Muhammad
Habibi
Abstrak
Agama atau Ad-Din mencakup makna kepatuhan dan
rendah diri dan ibadah adalah bukti dari sikap patuh seorang hamba. Ibadah
tersebut kemudian terkomulasi dalam hukum-hukum yang mengatur makna kepatuhan.
Mukaddimah
Ibadah bagi manusia dalam Islam adalah cara untuk
membersihkan jiwa, perilaku dan akal pikiran, karena konsep Islam berdasarkan
pada anggapan bahwa dasar kehidupan yang baik adalah baiknya akal, jiwa dan
perilaku. Islam telah memperluas makna dan cakupan definisi Ibadah dengan
mengartikan bahwa ibadah bukan hanya shalat, puasa, zakat dan haji saja, tetapi
ia adalah segala bentuk amal saleh yang dilakukan oleh manusia secara ikhlas,
dengan niat menjalankan perintah Tuhannya dan mencari keridhaan-Nya. Itulah
ibadah yang akan diberikan pahala bagi yang melakukannya.
Sedangkan ibadah-ibadah yang khusus – yang telah
ditetapkan oleh Allah tentang tata caranya – itu adalah ibadah yang menjadikan
dasar hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Ibadah khusus itu ada empat:
Shalat, zakat, puasa, dan haji; yaitu rukun-rukun Islam setelah dua kalimat
syahadat, yang telah dibebankan kepada setiap muslim, sebagai bukti dari
keimanannya, sebagai bukti atas ketulusan ‘azimah-nya, kesungguhan jiwanya dan
sebagai bukti atas kemampuannya menahan hawa nafsu.
Hakekat
Ibadah
Ibadah menurut bahasa adalah taat. Al-‘Ubudiah
adalah patuh dan merendah. At-Ta’bid artinya merendahkan, dikatakan thariq
ma’bad artinya jalan yang rendah. Para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikan Ibadah menurut syara’, namun perbedaan tersebut hanya terbatas pada
lafadz saja. Mereka bersepakat bahwa maknanya berkisar tentang ketaatan kepada
Allah, yang bersumber dari kecintaan kepada-Nya.
Ibnu Taimiah mendefinisikannya: Ibadah adalah Ismun
Jam’un (nama yang cakupannya menyeluruh) untuk setiap apa yang dicintai Allah
dan yang diridhai-Nya, dari perkataan, amal perbuatan baik yang batin maupun
yang dhahir . Dan Ibnu Katsir mendefinisikannya dengan setiap apa yang
menyatukan kesempurnaan rasa cinta, rasa patuh dan rasa takut .
Dari dua definisi ibadah di atas, dapat disimpulkan
bahwa suatu amal perbuatan dikatakan sebagai ibadah jika memenuhi dua hal:
Pertama:
Berpegang teguh dengan apa yang disyariatkan oleh Allah dan apa yang diseru
oleh para Rasul-Nya, baik itu perintah maupun larangan, baik halal maupun
haram. Ini adalah unsur ketaatan dan kepatuhan kepada Allah . Ibnu Taimiah
berpendapat bahwa Ad-Din atau agama mencakup makna kepatuhan dan rendah diri.
Jika dikatakan Dantuhu fa Dana, artinya saya merendahkannya lalu dia merendah.
Juga dikatakan Yadinullaha atau Yadinu Lillah, artinya adalah menyembah dan
mentaati Allah, patuh kepada-Nya. Oleh karena itu agama Allah memiliki arti
bahwa kita beribadah kepada-Nya, taat dan patuh kepada-Nya .
