Oleh : Abu Aisyah
Pengertian Rukhsah
Kata
rukhsah (رخصة) secara bahasa bermakna “keringanan”, kata
ini berasal dari kata kerja bentuk lampau (fi’il madhi) yaitu
rakhasa (رخّص) yang bermakna “telah menurunkan” atau
“telah mengurangkan”. Seseorang yang mendapat keringanan disebut sebagai ”raakhis” (راخص), kata ini jika digabungkan dengan kata
lain memeiliki makna yang sama, misalnya ungkapan “Rukhusha
as-Si’ru” maka berarti harga yang murah. Jika huruf “kha” dibaca fathah
(menjadi Rukhashah) maka ia adalah bentuk ungkapan tentang seseorang
yang mengambil, atau menjalankan rukhshah, seperti yang disebutkan oleh Amidi.
Dalam
Kamus Lisaan Al-Arab Ibnu Mandzur menyatakan :
والرُّخْصة وهي الفُرْصة
والرُّفْصة بمعنى واحد ورَخَّصَ له في الأَمر أَذِنَ له فيه بعد النهي عنه والاسم
الرُّخْصةُ والرُّخُصةُ والرُّخْصةُ تَرْخِيصُ اللّه للعبد في أَشياءَ خَفَّفَها
عنه
Rukhsah
bermakna juga furshah dan rufshah ketiganya memiliki satu makna. Kata “rakhasa
lahu fi amri” bermakna memberikan keringanan setelah sebelumnya dilarang.
Kata rukhsah bermakna Allah telah memberikan keringanan bagi hamba pada
suatu perkara.
Secara istilah, kata rukhsah memiliki beberapa pengertian, secara umum rukhsah
diartikan dengan :
الحكم
الثابت على خلاف الدليل لعذر.
Hukum yang berlaku berdasarkan suatu
dalil menyalahi dalil yang ada karena adanya uzur.
Para Ahli Ushul Fikih mendefinisikan
rukhshah dengan beberapa definisi. As-Sarkhasi mendefinisikannya dengan sesuatu
yang dibolehkan karena udzur (alasan), tetapi dalil diharamkannya adalah tetap.
Syathibi berpendapat bahwa rukhshah adalah sesuatu yang disyariatkan karena
udzur yang sulit, sebagai pengecualian dari hukum asli yang umum, yang dilarang
dengan hanya mencukupkan pada saat-saat dibutuhkan. Sementara Imam Al-Ghazali mendefinisikan
rukhsah sebagai “sesuatu yang dibolehkan kepada seseorang mukallaf untuk
melakukannya karena uzur”. Pengertian yang sama disebutkan Al-Baidhawi
mendefinisikan rukhsah sebagai “Hukum yang berlaku yang tidak sesuai dengan
dalil yang ada dikarenakan adanya halangan (udzur)”.
Ali Abu Al-Basal berpendapat bahwa rukhsah
adalah lawan dari azimah, hal ini dikarenakan azimah adalah
perintah untuk mengamalkan sesuatu sesuai dengan dalil yang ada, semantara rukhsah
adalah mengamalkan sesuatu yang tidak sesuai dengan dalil yang ada
dikarenakan adanya udzur yang menjadi halangan pelaksanannya tersebut. Ia
menambahkan bawaha azimah adalah hak Allah atas hambaNya, sedangkan rukhsah
adalah hadiah Allah kepada para hambaNya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum rukhsah adalah:
Ø Hukum
yang disyariatkan pada tahap kedua, sebagai pengucualian dari hukum asli yang
umum yaitu ‘azimah.
Ø Bahwa
dalil hukum asli yaitu ‘azimah masih tetap berlaku dan masih harus dilaksanakan
bagi orang yang tidak memiliki udzur.
Ø Faktor
udzur-lah yang membolehkan dilaksanakannya rukhshah.
Dari sini dapat dismpulkan bahwa adanya rukhsah
adalah sebagai bentuk kemurahan dari Allah ta’ala kepada para hambaNya,
terutama ketika kondisi tidak memungkinkan untuk melaksanakan ‘azimah tersebut.
2. Perbedaan antara Rukhshah dan Udzur
Pada dasarnya tidak ada perbedaan mendasar antara udzur
dengan rukhshah, di antara ulama yang membedakannya adalah Al-Syathibi, Al-Ghazali
dan Al-Isnawi. Udzur secara makna memiliki pengertian yang lebih umum dari
rukhshah, karena ia mencakup seluruh ‘awaridh (hal-hal yang tidak tetap yang muncul dari
sesuatu), yang terjadi pada hak seorang mukallaf (manusia) karena suatu keadaan
dan kondisi. Di antara udzur itu ada yang masuk dalam cakupan al-Hajiyyat
al-Kulliyyat (maslahat sekunder yang umum) seperti al-Qiradh, di mana ia
disyariatkan karena adanya udzur pada hukum asal, yaitu ketidakmampuan pemilik
harta dalam berusaha mencari rezeki dan qiradh dibolehkan karena tidak ada
masyaqqah, atau ketidakmampuan, begitu juga dengan transaksi al-Musaqat. Oleh
karena itu, akad Qiradh dan akad salam tidak disebut sebagai rukhshah. Di
antara udzur juga ada yang dikembalikan kepada aslu takmili (hukum asal
yang bersifat penyempurna), ini juga tidak dinamakan rukhshah, seperti shalat
makmum yang mampu berdiri dibelakang imam yang tidak mampu berdiri.
