Oleh : AM Bambang Prawiro
Istilah
“Tasawuf” merupakan kata yang tidak asing dalam khazanah pengetahuan Islam,
karena di samping telah menjadi suatu disiplin
ilmu tertentu, tasawuf juga dalam sejarah perkembangannya telah mempunyai
banyak penganut yang dihadapkan atas berbagai polemik. Para ulama berbeda
pendapat mengenai asal-usul kata tasawuf, hal ini terjadi karena istilah
tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam al-Qur’an ataupun hadis Nabi.
Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf dikaitkan dengan kata-kata
Arab yang mengandung arti suci atau menyusikan kalbu dan bermunajat kepada
Allah.[1]
Sebagian cendekiwan berpendapat bahwa kata sufi berasal dari kata “shuf” yaitu
kain wol, ini dikarenakan sikap zuhud mereka sehingga selalu memakai pakaian
yang terbuat dari kain wol.
Menurut
Al-Ghazali megemukakan pendapat Abu Bakar yang mengatakan bahwa Tasawwuf adalah
budi pekerti barang siapa yang memberikan budi pekerti atasmu, berarti ia
memberikan bekal atas dirimu dalam bertasawwuf, maka hamba yang jiwanya
menerima (perintah) untuk beramal karena sesungguhnya mereka melakukan suluk
dengan suluk dengan nur (petunjuk) islam dan ahli zuhud yang jiwanya menerima
(Perintah) untuk melakukan beberapa akhlq (terpuji), karena mereka telah
melakukan suluk nur dengan nur (petunjuk) imannya. Mahmud Amin al-Nawawi
mengemukakan pendapat Al-Junaid al-Baqhdadi yang mengemukakan bahwa Tasawuf
adalah memelihara( menggunakan) waktu . kemudian berkata: seorang hamba tidak akan menekuni
(amalan tasawwuf) tanpa aturan, (menganggap) tidak tepat (ibadahnya) tanpa
tertuju kepada tuhan-Nya dan merasa tidak berhubungan ( dengan tuhannya) tanpa menggunakan waktu (untuk beribadah
kepada tuhan-Nya). Sementara Al-Suhrawardi mengemukakan pendapat Ma'ruf
Al-Karakhy yang mengatakan tasawuf adalah mencari hakekat dan meninggalkan
sesuatu yang ada ditangan makhluk (kesenangan duniawi).[2]
Harun
Nasution mengemukakan bahwa kata tasawwuf berkaitan dengan empat hal yaitu ashabus Suffah (orang-orang yang
ikut nabi pindah ke Madinah), Shaf (barisan), Shophie (suci) dan Shuf
(wol) semua itu bisa dihubungkan dengan tasawwuf. Ashabus Suffah ialah
orang-orang muslim mekkah yang ikut Nabi hijrah kemadinah dan ia tidak
mempunyai harta apapun terkecuali iman, mereka tidak punya rumah sehingga ia
tidur di depan Masjid Madinah dengan memakai selimut.[3]
Definisi yang lengkap secara istilah disebutkan oleh Muhammad Husain al-Dzahabi
yang berpendapat bahwa Tasawuf adalah transmisi jiwa menuju Tuhan atas apa yang
ia inginkan atau dengan kata lain munajatnya hati dan komunikasinya ruh.[4]
Dari
beberapa pendapat yang ada maka pendapat yang menyatakan bahwa kata shufi
berasal dari kata Shuf yaitu kain wol lebih mendekati kebenaran, baik
segala bahasa ataupun pakaian yang biasa digunakan oleh para ahli tasawuf.
Timbulnya
tasawuf dalam Islam salah satunuya dikarenakan adanya segolongan umat Islam
yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat,
puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara
hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan
duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia
lainnya. kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum
muslim angkatan pertama. Al-Dzahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di
atas telah dikenal sejak masa awal Islam, banyak di antara sahabat yang
melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhud dan ibadah dan yang lainnya,
tetapi masa itu tidak dikenal istilah tasawuf.[5]
Selain
itu pada generasi berikutnya sekitar abad ke-2 H, secara berangsur-angsur
terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih
berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola
hidup sederhan lebih dikenal dengan kaum sufiyah. Pada masa ini pulalah istilah
tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap pertama kali menggunakan istilah
sufi adalah Hasyim al-Sufi yang wafat tahun 150 H.