Kedua: Sikap berpegang
teguh tersebut harus bersumber dari hati yang mencintai Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Tidak ada sesuatupun yang pantas dicintai selain Allah, Dia adalah
pemilik segala kemuliaan dan kebaikan, Yang telah Menciptakan manusia, yang
sebelumnya tidak ada satu berita pun tentangnya. Semua yang ada di langit dan
di bumi patuh kepada-Nya dan Allah akan menyempurnakan nikmat-nikmatnya, baik
yang dhahir maupun yang batin kepadanya. Ibnu Taimiah berkata, “Ibadah, asal
maknanya juga adalah merendah, dikatakan thariq ma’bad (jalan yang rendah),
jika jalan tersebut rendah karena telah banyak diinjak oleh kaki. Dan ibadah
yang diperintahkan kepada kita mempunyai makna merendah dan mencintai, ia
mempunyai sikap betul-betul merendah kepada Allah dengan tujuan mencintai
Allah. Ibadah dalam Islam bersifat menyeluruh (komprehensif), karena ia
mencakup seluruh bentuk perilaku yang bersumber dari manusia. Shalat, zakat,
puasa, haji, jujur dalam berkata, melaksanakan amanat, berbakti kepada
orangtua, menyambung silaturahmi, melaksanakan janji, menyuruh kepada kebaikan
dan mencegah kemungkaran, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafik, baik
kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, budak dan binatang,
berdoa, berdzikir, membaca dan selain dari itu semua adalah ibadah .
Ibadah adalah tujuan diciptakannya manusia .Dan
inilah rahasia dari perluasan makna ibadah dalam Islam, sehingga manusia selalu
mempunyai hubungan dengan Tuhannya, selalu menjaga kehadiran-Nya, sehingga
manusiapun menjadikan dunianya sebagai jalan untuk akhiratnya.
Taklif (pembebanan) seorang muslim dengan
ibadah-ibadah ini adalah untuk kepentingan dirinya dan kepentingan komunitasnya
karena Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan sesuatupun dari ibadah manusia,
karena Dia sesungguhnya tidak membutuhkan sesuatupun dari alam raya dan apa
yang ada di dalamnya. Ibadah-ibadah ini dilakukan atas dasar kemudahan dan
kesanggupan, bukan berdasarkan sesuatu yang sulit dan menyempitkan, tetapi ia
dilakukan atas batas kemampuan manusia biasa, semua orang dapat melakukannya
tanpa bersusah payah. Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang artinya,
“…Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…”
(Al-Hajj:78).
‘Azimah
dan Rukhshah dalam Ibadah
Para ulama berselisih pendapat mengenai posisi
‘azimah dan rukhshah dalam hukum islam. Sebagian para ulama memasukkan ‘azimah
dan rukhshah bagian dari hukum wadh’i (hukum positif), karena suatu hal tidak
akan berpindah dari ‘azimah kepada rukhshah kecuali karena adanya sebab, yaitu
dharurah (keterpaksaan) dibolehkannya yang dilarang, atau adanya udzur, yang
menjadi sebab diringankannya untuk meninggalkan sesuatu yang wajib. Oleh karena
itu, rukhshah adalah bagian dari pembahasan hukum wadh’i. Pendapat inilah yang
banyak diambil oleh sebagian besar ulama. Perlu untuk disampaikan juga bahwa
‘azimah adalah lawan daripada rukhshah. Suatu hukum tidaklah dinamakan ‘azimah,
kecuali jika ditetapkan adanya rukhshah pada hukum tersebut, disebabkan karena
udzur yang sulit. Berdasarkan itu maka hukum ada tiga pembagian: Pertama;
‘Azimah, kedua; rukhshah pada saat adanya udzur, dan ketiga; hukum asli yaitu
hukum yang tidak ada rukhshahnya, sehingga itu tidak ada ‘azimah. Itulah yang
disebut sebagai hukum permulaan secara mutlak, yang dinamakan sebagai hukum
syariat yang asli. Seluruh hukum ini dianggap sebagai ‘azimah (ketetapan) Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dilihat bahwa hukum-hukum tersebut adalah syar’iyyah
(hukum syariat), karena dibebankan kepada manusia untuk melaksanakannya.
Definisi
‘Azimah
’Azimah
adalah kemauan yang kuat, kata kerjanya adalah ‘azama dari bentuk kata
kerja dharaba yadhribu. Dikatakan ‘azama, ‘azimatan dan ‘azman
artinya bersungguh-sungguh pada suatu perkara. ‘Azimah Allah artinya
adalah hal-hal yang diwajibkan oleh-Nya. Bentuk jamaknya adalah ‘azaim.
