudian ketika telah tiba waktu yang telah ditetapkan pada sesuatu tersebut,
ketentuan tersebut disebut Qadha’”.
Ulama dari kalangan Asy’ariyah dan
Maturidiyah berpendapat bahwa makna qadha dan qadar itu berbeda. Syekh M.
Nawawi Banten menyatakan:
اختلفوا في معنى القضاء
والقدر فالقضاء عند الأشاعرة إرادة الله الأشياء في الأزل على ما هي عليه في غير
الأزل والقدر عندهم إيجاد الله الأشياء على قدر مخصوص على وفق الإرادة
“Ulama tauhid atau mutakallimin
berbeda pendapat perihal makna qadha dan qadar. Qadha menurut ulama Asy’ariyyah
adalah kehendak Allah atas sesuatu pada azali untuk sebuah ‘realitas’ pada saat
sesuatu di luar azali kelak. Sementara qadar menurut mereka adalah penciptaan
(realisasi) Allah atas sesuatu pada kadar tertentu sesuai dengan kehendak-Nya
pada azali,” (Kasyifatus Saja, hal. 12).
Beliau memberikan contoh qadha dan
qadar menurut kelompok Asyariyyah, Qadha adalah putusan Allah pada azali bahwa
kelak kita akan menjadi apa. Sementara qadar adalah realisasi Allah atas qadha
terhadap diri kita sesuai kehendak-Nya.
فإرادة الله المتعلقة
أزلا بأنك تصير عالما قضاء وإيجاد العلم فيك بعد وجودك على وفق الإرادة قدر
“Kehendak Allah yang berkaitan pada
azali, misalnya kau kelak menjadi orang alim atau berpengetahuan adalah qadha.
Sementara penciptaan ilmu di dalam dirimu setelah ujudmu hadir di dunia sesuai
dengan kehendak-Nya pada azali adalah qadar,” (Kasyifatus Saja, 12).
Sedangkan bagi kelompok
Maturidiyyah, qadha dipahami sebagai penciptaan Allah atas sesuatu disertai
penyempurnaan sesuai ilmu-Nya. Dengan kata lain, qadha adalah batasan yang
Allah buat pada azali atas setiap makhluk dengan batasan yang ada pada semua
makhluk itu seperti baik, buruk, memberi manfaat, menyebabkan mudarat, dan
seterusnya.
وقول الأشاعرة هو المشهور
وعلى كل فالقضاء قديم والقدر حادث بخلاف قول الماتريدية وقيل كل منهما بمعنى
إرادته تعالى
“Pandangan ulama Asy’ariyyah cukup
masyhur. Atas setiap pandangan itu, yang jelas qadha itu qadim (dulu tanpa
awal). Sementara qadar itu hadits (baru). Pandangan ini berbeda dengan pandangan
ulama Maturidiyyah. Ada ulama berkata bahwa qadha dan qadar adalah pengertian
dari kehendak-Nya,” (Kasyifatus Saja, hal. 12).
Merujuk pada berbagai pendapat
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa qadha dan qadar adalah takdir dan
ketetapan dari Allah Ta’ala. Pada dasarnya ia bersifat azali sejak penciptaan Qalam
(pena) yang telah dititahkan oleh Allah Ta’ala untuk menuliskan takdir semesta.
Ketetapan ini tidaklah meniadakan adanya usaha dari ikhtiar manusia, dengan
kata lain takdir dari Allah Ta’ala terkait dengan usaha maksimal dari manusia.
Iman
dengan Takdir: Rezeki dan Kematian
Kembali pada pembahasan di awal, bahwa
rizki dan ajal merupakan takdir dari Allah Ta’ala, maka tidak bisa seorangpun
untuk menolaknya. Terkait dengan rizki Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi
rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah.” (QS. Saba’:
24).
Pada ayat yang lainnya Allah Ta’ala
berfirman,
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ
عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
“Dan Allah melebihkan sebahagian
kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki.” (QS. An Nahl: 71).