Praktik-praktik
zuhud yang dilakukan ulama generasi pertama dan kedua berlanjut sampai pada
masa pemerintahan Abbasiyah, ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan
menengah terdapat pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga
mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana
saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis
yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf.
Pada masa ini tasawuf telah mengalami
percampuran dengan filsafat dan kalam,
sehingga munculah apa yang dikenal dengan tasawuf nadzari dan tasawuf
‘amali. Tasawuf nadzari yaitu yang
menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun tasawuf ‘amaly
yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-praktik zuhud taat kepada Allah taala.
Berikut adalah ciri dari kedua kelompok tasawuf tersebut :
Tasawuf
Teoritis, dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan
waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al-Qur’an dengan
sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menta’wilkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak mengikuti cara-cara untuk menta’wilkan ayat
al-Qur’an dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian
tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil Syar’i serta terbukti
kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal Isyarat.[6]
Imam
Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan, sebagai berikut: “Apa yang telah
diungkapkan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Qur’an adalah termasuk ke dalam
bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh
orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan
pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual
yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang
sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang
dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual, itulah yang dikehendaki). Oleh
karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyah yang ekstrim, maka mereka sampai
menafikan syari’at secara keseluruhan.
Beberapa
tokoh sufi tidaklah bersifat demikian, oleh karena itu mereka menganjurkan agar
tetap dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: pada tahap
pertama harus tetap dilakukan serta diketahui penafsiran dan pengertian
tekstual, sebab tidak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian
batin (non tekstual) dari suatu ayat sebelum penafsiran dan pengertian
tekstualnya terlebih dahulu di ketahui. Barang siapa yang mengaku dapat
memahami rahasia-rahasia Al-Qur’an sebelum mengetahui penafsiran dan pengertian
tektualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah sampai ke bagian dalam Ka’bah
sebelum ia melawan pintunya”.[7]
Lebih
jauh Al-Alusy berkata: “Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas
dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Al-Qur’an mempunyai
bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah
batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki”. Al-Alusy berkata tentang isyarat yang
diberikan oleh firman Allah, Sebagai berikut:
وَٱسْتَعِينُوا۟
بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلْخَٰشِعِينَ
Jadikanlah sabar
dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. QS AL-Baqarah: 45
Bahwa
shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk
menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat,
kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima
cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah yang amat halus dan menangkap
kekuasaan-Nya yang perkasa. Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka
benar-benar berada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nya lah mereka kembali,
dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana’) dan meleburkannya
ke dalam sifat-sifat Allah (baqa’), sehingga mereka tidak menemukaan
selain eksistensi Allah sebagai raja yang Maha halus dan Maha Perkasa.
Tasawuf
Praktis, yang dimaksud dengan tasawuf praktis adalah cara hidup yang
berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, lapar, tidak tidur pada malam hari,
hidup menyendiri, menjaga diri dari segala kenikmatan, memutuskan jiwa dari
berbagai macam syahwat dan menghancurkan diri dalam taat kepada Allah. Imam
Ahmad Ibn Sahl berkata, musuhmu itu ada empat:
1. Dunia. Senjata (yang digunakan oleh) dunia (untuk memperdaya
manusia) adalah hidup membaur dengan hidup sesama manusia dan penangkalnya
adalah hidup menyendiri.
2. Syaitan. Senjata syaitan adalah kenyang dan penangkalnya adalah
lapar.
3. Jiwa, senjata jiwa adalah tidur dan penangkalnya adalah tidak
tidur pada malam hari.