Contoh dari itu adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala :
“…Maka
ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya ‘azman.” QS Thaha:115
‘Azman artinya kemauan
yang kuat, tetapi ada yang mengatakan bahwa ‘azm di sini berarti kesabaran,
artinya “Kami tidak menemukan kesabaran padanya.” Ada juga yang mengatakan
bahwa artinya adalah sharimah (kemauan yang kuat), yaitu sama dengan ‘azimah,
atau ia adalah sesuatu yang ingin kamu lakukan. Oleh karena itu sebagian
utusan-utusan Allah disebut dengan “Ulul Azmi,” karena kuatnya kemauan mereka
dalam menyebarkan kebenaran.
Para ahli Ushul Fikih mendefinisikan ‘azimah dengan
definisi yang beragam. Bazdawi berpendapat bahwa ‘Azimah adalah nama untuk
sesuatu yang asli dari suatu hukum, tidak berhubungan dengan ‘awaridh (hal-hal
yang tidak tetap muncul dari sesuatu). Syatibi mendefinisikannya dengan sesuatu
yang disyariatkan dari hukum-hukum umum sejak permulaan. Dan Baidhawi
berpendapat bahwa ‘Azimah adalah hukum yang ditetapkan yang tidak bertentangan
dengan dalil karena suatu udzur (sebab).
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari
definisi-definisi di atas; Ada kesepakatan bahwa ‘azimah disyariatkan sejak permulaan
dan hukumnya adalah diharuskan, atau diwajibkan. Dan tidak menjadikan ‘azimah
sebagai lawan dari rukhshah, kecuali definisi yang dikatakan Baidhawi, dimana
dia menjadikan ‘azimah sebagai lawan dari rukhshah, tetapi dia tidak membatasi
udzur dengan batasan masyaqqah (kesulitan) karena udzur jika tidak syaqqah
(sulit) maka itu tidak dapat dijadikan sebagai penyebab rukhshah. Cakupan hukum
‘Azimah dan Pembagiannya Telah dijelaskan di atas bahwa ‘azimah adalah hukum
umum yang ditetapkan pada permulaan, maka ia mencakup hukum taklifi yang lima,
fardhu , wajib , sunnah , makruh dan haram .
‘Azimah pada saat disebutkan secara mutlak memiliki
empat bentuk:
1. Hal-hal
yang disyariatkan sejak permulaan untuk kepentingan manusia secara umum.
Seperti ibadah, muamalat, jinayat (hukum pidana) dan seluruh hukum-hukum yang
telah disyariatkan Allah kepada hamba-Nya untuk kepentingan dunia dan akhirat. Ini
adalah bagian terbesar dari hukum-hukum yang ada.
2. Hal-hal
yang disyariatkan dari suatu hukum karena sebab tertentu, seperti diharamkannya
mencaci sekutu dan sesembahan yang disembah selain Allah disebabkan karena
cacian kaum musyrikin terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…” (Al-An’am:108)
3. Apa-apa
yang disyariatkan dari hukum yang menjadi nasikh (penghapus) bagi hukum yang
sebelumnya. Hukum yang mansukh (dihapus) seakan tidak ada dan hukum yang nasikh
(penghapus) adalah ‘azimah. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
artinya , “…Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram…” (Al-Baqarah:144) Ayat ini
menjelaskan bahwa ia menghapus mengarahkan wajah ke Baitul Maqdis, dan menyuruh
untuk memalingkan wajah dalam shalat ke Ka’bah.
4. Perkara
yang menjadi pengecualian dari suatu perintah yang ditetapkan dan bersifat
umum. Contohnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “…Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah…” (Al-Baqarah:229)
Allah telah mengharamkan suami untuk mengambil apa
yang telah dibayarkan dari mahar kepada istrinya. Kemudian ayat ini memberikan
pengecualian yaitu pada saat keadaan tidak dapat disatukan dan tujuan
pernikahan tidak tercapai, Allah membolehkan suami mengambil harta dari
istrinya sebagai tanda mentalak istrinya dan memutuskan hubungan perkawinan antara
keduanya, itulah yang disebut dengan al-Khal’u .
