Oleh: Misno
Sudah menjadi hal yang lumrah ketika bulan Ramadhan tiba dan
menjelang hari raya harga barang-barang kebutuhan naik. Secara teoritis ini
adalah karena kenaikan permintaan (demand) yang terjadi di masyarakat,
tentu saja dengan prinsip ceteris paribus yaitu tanpa adanya hal-hal
lain yang memengaruhinya. Fakta yang terjadi seringkali sebaliknya, di mana
kenaikan harga bukan karena mekanisme pasar yang berjalan, tapi adanya berbagai
kecurangan dalam perdagangan hingga masyarakat akhirnya yang dirugikan. Bagaimana
ekonomi Islam memandang hal ini?
Ramadhan sebagai bulan mulai selalu disambut gegap-gempita oleh
umat Islam di seluruh dunia, bulan penuh kemuliaan dan keberkahan ini menjadi
momen tahunan bagi umat Islam untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Sayangnya
kemuliaan bulan ini tidak berbanding lurus dengan harga barang-barang di pasar
yang mengalami kenaikan. Sama-sama naik tapi saling bertentangan, jika kenaikan
iman dan ketakwaan itu sangat diharapkan maka kenaikan barang-barang kebutuhan
menjadi satu hal yang sangat tidak diharapkan.
Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa mekanisme pasar dalam ekonomi
Islam menjadi hal yang dimaklumkan, artinya dapat dipahami sebagai salah satu
cara dalam menetapkan harga di pasar. Demikian pula jika pada saat Ramadhan dan
menjelang hari raya harga-harga naik karena bertambahnya permintaan maka
menjadi sesuatu yang wajar. Hal uang tidak wajar adalah ketika ada oknum
pedagang atau pengusaha yang memanfaatkan momen ini untuk meraup keuntungan
dengan melakukan berbagai kecurangan. Beberapa bentuk kecurangan dalam hal ini
diantaranya adalah:
Pertama, ihtikar (penimbunan). Beberapa
pedagang baik produens, distributor dan penjual sengaja menimbun barang-barang
kebutuhan agar harga menjadi naik dan masyarakat kesulitan dalam
mendapatkannya. Kalaupun ada barang di pasar tapi jumlahnya sedikit sehingga harganya
menjadi naik. Maka dalam hal ini dilarang oleh Islam, sebagaimana sabda dari
Nabi Muhamamd Shalallahu Alaihi Wassalam:
لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
“Tidak boleh menimbun
barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa.” (HR. Muslim, No.
1605).
Dari Ma’qil bin
Yasar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda,
مَن دَخَلَ في شَيءٍ من أسعارِ المُسلِمينَ
لِيُغلِيَه عليهم، فإنَّ حَقًّا على اللهِ تَبارك وتَعالى أنْ يُقعِدَه بعُظْمٍ من
النَّارِ يَومَ القيامَةِ.
“Siapa yang mempengaruhi
harga bahan makanan kaum muslimin sehingga menjadi mahal, merupakan hak Allah
untuk menempatkannya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti di hari
kiamat.” (HR. Ahmad, 4:485. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini dhaif).
Merujuk pada dua Riwayat ini maka jelas sekali bahwa perbuatan ihtikar
atau menimbun diharamkan dalam Islam karena membawa keumdharatan bagi
masyarakat. Sementara para pedagang mendapatkan keuntungan dari perbuatannya yang
diharamkan tersebut, sehingga perbuatan ini tidak boleh dilakukan oleh umat
Islam dan para pedagang lainnya. Bagi yang melakukannya harus dikenakan hukuman
yang setimpal, baik dunia maupun di akhirat.
Kedua, Berbuat curang (ghissy). Beberapa
pedagang memanfaatkan momen Ramadhan dan hari raya dengan melakukan kecurangan,
padahal hal ini jelas diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Barangsiapa yang berbuat curang/menipu kepada kami (kaum Muslimin),
maka ia bukan termasuk golongan kami. HR. Muslim.
Hadits ini secara jelas mengancam orang-orang yang berbuat curang
khususnya dalam berdagang, sebagaimana asbab al-wurud (sebab munculnya
hadits) riwayat ini adalah karena kecurangan yang dilakukan oleh seorang
pedagang kurma di pasar yang berbuat curang dengan mencampur kurma kualitas
yang bagus dengan yang buruk. Termasuk perbuatan curang yang dilakukan oleh
pemimpin juga masuk ke dalam kriteria ini, sebagai sabda beliau:
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رضي الله عنه قاَلَ:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: “ماَ مِنْ عَبْدٍ
يَسْتَرْعِيْهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ، وَهُوَ غَاشٌّ
لِرَعِيَّتِهِ، إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Ma’qil bin Yasar Radiyallahu anhu ia berkata: Aku pernah
mendengar Rasulullah Sallallahu Alayhi Wasallam bersabda: “Tidaklah seorang
hamba yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia meninggal dunia dalam
keadaan curang terhadap rakyatnya, kecuali Allah mengharamkannya masuk surga.
HR. Bukhari dan Muslim.
Riwayat ini mengandung ancaman bagi para pemimpin yang berbuat
curang kepada rakyatnya, baik itu kebijakan yang tidak benar, menaikan harga
dengan tidak semestinya atau mendzalimi rakyat dengan harga yang terus
meningkat padahal tidak ada sebab. Kalaupun ada sebab bukan karena mekanisme
pasar yang berjalan, tapi berniat jahat dengan menjadikan rakyat sebagai obyek
berkhianat.
Ketiga, kadzib (berdusta). Berapa banyak para pedagang di bulan Ramadhan dan bulan-bulan
lainnya berbohong dan berdusta atas dagangannya. Mengatakan kualitas abrangnya
bagus, padahal kualitas biasa, mengatakan modalnya sekian padahal tidak
sebenarnya. Atau memberikan harga yang seolah-olah murah padahal dusta belaka. Berdusta
sangat diharamkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا
اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Allah,
dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar (jujur). QS. at-Taubah:119.
Demikian pula kalamNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ
مَا لا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا
تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang
beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.” (QS. As-Shaff: 2-3)
Larangan berbohong dalam hadits adalah Riwayat berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ
الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ
وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ
وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ
الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ
وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu
berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan
mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan
tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur.
Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada
kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang
senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh
sebagai pendusta (pembohong). HR. Muslim dan Ahmad.
Ayat dan hadits tersebut secara jelas menunjukan tentang keharaman
berbohong atau berdusta, termasuk juga dusta dalam perdagangan yang banyak
dilakukan oleh para pedagang. Contoh yang paling banyak terjadi saat ini adalah
menuliskan di atas dagangannya discount dari harga yang sebenarnya sudah
dinaikan. Dikatakan turun harga padahal harganya sudah dinaikan, serta discount
yang tidak sebenarnya dilakukan. Maka ini adalah dosa besar dalam Islam dan
bukan ciri dari pedagang yang beriman.
Maka sudah selayaknya sebagai seorang muslim untuk menyambut dengan
penuh suka cita datangnya bulan Ramadhan, caraya dengan memperbanyak amal baik di
bulan ini sehingga akan dapat meningkatkan ketakwaan. Bagi para pedagang baik
muslim ataupun non muslim hendaknya meningkatkan ketakwaan juga di bulan ini,
caranya dengan berdagang dengan jujur serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang diharamkan dalam perdagangan Islam.
Dengan ini Ramadhan sebagai bulan penuh kemuliaan akan berjalan sebagaimana berjalannya mekanisme pasar tanpa adanya kecurangan dan perbuatan yang diharamkan oleh Islam. Wallahu a’lam. Bogor, 06 April 2022.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...