4. Hawa nafsu. Senjata hawa nafsu adalah banyak berbicara dan penangkalnya
adalah diam.[8]
Mereka
benar-benar menerapkan sikap-sikap hidup di atas untuk hidup, mereka bersikap zuhud dialam kehidupan dunia dan
selalu bersiap-siap diri menghadapi kehidupan di akhirat. Dr. Muhammad Husain
al-Dzahaby berkata: “Kami tidak mendengar ada seseorang yang mengarang kitab
tertentu tentang tafsir sufi teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat demi ayat
dalam al-Qur’an seperti dalam tafsir isyary (tafsir yang mengungkapkan
makna-makna yang diisyaratkan oleh ayat Al-Qur’an), yang kami temukan adalah
keterangan-keterangan yang terpencar-pencar (tidak dalam suatu kitab tertentu)
yang termuat dalam penafsiran yang disandarka kepada Ibn Araby dan kitab al-Futuhat al-Makkiyah,
karangan beliau sebagaimana sebagian
yang lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak
penafsirannya berbeda-beda”.
Dari
pembagian kelompok tasawuf tersebut tampak mulai adanya ketidakmurnian dalam
tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan
landasan ilmu yang dianutnya. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada
bidang lainnya seperti fiqh, hadis dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan
istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan lain
sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau
disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya
filsafat, hukum dan yang lainnya.
Sebagimana
disiplin ilmu lainnya, tasawuf telah melahirkan para ahli tasawuf yang telah
memberikan atau melahirkan paham-pahamnya dalam bidang tasawuf. Dari sini pula
muncul berbagai tafsir dengan corak sufi. Di antara karya tafsir ulama sufi di
bidang tafsir Al-Qur’an adalah Tafsir
al-Qur’ān al-Azhim, karya Sahl al-Tustari (w.283 H). Haqa’iq al-Tafsir
karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī (w.412 H). Lata’if al-Isyarat karya
al-Qusyairi, dan ‘Ara’is al-Bayan fī Haqa’iq al-Qur’ān karya
al-Syirazī (w.606).
Corak
tafsir sufi yaitu tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi
dalam dua bagian; tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi nadzary adalah tafsir
yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan
filsafat dan ini tertolak.[9] Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang
didasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsîr
al-Qur`an al-`Adzîm karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya
al-Sulami dan `Arâis al-Bayân fî Haqâiq al-Qur`an karya al-Syairazi.
Corak
penafsiran Sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara
potensial mengandung empat tingkatan makna: dzahir, batin, hadd, dan matla’.
Keempat tingkatan makna ini diyakini telah diberikan oleh Allah taala kepada
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru,
bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Qur’ān kepada Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wasalam, sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya
juga mengacu pada penafsiran al-Qur’an melalui hierarkhi sumber-sumber Islam
tradisional yang disandarkan kepada Nabi, para sahabat, dan pendapat kalangan
Tabiin.
Di
samping itu, selain penafsiran yang didasarkan melalui jalan periwayatan secara
tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup kuat dipegangi kalangan sufi, yaitu
bahwa para wali merupakan pewaris kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang
serupa, meski berbeda secara substansial. Jika para rasul mengemban tugas untuk
menyampaikan risalah ilahiyah kepada ummat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran
agama, maka para sufi memikul tugas guna menyebarkan risalah akhlaqiyyah,
ajaran-ajaran moral yang mengacu pada keluhuran budi pekerti.[10]
Klaim
sebagai pengemban risalah akhlakiyah memberi peluang bagi kemungkinan bahwa
para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika
mencapai tahapan ma’rifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah. Sebuah
konsep mistik yang oleh Ibn ‘Arabi dikategorikan sebagai kemampuan para sufi
dalam mencapai kedudukan yang disebutnya sebagai al-nubuwwat al-amma
al-muktasabah (predikat kenabian umum yang dapat diusahakan). Berbeda
dengan predikat para rasul dan nabi yang menerima nubuwwat al-ikhtisas
(kenabian khusus) ketika mereka dipilih oleh Allah sebagai utusanNya, kenabian
umum bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan setelah pintu kenabian tertutup
sampai akhir zaman nanti.[11]
Maka
penafsiran sufi mufassirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an
melalui jalan i’tibari dengan menelaah makna harfiah ayat secara dzahir,
tetapi lebih pada menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui
penafsiran secara simbolik, atau dikenal dengan penafsiran isyari.