Definisi
Rukhshah
Kata “Rukhshah” dengan mematikan hurup “kha” adalah
bentuk ungkapan tentang kemudahan. Darinya terbentuk kata seperti “Rukhusha
as-Si’ru” (harga murah) artinya ia adalah mudah. Jika hurup “kha” dibaca fatah
(menjadi Rukhashah) maka ia adalah bentuk ungkapan tentang seseorang yang
mengambil, atau menjalankan rukhshah. Seperti yang disebutkan oleh Amidi .
Para Ahli Ushul Fikih mendefinisikan rukhshah dengan
beberapa definisi. As-Sarkhasi mendefinisikan dengan sesuatu yang dibolehkan
karena udzur (alasan), tetapi dalil diharamkannya adalah tetap . Syathibi
berpendapat bahwa rukhshah adalah sesuatu yang disyariatkan karena udzur yang
sulit, sebagai pengecualian dari hukum asli yang umum, yang dilarang dengan hanya
mencukupkan pada saat-saat dibutuhkan.
Dan kesimpulan yang dapat diambil dari dua definisi
ini adalah bahwa;
Ø Hukum
Rukhshah disyariatkan pada tahap kedua, sebagai pengucualian dari hukum asli
yang umum yaitu ‘azimah.
Ø Bahwa
dalil hukum asli yaitu ‘azimah masih tetap berlaku, masih harus dilaksanakan
bagi orang yang tidak memiliki udzur.
Ø Faktor
udzur-lah yang membolehkan dilaksanakannya rukhshah.
Perbedaan
antara Rukhshah dan Udzur
Tidak banyak ulama yang membedakan antara udzur
dengan rukhshah, diantara ulama yang membedakan adalah Syathibi, Ghazali dan
Isnawi . Untuk itu adalah penting untuk dikemukakan perbedaan antara keduanya
sehingga kita dapat mengaitkan antara furu’ (permasalahan cabang) dengan
ushul-nya dalam bentuk yang ilmiah. Udzur itu lebih umum daripada rukhshah
karena mencakup seluruh ‘awaridh (hal-hal yang tidak tetap yang muncul dari sesuatu),
yang terjadi pada hak seorang mukallaf (manusia) karena suatu keadaan dan
kondisi.
Di antara udzur itu ada yang masuk dalam cakupan
al-Hajiyyat al-Kulliyyat (maslahat sekunder yang umum) seperti al-Qiradh,
dimana ia disyariatkan karena adanya udzur pada hukum asal, yaitu
ketidakmampuan pemilik harta dalam berusaha mencari rezeki dan qiradh
dibolehkan karena tidak ada masyaqqah, atau ketidakmampuan, begitu juga dengan transaksi
al-Musaqat . Oleh karena itu, akad Qiradh dan akad salam tidak disebut sebagai
rukhshah. Di antara udzur juga ada yang dikembalikan kepada aslu takmili (hukum
asal yang bersifat penyempurna), ini juga tidak dinamakan rukhshah, seperti
shalat makmum yang mampu berdiri dibelakang imam yang tidak mampu berdiri. Sedangkan rukhshah tidak terjadi kecuali
adanya udzur yang syaqq (sulit), seperti shalat dalam bepergiaan. Bepergian adalah
udzur karena ada masyaqqah (kesulitan), sehingga disyariatkan rukhshah untuk
mengqashar (memendekkan) shalat. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat kami
tetapkan bahwa setiap rukhshah adalah udzur, tetapi tidak setiap udzur itu adalah
rukhshah.
Hubungan
rukhshah dengan maqashid Syar’iyyah
Prinsip umum yang pasti dalam Islam adalah prinsip
kemudahan dan memudahkan, tasamuh, moderat dan menghilangkan segala kesulitan
dalam hukum-hukum syariatnya, baik itu hukum yang ditetapkan dengan teks yang
lugas, atau yang ditetapkan berdasarkan ijtihad para Fuqaha dan Mujtahid . Cakupan
sikap tasamuh dan kemudahan dalam Islam tidak terbatas pada masalah-masalah
ibadah saja, tetapi mencakup seluruh hukum-hukum Islam, baik itu mengenai hukum
tentang hubungan sipil, hukum perdata, hukum pidana, hukum-hukum tentang
pengadilan dan yang lainnya. Hal itu dapat dilihat dengan jelas jika menelusuri
nash dan kaidah-kaidah syariat, juga hubungannya dengan maqashid syariat yaitu
tentang mengambil manfaat dan menolak mafsadah (kerusakan).