Merujuk pada ayat-ayat ini maka
jelas sekali bahwa rizki dari Allah Ta’ala sudah ditetapkan, namun demikian
manusia memiliki usaha untuk menjemput rizki tersebut. Semakin dia berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk menjemput rizki tersebut maka ia akan mendapatkan
apa yang dia usahakan. Sehingga jika ada orang yang mengatakan bahwa rizki itu
sudah ditentukan, jadi kita tidak perlu usaha maka perkataan ini tidak tepat. Karena
perintah untuk berikhtiar sendiri sangat jelas, seperti dalam firmaNya:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ
الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ
وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dia-lah yang menjadikan bumi itu
mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian
dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.
QS. Al-Mulk:15.
Pada ayat yang lainnya juga disebutkan
secara jelas:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ
كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan
sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. QS. Al-Jumu’ah: 10.
Merujuk pada pemahaman dari ayat
ini adalah bahwa, rizki itu sudah ditetapkan Allah Ta’ala akan tetapi manusia
juga diperintahkan untuk mencarinya, menjemputnya dan mendapatkan rizki yang
halal.
Adapun berkaitan dengan ajal maka
Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ
الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185).
أَيْنَمَا تَكُونُوا
يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di mana saja kamu berada, kematian
akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi
kokoh.” (QS. An Nisa’: 78).
Selain dua ayat ini, banyak sekali
ayat dan juga hadits yang menunjukan bahwa ajal atau kematian itu sudah
ditentukan oleh Allah Ta’ala waktu dan tempatnya. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ
خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ
عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ
إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ:
بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ، فَوَاللهِ
الَّذِيْ لاَ إِلَهَ غُيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ
عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ
لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
”Sesungguhnya seorang dari kalian
dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk
nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal
darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti
itu pula. Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di
dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya,
ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya. Maka demi Allah yang tidak ada
ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, sesungguhnya salah
seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara
dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir)
mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka dengan itu ia
memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan
ahli neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta,
tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli surga,
maka dengan itu ia memasukinya”. HR. Bukhari dan Muslim.
Sebagaimana berkaitan dengan rizki
yang sudah ditentukan maka ajal atau kematian juga sudah ditentukan. Namun ia
tidak meniadakan ikhtiar manusia, maksudnya dalam konteks kematian jika ada
orang yang buhun diri kemudia dia beralasan bahwa itu adalah takdir maka bisa
dikatakan bahwa ketika seseorang bunuh diri dan meninggal dunia maka itu adalah
takdir. Tetapi ia berdosa karena telah membunuh dirinya sendiri, sehingga ia
akan disiksa di neraka, sebagaimana ayat dan juga sabda Nabi yang mulia:
وَلاَ تَقْتُلُواْ
أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ
عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ
يَسِيرًا
“Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa
berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan
memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS.
An Nisa: 29-30).
من قتل نفسه بشيء عذب به يوم
القيامة
“Barangsiapa yang membunuh dirinya
dengan sesuatu, ia akan di adzab dengan itu di hari kiamat”. HR. Bukhari dan Muslim.
Ayat dan hadits ini menunjukan
larangan untuk bunuh diri serta ancaman bagi yang melakukannya. Walaupun mati
adalah takdir, tetapi manusia memiliki kontrisbusi (kehendak) dalam prosesnya. Kehendak
inilah yang kemudian menjadi sebab ia mendapatkan siksa.
Iman
dengan Takdir: Jodoh dan Perceraian.
Berikutnya terkait dengan jodoh dan
perceraian, bahwa keduanya adalah merupakan takdir dari Allah Ta’ala. Jodoh
seseorang sudah ditentukan, sebagaimana firmanNya:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ
وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ
لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ
وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Wanita-wanita yang keji adalah
untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita
yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka
(yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh
itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). QS. An-Nur: 26.