Yaitu, bukan dengan mengungkapkan makna lahiriahnya seperti dipahami oleh
penutur bahasa Arab kebanyakan, tetapi dengan mengungkapkan isyarat-isyarat
yang tersembunyi guna mencapai makna batin yang dipahami oleh kalangan sufi.
Tafsir
sufi isyari ini bisa diterima dan diakui dengan beberapa syarat : Pertama, ada
dalil syar`i yang menguatkan. Kedua, tidak
bertentangan dengan syariat/ rasio. Ketiga, tidak menafikan makna dzahir
teks. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak.[12]
Selain itu beberapa ulama juga memberikan syarat-syarat tertentu mengenai corak
tafsir sufi ini bisa diterima, syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tidak menafikan makna lahir (pengertian tekstual) dari ayat
al-Qur’an.
2. Penafsiran itu diperkuat oleh dalil Syara’ yang lain.
3. Penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil syara’ atau
ratio.
4. Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin)
itulah yang dikehendaki oleh Allah, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya ia
harus mengakui pengertian tekstual dari ayat, sebagaimana penegasan Imam
Al-Alusy.
Corak tafsir sufi yang lahir sebagai akibat
dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai
pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang
membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi
yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar
bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa
penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah
paham tasawuf.
Tafsir
Sufi Nadzari, Tafsir Sufi al-Nadzari
adalah tafsir sufi yang dibangun
untuk mempromosikan dan memperkuat
teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir
membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan
manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori
mereka. Al-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadzari dalam praktiknya adalah
pensyarahan al-Qur’an yang tidak memperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan
oleh syara’.
Ulama
yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nadzari yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi.
Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadzari yang meyandarkan bebarapa
teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di
antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang
dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam
teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Dalil
al-Qur’an tentang paham ini diantaranya:
Pertama,
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Jika
hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan
seruan orang memanggil jika dia panggil Aku”.
Kata
do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam
arti lazim dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau
memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar
Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
Kedua, yaitu ayat 115 dari surat al-Baqarah:
وَلِلَّهِ
ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ ۚ
Timur dan Barat
kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Allah.
Kaum
sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat
dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat
dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.
Ketiga,
surat Qaf ayat 16:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ
أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ
Sebenarnya Kami
ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami
lebih dekat kepadanya dari pembuluh darah sendiri yang ada di lehernya”.
Para
ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari
Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh.
Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain
bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam
diri manusia. Mereka memperkuat penafsirannya itu dengan mengutip hadis Nabi,
“Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya.” Untuk memperkuat tafsiran
itu mereka juga mengambil atau menghubungkannya dengan ayat-ayat lain, seperti
ayat 17 dari surat Al-Anfal:
فَلَمْ
تَقْتُلُوهُمْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ قَتَلَهُمْ ۚ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ
وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰ ۚ وَلِيُبْلِىَ ٱلْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلَآءً حَسَنًا
ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ
Bukanlah kamu yang
membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang
melontarkan ketika engkau lontarkan tapi Allah yang melemparkannya.”
Ibn
al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh paham wahdat
al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan
seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimasi atas pahamnya. Al-Dzahabi
berpendapat bahwa Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an telah
keluar dari madlul ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya
itu, Al-Dzahabi kelihatan tidak setuju
atas penafsiran Ibn al-‘Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.
Contoh
penafsiran Ibn al-‘Arabi sebagai landasan untuk memperkuat paham wahdat al-
wujud-nya diantaranya yaitu Ketika menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr
yang berbunyi:
فَٱدْخُلِى
فِى عِبَٰدِى وَٱدْخُلِى جَنَّتِى
Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam surga-Ku.