Ibnu Asyur menjelaskan tentang hikmah dari sifat
tasamuh, ”Sesungguhnya hikmah sifat tasamuh dalam Islam adalah bahwa Allah
telah membuat syariat sebagai agama fitrah dan masalah fitrah kembali kepada
pembawaan yaitu sesuatu yang ada pada jiwa, yang mudah diterima. Dan diantara
fitrah manusia juga adalah menjauhi sesuatu yang sulit dan payah.”
Tasamuh syar’i berhubungan erat dengan prinsip
keadilan yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, dimana beliau telah mengorbankan jiwaya untuk dapat
menterjemahkan hukum-hukum Islam ke dalam realitas. Mengenai hal ini Ibnul
Qayyim berkata, “Sesungguhnya tonggak dan dasar syariat adalah hikmah dan kemaslahatan
manusia baik di dunia maupun di akhirat, dan semuanya bersifat adil, semuanya
adalah rahmat, maslahat dan hikmah. Oleh karena itu, semua masalah yang keluar
dari keadilan, ia akan masuk ke dalam kedhaliman, dari rahmat masuk kepada
sebaliknya, dari maslahat kepada mafsadah (kerusakan), dari hikmah kepada
sesuatu yang tidak berguna dan itu semua bukanlah syariat, walaupun syariat
telah disisipi oleh berbagai takwil. Syariat adalah keadilan Tuhan untuk hamba-hamba-Nya,
Rahmat-Nya bagi semua makhluk-Nya, naungan-Nya di bumi dan hikmah petunjuk
kepada-Nya dan kebenaran yang ada pada Rasulullah adalah petunjuk yang paling
tepat dan paling jujur.”
Mengenai sifat tasamuh dan kemudahan telah
ditetapkan dalam Islam dengan banyak dalil. Sebab Dihilangkannya Kesulitan dari
Manusia dalam Taklif Syathibi berkata, “Ketauhilah bahwa kesulitan ditiadakan
dari para mukallaf (manusia) karena dua hal:
Pertama;
Takut terputus di tengah jalan, membenci ibadah, dan membenci taklif. Berdasarkan
hal itu, maka maknanya adalah takut untuk memasukkan kerusakan kepada mukallaf,
baik pada tubuhnya, atau akalnya, atau hartanya, atau kondisinya, hal itu
karena Allah telah meletakkan syariat ini dengan memiliki sifat yang mudah,
toleran dan lembut, dengannya Allah menjaga hati manusia, membuat mereka
mencintai-Nya dan jika mereka melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan
sifat toleransi dan kemudahan, maka mereka akan tercemari dengan sesuatu yang
tidak membuat mereka ikhlas dalam berbuat.
Kedua: Takut adanya
kekurangan ketika adanya persaingan fungsi yang berhubungan dengan seorang
hamba dengan kaumnya. Seperti melaksanakan tugas untuk keluarga dan anaknya
kepada pembebanan-pembebanan lain yang datang di tengah jalan. Barangkali
dikarenakan adanya kesibukan dalam sebagian tugas, dia melupakan syariat dan
memutuskan hubungan mukallaf dengan orang lain. Padahal seorang mukallaf
diminta untuk melaksanakan tugas dan fungsi syariat secara bersamaan, tidak ada
alasan untuk meninggalkannya karena dia harus melaksanakan hak Allah yang ada
padanya.
Jika dia masuk pada suatu amal perbuatan yang sulit,
mungkin dia akan memutuskan diri dari melaksanakan tugas lain, terutama
melaksanakan hak-hak orang lain kepadanya. Dengan begitu maka ibadah atau amal
perbuatannya telah memotong apa yang telah dibebankan Allah kepadanya, dan dia
kurang dalam melaksanakannya sehingga dia akan tercela. Maksudnya adalah
melaksanakan semua tugas syariat, tanpa ada satupun yang tertinggal karena
sebab apapun.