Ayat ini berbicara secara umum
bahwa manusia itu diciptakan secara berpasang-pasangan , sebagaimana firmanNya:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ
خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzariyat:
59). Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan,
جميع المخلوقات أزواج: سماء
وأرض، وليل ونهار، وشمس وقمر، وبر وبحر، وضياء وظلام، وإيمان وكفر، وموت وحياة،
وشقاء وسعادة، وجنة ونار، حتى الحيوانات [جن وإنس، ذكور وإناث] والنباتات
“Setiap makhluk itu
berpasang-pasangan. Ada matahari dan bumi. Ada malam dan ada siang. Ada
matahari dan ada rembulan. Ada daratan dan ada lautan. Ada terang dan ada
gelap. Ada iman dan ada kafir. Ada kematian dan ada kehidupan. Ada kesengsaraan
dan ada kebahagiaan. Ada surga dan ada neraka. Sampai pada hewan pun terdapat
demikian. Ada juga jin dan ada manusia. Ada laki-laki dan ada perempuan. Ada
pula berpasang-pasangan pada tanaman.”
Jika ada seseorang yang ternyata
tidak menikah hingga meninggal dunia maka bukan berarti ia tidak ada pasangan.
Adanya unsur kehendak dalam dirinya untuk tidak menikah atau hal lainnya yang
menjadikan ia tidak berjumpa dengan pasangannya. Intinya adalah bahwa jodoh itu
sudah takdir, namun manusia juga memiliki kehendakn untuk mencarinya dan
menentukannya. Jika seseorang telah berusaha untuk mencari pasangan kemudian
hingga menikah maka itulah jodohnya. Jika ternyata kemudian ia bercerai dan
menikah dengan orang lain maka itupun takdirNya juga.
Perceraian sebagai takdir dari
Allah Ta’ala juga merupakan ketetapan yang sudah pasti adanya. Namun ia juga
tidak lepas dari kehendak dari manusia, kehidupan keluarga yang penuh dengan
romantika; suka dan duka silih berganti, gelombang dan prahara rumah tangga
yang sering menerjang terkadang berakhir dengan perceraian. Perceraian itu
takdir ketika sudah terjadi, tetapi manusia memiliki kehendak untuk
melakukannya atau bersabar dan tetap mempertahankan keluarganya.
Kesimpulan
Pembahasan mengenai jodoh, rizki,
ajal dan perceraian terkait erat dengan tauhid atau keimanan seorang muslim
yaitu iman (percaya/yakin) dengan takdir dari Allah Ta’ala. Semua hal di dunia
ini sudah ditakdirkan, tetap manusia memiliki kehendak dan ikhtiar. Kaya atau
miskin, bahagia atau sengsara, menikah atau tetap sendiri, mempertahankan
keluarga atau bercerai semua itu adalah pilihan bagi manusia.
Jika kita menganggap bahwa semua
itu sudah menjadi takdirNya dan manusia hanya menjalankannya maka ia terbawa
pada pemikiran Jabariyah atau Jabriah yang menganggap bahwa manusia hanya
seperti boneka (wayang) yang dipaksa mengikuti takdir dari Allah Ta’ala. Sedangkan
bila ia berkeyakinan bahwa manusia memiliki kehendak penuh untuk melakukan
segala sesuatu tanpa takdir Allah, maka ia terjebak ke dalam pemikiran Qadariah
di mana manusia seolah-olah bebas tanpa kuasa dariNya.
Maka, jalan tengah dari keduanya
yang merupakan solusi terbaik adalah pendapat dari Ahlu Sunnah wal Jamaah yang
meyakini bahwasanya semua takdir semesta telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala
sejak awal mula penciptaan, tetapi manusia memiliki kehendak dan ikhtiar untuk menentukan
dan memilih yang yang terbaik baginya. Istilah lainnnya menyatakan “Beralih
dari satu takdir ke takdir lainnya”, karena kita tidak tahu yang mana takdir
kita. Oleh karena itu tetap yakin dengan takdir Allah Ta’ala dan terus berusaha
untuk menjadi yang terbaik dan melakukan hal-hal yang baik agar kehidupan kita
berakhir dalam kebaikan yaitu di surga sebagai negeri keabadian. Wallahu a’lam,
(Menjelang tengah hari di Bogor City, 02 Juli 2020).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...