Menurut
tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahui
Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sendiri (manusia). manusia untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada
dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu
insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka kamu telah masuk dalam
diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan
lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga adalah Hamba.
Selanjutnya
Al-Dzahabi secara lebih panjang lebar
menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran Nadzary yang dapat
diringkas sebagai berikut : Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an tafsir nadzari sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-Dzahabi memberikan contoh tafsir al-nadzari yang
dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran
Ibn al-’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam :
وَرَفَعْنَٰهُ
مَكَانًا عَلِيًّا
Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.
Menurut
Al-Dzahabi penafsiran Ibn al-’Arabi
tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat alam yaitu dengan
menafsirkan lafadz makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam
bintang). Kedua, di dalam tafsir al-Nadzari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam
sesuatu yang nyata atau tampak atau dengan perkataan lain mengqiyaskan yang
gaib ke yang nyata. Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu
dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Kelihatannya
apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir al-Nadzari adalah hanya berdasarkan
pada penafsiran takwil yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut
hemat penulis tafsir al-Nadzari pada hakikatnya adalah tafsir isyari yang
secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir al-Nadzari ini dalam praktiknya
tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa
yang dimaksudkan ayat secara dzahir.
Tafsir
Sufi Isyari, Tafsir sufi Isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang
berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para
tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan
menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang dzahir dan
batin. Makna dzahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya
adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Seorang
ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa
penafsiran nash al-Qur’an yang hanya melihat dzahirnya, hanya merupakan
badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna
lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa
hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir,
mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batin untuk mengetahui
hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Gazali seorang
ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari makna
lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau
ra’y, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’yu atau
akal.
Metode
yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah takwil metode isyarat.
Isyarah di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir
suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan kata “Isyarat”
adalah untuk membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan
buruk. Padahal metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih
banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil
penafsiran mereka terhadap al-Qur’an tidak disebut sebagai tafsir, karena hal
itu sama saja dengan membatasi makna al-Qur’an dengan cara pemaknaan dan
penafsiran, dan mereka lebih menyebutnya dengan “Isyarah”.
Lahir-Batin
merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikirannya
dalam menafsirkan al-Qur’an khusunya dan melihat dunia pada umumnya. Pola
sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang dzahir menuju yang batin. Bagi
mereka batin adalah sumber pengetahuan sedangkan dzahir teks adalah penyinar.
Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali
ibn Abi Thalib, bahwa setiap ayat
al-Qur’an memiliki empat makna; zahir, batin, had dan matla’. Al-Gazali
sendiri menegaskan bahwa selain yang dzahir, al-Qur’an memiliki makna batin.
Abdullah Al-Muhasibi dan Ibnu al-‘Arabi
memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan
yang dzahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu
Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Dhahir adalah bacaanya
sementara yang batin adalah pemahamannya.
Baik makna dzahir ataupun makna batin pada
al-Qur’an adalah dari Allah. Lahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah
kepada para nabi dengan bahasa ummatnya, sedangkan al-Batin adalah adanya
pemahaman di hati sebagian orang mukmin (hati al-arifin), yang berasal dari Allah. Oleh karena itu dulisme lahir-batin dalam wacana Al-Qur’an, pemahaman dan
penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab
Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi dhahir dan batin
(dan al-Qur’an termasuk makhluk). Yang dhahir adalah bentuk yang bisa diindera
(al-Shurah al-Hissiyah) dan yang batin adalah
al-Ruh al-Ma’nawi.
Contoh penafsiran isyari yang
dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu
penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah :
فَلَا
تَجْعَلُوا۟ لِلَّهِ أَندَادًۭا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal
kamu mengetahui.
Al-Tastary menafsirkan “andadan” yaitu nafsu
amarah yang jelek. Jadi maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan
atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah
perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan
Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.
Menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak
dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu:
Ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya:
اذا جاء نصر الله والفتح
Di
antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan
mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur
kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang
mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw. Contoh
lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama
sebagai ayat yang terakhir diturunkan. ‘Umar ibn al-Khatab ketika mendengar
ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika
mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam sebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah
menyatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan ‘Umar ibn al-Khatab menangis,
lantas Nabi bertanya: “Apa yang kamu tangisi (‘Umar)” ? “saya menangisi bahwa
sesungguhnya kita telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang
sempurna lagi kecuali tambah berkurang”
Al-Dzahabi
memberikan penjelasan mengenai perbedaan
antara tafsir sufi nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut : Pertama,
Tafsir sufi nadzari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada
dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai
landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya
pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi
yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
Kedua,
dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat
al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik
ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an
mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa
al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin. Persoalan yang timbul kemudian
adalah, bagaimana para sufi menafsirkan
ayat-ayat tentang hukum atau fiqh. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam
cerita-cerita para sufi, mereka menolak hukum fiqh atau syariah seperti shalat,
puasa jakat dan sebagainya. Yang ditekankan oleh mereka adalah hakikat bukan
syariat. Dalam menaggapi persoalan ini,
perlu merujuk para ulama tasawuf sendiri.
Dalan
sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam
antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah
yang dmainkan oleh para fuqaha. Tetapi
setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan
menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya
‘Ulumuddin. Al-Ghazali sebagai seorang
yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat
tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.
Dalam
menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat.
Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap
diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para
ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi
menelusuri apa yang yang ada dibalik isyarat tersebut untuk menegtahui
hikamh-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.
Contoh-contoh
penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya:
Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi dalam kitabnya
al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut.
Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan
kewajiban, adapun makna batin dari
syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia
Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang
berakal dan berilmu.[13]
Dalam
menafsirkan ayat-ayat tentang zakat, para ulama sufi menerima adanya kewajiban
membayar zakat yang ditujukan pada
delapan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zakat).
Ibnu Arabi dengan pendekatan isyarat dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat
ini berpendapat bahwa zakat yang arti bahasanya adalah pensucian (al-isytiqaq)
yang secara syariah diwajibkan tujuan
adalah untuk penyucian delapan anggota badan kita. Angka delapan ini
dinisbatkan pada orang yang berhak menerima zakat yang jumlahnya delapan.
Dari
contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak
syariah. Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang
yang lebih mementingkan syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya
memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa menelusuri
isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan hikmah-hikmahnya.
Para
ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf
Islamy. Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di antara para sufi yang dalam
praktiknya hanya mementingkan hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di
dalam Islam syariat dan hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa
dipisahkan.
[1]
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, hal. 13.
[2] A. Mustofa, Akhlak
Tasawwuf, Bandung: Pustaka Setia, tahun 2010, hal. 202
[3] Abudin Natta, Akhlak Tasawwuf, Jakarta : Rajawali
Pers, tahun 2009, hal. 197
[4]
Muhammad Husain Al-Dzahabi, At-Tafsir Wa Al-Mufasirun, Kairo:
Maktabah Wahbah, tahun 200, hal. 250.
[5]
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir Wa Al-Mufasirun, hal. 251.
[6] Ali Hasan al Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir,
hlm. 55.
[7]
Ibid., hlm. 56
[8]
Ibid, hal. 57
[9] M.
Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid II, hlm. 346
[10]
Tawfiq b. Amir, Dirasah fi al-Zuhd wa al-Tasawwuf, Dar al-Fikr, Beirut, t.th,
hlm. 15-17
[11]
Abu Zayd, Hakadza Takallama Ibn Arabi, Markaz Dirasat, Beirut, t.th, hlm.54
[12]
Ibid., hlm. 377
[13]
Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir, terj.Abdul Halim al-Najar, Dar Iqra’,
Beirut, 1983, hlm. 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...