Keringanan-Keringanan
Syariat Keringanan yang terjadi pada syariat
disebabkan adanya penyebab. Keringanan-keringan ini terbagi menjadi beberapa
jenis: Pertama: Penyebab-penyebab keringanan dalam berbagai ibadah dan
yang lainnya. Para Ulama menetapkan bahwa terdapat tujuh sebab yang meringankan
ibadah, yaitu:
1. Bepergian,
seperti memendekkan shalat, mengusap sepatu khuff lebih dari satu hari satu
malam.
2. Sakit,
yang menjadi rukhshah-nya banyak seperti tayamum pada saat sulit menggunakan
air.
3. Lupa,
seperti makan dan minum di bulan Ramadhan karena lupa.
4. Ketidaktahuan,
seperti tidak tahu bahwa berdehem itu membatalkan shalat.
5. Kesulitan
secara umum, seperti shalat dalam keadaan najis yang dibolehkan seperti darah
luka, bisul, atau kusta.
6. Keterpaksaan,
seperti mengucapkan kata kafir, atau terpaksa meminum khamar.
7. Kekurangan,
ini juga termasuk jenis masyaqqah, karena jiwa ini dibuat untuk mencintai
kesempurnaan, lalu disesuaikan dengan keringanan dalam taklif (pembebanan).
Contohnya adalah seperti anak kecil dan orang gila yang tidak kena taklif, juga
perempuan yang tidak kena taklif sebagian yang diwajibkan kepada lelaki seperti
shalat berjamaah, shalat Jumat, berjihad, membayar jizyah, dan yang lainnya.
Kedua:
Jenis-jenis keringanan syar’i:
Keringanan-keringanan syar’i terdapat tujuh jenis,
yaitu:
1. Takhfif
Isqath (keringanan dengan meniadakan hukum), seperti tidak adanya shalat Jumat,
puasa, haji, umrah, jihad atau yang lainnya dari berbagai ibadah karena
alasan-alasan tertentu.
2. Takhfif
Tanqish (keringanan dengan mengurangi), seperti memendekkan shalat yang empat
rakaat pada saat bepergian, pengurangan yang tidak mampu dikerjakan oleh orang
sakit dalam shalat seperti mengurangi ruku’ dan sujud, atau yang lainnya pada
batas tertentu yang mudah bagi dia.
3. Takhfif
Ibdal (keringanan dengan mengganti), seperti mengganti wudhu dan mandi dengan
tayammum ketika air tidak ada, atau ketika sakit seperti menggantikan berdiri
dengan duduk pada saat shalat.
4. Takhfif
Taqdim (keringanan dengan mendahulukan), seperti shalat jamak taqdim antara dua
shalat, juga seperti mendahulukan zakat fitrah pada bulan Ramadhan.
5. Takhfif
Takhir (keringanan dengan mengakhirkan), seperti shalat jamak takhir antara dua
shalat, juga seperti mengakhirkan puasa Ramadhan bagi orang yang bepergian,
atau sakit.
6. Takhfif
Tarkhish (keringanan dengan rukhshah), atau dibolehkannya dengan rukhshah,
seperti meminum khamar karena sangat haus, atau memakan makanan kotor untuk
berobat.
7. Takhfif
Tagyir (keringanan dengan merubah), seperti merubah bentuk shalat yang biasa
pada saat keadaan genting, pada saat berkecamuk perang, atau pada saat lari
dari musuh. Seorang yang shalat saat itu tidak terikat dengan bentuk-bentuk dasar
dari shalat seperti berdiri, ruku’, sujud dan menghadap kiblat. Cukuplah bagi
dia isyarat . Hal ini akan dijelaskan pada saat membahas mengenai shalat khauf.
Mana
Yang Lebih Baik, Mengambil Rukhshah Atau ‘Azimah?
Para ulama berbeda pendapat tentang tarajjuh
(mengutamakan) mengambil rukhshah atau ‘azimah. Tetapi sebenarnya perbedaan
mereka pada masalah-masalah parsial yang berhubungan dengan rukhshah dan
‘azimah saja, seperti mengqashar shalat dalam perjalanan, atau menjamak antara
dua shalat, atau shalat Jumat dan shalat ied jika terjadi pada satu hari dan sebagainya.