Sedangkan rukhshah tidak terjadi kecuali adanya
udzur yang syaqq (sulit), seperti shalat dalam bepergiaan. Bepergian
adalah udzur karena ada masyaqqah (kesulitan), sehingga disyariatkan rukhshah
untuk mengqashar (memendekkan) shalat. Berdasarkan penjelasan di atas maka
dapat kami tetapkan bahwa setiap rukhshah adalah udzur, tetapi tidak setiap
udzur itu adalah rukhshah.
3. Sebab-Sebab
Rukhsah
Rukhsah atau keringanan tidaklah
terjadi begitu saja, ia memiliki sebab-sebab terwujudnya rukhsah tersebut,
diantaranya adalah:
a)
Bermusafir. Seseorang
yang dalam keadaan safar (perjalanan) diberikan keringanan untuk mengqasar dan menjamak
shalat, mengusap khuf dan tidak berpuasa selama masa safarnya.
b)
Sakit. Ketika
seseorang dalam keadaan sakit, maka dibolehkan baginya menjamak shalat, bertayamum
dan shalat berjama’ah di masjid.
c)
Lupa. Seseorang
yang dalam keadaan lupa padahal ia sedang berpuasa maka ia tidak batal jika
makan atau minum karena terlupa. Begitu juga orang yang terlupa belum
menunaikan shalat tidak dihukum berdosa, walapun ia harus segera
melaksanakannya ketika ia ingat belum melakukan shalat tersebut.
d)
Kebodohan. Seseorang yang karena kejahilannya melakukan suatu perbuatan maka
mendapatkan keringanan untuk perbuatannya tersebut. Misalnya seseorang yang tidak paham bahwa
buang angin itu membatalkan shalat dan wudhunya, namun ia tetap melanjutkan
shalatnya tersebut. Maka shalat dan wudhunya tersebut dimaafkan karena
kebodohannya.
e)
Kesukaran. Setiap hal yang menyulitkan dalam
Islam maka hal tersebut dimaafkan, misalnya seseorang yang terkena penyakit
selalu mengeluarkan air seni, padahal wajib baginya untuk shalat dalam keadan
suci, maka wajib baginya untuk tetap melaksanakan shalat walaupun keadaannya
demikian. Hal ini berlaku juga bagi wanita yang mengalami darah istihadhah.
f)
Paksaan. Seseorang
yang melakukan sesuatu bukan karena kehendaknya sendiri maka ia tidaklah dapat
dihukumi dengan perbuatannya tersebut, misalnya dia dipaksa untuk mengucapkan
kalimat kufur, dipaksa untuk meminum khamr dan bentuk paksaan lainnya maka
tidaklah ia dihukumi dengan perbuatan tersebut selama hatinya tidak condong dan
suka dengan perbuatan tersebut.
g)
Kekurangan. Maksud
kekurangan di sini adalah kekurangan akal yang ada pada anak kecil, orang gila
atau seseorang yang mabuk dan lupa ingatan. Maka mereka dibebaskan dari
tanggung jawab atas segala perbuatannya tersebut. Selain itu ia juga terbebas
dari segala kewajiban seperti shalat, jihad, zakat, haji dan lain sebagainya.
4. Jenis-jenis
Rukhsah
Keringanan, disebut juga
sebagai takhfif selain rukhsah, ia adalah bentuk kemudahan
yang diberikan oleh Islam bagi setiap hambaNya yang berada pada keadaan
tertentu, Ibnu Nujaim menyebutkan bahwa rukhsah terdiri dari beberapa jenis: Pertama,
Menggugurkan (Takhfif isqath), seperti
pengguguran kewajiban shalat jum’at kepada orang yang sakit kronik. Kedua, Mengurangkan (Takhfif tanqish), seperti
qasar shalat empat rakaat menjadi dua ketika dalam keadaan safar, dibolehkan shalat
sesuai dengan kemampuan bagi seseorang yang dalam keadaan sakit dann yang
lainnya. Ketiga, Menggantikan (Takhfif ibdal).
Misalnya mengganti wdudhu dengan air dengan tayamum menggunakan debu
dikarenakan tidak adanya air yang digunakan untuk berwudhu. Keempat, Mendahulukan (Takhfif taqdim), seperti
rukhsah jamak taqdim. Kelima, Mengakhirkan (Takhfif
takhir). Ini termasuklah rukhsah jamak takhir, melewatkan solat ‘isyak dan
lain-lain. Keenam, Meringankan (Takhfif
tarkhish), seperti dibolehkan minum arak jika tercekik sesuatu apabila tiada
minuman lain di sekelilingnya. Ketujuh, Mengubah (Takhfif
taghyir). Misalnya perubahan bentuk perbuatan shalat menjadi lebih ringan
ketika terjadi peperangan.
Semua rukhsah tersebut adalah bentuk
perhatian Islam kepada para pemeluknya, aturan-aturan yang ada dalam Islam
bukanlah untuk menyusahkan manusia, sebaliknya ia adalah bentuk pernghargaan
kepada manusia sesuai dengan fitrahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...