Perbedaan pendapat antara mereka dalam masalah-masalah di atas adalah
dikarenakan perbedaan mereka dalam mencari asal masalah dan penyesuaiannya. Dalam
hal ini, Syathibi menjelaskan masalah ini secara umum, membandingkan antara
rukhshah dan ‘azimah. Lalu menyebutkan beberapa dalil yang menguatkan
pengambilan ‘azimah, dan juga menyebutkan beberapa dalil yang menguatkan
pengambilan rukhshah.
Pertama:
Dalil-dalil yang menguatkan pengambilan ‘azimah:
Pertama,
‘Azimah adalah hukum asal yang tetap, yang disepakati dan pasti kebenarannya.
Sedangkan Rukhshah walaupun pemberian hukumnya pasti, tetapi dia bersifat
zhanni dalam penerapannya, karena rukhshah berdiri di atas masyaqqah (kesulitan),
dan masyaqqah tidaklah pasti, berbeda-beda pendapat antara satu orang dengan
yang lainnya, dan berbeda antara satu keadaan dengan yang lainnya. Kemungkinan
penerapan rukhshah dalam realitas dapat dikatakan tidak ada jika dinisbatkan
kepada ‘azimah, dengan begitu ‘azimah lebih kuat daripada rukhshah.
Kedua, Mengambil
rukhshah dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak melaksanakan ‘azimah dalam
ibadah. Sedangkan mengambil ‘azimah itu membiasakan kuat dan sabar dalam
beribadah, dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Jika seseorang telah
terbiasa mengambil rukhshah, maka dirasa sangat sulit baginya untuk
melaksanakan ‘azimah, sehingga dia berusaha untuk keluar dari ‘azimah.
Ketiga,
Asal dari tasyri’ adalah taklif (pembebanan) dan dalam taklif ada suatu beban
dan kesulitan bagi seorang hamba. Merupakan hikmah Allah bahwa pembebanan
tersebut disesuaikan dengan kemampuan manusia dan kebiasaannya. Jika muncul
suatu kesulitan yang sangat pada sebagian orang, atau pada kondisi tertentu,
‘azimah tidak keluar dari tujuan Allah semula, tidak juga mempengaruhi
pelaksanaannya. Hukum asal tetap pada ‘azimah, tidak keluar darinya kecuali
karena sebab yang sangat kuat.
Kedua:
Dalil-dalil yang menguatkan pengambilan rukhshah:
Pertama,
Asal hukum ‘azimah adalah qath’i dan hukum dibolehkannya mengambil rukhshah
juga qathi’i. Asy-Syâri’ yaitu Allah telah menjalankan hukum zhanni dalam
tingkatan hukum seperti qath’i. Barangsiapa yang ber-zhann (berperasangka)
adanya sebab suatu hokum, maka sebab tersebut harus dijadikan sebagai suatu
i’tibar hukum. Juga karena dalil qath’i telah menunjukkan bahwa dalil-dalil
zhanni dalam furu’ syariat seperti dalil-dalil qath’i.
Kedua, Bahwa asal
hukum rukhshah walaupun bersifat parsial, tetapi jika dinisbatkan pada ‘azimah
ia tidak terpengaruh, karena ia dianggap sebagai suatu pengecualian dari
‘azimah, atau ia adalah termasuk takhshish (pengkhususan) yang umum atau taqyid
(pengikat) yang mutlak. Yang khusus tentu lebih didahulukan daripada yang umum
dan hukum yang muqayyad (terikat) lebih didahulukan daripada yang mutlak, juga
yang umum tidak akan berlalu (pudar) dengan terlepasnya sebagian dari
bagian-bagiannya.
Ketiga,
Banyak terdapat dalil yang menjelaskan tentang diangkatnya kesulitan dari umat,
seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “…Dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (Al-Hajj:78) Allah
Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman yang artinya, “…Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (Al-Baqarah:185) Berdasarkan
hal di atas, maka agama ini dinamakan sebagai agama yang hanafiah samhah,
karena terdapat kemudahan .
Tarjih
Syathibi tidak mentarjih pendapat satu dengan yang
lainnya, dalam hal ini dia berkata, “Jika dikatakan bahwa hasil akhir dari yang
lalu adalah memaparkan dalil-dalil yang saling bertentangan, yaitu membuat
paradok masalah tersebut. Apakah ada jalan keluar atau tidak? Jika dikatakan,
“Ya ada,” itu diserahkan kepada pendapat para Mujtahid. Dalil yang disampaikan
di sini hanyalah bersifat argumentatif dari masing-masing kelompok tanpa harus
men-tarjih salah satu dari keduanya. Pen-tarjih-annya tetap diserahkan kepada
Mujtahid, sehingga dia akan men-tarjih salah satu dari keduanya secara mutlak,
Atau men-tarjih satu dari yang lainnya pada kondisi tertentu dan men-tarjih
satu kelompok lain pada kondisi yang lain, sesuai dengan kondisi.”Artinya bahwa
masalah ini dikembalikan kepada ijtihad seseorang dalam menentukan masyaqqah
dan haraj (kesulitan). Hal seperti ini terjadi pada masalah-masalah juz’i
(parsial). Beginilah yang selama ini dilakukan oleh para Jumhur Ulama dalam menentukan
rukhshah masalah furu’ fikih. Sebagian mereka men tarjih ‘azimah dan yang lain
men-tarjih rukhshah. Ini terjadi pada setiap masalah (furu’) fikih.
Syaikh Khudhari berkata, “Setiap Mukallaf adalah
seorang faqih (ahli fikih) untuk dirinya dalam menentukan pengambilan (rukhshah
atau ‘azimah). Tidak ditemukan batasan syariat sehingga seseorang diharuskan
untuk bersikap tertentu. Penjelasannya bahwa sebab rukhshah adalah masyaqqah
(kesulitan) dan masyaqqah berbeda-beda sesuai dengan kuat dan lemahnya ‘azimah
dan sesuai dengan perbuatan itu sendiri. Tidak semua manusia sama dalam
menanggung masyaqqah.
Kalau masalahnya seperti itu, maka tidak ada
ketentuan yang khusus dan tidak ada batasan dalam masyaqqah yang dapat diterapkan
kepada semua manusia. Untuk itu, Allah telah menetapkan sebagiannya dengan
berdasarkan zhann (prasangka) sebagai hikmahnya. Maka ditentukanlah perjalanan
(as-Safar) karena dia lebih dekat dari prasangka masyaqqah, dan membiarkan
ketentuan lain kepada ijtihad, seperti sakit.” Sedangkan mencari-cari rukhshah
dengan tujuan agar mudah dan gampang, atau menghindar dari taklif, menurut para
imam madzhab itu adalah tidak boleh. Tidak ada satu imam madzhab pun yang
membolehkan talfiq (berpaling) seperti ini.
Pada akhir pembahasan ini, saya katakan bahwa suatu
tindakan, terkadang mencakup penjelasan tentang rukhshah pada satu sisi dan
terkadang mencakup penjelasan tentang ‘azimah pada sisi yang lain. Ia adalah
‘azimah jika dilihat dari sisi permintaan untuk melakukan, karena semua hukum
syariat adalah ‘azimah-’azimah Allah (Kehendak Allah) dan rukhshah adalah
bentuk kemudahan untuk seorang mukallaf. Sebagai contoh adalah tayamum. Ia
adalah rukhshah untuk kemudahan bagi seorang hamba pada saat tidak
dibolehkannya menggunakan air. Ia juga adalah ‘azimah karena seorang hamba di-taklif-kan
(dibebankan) untuk itu, lalu hamba tersebut harus bertayamum sebagai bentuk
ibadah kepada Allah pada saat air tidak ada, atau pada saat tidak dapat
menggunakan air.
Inilah penjelasan perbedaan para ulama dalam
menyesuaikan masalah-masalah furu’. Barangsiapa yang melihat dari sisi
permintaan untuk dilakukan maka ia adalah ‘azimah, dan barangsiapa yang melihat
dari sisi bentuk kemudahan maka ia adalah rukhshah. Dari fasal ini, jelaslah
bagi kita bahwa rukhshah adalah lawan dari ‘azimah, ia adalah bentuk kemudahan
dari ‘azimah dan rukhshah terkadang mempunyai hukum yang diminta (wajib),
terkadang mempunyai hukum sunnah, atau bahkan yang lainnya. Wallahu A’lam. Sumber
: http://muhammadhabibi.student.umm.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...